Chapter 29 - Breaking News

Olivia’s POV

“Nih, makan malem.” Sam meletakkan piring yang berisi omurice dengan kasar, membuatnya mengeluarkan suara berisik. “Kenapa sih lu pake minta gua masakin?”

“Gak papa, mau aja. Nggak boleh?”

Sam menggaruk tengkuknya canggung. “Yah, bukannya nggak boleh sih, tapi kan ….”

Aku meletakkan jariku agar dia mau berhenti berbicara. Melihatnya diam membuatku makan dengan lahap. Sebuah ekspresi yang tidak kumengerti ditunjukkan olehnya. Dia sadar kalau melawan sekarang dia tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa sehingga dia menghela napas dan justru menuangkanku segelas air, kali ini aku yang dibuat terkejut oleh tindakannya itu. Dia tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan untuknya, bila berhubungan denganku.

Belum aku bisa bertanya, notifikasi ponsel yang sangat nyaring mengejutkan kami berdua. Ponselku, yang berada di samping gelas, menyala, menandakan adanya pesan baru yang masuk. Sam menatapku sekilas sebelum menatap ponsel tersebut. Mengerti dari tatapannya membuatku mengambil ponsel itu sebelum dia bisa membaca isi pesan yang ada. Pesan itu dikirim dari Rachelle. Aku sama sekali tidak ingin Sam mencampuri masalahku dengan Rachelle. Jika dia sampai tau apa yang kubicarakan, mungkin dia akan kembali mengamuk seperti dulu. Belakangan ini mood-nya terlihat lebih baik jadi aku harus berusaha agar terus seperti itu.

“Mau pergi? Udah malem lho.” Aku menatap Sam dengan mata terpicing. Aku belum mengatakan apa-apa dan dia sudah menebak apa yang akan aku ucapkan. “Kalo emang urgent banget, abisin dulu makanan lu. Jangan malem-malem banget. Kalo perlu telepon gua biar dijemput.”

“Iya, iya. Dah sono lu tidur aja.”

Sam terkekeh sebelum mengacak-acak rambutku. Dia menatapku selama beberapa saat, membuatku risih, sebelum memasukkan sendok yang penuh dengan makanan ke dalam mulutku. Setelah dia merasa puas, dia langsung meninggalkanku dan makananku bersamaan dengan ponsel yang masih menunjukkan room chat-ku dengan Rachelle dan Raquel. Mereka ingin aku datang ke sekolah sekarang ini. Permintaan mereka terkadang terkesan konyol namun aku tau kalau aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Di saat bersamaan, notifikasi ponselku kembali berbunyi dan menunjukkan pesan dari orang lain. Melihat namanya membuatku langsung mengabaikan pesan tersebut.

Pesan yang dikirim Rachelle sangat singkat, kami juga menggunakan bahasa isyarat sehingga tidak akan ada yang bisa menuduh kami. Rachelle berkata kalau keadaan sudah aktif dan harus segera diluncurkan. Mengingat kebahagiaan yang akan aku rasakan membuat sebuah senyum mengembang di bibirku dan menghabiskan makan lebih cepat. Hal yang sudah kutunggu sejak lama kini sudah bisa dilaksanakan. Karena banyaknya masalah, kegiatan kami mesti terhenti beberapa saat. Tapi sekarang adalah waktunya, untuk menunjukkan siapa kami sebenarnya.

***

Rasa takut menghantamku setelah aku pulang dari sekolah, seharusnya aku tidur mengetahui besok ada jadwal klub. Seberapapun aku berusaha untuk menutup mataku dan mendapat istirahat, sesuatu menggangguku. Pastinya karena apa yang terjadi di sekolah tadi. Jantungku berdegup kencang, dan pemikiranku melayang ke mana-mana tanpa bisa fokus. Tubuhku bahkan gemetar hebat meski aku sudah menyelimuti diriku sampai ke kepala. Aku tau usaha ini sia-sia karena gemetarku bukan karena kedinginan, namun rasa takut. Rasa takut yang perlahan mulai membuat napasku terasa sesak.

