Chapter 28 - Laputa

Laurena’s POV

Pertengkaran antara aku dan Cindy berhasil membuat hubungan kami menjadi canggung. Semenjak hari itu, aku selalu menghindari Cindy, terkadang dia berusaha untuk berbicara denganku, di saat lain dia akan baik-baik saja meski aku berjalan di depannya. Ini menunjukkan betapa bermuka dua dia di hadapan banyak orang. Orang yang sangat aku percayai, ternyata justru menusukku dari belakang. Memang, sahabat terdekat adalah musuh yang paling berbahaya.

Dia tidak merasa malu sama sekali akan sikapnya, justru bisa dikatakan dia bangga dengan dirinya yang masih mau bersikap baik kepadaku. Beralasan bahwa hanya dia satu-satunya yang masih mau berbicara denganku meski sudah digertak oleh Gina berkali-kali. Mungkin orang lain akan berpikir kalau hal ini adalah sesuatu yang mulia. Beberapa anak yang menyadari sikap asli Cindy menjaga jarak dengannya, namun lama kelamaan mereka juga jadi menyebalkan. Berusaha mendekatiku dan berkata mereka mengerti tentangku dan perasaaanku. Mereka juga berkata kalau mereka tidak menyukai orang-orang seperti Cindy yang bermuka dua.

Selain anak-anak itu, Kiara adalah oknum yang menyebabkan keseharianku semakin menyebalkan. Gina yang sudah selesai dengan tugasnya, mem-bully-ku, menyerahkan tahap selanjutnya kepada Kiara. Itulah yang aku dengar dari ‘meeting’ yang mereka lakukan. Carla, sialnya juga ikut terlibat. Entah sebenarnya apa yang ingin mereka capai bersama. Dengan maksud itu, Kiara jadi selalu bersikap manis di hadapanku. Memang bisa mengusir anak-anak menyebalkan itu, namun justru mendatangkan kesialan lain.

“Rena!” Suara manis Kiara yang memasuki pendengaranku terdengar menyeramkan. Tubuhku dengan sendirinya menegang karena takut. “Kok gua gak disapa balik sih? Gua manggil lu loh.”

“O-oh, iya.”

“Nanti pulang temenin gua ya.” Aku memberi tatapan bertanya yang langsung dijawab tanpa ragu. “Udah ikut aja. Gak ada Gina sama Carla, cuma kita berdua.” Kiara tersenyum dengan manis seperti ingin membuatku merasa bersalah jika aku menolaknya.

Karena rasa takut yang memenuhiku, kepalaku mengangguk tanda mengiyakan ajakan Kiara. Melihat aku yang setuju, tidak peduli karena apa, Kiara kembali tersenyum dengan lebar bahkan mengacak-acak rambutku seperti aku ini adalah anak kecil. Apa yang dilakukan oleh Kiara mengundang perhatian anak-anak lain. Tidak sedikit dari mereka yang sibuk berbisik-bisik dengan temannya. Pastinya mereka menemukan hal ini sungguh aneh atau mengerikan. Kiara yang terkenal arrogant itu tiba-tiba saja bersikap baik kepadaku.

Tepat ketika bel pulang berbunyi, aku yang sedang sibuk membereskan buku-buku pelajaran melihat Kiara masuk dari sudut mataku. Headphone di leher, jas dengan jaket di dalamnya, kaos kaki panjang sampai lutut. Style yang sangat disukai oleh Kiara. Dia berjalan menuju meja Gina dan berbisik dengan pandangan yang berputar. Melihatnya begitu berhati-hati membuat hatiku sama sekali tidak tenang, namun aku tau kalau aku tidak akan bisa mengelak dari apapun yang ingin dia lakukan sekarang.

“Rena! Udah selesai?” Tangan Kiara merangkul pundakku. Melihat dia yang tersenyum dengan lebar membuatku tersenyum tipis. Akan buruk jika aku tidak membalas senyumannya di hadapan orang lain.

