Chapter 25 - Disconsolate
Laurena’s POV
Tamparan Raquel tidak sesakit apa yang aku rasakan di dalam. Karena alasan itulah aku menerima tamparannya dengan suka rela. Bahkan kalau perlu, Olivia harusnya menghabisiku juga. Akan lebih baik seperti itu. Mungkin dengan mereka yang menghabisiku, aku dapat kembali menjadi diriku yang semula, dapat berpikir jernih dan rasional. Dengan mereka yang memukulku akan membawa kembali kesadaran ketika aku pertama kali datang ke sini.
Kiara dan yang lain terlihat lebih bebas sekarang setelah banyak anak yang membicarakan tentang Rachelle tanpa henti. Mungkin sekarang dia merasa kalau Rachlle tidak akan bisa mengalahkannya, menganggap kalau dia lebih tinggi kedudukannya daripada Rachelle. Orang-orang pasti mulai membenci Rachelle yang bersikap sok suci kepada yang lain. Semua itu adalah salahku. Karena aku bersikap bodoh, banyak orang yang harus menerima ganjarannya. Sedangkan aku sendiri justru berada di kenyamanan tanpa ada yang menyadari perbuatanku. Persaan ini lebih sesak dari saat Raquel menamparku.
“Sayang, makan malam sudah siap!” Panggilan ibu membuatku terlonjak kaget.
“Ah! I-iya! Aku akan segera turun.”
Langkahku terhenti ketika melihat ayah di meja makan. “Apa kau tidak mau menyambut ayahmu ini? Hm?”
“Aku hanya tidak sangka kalo ….” Aneh bagiku, setiap kata yang ingin kuucapkan tidak ada yang keluar. Tenggorokanku terasa tercekat, hingga aku menyerah untuk berbicara. Rasanya sungguh sulit untuk berhadapan dengan ayahku sendiri belakangan ini.
“Papa cuma bercanda, jangan diambil ke hati.”
Atas tawa ayah, dia menarik tanganku agar bergabung dengannya di meja makan. Setiap ayah tersenyum atau tertawa, aku pasti selalu membalasnya. Meski aku membalas setiap senyuman, tidak ada satupun yang terasa tulus bagiku. Meski aku berusaha untuk memberikan semampuku, rasanya aku hanya ingin menyerah dan tidak menunjukkan senyum itu. Sayangnya, bila aku melakukan hal tersebut, kedua orangtuaku hanya akan khawatir. Memberikan senyuman palsu adalah satu-satunya jalan meski itu mengiris hatiku. Ibu tidak menyadarinya, hal yang sama juga berlaku pada ayah, mereka menganggap senyumanku begitu tulus.
Mereka, kedua orangtuaku yang dulu bisa menebak kalau aku sedang ada masalah, kali ini hanya diam tidak menyadari apapun yang berbeda dariku. Pemikiran negatif perlahan-lahan mulai muncul ketika melihat mereka saling berinteraksi tanpa ada memandang ke arahku sekalipun. Meski aku menatap mereka, mereka tidak menatapku balik. Apa sebenarnya mereka menyayangiku? Apa mereka peduli kepadaku? Apa aku berharga di mata mereka? Apa aku bahkan berharga untuk mereka? Semua pertanyaan itu mulai berputar-putar di kepalaku.
“Terima kasih atas makan malamnya,” ucapku datar. “Apa Mama mau dibantu?”
“Nggak usah, kamu istirahat aja. Sebentar lagi kan ada ujian, kan? Belajar yang bener atau semua novelmu bakal disita!”
Ancaman ibu hanya membuatku tersenyum kecil. “Aku mengerti. Selamat malam, Ma, Pa.”
“Ah … Rena tumbuh dengan baik.” Suara ayah yang berat dapat terdengar sampai tangga. “Tapi, tidakkah sedikit aneh ….”
Lanjutan ucapan ayah membuatku merasa panik. Langkahku menuju kamar kupercepat. Begitu aku ada di dalam kamar, pintu langsung kukunci dan tubuhku dibaringkan di atas kasur yang empuk. Membayangkan ayah yang sadar dengan perubahanku lebih mengerikan daripada saat mereka tidak menyadarinya sama sekali. Aku tidak tau harus merespons apa bila suatu saat mereka menanyakanku. Anehnya, meski aku berharap mereka menyadarinya, aku lebih ingin mereka bersikap biasa saja seperti tidak ada masalah.
“Ugh! Menyebalkan!”