Berbagai posisi untuk tidur sudah kucoba. Semua posisi itu hanya membuatku semakin kesulitan untuk tidur. Jam yang ada di nakasku menampilkan pukul tiga lewat. Sedari pulang aku belum menyentuh ponselku sama sekali, ingin melakukannya saja adalah sebuah keajaiban. Pemikiranku melayang menuju Rachelle dan Raquel. Sama sekali aku tidak bisa menyentuh benda pipih yang tergeletak di sampingku. Terasa dekat, namun di saat bersamaan jauh. Ingin aku segera menghubungi seseorang untuk membahas apa yang terjadi, tapi bahkan tenggorokkanku terasa tercekat.

“Oh, Via? Lu udah bangun?” Sam yang muncul dalam gelapnya dapur membuatku terkejut. Gelas yang semula kugenggam kembali kuletakkan dengan tangan gemetar.

“Oh … oh? Kok … lu ada di sini? B-biasanya gak pernah turun,” gagapku. Sam memicingkan matanya namun menjawab semua pertanyaan dengan baik.

“Tadinya gua gak mau turun, trus samar-samar gua denger suara pintu kamar lu. Karena penasaran, gua ikut turun jadinya.” Pandangan Sam turun ke tanganku yang masih gemetar. “Via, lu gak papa? Ada masalah?”

Sam mengambil langkah mendekatiku sehingga aku melangkah mundur. “Nggak, nggak ada. Gua … balik dulu ke kamar.”

Gelas yang tertinggal kugenggam dengan dua tangan. Terlihat sangat jelas kalau aku gemetaran, seluruh air yang masih ditampung terlihat bergetar bersamaan dengan tanganku. Untung bagiku Sam tidak berusaha melakukan apa-apa agar aku mau bicara dan hanya diam menyaksikanku yang menyedihkan. Air yang ada di gelas habis dalam sekali tenggak, aku menghabiskannya secara terburu-buru agar bisa kembali ke kamar dengan tenang dan tanpa diinterogasi lebih dalam oleh Sam.

Awalnya kupikir aku sudah selamat dari ketegangan di antara aku dan Sam. Ketika tangan Sam yang besar menggenggam pergelangan tanganku, tanpa sengaja menyentuh luka-luka yang kumiliki sehingga aku mengernyit. Tapi tentu saja Sam tidak tau karena dia hanya bisa melihat punggungku saja. Beberapa menit kemudian mungkin dia baru sadar atas perlakuannya. Tangannya langsung melepas pergelangan tanganku, nampaknya dia sendiri juga terkejut akan tindakannya itu.

“Ah! Maaf. Gua gak sengaja.” Kalau boleh jujur, kehangatan yang dipancarkan oleh Sam membuatku rindu. “Via, tatap gua.”

Ucapan Sam bagai mantra saat itu karena aku langsung menatapnya. “Huh? Kenapa? Ada … yang mau lu omongin?”

“Mungkin selama ini gua bukan kakak yang baik buat lu, dan … gua suka bertindak sesuka hati gua tanpa mikirin lu dan perasaan lu. Yang lu ucapin bener, gua butuh orang buat disalahin atas kematian mama. Tapi, Via, kalo lu butuh temen buat ngobrol, cerita soal beban lu, gua ada di sini.”

Kedua tangan Sam berkaitan denganku. Sepanjang dia berbicara, dia menatapku tepat di mata, membuatku tidak bisa berpaling darinya walau aku ingin. Tatapan yang diberikan Sam membuat jantungku berdegup kencang tanpa alasan, namun aku yakin, jauh di dalam diriku, aku tau alasan itu. Hanya saja aku tidak ingin mengakuinya. Sebuah kenyataan yang menyedihkan. Aku tidak akan membiarkan diriku kalah akan perasaan tersebut, bahkan aku tidak akan segan untuk menyangkal tentang itu. Aku membenci Sam, dia juga membenciku. Hanya itu saja hubungan kami. Kami bukanlah seorang kakak adik. Dan aku akan terus mempercayai hal ini.

“Iya, gua tau kok.” Jawabanku sepertinya memuaskan Sam karena dia mengusap-usap kepalaku penuh kasih sayang, hal yang tidak pernah dia lakukan semenjak kehilangan ibu.  “Ya udah, gua naik dulu. Nanti bakal ada kelas soalnya.”