“Bentar lagi. Lu tunggu di luar aja.”

Kiara mengerutkaan kening dan senyumnya hilang sebelum muncul kembali. “Oh, oke. Jangan lama-lama.”

“Iya,” jawabku pelan sebelum meneruskan pekerjaanku.

Pembicaraanku dengan Kiara lagi-lagi menarik perhatian banyak orang. Anak-anak yang mendengar percakapan kami langsung kembali berbisik-bisik dan menyikut satu sama lain. Setelah aku menyampirkan tasku, aku memberi tatapan kepada anak-anak yang masih sibuk membicarakan tentang ini. Mengetahui aku menyadari semua tatapan mereka membuat mereka terdiam. Semua orang memang sama, suka ikut campur masalah orang lain tanpa ingin membantu, karena mereka hanya ingin bahan pembicaraan untuk merendahkan yang lainnya. Menganggap dengan melakukan itu membuat mereka terlihat lebih keren dari yang lain.

Karena tidak ada anak yang berbicara lagi, aku memutuskan untuk keluar dari kelas. Begitu pintu terbuka, Kiara yang ada di samping pintu langsung tertegun, melihatnya terkejut seperti itu membuatku ikut terkejut. Kami berdua saling bertatapan sebelum Kiara kembali tersenyum kepadaku. Dia merangkul tanganku dan menarikku untuk ikut dengannya. Genggamannya tidak terlalu kencang, namun rasa takutku membuat genggaman tersebut terasa sedikit menyakitkan.

“Hari ini, lu ikutin gua aja ya. Pokoknya, nanti kita bakal have fun. Lu percaya sama gua, kan?” Tidak, itulah jawaban yang ada dalam pikiranku. Tapi apa aku bisa melawannya? Bahkan mengutarakannya saja terasa begitu menyeramkan. “Yuk! Kalo laper bilang aja ya.”

“Gina … gak lu ajak?”

“Katanya dia lagi ada urusan jadi gak mau diganggu gitu.”

Aku membulatkan bibir sebagai jawaban, kini Kiara sudah melepaskan genggamannya dan berjalan di sampingku. Karena aku tidak ingin membalas ucapannya, aku mengangguk setelah sadar kalau Kiara tidak mungkin melihat responsku sebelumnya. Kedua tanganku menggenggam tasku kuat-kuat, merasa takut tanpa alasan. Aku ingin membatalkan ajakan Kiara, namun membatalkan di detik-detik terakhir hanya akan membuat Kiara terlihat buruk. Jika dia terlihat buruk di depan anak lain, dia bisa saja menjadi marah kepadaku dan mulai melakukan hal tidak mengenakkan lagi.

Membuat Kiara terlihat buruk di hadapan anak lain akan membuatku kembali menjadi target Gina. Sudah cukup aku berurusan dengannya, berpikir akan menjadi targetnya membuatku bergidik ngeri. Walau aku tidak ingin berada bersama dengan Kiara, menikmati apa yang akan ditunjukkan untuk sementara waktu adalah yang terbaik. Lagipula, melalukan hal yang penuh dengan tawa sekali-sekali tidak akan salah, kan? Kita juga harus menikmati hidup sebagaimana adanya, dengan semua beban yang masih memberatkan.

“Gua gak siapin banyak, tapi lu punya baju ganti, gak?”

“Uhm … ada. Kenapa?” jawabku ragu. Kiara hanya tersenyum lebar dan menarik tanganku lagi.

“Kalo gitu, ganti dulu aja. Biar lebih leluasa.”

Ekspresi yang diberikan Kiara saat ini terlihat sangat damai. “Oke. Gua ngikut lu aja.”

