Chapter 27 - Survive
Raquel’s POV
Helaan napas tidak sengaja keluar dari bibirku. “Ridiculous.”
“Huh?" Rachelle, yang sedang mengobati Olivia, menatap ke arahku sehingga tanpa sadar menekan luka Olivia, membuatnya menjerit keras. “A-ah! Ma-maap. I-ini gua bakal pelan-pelan.”
Melihat Rachelle yang tidak seperti dirinya membuatku kembali mendengus. Olivia yang sekarang menggunakan baju Rachelle menatapku lekat-lekat seperti ingin membunuhku sekarang juga. Walau dia tidak mengatakan apa yang ada di pikirannya, aku tau apa yang sedang dia pikirkan. Olivia tidak pernah menyukai rumah Rachelle karena sifat ayahnya. Kedua ayah mereka memiliki sifat yang mirip, sehingga datang ke sini untuk pelarian bukanlah hal yang baik.
Rachelle mengobati Olivia dalam diam. Untungnya malam itu adalah malam yang tenang bagi Rachelle. Ayahnya dengan aneh sedang dalam mood yang baik sehingga kami bisa datang, memperbolehkan Rachelle untuk membawa teman ke rumahnya. Sam tiba-tiba saja meneleponku dari ponsel Olivia, berkata kalau aku harus bertemu dengannya. Ketika aku datang bersama Rachelle, apa yang terjadi kepadanya sungguh mengerikan. Hal yang sama juga berlaku kepada Sam yang terlihat gemetar cukup hebat, aku merasa itu karena darah yang melumuri tubuh Olivia.
“Lu ngapain lagi sampe jadi gini?” Rachelle menatapku tajam ketika kata-kata itu keluar dari bibirku. Melihat tatapannya membuatku kembali menghela napas kasar. Bahkan aku tidak bisa mengutarakan pendapatku di sini.
“Ngelawan,” ucap Olivia yang hampir seperti bisikan. “Gua ngelawan bapak gua.” Rachelle yang sedang membereskan semua peralatannya kembali menjatuhkan barang-barangnya.
“Hah?! Lu gila, ya? Kenapa lu ….” Pukulanku kepada Rachelle membuatnya berhenti. Sebelum Rachelle bisa marah kepadaku, Olivia tiba-tiba saja memeluk Rachelle dengan erat.
“Gak papa kan … kalo gua meluk lu?”
Rachelle tergagap selama beberapa saat sebelum menerima pelukan Olivia dan membalasnya. Melihat Rachelle yang menjadi seperti ini membuatku merasa lebih baik. Perasaan seperti ini membuatku tanpa sadar sudah memeluk mereka berdua. Rachelle yang merasakan tanganku menatap ke arahku sekilas sebelum tersenyum. Senyumannya terlihat begitu menyebalkan namun aku tidak memberikan komentar apa-apa.
Di saat kami bersama, semua terasa seperti akan berjalan baik-baik saja. Saat aku ada bersama mereka, aku merasa bisa melewati segala hal. Walau banyak dari kami yang menutupi masalah masing-masing, tapi bersama mereka aku selalu lupa akan masalah yang ada. Karena mereka selalu membuatku bahagia terus. Meski aku tidak merasa nyaman, tapi aku merasa bahwa tidak apa bila aku menjadi seseorang yang rapuh dan juga hancur. Karena mereka juga. Dan kami yang telah hancur ini bersama-sama berjuang melawan dunia.
Ibuku yang dengan aneh memperbolehkanku sudah memberi izin untuk menginap di rumah Rachelle dan mengantar keperluanku pagi-pagi sekali, bersamaan dengan Sam. Ketika Sam datang, Olivia masih tidur dengan nyenyak sehingga Sam berkata untuk membiarkannya. Dia belum bisa tidur semenjak beberapa hari terakhir, dan tentu itu membuat Sam merasa khawatir. Sifatnya yang seperti itu kadang membuatku ragu apa dia benar-benar suka memukuli Olivia juga.
Penjelasan Sam berhasil membuat Rachelle mengernyit dan dari situ aku tau mengapa. Sifatnya yang penyayang dan keibuan berhasil membuatnya kembali mengkhawatirkan Olivia. Ketika Olivia sudah bangun, dia tidak bisa marah kepadanya dan satu-satunya cara mengekspresikannya dengan bersikap dingin kepada Olivia. Jelas terlihat di wajahnya kalau dia sedang merona ketika mengkhawatirkan Olivia.