“Langsung tidur, jangan yang aneh-aneh, ya.”

“Lu tuh yang suka aneh-aneh di kamar!”

Samar-samar aku mendengar suara kekehan Sam, suara yang berhasil membuat jantungku terasa akan copot. Kebahagiaan Sam seperti menjadi goal utamaku dalam hidup ini. Satu-satunya hal yang harus kulakukan dalam hidup adalah membahagiakan Sam, dengan itu aku akan ikut merasa bahagia. Begitulah hidupku semenjak ibu meninggal. Aku akan terus berusaha agar Sam mau tertawa, tersenyum dan mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini.

Mengapa aku harus membuat Sam bahagia? Jawabannya mudah saja. Aku lelah merenggut kebahagiaan Sam sejak dulu dan aku sebagai yang mengambil kebahagiaan itu, wajib mengembalikan kebahagiaan yang seharusnya dia dapat. Tidak peduli butuh berapa tahun, berapa lamapun aku harus bisa menerimanya karena semua ini adalah salahku. Aku harus membayar semua dosa dan kesalahanku kepada Sam dengan membuatnya bahagia. Setelahnya, aku bisa pergi dari kehidupannya dengan tenang dan dia tidak akan pernah menyesal juga.

“Dasar bodoh,” bisiku yang menatap Sam menenggak minuman.

***

“Gila! Gila!”

“Itu seriusan? Bukan boongan?”

“Ngapain gua boong? Mending lu buruan ke kelas, tadi semua anak disuruh kumpul.”

Segerombolan anak yang tidak biasa, bercampur antara anak juara dengan yang biasa saja, memenuhi gerbang sekolah. Dari kelas satu hingga kelas tiga, bahkan ada beberapa murid SMP yang ikut berkumpul membicarakan entah apa yang sepertinya sangat menarik. Salah satu anak yang terlihat terdiam berjalan menunduk, membuatku mendekatinya. Tidak biasanya aku merasa penasaran begini, tapi melihat mereka semua bercampur tanpa memikirkan status pastinya ada hal yang sungguh menarik untuk dibicarakan. Aku tidak akan masuk ke kelas tanpa mencari tau terlebih dahulu rumor apa yang sangat panas ini.

Awalnya anak itu tidak menyadari keberadaanku, meski aku sudah berdiri di hadapannya. Langkahnya memang terhenti, ketika dia melihat sepatuku dia baru menatap ke atas, mencari tau siapa pemilik dari sepatu yang menghentikan langkahnya. Matanya membulat ketika melihat aku yang berada di hadapannya. Siapapun yang melihatku selalu merasa takut sehingga ini sudah menjadi hal normal bagiku. Tindakannya tidak lagi mengejutkan, bahkan terasa aneh bila dia justru tidak terkejut seperti itu.

“O-olivia Carter!” gagapnya. Wajahnya memerah, seperti menyadari sesuatu. “Ah, maksudku, Kak Olivia!”

Drop the formalities,” ucapku tak acuh. Pandanganku tidak terpaku pada anak yang terlihat ketakutan di hadapanku. “Ada apaan nih? Rame karena apa?”

Pertanyaanku terlihat membuat dia khawatir. “Itu. Ada kakel yang katanya meninggal.”

“Kok bisa?”

“Masih belom ketawan kenapa, tapi kemungkinan besar … bunuh diri.”

Jika sebelumnya aku tidak menunjukkan ekspresi kaget, aku sangat yakin kalau sekarang adalah saatnya. Udara di sekitarku terasa dingin, panik kembali tumbuh dalam diriku. Aku tidak tau mengapa, tapi sekujur tubuhku langsung merinding mendengarnya. Bercak merah langsung terlintas di benakku sehingga aku mundur selangkah. Apa Rachelle dan Raquel tau? Sesuatu dari dalam diriku ingin memberitau mereka cepat-cepat. Tersisa satu pertanyaan yang menggangguku, melawan tenggorokkanku yang tercekat. Aku harus tau terlebih dahulu siapa yang ditemukan itu, jika itu seperti yang aku pikirkan, aku tidak bisa memikirkan hal lain lagi.

“Si-siapa yang meninggal?”

