Chapter 3 - Owen's Fight With Charlton

Raquel's POV

Rasa kantuk menghantamku sangat kuat. Mataku terus terasa seperti akan menutup, sedangkan kepalaku terus terangguk-angguk.  Ini memang bukan yang pertama kali, namun ini adalah yang paling parah. Rachelle yang duduk di belakangku terus menepuk-nepuk pundakku cukup kencang agar aku tetap terjaga. Sialnya aku, guru sejarahku sudah sadar dengan kondisiku ini.

“Raquel, apa kau ingin berbagi apa yang kau lihat?” tanyanya.

“Ada apa dengannya?” Bisikan-bisikan anak lain mulai terdengar. Aku sendiri menatap papan yang ada, tapi pandanganku sedikit mengabur. Menyerah, aku menatap guruku dengan menantang.

“Kau tidak tau apa yang sedang aku ajarkan, bukan?” Lagi-lagi aku menjawabnya dengan keheningan. “Raquel Daniel Owen! Berani-beraninya kau mendiamkan gurumu! Jika kau memang tertidur, seharusnya kau mengakuinya dan minta maaf!”

“Lalu jika dia mengakuinya, apa tidak sama saja kau akan menghukumnya?” Rachelle menjawab dengan nada sarkas.

Guruku langsung terdiam karenanya. Dia terlihat kehilangan kata-kata, bahkan dia terlihat seperti ikan koi yang mengatup-buka mulutnya berkali-kali. Terlihat juga kalau telinganya memerah karena malu, dan pasti amarah. Aku memberikannya seringai khasku sebelum maju ke depan dan mengambil spidol di tangannya.

Tanpa basa-basi, aku melingkarkan presentasi atau bahan ajar guruku itu dan memberikan pembenarannya. Tidak tanggung-tanggung, aku menatap satu kelas tanpa ekspresi sebelum menjelaskan secara mendetail materi yang sedang dibawakan, bahkan artikel-artikel yang salah dengan cepat. Seluruh kelas menatapku dengan tatapan terkejut dan bingung, tidak sedikit yang membuka mulutnya karena merasa takjub, mungkin.

“K-kau!” bentak guruku yang membanting bukunya.

Aku mendengus dan menatapnya. “Apa Anda akan menghukum saya karena tidak mengikuti pelajaran? Tidakkah Anda lihat tadi kalau penjelasan saya lebih mendetail, bahkan semuanya benar? Materi yang Anda ajarkan lima puluh persen salah, apa tidak apa jika saya bilang kepada kepala sekolah?”

Mendengar kata kepala sekolah disebutkan, guruku tersebut langsung mematung. Kali ini wajahnya berubah pucat pasi. Bahkan dia terlihat seperti akan muntah kapan saja. Dugaanku benar adanya karena tak lama guruku langsung keluar sambil menutupi mulutnya. Satu kelas langsung bersorak ketika melihat guruku beranjak keluar kelas. Melihatnya pergi membuatku duduk kembali ke kursiku. Beberapa anak mengerumuniku dan mengapresiasiku.

“Lihat, lihat. Lagi-lagi dia sok keren, sok bisa.” Satu kelas langsung hening ketika mendengar suara itu. Aku menatap sumber suara untuk diperlihatkan Kiara Charlton yang masih menatap buku tulisnya.

“Nggak jelas! Napa sih lu?”

“Tau nih! Kalo mau ngeghibah jangan di sini kek! Ganggu!” Rena yang duduk di belakang Kiara terlihat menatap sekitarnya dengan bingung sebelum dia bertemu pandang denganku.

“Mau lu apa?” tanyaku dingin, mengalihkan pandanganku dari Rena.

“Mau gua? Lu ilang dari hadapan gua.”
Beberapa anak terlihat terkejut, bahkan ada yang mulai memperhatikan kami secara berganti-gantian. Responnya yang seperti itu bukanlah hal yang besar. Kata-kata lebih kasar dari itu pun sering aku dengar dan aku merasa hal tersebut bukanlah hal yang aneh. Semakin terkenal dirimu, maka akan semakin banyak haters yang kau miliki. Semakin berharga dirimu, maka orang akan mencoba menemukan kesalahanmu.