Untuk mengalihkan perhatianku, aku mengambil buku pelajaran yang ada di dalam tas dan mulai membacanya. Di saat tidak bisa tidur, membaca buku sekolah sangat membantu. Setiap kata yang tertulis di sana terlihat lebih menenangkan dari buku cerita pengantar tidur. Dalam waktu singkat, kau akan terlelap dengan pulas. Itulah yang sedang aku cari, ketenangan. Karena terlalu banyak berpikir, aku sering kali sulit tidur atau bahkan mengalami mimpi buruk. Dengan begitu aku benar-benar terganggu saat bersekolah.
Di sekolah beberapa hari setelah kejadian tidak mengenakkan itu, semua anak terlihat diam. Tidak ada yang saling berbisik, tidak ada nama Rachelle disebutkan. Semuanya terlihat sangat tenang sampai-sampai terasa menyesakkan. Diam yang ada layaknya penggambaran badai yang akan segera datang. Memikirkan kemungkinan yang terjadi terasa menyeramkan. Apa yang bisa terjadi, apa yang mungkin terjadi, bagaimana cara menyelesaikannya. Semua itu yang tergambar dalam kondisi sekarang.
Gina yang biasanya datang siang, pagi itu datang lebih cepat. Seorang anak kelas satu berada di pojokkan ketika aku berada di dalam kelas. Kedua tangannya mengepal dan diangkat ke atas sembari dia berlutut. Rambutnya yang tergerai menutupi wajah yang tertunduk. Di hadapan anak itu tidak lain dari Gina dan Kiara. Di momen seperti ini aku mulai mempertanyakan tugas dari Stephanie. Aku merasa kalau dia hanya mencari muka di hadapan anak lain, tapi di sisi yang lain, dia juga membuat anak-anak bungkam ketika ada masalah besar. Baginya, reputasi adalah hal yang paling utama.
“Ren!” Suara panggilan Cindy membuatku menatap ke arahnya. “Ke ruang klub bareng, yuk!”
“Gua ambil buku dulu, ya.” Cindy mengangguk dan menutup pintu kelas. Beberapa anak menatap ke arah Gina sebelum keluar untuk menuju ruang klub masing-masing. “Jul, mau ikut?”
“Duluan aja. Gua abisin roti dulu.”
Julia yang memegang roti setengah habis mulai melahapnya lebih cepat. Dia juga terlihat sibuk menuliskan sesuatu. Tanpa berkata apa-apa, aku meninggalkan Julia yang masih sibuk dengan dirinya. Selama beberapa saat aku menatap anak kelas satu itu. Dia terlihat mengenaskan, matanya menunjukkan kalau dia butuh bantuan. Dia berteriak di dalam hati untuk diselamatkan. Tapi, apa hakku untuk ikut campur dengan urusannya? Itu adalah masalahnya bisa sampai terseret dengan Gina serta Kiara. Bukan aku. Benar, ini bukan masalahku sehingga aku tidak berhak ikut campur. Aku hanya perlu diam dan menonton saja.
Menjadi terlibat dalam hal yang bukan urusanku tidak akan menguntungkan siapa-siapa dan justru merugikan satu pihak, yaitu aku. Anak itu terlihat mengangkat kepalanya sebelum mata kami bertemu. Ketakutan jelas tergambar di matanya, namun mata itu kembali menutup ketika dia menunduk, rasa takut yang diciptakan Gina begitu besar. Teriakan Gina mengejutkan hampir seluruh anak kelas. Aku juga pernah ada di posisi itu, tapi meski tidak ada yang menolongku, apa aku juga harus menutup mata atas ketidakadilan yang jelas-jelas bisa aku selesaikan ini? Bila aku tidak menghentikannya, bukankah justru akan tercipta korban lain?
Gina menyadari anak itu memandang ke atas dan menemukanku. Dia terlihat mencibir dan melipat tangannya di depan dada, menunggu dan menantangku untuk melakukan sesuatu. Dia pasti sudah hafal dengan apa yang ingin kulakukan sehingga dia sengaja seperti itu, menantangku untuk melakukan sesuatu. Dia menunggu akan apa yang aku lakukan setelah melihat ini. Ekspresi yang diberikan oleh Gina membuatku menggelengkan kepala dan keluar ruang kelas dalam diam. Kalau keributan yang dia inginkan, itu tidak akan terjadi.
“Kenapa lama banget?”
“Si Gina, mau nantangin gua.”