“Belom pasti siapa. Tapi katanya anak kelas dua, yang nemu Kak Rachelle, soalnya dia dateng pagi banget.”

Begitu nama Rachelle disebutkan, aku langsung berlari secepat yang kubisa. Jika selama ini latihan yang kulalui tidak ada gunanya, aku yakin sekarang adalah waktu yang tepat atas semua latihanku. Tanpa peduli menabrak anak lain, menerima cacian, makian dan omelan, aku terus berlari untuk mencari Rachelle. Dia tidak mungkin ada di kelasnya. Jika memang dia yang menemukannya, pasti guru-guru sedang berbicara dengannya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkejutnya Rachelle saat menemukan jasad itu. Apa dia akan baik-baik saja? Atau akankah dia mengingat tentang Sony? Apa kali ini aku bisa menyelamatkannya dari kegelapan itu?

“Oh, Carter?” Terdengar panggilan dari orang yang tidak ingin kutemui sama sekali. Anehnya, kakiku seperti bekerja dengan sendirinya dan berhenti ketika mendengar orang itu memanggil.

“Mau lu apa? Gua sibuk.”

“Oh … pasti gara-gara itu. Lagi cari Rachelle, bener, kan?” Diamku membuat Carla terkekeh menjijikkan, baginya dia terlihat sangat menakjubkan. “Kenapa panik banget? Jangan-jangan … lu sama Rachelle ada di tempat kejadian lagi? Kalo lu cari Rachelle, dia ada di ruang BK. Gua jadi penasaran, kira-kira gimana respons guru kalo tau lu ada di TKP.”

Carla tersenyum dengan lebar sebelum meninggalkanku di lorong yang sepi. Tentu, semua orang sudah sibuk menunggu kabar tentang kejadian yang terjadi. Hanya ada beberapa anak yang ada di lorong, itupun karena mereka bersiap untuk masuk ke dalam kelas. Aku sendiri seharusnya masuk ke dalam kelas, tapi mengingat Rachelle hanya membuatku terhenti. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian di saat seperti ini. Menjadi egois bukanlah pilihan sekarang karena ada orang yang lebih membutuhkan. Untuk pertama kalinya, ada orang yang pastinya sedang menungguku untuk mendatanginya.

Aku kembali berlari, mengubah arah tujuanku pergi. Lagi-lagi kuabaikan gerutuan anak-anak yang tanpa sengaja, mungkin juga tidak, kutabrak. Goal yang harus aku capai sekarang hanya satu, berbicara dengan Rachelle. Jantungku berdegup kencang karena aku berlari, tapi selain itu, aku merasa takut, khawatir. Sejak kapan semua menjadi kacau? Kenapa semuanya menjadi tidak terkendali? Ke mana semua angan-angan yang telah kami bentuk selama ini? Apa yang sebenarnya salah? Langkah apa yang telah kami lewati hingga harus berhadapan pada posisi seperti ini?

Tepat aku sampai di depan ruang BK, Rachelle keluar dari ruangan ditemani wali kelasnya. Raut wajahnya tidak bisa dibaca, namun terlihat pucat. Dirinya seperti mengingat kejadian silam yang menjadi luka besar baginya. Raquel berada di luar, langsung menggandeng Rachelle dan menenangkannya. Di saat ini aku sadar, aku tidak dibutuhkan oleh mereka. Semua harapan yang semula sudah aku bentuk di dalam diriku hilang begitu saja. Betapa bodohnya aku untuk berpikir kalau mereka akan butuh aku di sisi mereka, terlebih ketika kejadian seperti ini pasti mengingatkan akan memori itu. Di mana aku adalah penjahatnya.

“Rachelle,” panggilku dengan suara terengah-engah. Tidak memiliki pilihan lain, aku memutuskan untuk memanggilnya.

“O-Olivia.”

Melihatnya menatap mataku membuatku sadar dia telah menahan tangisnya. “Rachelle … ada … lu ada kita sekarang.” Tanpa pikir panjang aku langsung memeluk Rachelle. “Ini bukan salah lu. Lu nggak ada salah apa-apa. Jadi tenang aja.”