Setelah menemukan toilet, yang berada di luar sekolah, Kiara lagi-lagi menarik tanganku. Melihatnya berpakaian di luar seragam membuatnya terlihat keren, andai aku tidak ingat bagaimana sifatnya kepada anak lain, pasti dia sudah menjadi role model. Dia memang memiliki potensi bagai artis dari segi tampang dan skill, dia hanya kurang pergaulan. Selain itu dia juga memiliki ego yang berlebihan, mungkin saja efek berteman dengan Gina yang membuatnya seperti itu. Gina yang memiliki pangkat di sekolahan.

Membayangkan Kiara yang memiliki perbedaan personality ketika mengenakan baju santai memanglah mudah, namun ketika aku melihat wajahnya, semua angan-angan yang kubuat runtuh begitu saja. Selama ini aku memang belum pernah melihat Kiara di luar seragam, atau menonton videonya. Bagiku itu hanya buang-buang waktu saja. Tapi melihatnya seperti ini sekarang, dengan mata kepalaku sendiri tanpa perantara, mungkin aku bisa mengerti tentangnya lebih dalam lagi. Memang bukan pengertian yang bagaimana, hanya saja aku merasa dia memang berhak mendapat perhatian itu.

“Taman main?” Kiara mengangguk dengan senyuman manis. “Lu yakin? Gak takut ada yang kenal sama lu?” Kiara mengajakku menuju taman bermain yang ada di dalam mall, berbagai permainan canggih ada di hadapan kami.

“Yah kalo kenal tinggal suruh pergi aja.”

“Huh?” Belum aku bisa berkata yang lain, Kiara sudah memasuki taman bermain dengan penerangan minim. Dari langkahnya aku sudah tau dia akan mengisi saldo. “Tu-tunggu!”

Mendengar panggilanku, Kiara memutuskan untuk berhenti, baru ketika aku di sampingnya dia merangkul leherku, memulai percakapan tanpa ada masalah dan bahkan memberi lelucon yang menurutku tidak terlalu lucu. Suara tawa yang terpaksa keluar dari bibirku dan dari ekspresi Kiara, dia menyadari betapa palsunya tawa itu, membuatku merutuki diri sendiri untuk tidak bisa jujur saja kepadanya. Aku bisa lolos karena dia sepertinya tidak masalah dengan tawa canggung itu, mungkin dia juga sadar kalau dia sama sekali tidak bisa bercanda atau melontarkan lelucon.

Kiara bermain selama beberapa jam, tanpa sadar aku menikmati waktu bersama Kiara seperti ini. Mungkin, hanya mungkin, jika Kiara tidak bersikap seperti dirinya sekarang, aku dapat berteman baik dengannya. Jika Kiara tidak seperti ini, banyak yang akan menjadi temannya, karena dia memang anak yang baik. Dan mungkin kami akan menjadi sahabat yang tidak bisa terpisahkan, tidak seperti sekarang yang memiliki hubungan sungguh berbeda dari harapan. Harapan memang hal yang rapuh, jika berharap lebih justru akan merusak semangat yang semula sudah dibangun.

“NIh, es krim.”

Melihat es krim dengan rasa kesukaanku membuat aku menatap kiara bingung tanpa terelakkan. “Huh? Oh … thanks. Lu tau dari mana gua suka rasa ini?”

“Nebak. Dari personality lu.”

Penjelasan Kiara lagi-lagi membuatku terdiam. Aku menatap Kiara dan es krim di tanganku secara bergantian. Baru ketika Kiara mengejutkanku aku sadar kalau es krim di genggamanku mulai mencair. Kiara terkekeh melihat kecerobohanku dan memberi tisu untuk membersihkan tanganku yang berlumur dengan es krim. Sikapnya kali ini benar-benar membuatku bingung. Berbagai skenario sudah terlintas di benakku, namun aku berusaha untuk melupakan itu semua. Aku tidak bisa membuatnya merasa tersudutkan oleh spekulasi tanpa bukti.