“Mandi sana, kalo udah sarapan bareng Raquel. Mama gua ada di bawah.” Tas yang dibawa oleh Sam dilempar begitu saja.
“Thanks …,” ucap Olivia yang hampir seperti bisikan. Kepala Olivia yang semula tertunduk akhirnya terangkat sebelum dia memberikan senyumannya yang khas.
“Ish! Geli! Udah sana mandi buru! Biar gua bisa kasih obat lagi.”
Olivia terkekeh sebelum membuka tas yang dibawakan Sam dan bersiap untuk sekolah. Dia pergi dari kamar dengan tenang sampai aku berpikir kalau dia masih tinggal di kamar. Rachelle yang beberapa saat menatap Olivia akhirnya meninggalkan kamar setelah tau anak itu sudah keluar dan turun untuk bertemu dengan ibunya. Aku yang tidak memiliki pekerjaan lain memilah barang-barang yang dibawakan oleh ibuku. Salah satu buku yang dia bawakan menarik perhatianku.
Ketika aku sedang sibuk membaca buku yang dibawakan itu, tiba-tiba tangan Olivia melakukan headlock hingga aku tidak bisa melakukan apa-apa dan bahkan menjatuhkan buku dalam genggamanku. Beberapa kali aku terus memukul-mukul tangan Olivia, hanya mendapatkan tawa sebagai balasan darinya. Bisa dikatakan anak itu cukup cepat dalam bersiap-siap. Rachelle tidak lama naik dan memperhatikan kami masih dalam posisi sama.
“Liatin aja. Baru gua tinggal bentar lho!”
Olivia melepaskan headlock-nya dan berkata, “Abis dia keliatan kek orang sibuk banget.” Rachelle mengambil bukuku dan membacanya sekilas.
“Dari mama lu?” Aku mengangguk. “Hm. Sedih banget sih. Udah apa setengahnya? Apa malah semua?”
“Nggak ada sebagain.”
Olivia berdecak dan berdiri di hadapanku sebelum kembali memelukku. Menarik buku di tanganku, dia lagi-lagi melakukan headlock dengan tangan yang lain. Setiap omelan dan teriakanku tidak ada yang digubris, dia justru tertawa dengan keras, membuat Rachelle juga ikut tertawa sebelum memukul kepala kami dengan buku yang dia ambil. Ekspresinya seketika mengeras ketika menatap kami yang juga terdiam karena terkejut. Dia jelas memiliki cara tersendiri untuk mendisiplinkan kami.
“Buruan turun sana. Mama gua udah nunggu.”
“Nje, Kanjeng Ratu.” Olivia langsung melepas headlock dan membungkuk dalam-dalam, mendapat pukulan lain di kepala. “Maap, maap. Jangan mukul lagi dong.”
“Lu juga! Bukannya temenin gua di bawah malah sibuk di sini. Sana turun. Sambil makan deh tuh lu baca ni buku sampe kenyang.”
“Nggak usah dorong,” ucapku datar, menerima buku yang dia berikan kepadaku. “Lu udah makan? Jangan lama-lama biar makan bareng. Trus bujuk si Olivia makan juga. Mama lu kan ….”
Rachelle mengangguk dan mengibaskan tangannya sebelum menutup pintu tepat di hadapanku. Olivia yang masih menunggu di ujung tangga memanggilku dan menarik tanganku untuk turun bersamanya. Melihat ibu Rachelle membuatnya sedikit tegang. Dia bahkan tidak sadar sudah menggenggam tanganku dengan keras hingga berwarna putih. Aku menyadari tindakannya ketika dia datang ke sini untuk pertama kalinya. Saat itulah aku tau, kalau dia pernah bertemu dengan ibu Rachelle dulu.
Ibu Rachelle yang semula sedang mempersiapkan sarapan menatap kami semua dan memanggil kami dengan senyuman khas milik Rachelle. Senyuman itu justru membuat Olivia mundur beberapa langkah dan berada di belakangku. Melihat dirinya yang ketakutan seperti ini membuatku ingin tertawa, namun kutahan sebisa mungkin. Anak yang berani di sekolah menjadi penakut di hadapan seorang ibu.
“Ada apa? Kau … Olivia, bukan? Anak yang pernah menginap di rumah?”
Olivia mengangguk. “Be-benar.”
“Tidak perlu takut. Aku ….” Ibu Rachelle terhenti. “Tidak seperti ayah Rachelle. Jangan takut. Lagipula, kau juga bisa bela diri, kan? Aku sama sekali tidak bisa.” Suara tawa keluar dari bibir ibu Rachelle.