“Kenapa nggak lu aja yang pergi? Kalo diliat-liat, kayaknya lu yang nggak dibutuhin di sini.” Ketika aku bangkit dari kursi, Rachelle menahanku. Kugelengkan kepala dan melepas genggamannya. Dengan tangan yang kusilangkan di depan dada, aku melangkah mendekati Kiara.

“Cuma gara-gara dapet julukan Ice Queen, sekarang lu bangga?” Dia tertawa kesal. “Gelar kek gitu nggak ada apa-apanya!”

“Iya, gua bangga, trus kenapa? Emang kayak lu, yang bahkan nggak di pandang sebelah mata?” Aku mengacak-acak rambut Kiara dengan seringai khas tercetak di bibir. “Jadi anak yang baik dulu ya baru nilai orang lain.”

Rena langsung bangkit dari kursinya ketika melihatku melakukan hal ini. Tapi dia berhenti sama cepatnya begitu tau tidak ada satu pun anak yang beranjak dari tempat mereka untuk melakukan sesuatu.  Sesuatu di wajahnya mengatakan kalau dia sedang panik. Dia merasa kalau dia harus melakukan sesuatu. Kuubah kembali ekspresi datarku dan menepuk-nepuk pundak Kiara sebelum berjalan keluar hanya untuk dihentikan dengan teriakan.

“Kalo sampe nilai lu lebih tinggi dari gua!” serunya keras, “Gua bakal diem dan nggak bakal ganggu lu!” Tanpa memutar tubuh, aku menatap Kiara dengan tajam.

Kuhembuskan napas pelan melihatnya seperti itu. “Kau tidak akan pernah menang melawanku, Sayang.”

“Gila!”

“Sadis, sadis! Mesti di-upload nih!”

“Berita hot, nggak boleh ketinggalan!”

Aku terus berjalan keluar kelas dan tidak menghiraukan semua ucapan anak-anak di kelas. Bahkan cacian dan omelan Kiara kuanggap sebagai angin lalu. Segera aku mencari kamar mandi terdekat. Kukunci satu ruangan dan aku segera membersihkan wajahku, mencucinya dengan air dingin. Masih dengan wajah basah, aku menatap pantulan diriku. Ekspresi yang ada bukanlah ekspresi yang sering kulihat, seseorang yang dingin, melainkan takut.

Masih menatap diriku, tiba-tiba saja pintu kamar mandi diketuk dengan sangat keras, disusul dengan teriakan marah. Dengan cepat aku lanjut membersihkan wajahku agar tidak terlihat basah dan membuka pintu dengan kasar. Anak yang menggedor pintu, salah satu kakak kelasku, langsung terdiam ketika melihat wajahku. Bukannya aku yang meminta maaf, justru dialah yang melakukannya kepadaku, membungkuk cukup dalam.

Bel istirahat berbunyi tak lama, aku juga segera pergi ke tempat berkumpulku. Olivia sudah berada di sana, menatap Rachelle yang makan dengan lahap. Beberapa hari ini aku menyadari sikap aneh yang diberikan Olivia, tapi dia mengelak semua pertanyaan yang kuutarakan. Dia masih merasa kesal karena ditinggalkan bersama Rena hari itu. Tentu siapa pun dengan sifat seperti Olivia akan menyimpan sedikit dendam atau setidaknya marah untuk beberapa saat.

“Ah, our Queen has come,” sapa Rachelle dengan mulut penuh. Dia menelan makanannya serta menenggak air dari botol. “Lu udah denger beritanya?”

Olivia yang sedang memainkan ponsel menatap Rachelle bingung. “Berita apaan? Nggak ada yang heboh tuh.”

“Gak usah dibahas,” sahutku sembari mengambil sandwich dari kota makan Rachelle. Jawabanku ini justru membuat Olivia semakin penasaran. 

“Apa cuma gua doang yang nggak tau? Parah lu pada sama gua!” Olivia mengantungi ponsel dan melipat tangannya. “Kasih tau gua, apaan?”

“Tuh lah, bestie lu. Nyari perkara.”

“Perkara gimana?” Kali ini Olivia menatapku. “Jangan-jangan kek dulu lagi … battle score?”