“Kali ini lu gak perlu takut.” Bahkan Raquel ikut memeluk Rachelle, membuatnya ikut memelukku.

Rasanya sedikit canggung ketika dipeluk oleh orang yang berkata ingin membunuhku, tapi nyatanya, baik aku atau dirinya sama-sama merasa sedikit nyaman. Guru yang mengantar Rachelle keluar memberi kami waktu sebelum memarahi kami dan menyuruh untuk masuk ke dalam kelas secepatnya. Dengan berat hati, kami harus menuruti apa yang diinginkan oleh guru kami. Memang pastinya akan ada pengumuman yang harus diberikan kepada semua murid agar masalah ini tidak menjadi tidak terkendali.

Walau aku belum bisa berbicara dengan Rachelle tentang masalah ini, tidak mungkin aku terbuka dengan guru yang mendengarkan, itu sama saja seperti mencoba menggali kubur sendiri. Aku meninggalkan lorong yang hanya ada kami bertiga dan berjalan sendiri menuju kelas. Kali ini, tidak ada anak yang membicarakanku. Tidak tau apakah aku harus merasa baik-baik saja atau tidak, pembicaraan mereka sekarang beralih tentang jasad yang ditemukan oleh Rachelle.

Guru yang bertugas, wali kelas kami, tidak kunjung datang, membuat rumor yang beredar di dalam kelas semakin menjadi-jadi. Carla yang juga ada di dalam kelas anehnya terdiam. Dia menatap sekitar dan menghembuskan napas kesal. Dia terlihat siap menggebrak meja ketika mata kami bertemu. Tindakannya terhenti saat menyadari aku terus memperhatikannya dan menantang dia untuk melakukan apa yang sudah siap dilakukan. Tau jika dia masih berani melakukannya hanya akan membawanya ke dalam masalah, dia menghela napas dalam dan menumpukan wajah tembamnya ke tangan yang di letakkan di meja.

“Semuanya duduk di kursi masing-masing!” Guru kami yang baru datang berhasil mengejutkan kami semua. Kualihkan pandangan dari Carla yang juga sudah menatap guru kami.

“Pak. Siapa yang loncat?”

“Iya, Pak. Kasih tau dong!”

Guruku mengangkat kedua tangannya agar anak-anak diam. “Saya harap kalian semua bisa bijak menyikapi berita yang akan diumumkan. Pagi ini, ada hal yang tidak terduga terjadi.” Terlihat guruku terhenti dan menarik napasnya panjang. Dia terlihat begitu gugup. “Seorang murid kelas dua dikabarkan kehilangan nyawanya.”

“Siapa namanya?” Guru kami kembali terhenti sebelum menyebutkan nama itu dengan nada yang berat.

“Laurena Llyod. Mungkin beberapa dari kalian ada yang mengenal dirinya. Karena itu … alangkah baiknya jika kalian semua berdoa agar dirinya tenang.”

“Kak Laurena … beneran bunuh diri?”

Guruku terlihat ragu untuk menjawabnya. Dia menatap ke kanan dan kiri, memandang murid-muridnya karena dia penasaran. Dia terlihat sedang berpikir apakah sebaiknya memberitau atau tidak. Murid-murid yang ada, termasuk aku, tentu merasa penasaran juga. Setidaknya kalau benar dia membunuh dirinya, harusnya ada alasan mengapa dia melakukanya. Mengetahui Laurena, Gina dan Kiara tidak mungkin jadi alasan dia melakukannya, bahkan tindakan Kiara yang begitu brutal tidak akan menghentikannya.

Keheningan di kelas berlarut semakin lama. Ketidakpastian yang ada hanya menambah rasa cemas serta penasaran yang ada pada setiap individu. Rasanya sungguh menyesakkan, ingin keluar dari situasi ini, namun aku sadar tidak akan bisa. Ketukan jari guruku yang menjadi satu-satunya suara yang terdengar, menambahkan kesan tegang yang ada. Sampai kapan ini akan terus berlanjut? Kenapa tidak ada yang langsung menjelaskan apa yang terjadi di sini? Mengapa harus menunggu sampai semuanya bertambah kacau?