“Ck! nggak usah kayak anak kecil.” Tanganku yang digenggam oleh Olivia balik kugenggam sebelum menariknya keluar.
“J-jangan.” Sekali tatapan dariku membuat Olivia diam.
“Makan yang banyak. Lihat betapa kurusnya dirimu.”
Olivia menerima sendok yang diberikan tapi dia tidak kunjung memakan apa yang ada di hadapannya. Bahkan saat aku sudah mulai makan, Olivia hanya diam sembari menggenggam sendok itu kuat-kuat. Baru ketika Rachelle datang, dia melihat Olivia yang masih belum makan. Dia mengambil sendok Olivia sebelum menyuapkannya sesendok nasi. Dia tidak memikirkan seberapa banyak mulut Olivia bisa menampung makanan dan justru menjejalkannya semua masuk.
“Kalo mau lomba, makan yang banyak.”
Rachelle mengembalikan sendok yang dia gunakan di tangan Olivia, memberikannya sebuah senyuman sebelum Olivia makan dengan sendirinya perlahan-lahan. Selama makan, tidak ada dari kami yang mebicarakan sesuatu, termasuk ibu Rachelle yang diam dan menatap Olivia dengan penuh kekhawatiran. Rachelle beberapa kali menyikut ibunya agar berhenti menatap. Tentu dia sadar tatapan seperti itu bisa membuat Olivia kembali gugup.
“Rachelle, hari ini berangkat naik bus aja ya. Gak apa, kan?” Rachelle menjawab dengan anggukkan kecil.
***
“Gua nggak nyangka banget sih. Trus, trus, gimana?”
“Belom ada kabar terbaru. Tapi kayak kasus Olivia gitu.”
“Ih, katanya waktu ada darah dia diem aja, kan?”
Anak-anak yang ada di lorong sibuk membicarakan tentang seorang anak yang terduga membunuh orangtuanya. Mereka mengkaitkan masalah ini dengan Olivia yang bahkan tidak pernah terbuka kebenarannya. Sebuah kebenaran yang membuatku membenci dirinya. Hanya karena Rachelle aku berhasil menahan diriku untuk melakukan sesuatu. Jika bukan karena Rachelle, mungkin aku tidak akan segan melakukan sesuatu.
Sekali tatapan dariku, anak-anak itu langsung terdiam dan bahkan menatap ke arah lain. Beberapa anak lain langsung pergi setelah melihatku dan yang tersisa menatap anak lain untuk meminta bantuan. Mengetahui kalau aku yang menjadi lawan, mereka semua terdiam dan balik ke kelas mereka masing-masing masih membisikkan sesuatu. Apapun yang terjadi, mereka tidak akan menang melawanku meski aku sudah mencoreng nama baik. Kedua orangtuaku adalah orang berpengaruh, sama seperti Gina. Karenanya, kami adalah anak-anak yang tidak akan tersentuh.
“Kebiasaan deh itu mata.” Ucapan Rachelle membuatku terlonjak. Ketika aku terfokus dengan anak-anak yang menggosip, aku telah melupakan keberadaan Rachelle. “Dahlah, mau lu usaha gimanapun, tu mulut bakal terus ngebacot.”
“Bukan soal itu. Soal Olivia.” Tentu Rachelle mengerti dengan apa yang kumaksud. Helaan napas berat keluar darinya. “Kenapa sih lu masih begitu sama dia? Bahkan mama lu tau, Rachelle!”
“Kenapa lu gak maafin dia aja sih? Dia juga … struggling to stay alive.”
“Gak! Cuma karena gua temen dia, gak berarti gua bakal maafin dia. Malah kalo bisa gua ….”
Belum selesai aku berbicara, Rachelle telah menyikutku keras-keras. Berteriak bukanlah diriku sehingga aku menatap Rachelle dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya sama sekali datar dan tidak menampakkan rasa kasihan sama sekali. Dia meletakan tangannya di bibir untuk menyuruhku diam. Jika Rachelle sudah berwajah datar, dia tidak membiarkan orang lain berbicara. Sifatnya yang keras kepala selalu berhasil membuatku kesal.
