Chapter 21 - Lockets

Raquel’s POV

“Papanya Olivia serem banget. Gimana mamanya, ya?”

“Kalo mamanya masih hidup, mungkin bisa stress urus si Carter. Diakan anak tunggal. Biasalah tipe ortu yang over protective.

“Ada rumor katanya dia punya kakak cowo lho! Bisa jadi gara-gara itu si Carter jadi brutal?" 

Semenjak kedatangan ayah Olivia, seluruh sekolah seperti terfokus hanya pada dirinya saja. Olivia tidak terlihat terganggu sama sekali, mungkin saja dia terganggu tapi memilih diam saja. Berbeda saat masalah Rachelle yang menjadi viral hanya dalam satu hari. Dia juga sudah menjadi aneh, menjauhiku dan Rachelle, dia juga tidak pernah terlihat di kelas ketika aku mencarinya. Bisa dikatakan, aku memang khawatir akan dirinya. Sebagian dari rasa khawatirku disebabkan oleh Rachelle yang tidak bisa diam membicarakan Olivia dan sisanya aku yang takut anak itu melakukan hal gila.

Pelajaran kosong yang jarang terjadi membawa Rachelle untuk duduk di sampingku. Seperti biasa, Rena langsung meletakkan kepalanya di meja. Dia terlihat seperti berusaha untuk tidur dan melupakan--menjauh--dari semua drama yang ada di kelas sekarang. Tatapannya menunjukkan ketakutan, namun di saat bersamaan seperti sedang memohon akan suatu hal. Rachelle mengejutkanku, hal yang langka, ketika dia membanting bukunya yang tebal ke meja. Dia jelas ingin menarik perhatianku dengan cara yang tidak biasa, sangat seperti dirinya. 

“Olip … harus gimana?” Tidak perlu kalimat yang jelas untuk mengerti maksudnya. Tentu Rachelle mengkhawatirkan anak itu. Wajah Olivia hari itu benar-benar buruk. Lebam di mana-mana, ekspresi ketakutan dan juga muak. Sama seperti ekspresi yang ada di wajah Sony hari itu.

“Dateng ke rumah. Samuel pasti ada.” Rachelle terdiam mendengar nama kakak Olivia. “Or her butler. Dia pasti punya.”

“Lagian dia tuh ya!” Teriakan Rachelle menarik seluruh anak kelas, termasuk Rena. “Gua mau ke toilet.” Alasan klasik seperti itu dia gunakan sengaja untuk menghilangkan rasa malunya.

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Rachelle meninggalkan kelas yang beberapa anaknya terlihat terus memperhatikannya. Begitu Rachelle tidak terlihat mata, anak-anak langsung sibuk dan kembali heboh membicarakan Sony, seperti mereka sedari tadi berusaha untuk menunggu momen yang tepat agar bisa menjatuhkannya. Memang manusia akan seperti itu, menjatuhkan yang lain agar mereka bisa meroket. Mendengar nama itu terus disebut membuatku merasa sesak. Aku mengenal Sony lebih dulu dari aku mengenal Rachelle. Itu adalah fakta yang ingin aku lupakan lebih dari apapun. 

Rantai yang selama ini ada di leherku terasa memanas. Sekolahan tidak pernah melarang menggunakan aksesori, tapi aku tidak suka menunjukkan kalung ini. Bahkan Rachelle mengira kalau aku sudah membuang benda ini hingga saat kenaikan kelas. Dia merasa terkejut, tapi terharu ketika mengetahui fakta aku menyimpannya dekat denganku. Dia berkata, bahkan berterima kasih, karena masih terus memikirkannya dan tidak egois untuk mencoba dan melupakannya.

Rena yang sudah menatapku dari tadi sepertinya menyadari ketidak nyamananku. Kali ini aku merasa bersyukur karena dia tidak ikut campur dengan urusanku. Dia menggigit pipi dalamnya, menahan pertanyaan yang siap dia lontarkan dan membenam wajahnya kembali ke lengan yang ada di atas meja. Sebuah helaan napas keluar tanpa aku inginkan. Entah karena aku merasa lega dia diam saja atau merasa lelah melihatnya yang berubah drastis.

“Gua penasaran, seberapa jauh si Raquel tau soal Sony. Setau gua Rachelle udah deket dari lama kan sama dia.”