Es krim, snack, dan makanan, kami kembali bermain. Perutku terasa sakit karena terlalu banyak tertawa. Wajah Kiara juga terlihat memerah karena terlalu banyak tertawa. Senyum mengembang di wajahnya yang sekarang kelihatan berseri-seri. Kiara bahkan mengambil beberapa foto dan dia juga berfoto dengan beberapa ‘fans’ miliknya itu, menikmati perhatian yang diberikan. Jika di sekolah dia terlihat tidak peduli, di luar dia terlihat seperti anak remaja pada umumnya, di mana mereka seperti menikmati hidup yang sedang berlangsung.

Ketika menyadari jam, senyuman di bibir Kiara hilang tergantikan dengan ekspresi panik. Dia menatapku dan memebri senyuman meminta maaf. Dia menjelaskan kepadaku kalau dia harus segera pulang karena akan ada les, mengingat ujian tengah semester sudah dekat. Kami pun berpisah jalan setelah berpamitan dan saling bertukar foto yang didapat. Mataku terus memperhatikan foto-foto yang dia kirimkan, pemikiranku mulai kembali aktif. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa kami adalah seorang teman sekarang? Tidak, bahkan aku tidak mengerti apa itu arti teman.

Thanks for today.”

“Iya. Makasih juga udah ajak gua.” Nada bicaraku sangat terdengar canggung. “Udah dijemput, kan? Duluan aja, gak papa.”

Thanks ya sekali lagi! Laen kali kita maen bareng, Gina gua ajak. Dah, gua duluan!”

Melihat Kiara masuk ke dalam mobil membuatku tidak sadar akan yang lain. “Nona Rena,” panggil supirku yang berhasil membuatku terlonjak. “Sudah waktunya pulang.”

“Ya, ya. Aku tau. Bisa kau charge ponselku? Ibu bisa khawatir kalau aku tidak memberi kabar. Kemarikan ponselmu.”

Bagi sebagian orang mungkin akan salah sangka kalau aku bersikap tidak sopan kepada supirku, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Supirku sudah bekerja kepada ayah semenjak aku di luar kota, menandakan seberapa dekat keluarga kami. Dengan sukarela dia datang bersama kami dan berkata, kalau keluarga kami satu-satunya yang dia miliki sekarang.

Setelah memberi kabar pada ibu, aku tertidur selama perjalanan pulang. Rasa lelah yang semula tidak kurasakan datang menghantamku kuat bersamaan dengan hilangnya adrenaline yang semula ada. Dalam mimpiku, semua hal yang selama ini kudambakan terjadi, menjadi nyata. Seberapa buruk seseorang, mereka bisa berubah jadi lebih baik. Semua orang selalu berhak menerima kesempatan kedua dengan perhatian yang benar, berbeda jika orang tersebut menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

“Rena, udah makan malem? Ato mau mandi dulu?”

“Hm, mandi dulu aja. Oh ya, Ma. Nggak mau makan banyak or yang berat-berat, soalnya abis ngerjain PR mau tidur.”

Ibu tersenyum. “Siap dong. Kasian anak Mama keliatan capek banget. Tumben pergi sama temennya.”

Sebagai jawaban atas pernyataan ibu, aku hanya tersenyum dengan lebar, ini membuat ibu terkekeh melihat responsku dan menyuruhku untuk masuk ke kamar dan siap-siap mandi. Ketika air yang hangat menyentuh tubuhku, seketika pikiranku terasa habis dibuka. Kekhawatiranku kembali, tentang motif Kiara pergi bersamaku hari ini. Apa aku akan baik-baik saja? Bahkan aku ragu untuk menjawab pertanyaan itu.

Makan malam yang ibu sajikan terasa sangat nikmat, terlebih setelah rasa lelah yang kurasakan. Namun pemikiranku masih belum tenang. Rasa gatal ingin menggunakan ponsel membuat diriku semakin tidak tenang. Aku tau lebih baik, jika aku menggunakan ponsel sekarang, PR yang ada tidak akan selesai, baik ada masalah atau tidak. Meninggalkan tugas hanya akan membuatku merasa terbebani lagi besok.