Rachelle mengangguk. “Kali ini sama Kiara Charlton, anak yang gak pinter-pinter amat itu ….”

Tatapan yang kuberikan kepada Rachelle membuatnya tutup mulut. Pembasahan tentang battle score itu juga dengan cepat hilang. Olivia berkata kalau dia akan ikut turnamen dalam waktu dekat. Rachelle hanya merespon dengan anggukkan kecil. Lama kelamaan, Olivia merasa lelah dan pamit pergi lebih dulu. Aku sendiri memutuskan untuk berbaring sebentar.

“Kenapa lu bisa ngantuk tadi? Hari ini parah banget.”

“Tau lah.” Jawaban singkatku membuat Rachelle bungkam. Dari sudut mataku dapat kulihat dia membuka ponselnya dan seperti mengambil gambar.

“Lu … udah gak main piano lagi?”

Pertanyaanku membuat senyum di bibir Rachelle hilang. “Dijual.” Meski jawabannya singkat, aku tau dia merasa kesal. “Ntar pulang temenin gua, mau?”

“Ngapain? Mau ke studio?” Rachelle menganggukkan kepalanya penuh semangat.

Kuhela napas sebelum menyetujui permintaan Rachelle. Orang-orang mungkin mengira kalau aku adalah anak yang dingin dan tak berhati, tapi sebenarnya aku peduli hanya pada orang-orang tertentu saja. Rachelle yang merasa sangat bahagia memelukku dengan sangat erat. Sekilas aku melihat memar di lehernya dan tulang selangka. Andai aku bisa membicarakannya. Andai aku bisa membuatnya bercerita.

Waktu pulang datang lebih cepat. Guru-guru akan mengadakan rapat untuk membahas ulangan yang akan berlangsung dalam waktu dekat. Rachelle memanfaatkan waktunya dengan memainkan piano yang ada. Sembari mendengarkan permainan musiknya, aku membuka buku pelajaranku dan mulai membacanya perlahan-lahan. Rasa kantukku menang akan diriku sehingga di tengah jalan, kesadaranku hilang secara total.

“Woi! Raquel, bangun! Owen!” Aku tersentak ketika mendengar nama belakangku disebut. “Ck ck ck! Bangun, lu udah dijemput noh!” Seseorang di depan pintu terlihat sedang menunggu sesuatu. Kuputuskan untuk mengecek ponsel dan melihat ibuku menelepon beberapa kali.

“Gua duluan, ya!”

“Ati-ati!” serunya.

Aku dan Rachelle dulu adalah tetangga, karena itu kami sangat dekat. Hingga dia pindah rumah, dia tetap bersekolah di mana aku berada. Pertemanan kami sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun, dan aku tidak akan membiarkan orang-orang berpikir kalau kami saling memanfaatkan saja. Rachelle adalah orang yang berharga bagiku, begitu pula sebaliknya.

Ketika aku datang ke sekolah esok harinya, aku sangat terkejut ketika melihat Kiara sudah berada di kelas. Dia terlihat menggunakan headphone-nya dan membaca buku pelajaran. Hal yang sia-sia untuk dilakukan. Begitu aku duduk, Rena masuk ke dalam kelas dan langsung menatap ke arah Kiara. Dia sendiri duduk dan menyimpan tasnya sebelum mengeluarkan sesuatu dan memberikannya kepada Kiara.

“Ra, minum dulu. Kalo nggak ntar lu kelaperan pas pelajaran.” Kiara yang sudah melepas headphone-nya mendengus, mengambil botol yang disodorkan Rena.

“Woi, hari ini ada ulangan kewarganegaraan, ya?” Semua anak yang sudah datang menatap anak yang baru masuk kelas dengan panik.

“Anjir … gua belom belajar.”

“Sial, gua malah nge-game semalem.”

“Materinya apaan, njir ….”

Keluhan demi keluhan mulai terdengar. Sejujurnya aku sendiri juga tidak belajar. Materi yang diberikan sudah jelas sehingga aku hanya mencatat poin-poin penting dan membiarkannya. Kiara yang juga mendengar ini segera mengeluarkan buku kewarganegaraan sebelum mulai membacanya. Tanpa sadar sebuah tawa mencemooh keluar tepat ketika Rachelle masuk ke kelas dengan tatapan dingin.