Kelas hari itu berjalan tenang. Gina selama kelas hanya tidur, tidak memperhatikan pelajaran. Rena yang terlihat pucat juga berdiam diri di kelas. Meski sudah beberapa kali dibilang untuk pergi ke UKS, dia tetap menolak. Katanya apapun yang terjadi dia harus belajar karena sudah tertinggal banyak hal dalam sekali tidak masuk. Dia tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada dan justru beristirahat ketika yang lain bekerja dengan keras.
“Tadi di depan kelas gua denger sesuatu.”
“Apaan?” Merasa seseorang menatapku, kuedarkan pandangan untuk mencari tau dan memperhatikan setiap anak. “Hm. Keluar dulu deh, ada yang nguping.”
“Nyebelin banget, ish!”
“Gua denger karena gua punya kuping ya!” Suara khas milik Gina menggema di ruang kelas yang sepi. Ucapannya membuatku sadar kalau anak-anak itu bukan membicarakanku.
Jantungku berdegup kencang memikirkan kemungkinan tersebut. Beberapa hari ini aku merasa terganggu akan bisikan semua orang hingga tanpa sadar aku mulai semakin menjauh. Kupikir semua orang yang berbisik dan menatapku pasti sedang membicarakanku. Karena itulah aku selalu merasa ketakutan.
Tanpa sadar pandangan anak-anak menjadi hal yang paling menakutkan bagiku. Dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Semua tatapan yang diberikan ini disebabkan oleh Olivia. Selama ini dia selalu menciptakan keributan dan dia yang menjadi alasan orang-orang menatapku seperti itu. Bagaimana bisa aku memaafkan orang sepertinya?
“Makan gak?” Buku yang sedang kugenggam kutunjukkan kepada Rachelle, sebagai tanda kalau aku ingin membacanya. “Jangan lupa makan. Kalo gua ada urusan, nanti Olivia ke sini.”
“Nggak usah.” Penolakanku membuat Rachelle menatapku dingin tidak senang. “Gua mau sendiri.” Dengan ucapanku itu, aku langsung meninggalkan Rachelle dan tidak mau mendengar alasan apapun darinya.
“Oho! Ice Queen kita mau pergi ke mana? Terburu-buru sekali.”
Gina, yang sudah mengabaikan anak-anak itu, menatapku dengan tersenyum. “Nggak ada urusannya sama lu.”
Suara tawa Gina memenuhi ruang kelas. Anak-anak yang lain tidak terdengar suara tawanya, tapi bisikan mulai terdengar kembali. Bisikan itu terdengar seperti suara dengungan di telingaku, mempercepat langkahku agar tidak perlu mendengar semua suara itu. Setiap kali bisikan itu terdengar, rasanya aku mulai sesak, terasa tercekik dan sulit untuk bernapas. Panggilan Olivia bahkan terdengar samar, tapi aku juga tidak berniat untuk berhenti baginya.
Melihat wajahnya menjadi hal terberat yang harus kulakukan sekarang dan aku tidak ingin melakukan hal yang suatu saat akan kusesali. Menjauhi Olivia adalah pilihan yang paling benar untuk sementara. Hanya sampai aku bisa kembali menjadi diriku yang semula. Sayangnya, anak yang mengejarku itu tampaknya tidak sadar dengan apa yang sedang kulakukan, membuat emosiku seketika memuncak.
“Raquel? Woi! Gua manggil lu nih? Mau banget dkejar-kejar? Ini gua loh, Olivia. Lu kenapa sih?”
“BIsa diem gak sih?” Teriakanku berhasil membuat Olivia berhenti mengejarku. Aku membalikkan tubuh agar berhadapan langsung dengan Olivia. “Gua gak mau diikutin lu, gua gak mau deket lu kalo bukan karena kemauan Rachelle. Gua … gak mau ada hubungan sama lu.”
Olivia terkekeh kecil. “As I’ve heard. Okeh kalo gitu. Tanpa ada Rachelle kita orang yang nggak kenal satu sama lain. Kalo ada Rachelle, sahabat yang gak bisa dipisah.”
“Kenapa lu gak sadar juga sih? Alasan lu takut sama mamanya Rachelle. Nggak, itu nggak sekedar takut sama orang lain.”
Olivia tersenyum kecil, bukan sebuah senyuman yang menunjukkan kalau dia bahagia. Senyuman pahit yang dia tunjukkan ketika Sony meninggal. Sebuah senyuman yang sangat kubenci hingga rasanya aku ingin mencekiknya sampai mati agar senyuman itu hilang. Aku bukanlah pembunuh seperti dirinya. Karena itu, aku tidak akan melakukan hal serupa.