“Oh. Anak yang tadi di depan dia?” Aku menjawab dengan anggukkan. “Hm. Semenjak Rachelle makin terkenal, si Gina kayak pengen banget nggak, sih? Keliatan lebih jago?”
“Urus aja masalah lu sendiri.”
Cindy yang mendengar ucapanku itu tiba-tiba saja menahan napas. Dia bahkan berhenti berjalan dan menatap ke arahku dengan ekspresi shock dan bingung. Kubalas tatapan Cindy dengan bingung sebelum aku sadar apa maksud dari tatapannya itu. Biasanya, Cindy lah yang harus meyakinkanku untuk bungkam dan mengurus diriku sendiri.
“Ck! Nggak usah kaget gitu. Gua … cuma sadar aja yang selama ini gua lakuin itu salah. Bukannya bantu, malah banyak anak yang jadi sial."
Cindy tiba-tiba memelukku dari belakang. “Laurena! Gua sayang banget sama lu!” Tanpa basa-basi, bahkan dia menciumi pipiku. “Hari ini temenin gua lagi, ya? Pokoknya lu wajib dateng! Sebagai perayaan buat lu!”
“Perayaan apa?”
“Perayaan lu sadar!”
Cindy tidak melanjutkan ucapannya dan melepas pelukannya sebelum berjalan menuju ruang klub dengan langkah yang bahagia. Dia terlihat melompat-lompat sehingga mendapat tatapan bingung dari anak-anak yang lain. Cindy memang tidak pernah memedulikan tatapan orang lain, mengabaikan itu semua seperti angin lalu. Dia hidup bukan untuk orang lain, karena dia adalah seorang individu. Semua penilaian tentang dirinya hanyalah berdasar dari pemikirannya. Jika ada yang menilainya, dia tidak akan langsung menerima semuanya, dia akan mempertimbangkan apakah memang baik untuknya.
Kuhembuskan napas pelan sebelum berjalan mengikuti Cindy, tidak melompat-lompat seperti dirinya, hanya berjalan biasa. Di setiap langkah yang kuambil, semua pasang mata teras menyorot ke arahku. Ketika aku berusaha menemukan sumber tatapan itu, perasaan yang mengatakan ada yang memperhatikanku hilang. Ini terus berlanjut hingga Cindy kembali memanggilku.
Saat makan siang, aku kembali sendirian. Cindy telah bergabung dengan teman-teman sekelasnya dan tidak ada dari mereka yang ingin melihatku di meja mereka. Anak-anak yang di kelasku memilih untuk makan dengan anak klub, dan lagi-lagi tidak ada yang ingin aku berada bersama mereka. Katanya, keberadaanku bisa membawa masalah kepada mereka.
“Poor Rena!” Suara Gina yang melengking menusuk seluruh kantin. Kiara yang berada di belakang Gina melepas earphone-nya. “Kenapa kau sendirian? Kenapa tidak ikut kami?”
Wajah Kiara menunjukkan kekesalan sebelum dia menarik tangan Gina. “Udahlah, Yu. Ngapain sih cari ribut lagi? Ortu lagi sibuk di luar negri.”
“Gak! Dan lu gak berhak ngatur gua.” Gina menatap Kiara dengan penuh kebencian, membuat anak yang ditatap berdecak kesal.
“Terserah. Kali ini gua gak mau ikut campur.”
Kiara langsung memasang kembali earphone yang semula dia lepaskan. Dia tidak memandang ke arahku atau ke arah Gina dan langsung pergi begitu saja. Tidak segan menabrak pundak Gina. Melihat Kiara yang seperti marah adalah hal yang sangat langka, meyakinkanku kalau ada sesuatu yang terjadi di antara mereka sekarang.
Selama Kiara berjalan pergi menuju tempat duduknya, Gina terus bergumam. Hanya beberapa hal yang dapat kudengar dan artikan, lebih banyak kata kasar dari pada dia mengomeli Kiara. Berkata kalau dia adalah pengecut dan hal semacamnya. Ketika dia berhenti, dia mentap ke arahku smebari tersenyum.
“Sampe di mana tadi kita?” Gina memberi jeda. “Ah! Gua temenin lu makan, ya. Kalo perlu, lu juga bisa ambil makanan gua.
“Gua gak butuh.” Tangan Gina yang sudah menyodorkan supnya kutepis. Pastinya ini membuat dia marah besar.