Aku menatap Rachelle dan mengajaknya bicara, “Ada ulangan ….”

“Udah tau,” potong Rachelle dengan nada dinginnya. Sejujurnya aku merasa sakit hati karena diperlakukan seperti itu, tapi aku tau Rachelle selalu punya alasan dibalik perlakuannya.

“Masalah?” tanyaku lagi, kali ini berbisik.

“Hm. Nanti aja.” Percakapan kami berhenti hanya di sana dan Rachelle mulai membaca bukunya, tapi terlihat jelas kalau dia tidak bisa fokus.

Kuserahkan bukuku kepadanya. “Nih, baca dari tempat gua aja.”

Ulangan berlangsung dengan mulus. Semua soal yang ada dapat kukerjakan dengan cepat. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Kiara untuk melihatnya terlihat sangat bekerja keras. Dia bukanlah tipe pekerja keras sehingga melihatnya seperti itu membuatku sangat terkejut. Ketika dia mengangkat kepalanya, dia menatapku dengan tatapan kebencian. Aku memang tau kalau Kiara tidak menyukaiku, namun tidak kusangka kebenciannya sampai separah ini.

“Owen, apa kau sudah selesai?” Suara guru kewarganegaraanku menggelegar di seluruh ruangan.

“Huh?” Kualihkan pandanganku ke kertas jawabanku sebelum mengangguk. “Sudah.”

“Ah, tentu saja. Raquel Daniel Owen selalu dapat dipercaya.” Guruku, yang merupakan laki-laki, mengangguk-angguk tanda bangga. Kiara yang mendengarnya pasti merasa kesal dan berusaha mengerjakannya dengan cepat.

“Tidak juga, saya hanya belajar dengan baik.”

Sekali lagi keluhan dapat terdengar dalam kelas. Aku juga dapat merasa beberapa orang menatapku dengan penuh kebencian. Ini juga bukan hal yang aneh lagi. Orang-orang akan berkata kalau aku sombong dan memamerkan kepintaranku, padahal aku tidak pernah minta untuk dilahirkan seperti ini. Menjadi pintar bukankah segalanya bagiku.

Guru memerintahkanku untuk mengumpulkan kertas ujianku sehingga aku mematuhinya. Dia segera mengecek kertas tersebut dan senyuman mulai muncul di bibirnya. Di dalam hati aku ikut tersenyum, tau kalau Kiara tidak akan mengalahkanku dalam pelajaran ini. Ketika bel tanda pergantian kelas berbunyi, semua anak mengumpulkan kertas mereka masing-masing. Kiara juga terlihat mengumpulkan kertasnya, tapi ekspresinya menunjukkan kelelahan.

Sisa hari itu dihabiskan dengan lancar, Kiara terlihat terus memegang buku pelajaran entah apa yang sebenarnya dia pelajari. Rachelle memutuskan untuk batal menceritakan apa pun yang mengganggunya. Dan esoknya, hasil ujian kewarganegaraan kami telah sampai. Guruku masuk saat istirahat kedua dan mengumumkan bahwa nilai kelas kami santa mengecewakan dan hanya ada beberapa saja yang lolos.

“Raquel Daniel Owen, dengan nilai sempurna. Gina Ayu Dewi, nilai sembilan puluh.” Guruku terus memanggil nama anak-anak yang lolos. “Dan terakhir, Rachelle Demian, dengan nilai pas-pasan. Remedial akan dibahas minggu depan.”

“Gila, lu makan apa sih?” Rachelle berbisik sebelum bangkit dan mengambil kertas kami. “Barusan gue liat, Kiara nilainya gak sampe lima puluh.”

Mendengar itu aku menatap Kiara yang meremas kertas ulangannya. “Lagian sok bisa sih!” seruku membuat seluruh kelas diam. “Kalo udah tau bego, nggak usah sok nantangin deh!”

“Diem lu! Ini belom apa-apa. Ini baru mulai!”

“Yah, gimana, ya. Tapi nilai gua selalu seratus tuh, nggak pernah di bawah 95, dan jarang dapet di bawah 99. Apa … lu pernah dapet di atas sembilan puluh?”