Namun jika aku diberi kesempatan, mungkin—hanya mungkin—aku akan melakukannya dengan senang hati, tidak peduli apa bila Sony kecewa denganku. Membuat Olivia menderita adalah bayaran yang harus dia lakukan atas semua hal yang terjadi. Hanya dengan dia menderita saja tidak membuat semua akan kembali, namun aku memilih untuk hukuman yang lebih lemah.
“Right. Enjoy your day, Raquel Daniel Owen.” Olivia membungkuk dalam-dalam seperti yang dia lakukan kepada Rachelle dan pergi meninggalkanku di lorong.
“Raquel berantem sama Olivia? Mana mungkin.”
“Lu gak denger mereka ngomong apa? Kayak ada yang ditutupin gitu. Rachelle tau gak, ya?”
“Pasti tau lah. Kalo gak tau, gua salut banget sama mereka berdua.”
Buku yang kugenggam kini menjadi korban dari sikap brutalku. Tanganku mengepal, mengakibatkan meremas buku di tangan hingga kusut. Untung tidak banyak kerusakan yang terjadi sehingga aku masih bisa membaca tulisannya. Helaan napas berat keluar dari bibirku sebelum kakiku mulai menjah dari tempat yang sudah seperti neraka ini. Aku tidak akan bertahan lama jika harus seperti ini terus.
“Lu berantem sama Olivia?” Sambutan yang sama sekali tidak hangat dilontarkan oleh Rachelle. Tentu dia sudah mendengar dari anak-anak yang lain.
“Jangan dibahas.” Rachelle berdecak tidak puas. “Nggak, diem. Gua nggak salah apa-apa. Harusnya lu juga nerima apa yang gua maksud. Olivia Carter, anak yang harusnya bisa nyelamatin Sony. Dan lu cuma diem aja? Gua tau, Chelle. Gua tau mama lu diem-diem benci dia.”
“Tapi kan ….”
“Apa? Biarin aja? Kasih dia idup nyaman? Nggak, dia nggak berhak dapet semua itu. Lu tau kenapa gua diem? Karena gua suka liat semua luka yang ada di tangannya. Kalo bisa, itu luka bikin dia ngilang, kayak ngilangin orang-orang itu.”
Ekspresi horor Rachelle adalah hal yang terakhir aku lihat sebelum aku duduk di kursiku sendiri dan memasang earphone. Kedua tangan kulipat dan letakkan di atas meja sebagai tumpuan kepalaku. Dari semua hari yang ada, semuanya harus terjadi dalam satu hari, membuatku lelah secara fisik dan mental. Jika bisa, aku ingin berada di dalam kamar untuk waktu yang lama. Dengan begitu aku akan merasa lebih baik lagi.
Luka di tangan Olivia sering kali mengingatkanku akan luka milik Sony. Goresan yang ada, seberapa dalam goresan itu dibentuk, berapa lama luka itu sembuh. Jika dibilang aku tidak khawatir adalah sebuah kesalahan. Aku takut melihat Olivia yang akan pergi, namun mengingat Sony membuatku semakin menginginkannya untuk pergi.
Banyak yang bilang, untuk bertahan hidup, kau harus membunuh. Untuk bahagia, harus ada yang dikorbankan. Dan untuk menikmati semuanya, harus membuang hal lain dan fokus pada diri sendiri saja. Peduli pada orang lain adalah kesalahan. Orang tersebut hanya akan sakit hati dan mungkin hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Memusnahkan mereka yang tidak penting adalah kegiatan utama.
“Ada anak kelas sebelah, katanya dia kena panic disorder! Si Kiara sampe kaget pas liatnya.” Ketenanganku kembali direnggut dengan gossip yang menyebalkan. Tau ini tidak akan berakhir baik, aku mengambil earphone dan memasang permainan Sony.
“Dia yang suka bully orang, kan?” Aku mengencangkan volume suara dan menarik napas dalam.
“Tenang, Raquel. Untuk bertahan, kau harus melakukan pengorbanan.”
🌻✨🌻
(14/04/2021)
Hai, hai~ karena sudah memasuki bulan puasa, update-nya setelah buka ya, biar menemani malam kalian hehe
Gimana nih chapter yang satu ini? Akhirnya alesan kenapa Raquel nggak mau deket2 Olivia terungkap! Kira2 gmn ya mereka ke depannya~
Jangan lupa tinggalkan vomments kalian, share juga ke temen dan masukin reading list. Follow author juga sangat diapresiasi ^^
See you next update!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top