“Lu berani nolak gua?!” Anak-anak di sekitar kami mulai berbisik-bisik dan mengeluarkan ponsel mereka. “Kalo gitu, gua ada cara lain kok buat kasih lu makan.”
Mangkuk sup yang dia pegang itu dimiringkan sehingga perlahan-lahan cairan itu mengenai tubuhku, membasahi seragam. Sebelum sup itu bisa mengotori seragamku lebih lagi, tangan Gina kembali kutepis, membuat mangkuk yang ada jatuh dengan bunyi yang nyaring. Gina menatap mangkuk itu sebelum tertawa dengan keras.
Bagi anak yang tadinya belum merekam, sekarang mereka semua sibuk merekam kejadian yang ada. Beberapa detik berlangsung dengan Gina yang masih terus tertawa, namun ketika tawanya terhenti, suasana menjadi jauh lebih tegang. Semua anak menatap kami dengan napas yang tertahan, tidak terkecuali aku sendiri.
“Laurena Llyod, lu pikir lu segalanya cuma gara-gara papa lu orang kaya? Bos terkenal? Di mata gua, lu nggak lebih dari sampah! Lu cuma hama yang perlu gua basmi!”
“Salah gua apa? Emang gua apain lu sampe lu nyiksa gua setiap hari, hah?” Perlawanan balikku justru membuatku lagi-lagi mendapat tamparan.
“Sadar di mana posisi lu seharusnya!”
Gina kembali menamparku, dan aku bahkan tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Dia juga tidak berhenti sampai situ saja. Jas yang kukenakan ditarik sehingga beberapa kancing terlepas. Tanpa menunda apa-apa, dia menarik rambutku dan menamparku beberapa kali. Kedua tanganku menggapai ke arah tangan yang menggenggam rambutku.
Segala usaha kukerahkan agar tangannya melepas genggaman itu. Mencakar, memukul, mencubit, semua sia-sia saja. Tangannya, lebih tepatnya kulit, terbuat dari baja di mana dia tidak akan terganggu dengan apa-apa. harapan terakhirku berada pada mereka yang menonton. Setiap anak mengalihkan pandangan matanya dariku. Tidak ada satupun dari mereka yang ingin menatapku atau terlihat bertatapan denganku.
Semua anak bereaksi sama walau ponsel mereka terangkat tinggi. Mataku bertemu dengan sosok yang kukenal. Rachelle. Di belakangnya terdapat Raquel dan juga Olivia. Mereka berdua menepuk pundak Rachelle sebelum pergi meninggalkan kantin. Rachelle mentapaku beberapa saat lebih lama sebelum dia pergi mengikut teman-temannya. Dia juga sama, dia tidak mau sampai terlibat denganku lagi karena aku hanyalah masalah bagi mereka.
“Nggak bakal ada yang bantu lu! Karena lu cuma biang masalah!” Gina melepas genggamannya dengan cara menghempaskanku. Kepalaku terantuk kursi, membuat pandanganku mengabur beberapa saat. “Inget kata-kata gua. Lu cuma bikin masalah di sini. Kalo lu nggak pernah ada, sekolahan bakal lebih baik. Mati aja lu sana.”
Bisikan Gina terus berputar-putar di kepalaku. Suaranya yang mengancam. Tatapan penuh kebencian. Telingaku terasa berdengung dengan kata-kata terakhir Gina. Dia memang benar. Tidak ada anak yang menginginkan aku di sini. Semuanya membenciku. Aku tidak berarti apa-apa bagi mereka semua. Aku hanya sebuah alat bagi mereka. Aku selalu mengusik ketenangan mereka. Aku membuat mereka merasa sesak.
Perasaanku membaik saat tau sopirku telat menjemput. Beberapa anak yang juga ikut menunggu di depan sekolah menjaga jarak cukup jauh dariku. Tatapan jijik dan benci mereka lontarkan padaku. Padahal selama ini aku tidak pernah melakukan sesuatu kepada mereka, tapi tindakan mereka seperti aku telah mengambil barang mereka yang paling berharga.
Jasku yang kotor kumasukkan ke dalam tas setelah dibilas. Untungnya para guru tidak menanyakan keberadaan jasku dan menganggapnya biasa. Tapi berita yang ada tersebar dengan cepat. Hanya dalam hitungan jam, semua anak di sekolah ini tau masalah apa yang terjadi. Meski begitu, tidak ada satupun yang berada di pihakku. Mereka justru mendukung Gina dan setuju dengan semua yang dia ucapkan.