Kiara menggebrak mejanya dan melangkah ke kursiku untuk ditahan Rena. “Udah, biarin aja orang kayak gitu. Yang ada lu makin dihina-hina.”

“Gua nggak bakal diem! Gua bakal bikin lu belajar!”

Kiara mendorong Rena agar menjauh darinya dan mengambil headphone dari tasnya sebelum keluar. Tidak lupa dia memberiku sebuah tatapan mematikan terlebih dahulu. Rena terlihat menghembuskan napas pelan dan kembali duduk. Kertas hasil ujian milik Kiara tergeletak di lantai. Tidak ada seorang pun yang mengambil dan meletakkannya di meja, sedangan aku sendiri memasang earphone dan mendengarkan lagu klasik dari playlist favorit.

Ketika aku sampai di rumah aku dipertemukan dengan kegelapan. Kulepaskan sepatuku dan kupijakkan kakiku di ruang utama. Lampu di lorong  menyala dan mati ketika aku melewatinya. Rasa malas membuatku membiarkan suasana gelap yang ada. Bahkan aku membiarkan kamarku gelap. Kurebahkan tubuh di kursi beroda yang ada di kamar dan kutatap langit-langit kamar yang dipenuhi bintang dan bulan yang menyala.

“Apa semuanya akan baik-baik saja? Akankah semuanya akan kembali normal? Is it gonna be worth it?”

“Niel, kau sudah pulang?” Suara ibu terdengar dari bawah. “Mengapa tidak kau nyalakan lampunya? Ayo turun, Niel!”

  “Sebentar!”

***

Kondisiku yang mengantuk sebelumnya terkejut ketika melihat Kiara yang  sudah datang. Setelah dia gagal dalam ulangan kewarganegaraan, dia menjadi gila belajar. Anak-anak di kelas juga jadi sering membicarakannya. Bukan hanya itu, berita ini bahkan tersebar hingga Olivia tau tanpa perlu diberitaukan. Kugelengkan kepala dan kubawa tubuhku dengan gontai menuju kursiku sendiri.

Istirahat pertama datang, Rachelle mengajakku untuk ke tempat kami dan mulai merembukkan project kami. Dalam perjalananku keluar, Kiara terlihat masih membaca buku dengan sebuah roti di tangannya. Rena yang duduk di belakangnya terlihat sangat khawatir. Pemikiranku terputus ketika Rachelle menarikku dan membawaku bersamanya.

“Gua heran sama Kiara. Segitu bencinya sama lu?” Aku hanya mengangkat kedua bahuku, tanda tidak tau jawabannya. Istirahat yang berlangsung selama tiga puluh menit selesai dengan begitu saja.

“Besok ada pelajaran saya, kan?” guru Bahasa Inggrisku bertanya. “Besok kita ulangan.”

Miss, Kiara is bleeding!” Semua anak, termasuk aku, langsung menatap Kiara. Benar saja, hidungnya mengeluarkan darah, mengotori lengan jasnya.

Kiara, what happened? Miss Llyod, bring her to infirmary!

Yes, Miss.

Rena langsung mengeluarkan tisu dari tasnya dan memberikannya kepada Kiara. Dia menyumpal hidung anak yang setengah sadar dengan tisu di genggamannya. Bersama-sama, mereka pergi ke ruang kesehatan, meninggalkan bercak darah di buku Kiara dan lantai sekitarnya. Dengan ini aku sudah tau apa yang akan terjadi dan perasaanku menjadi lebih tenang dari biasanya.

“Lu tau kan ini maksudnya apa?” bisik Rachelle. “Lu menang! Nggak mungkin banget dia bakal lanjut belajar.”

“Iya, gua tau. Toh gua bilang kok, dia nggak bakal menang ngelawan gua. Cuma sampah yang siap dipungut aja.”

🌻✨🌻

(30/12/2020)

Update again! Sampai sejauh ini, ada yang bingung nggak sama penggunaan POV-nya? Semoga semua ngerti ya TwT kalau ada yang mau ditanya, sok atuh
👉🏻👈🏻

Gimana nih chapter yang satu ini? Jangan lupa tinggalkan vomments kalian sebagai bentuk dukungan! Masukkan ke library, reading list dan share ke teman kalian ^^

See you next week~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top