“Fokus, Rena. Biarin aja. Semua bakal baek-baek aja. Jangan dipikirin.”

“Masih bangun?” Pintu kamarku memuka dan tampak ibu yang sudah siap untuk tidur.

“Iya, dikit lagi selesai.”

“Jangan malem-malem tidurnya, bentar lagi mau ujian, mesti jaga kesehatan, ya.”

Perhatian yang diberikan ibu membuatu tersenyum. “Pasti, Ma. Aku lanjut dulu ya.”

Ibu mengerti apa maksudku dan mengecup keningku sebelum kembali menutup pintu kamar, memberiku kedamaian yang kubutuhkan untuk mengerjakan tugas-tugasku. Rasa kantukku kembali ketika  melihat seluruh tulisan yang tercetak. Tak lama setelah aku selesai mengerjakan PR, mataku sudah siap untuk terpejam.

Meski aku ingin, aku sudah tidak kuasa untuk membuka ponselku lagi. Meski jantungku mulai berdegup kencang karena takut, aku tetap tidak siap. Jika hal yang buruk memang terjadi, malam ini aku tidak akan bisa tidur, dan itu bukanlah hal yang kuinginkan. Mengurungkan semua niatku, akhirnya aku memasuki selimut dan terlelap.

***

“Sialan!” gumamku sembari berjalan dengan kasar. “Sialan, Kiara!”

“Itu, itu dia, kan? Nggak salah, kan?’

“Nggak tau malu banget. Masih bisa-bisanya dateng ke sekolah.”

“Padahal semalem gua udah kirim pesan ke dia lho.”

Bisikan-bisikan anak lain mulai memenuhi lorong. Di telingaku, mereka semua terdengar menyeramkan. Mereka tertawa, mentertawakanku. Seluruh perhatian mengarah kepadaku. Tatapan kebencian, tidak suka, jijik, dan banyak lagi. Semua itu membuatku merasa sesak, namun aku harus bisa bertahan. Kenapa Kiara melakukannya? Apa alasannya melakukan ini?

Bantingan keras menggema di seluruh kelas ketika aku membuka pintu. Kiara yang sudah datang menatap ke arah sumber suara. Pastinya suara bantingan itu lebih keras dari dugaanku karena meski menggunakan earphone, dia masih bisa menatapku. Ekspresinya kembali seperti biasa, datar dan tanpa ada kejelasan.

Ke mana perginya senyuman itu? Apa yang terjadi dengan  kebahagiaan yang kemarin terukir di wajahnya? Apakah semuanya bohong? Apa semua yang kemarin dia tunjukan kepadaku adalah façade? Sama halnya seperti dia di depan layar, apa ekspresi itu yang menggambarkan dirinya? Tapi mengapa? Apa yang dia inginkan dariku?

“Apa maksud lu?” Suaraku terdengar lebih gelap dari yang kuinginkan. “Belom puas juga urusan gua sama Gina?”

“Gua cuma stating the fact kok.”

“Fakta apaan?! Yang lu sebutin nggak ada satupun yang fakta!”

“Trus? Yang lain peduli gak itu fakta ato bukan? Karena menurut yang baca itu bener, berarti bener, kalo menurut mereka salah, ya salah.”

Jika sebelumnya amarahku tidak memuncak, aku sangat yakin kalau sekarang emosiku sudah meluap-luap. Ekspresi datar yang semula ditunjukkan oleh Kiara sekarang berubah dengan sebuah senyuman yang lebar. Senyuman yang palsu dan berbeda dengan senyumannya yang kemarin, membuatku ingin menamparnya tepat di situ. Tapi aku tau, bergerak secara impuls hanya akan menjadi boomerang. Jika aku melawannya di depan semua orang, mereka tidak akan segan menyerangku lebih brutal lagi.