“Nona Rena.” Panggilan sopirku yang sangat familier memasuki pendengaranku. Membuat air mata yang nyaris keluar kembali kutahan. “Maaf karena terlambat. Mari kita pulang.”
“Anu,” ucapku yang mengejutkan diriku sendiri. “Bolehkan aku pergi ke suatu tempat terlebih dahulu?”
“Eh? Ke mana?”
“Jalan-jalan ke pusat kota. Nanti aku yang akan bilang pada ibu, jangan khawatir.
Sopirku awalnya khawatir, dia bahkan menatap langit sore yang lebih gelap dari biasanya. Apapun yang terjadi, dia harus memenuhi perintahku. Karenanya dia mengangguk sebagai tanda persetujuan dan mengijinkanku pergi ke pusat kota. Selama perjalanan, aku menggunakan earphone-ku dan sibuk mendengarkan lagu yang menenangkan sambi menatap keluar.
Hujan turun bertepatan dengan kami yang telah sampai. Salah satu café yang ada menarik perhatianku. Di sana terdapat Cindy dengan beberapa anak klub. Perayaan yang dijanjikan oleh Cindy dibatalkan begitu saja lewat chat dengan alasan ada masalah keluarga. Terlihat sekali kalau dia berbohong dan sedang menjauhi karena masalah yang ada. Dia tidak mau sampai terlibat denganku, bila iya, orang-orang pasti akan mulai menjauhinya juga.
“Nona Rena?” Panggilan sopirku itu kuabaikan. Ponsel, tas, dan semua barang kutinggalkan di mobil ketika keluar. Sopirku langsung mengambil payung dan meletakkannya di atas kami berdua. “Ini tidak ada dalam perjanjian kita.”
“Lupakan saja.” Payung yang menghalau hujan di atasku disingkirkan, sopirku tetap memaksa, membuatku merasa semakin marah. “Aku bilang lupakan! Tunggu saja di mobil!”
“Tap ….”
“Aku bilang tunggu di dalam mobil!”
Teriakanku pastinya membuat sopirku terkejut. Dia memang tidak pernah melihatku marah seperti ini, karena itu dia pasti sangat terkejut. Dia kembali ke mobil tanpa mengucapkan apa-apa lagi, meringankan sebagian bebanku. Hujan yang turun semakin deras, membasahi seluruh tubuhku dan menutupi air mata yang perlahan meleleh.
Aku berjalan mondar mandir di bawah hujan selama beberapa menit. Semua orang yang lewat di hadapanku dan melihat mengabaikan keberadaan diriku. Semua bagai tidak melihat adanya aku. Menyadari kenyataan ini hanya membuatku tersenyum pahit. Apapun yang terjadi, Gina benar. Aku bukanlah siapa-siapa, bukan orang yang penting. Tidak akan ada yang peduli bila aku menghilang.
Ketika aku baru duduk, seseorang dari belakang mengejutkanku. Air hujan yang semula membasahiku berhenti, digantikan dengan suara tetesan hujan yang mengenai payung. Pandanganku melayang ke atas untuk bertemu dengan payung dan wajah yang tidak ingin kutemui. Wajah orang yang sering kali membohongiku, namun tetap kupercaya.
“Rena? Lu kok di sini? Nggak pake payung juga. Ntar lu sakit gimana? Bentar lagi kan ….”
“Kenapa peduli? Bukannya tadi bilang ada acara keluarga?”
Ekspresi Cindy berubah horor. “I-itu.gua bisa jelasin, Ren. Jadi tadi gua abis ….”
“Nggak usah dijelasin,” jawabku dengan tawa pahit. “Gua gak butuh temen pengecut kayak lu.”
“Ren! Dengerin gua dulu! Gua tau gua salah! Seenggaknya ambil payungnya, biar lu nggak sakit!”
“Buat apa? Biar bisa dimainin orang laen? Gina bener. Mending gua mati aja.”
🌻✨🌻
(07/042021)
5 chapter lagi dan cerita ini akan segera end! Siapa yang udah nggak sabar menyambut ending cerita ini? Ato justru nggak pengen cepet2 end?
Anyway, jangan lupa tinggalkan vomments kalian ya ^^ jgn lupa jga untuk share, masukin reading list dan juga follow!
Satu lagi, ada vid kumpulan quotes yang dipost di tiktok, kalian bisa cek akunku, di lie_ran03 ya ^^
See you next update~
Pssst, jgn lupa juga mampir ke ceritaku yang lain, judulnya Sadistic Couple!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top