“Sementara waktu tidak bisa dipastikan. Namun penyelidikan sedang terjadi sehingga mohon kerja samanya. Ulangan kalian akan diundur satu minggu.”

“Pak! Kalo pun kak Rena bunuh diri, pasti ada sebabnya! Misalnya ada yang bully dia!” Sembari berseru, anak itu menatapku.

“Maksud lu apa? Nuduh gua bully Laurena, gitu?”

“Ya udah jelas, kan? Kak Rachelle jadi orang pertama yang nemuin, video sama foto yang ada di sosmed Kak Rachelle juga bisa jadi bukti!”

“Kalo punya mulut dijaga ya!” Emosiku yang sudah kupendam semenjak malam kembali lagi. Aku berlari menuju anak itu dan menendang kursinya.

“Olivia Carter! Jaga sikapmu!”

Meski aku ingin berhenti, rasanya tubuhku tidak kunjung berhenti, seperti ada orang lain yang mengambil kontrol tubuhku. Mungkin karena ucapannya yang semena-mena, mungkin juga karena nada yang dia berikan, atau mungkin aku butuh pelampiasan atas apa yang terjadi semalam. Apapun itu alasannya, memang aku tidak berhak marah. Aneh bagiku merasa tersingguh atas bahasan Laurena. Namun kali ini aku benar-benar tidak akan bisa ditahan.

Anak laki-laki di kelasku menggenggam kedua sikuku, mendapat pukulan langsung ke wajah. Aku baru berhenti ketika anak itu kembali menggenggam sikutku, kini mengunci tubuhku agar tidak bisa bergerak banyak. Butuh beberapa saat bagiku untuk merasa tenang, namun napasku tidak kunjung stabil. Meski emosiku memang tidak separah sebelumnya. Anak sepertinya tidak akan belajar hanya dengan pukulan dan luka kecil saja. Jika perlu, dia perlu masuk ke rumah sakit agar bisa diam!

“Kalo lu gak tau fakta yang ada, jaga tuh mulut!”

“Kenapa? Jadi gua gak boleh kasih pendapat gua, gitu? Toh kalo emang jahat mah jahat aja! Nggak usah sok baek. Lagian … kan lu juga yang bunuh mama lu sendiri.”

Ucapan itu lagi-lagi membuat emosiku memuncak. “Apa lu bilang? Mana buktinya kalo gua emang ngebunuh, hah? Punya bukti nggak?! Kalo ngomong dipikir dulu pake otak, anjing!”

“Olivia Carter!”

Teriakan guruku membuat aku berhenti memberontak. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini emosi yang kurasakan tidak kunjung hilang. Setiap detik yang berlangsung hanya membuat emosiku semakin memuncak. Genggaman anak itu semakin kuat hingga guruku sendiri yang menarik tanganku keluar dari kelas. Tentu tanpa sadar dia menggenggam bagian yang telruka.

Jika aku memutuskan untuk melawan, semua hanya akan membuat lukaku semakin sakit, tapi genggaman yang ada terlalu kuat hingga aku yakin akan kembali membuka luka yang sudah akan sembuh. Mengernyit adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk melawan rasa sakit di tangan yang sekarang sudah terasa membakar.

“Carter! Tidak bisakah kau … berpikir sedikit? Sekolah sedang mengalami masalah dan kau … apa kau bahkan berpikir?”

“Apa Bapak akan diam saja saat ada orang yang menyebar rumor?”

“Apa dengan berusaha meluruskan akan mengubah segalanya? Kau tau lebih banyak soal itu. Orang hanya mau dengar apa yang mereka ingin dengar! Jangan bersikap semaumu dan mulailah berpikir!”

“Sama seperti yang Bapak lakukan, bukan? Hanya ingin mendengar murid-murid yang terpilih saja.” Ucapanku mengantung sebelum aku meninggalkan lorong itu, mencari tempat untuk menenangkan diri.

🌻✨🌻
(21/04/2021)

Update!! Dan sabtu besok adalah chapter terakhir~~~

Jangan lupa tinggalkan pendapat kalian soal cerita ini supaya ke depannya bisa lebih baik lagi ^^

Jangan lupa juga untuk tinggalkan vomments kalian, share ke temen, masukin reading list dan follow akun author

See you next update~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top