Berbicara dengan Kiara hanya akan mebuang tenagaku sehingga aku memutuskan untuk meninggalkannya dengan senyum bodohnya itu. Anak-anak yang melihat aku pergi mengira kalau aku telah kalah telak dari Kiara. Biarlah orang berpikir apa yang mereka inginkan, mecoba meluruskan segalanya hanya akan jadi sia-sia. Meski ada bukti di depan mereka, orang-orang tersebut hanya akan menutup mata dan bersikap tidak malu seperti tidak melakukan kesalahan apapun.

“Dia kok gak malu sih? Gua heran, padahal udah banyak banget yang ingetin.”

“Maklumlah, orang gak punya malu ya gitu.”

“Eh, eh, dia ngeliatin tuh.” Suara tawa mereka terdengar sangat lantang ketika mereka melewatiku.

“Kuat juga ya dia. Kita tunggu aja berapa lama sampe dia bundir.”

Memang karena baru satu hari masih banyak anak  yang membicarakan tentang post yang dibuat oleh Kiara. Bahkan post itu sudah menyebar ke mana-mana. Untung bagiku karena kedua orangtuaku belum mendengar berita ini. Entah apa yang akan mereka lakukan jika tau bahwa ada yang menyebar rumor tentang diriku. Mungkin mereka akan murka, atau justru menyalahkanku karena tidak bisa mencari teman yang lebih baik darinya.

Ketika aku berjalan ke arah kantin, aku menatap keadaan yang ada. Ramai, semua berkumpul dengan temannya, mereka tertawa, tersenyum, semua sibuk dengan urusan mereka. Sedangkan aku di sini sendirian tanpa ada yang menyadari. Bagiku, kesepian bukanlah sendiri, melainkan berada di keramaian tanpa ada yang peduli atau memperhatikan.

Makanan yang kupesan sudah selesai hanya dalam hitungan detik, di saat bersamaan, ponselku yang disimpan di jas bergetar. Sembari makan, aku menatap layar ponsel, melihat nama dan isi pesan yang ada. Membaca pesan yang ada hanya membuat mood-ku semakin buruk hingga akhirnya kuputuskan untuk mengabaikan chat yang ada. Mendengarkan orang-orang itu tidak akan membuat segalanya lebih baik, justru hanya memperkeruh masalah yang sudah tertanam.

***

“Hm. Angin sepoi-sepoi.” Rambutku yang kulepas berterbangan, membuatnya berantakan, bahkan menutupi wajahku. “Ah, harus pulang.”

“Laurena?” Panggilan itu mengejutkanku. Ketika aku berbalik, penerangan yang minim menghalangi pandanganku.

“Siapa ya?”

Suara yang memanggilku terdengar jauh dari tempatnya berada. “Nggak perlu tau.” Hanya mendengarnya membuatku sangat yakin kalau aku tidak mengenali suara itu. Dan lagi, dia tidak sendirian.

“Mau lu apa? Gua ada salah apa?”

“Laurena Llyod, apa lu pikir lu nggak salah apa-apa?”

Anak yang pertama masuk itu mengambil langkah kecil untuk mendekatiku. Walau masih jauh, rasa ingin kabur dari orang itu bertambah pada setiap langkahnya. Dalam penerangan yang remang-remang di rooftop sekolah hanya membuat keadaan semakin menyeramkan. Angin yang bertiup juga semakin kencang, membuat keadaan lebih buruk. Namun yang paling menyeramkan adalah senyuman di bibir orang itu yang terarah kepadaku.

🌻✨🌻

(17/04/2021)

Cuma sedikit pengumuman sih~

Minggu depan STYB akan end lho! Gimana perjuangan selama membaca cerita ini? Deg2an? Bikin greget? Tegang? Jangan lupa ceritain pengalaman kalian di komen ya ^^

Mau DM aku jga boleh~

Jangan lupa tinggalkan vomments kalian, share ke temen kalian, follow author dan juga masukin ke reading list!

See you next update~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top