“Apa jangan-jangan, gara-gara si Raquel Sony jadi bunuh diri?”

“Hush! Nggak mungkinlah!” Anak yang baru berbicara menatap ke arahku dengan sinis. “Malah jangan-jangan si Carter yang urus.”

Suara tawa anak-anak itu terdengar sangat keras. Bisa dikatakan kalau aku sedikit terganggu dengan ucapan mereka. Namun jika aku melawan, apa akan ada perubahan? Ucapanku akan senilai dengan harapan kosong. Orang hanya akan percaya apa yang ingin mereka percayai saja. Lucu, tapi aku juga suka berpikir seperti itu. Bila tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku akan mempercayai asumsiku. Tidak peduli apakah aku salah menilai seseorang, sesuatu, sebuah kejadian. Aku hanya tau kalau itu benar di pikiranku.

Sampai tidak ada bukti yang menjelaskan, mereka akan percaya sesuai dengan keinginan mereka. Hal yang menyedihkannya, walau bukti itu sudah terungkap, banyak yang tidak mau mempercayainya. Percuma mengucapkan kejujuran jika dunia masih menutup mata mereka. Apa semua bisa berubah jika orang-orang itu masih tidak peduli? Apa akan ada yang berbeda dengan mengungkapkan kebenaran pada mereka yang hanya fokus pada diri mereka sendiri?

Keegoisan dan rasa superior seseorang, ingin membuktikan diri. Merasa lebih baik dari yang lain, padahal mereka bermaksud menutupi kekurangan mereka sendiri. Terlihat sempurna, tanpa ada cacat, itulah yang diingkan dunia. Tanpa disadari, semua akan berlomba menjadi yang terbaik. Hingga lupa siapa diri mereka sendiri agar bisa masuk standard orang lain yang bukan apa-apa. Semuanya berlomba untuk menjadi yang terbaik dengan berpura-pura. Perlahan, kehilangan jati diri asli mereka yang lebih berharga.

Rachelle kembali ke kelas dengan wajah kusut yang sedikit basah. Dia tidak mengucapkan apa-apa kepadaku, yang merupakan hal aneh. Mengetahui rumor tentang Sony dan ayah Olivia, seluruh sekolah terasa seperti menunjukkan jarinya kepada kami, mencari ‘biang masalah’ agar bisa menjadi pelampiasan. Sial bagi mereka, salah satu dari biang itu adalah aku. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan bila aku terlibat. Entah karena urusan keluargaku yang terkenal, atau karena guru-guru yang menyukaiku atas dasar nilai dan prestasiku. Bisa dibilang, aku terlindungi luar dan dalam.

“Si Carla katanya mau tampil?”

“Hah? Serius lu? Si babi itu? Kok nggak ada malunya, ya? Gua jadi dia sih bakal malu setengah mati!”

“Kalo ngomong ati-ati! Nanti lu diseruduk lagi.” Anak-anak itu tertawa keras dengan lelucon mereka. “Eh, tapi kalo dia serius denger terus nuntut gimana?”

“Alah, anak orang miskin bisa apa?”

Tawa yang keras kembali terdengar. Uang menjadi tolak ukur kehebatan seseorang. Kalau begitu, apa gunanya menjadi orang baik, bukan? Kau tidak akan pernah dihargai. Kau akan dihargai kalau kau memiliki setidaknya segelintir dari harta berharga itu. Tanpa semua itu, kau adalah mahkluk menjijikkan yang menyedihkan. Memalukan, menyedihkan, menjijikkan. Itu semua yang tergambar bagi mereka yang memandang harta menurutku. Semua itu tanpa sadar membunuh seseorang perlahan-lahan. Pada akhirnya, tidak akan ada yang tersisa, hanya hampa yang ada.

Seperti kotak pandora yang terbuka. Semua penyakit, kejahatan, hinaan, semuanya keluar, hingga harapan saja yang tersisa. Tapi harapan itu juga perlahan-lahan akan redup hingga tidak bersisa apa-apa. Kalian akan ditinggalkan dengan kekosongan dan rasa sakit. Kebahagiaan itu sudah lenyap tanpa sisa. Kau tidak akan bisa memutar balikkan waktu untuk merubahnya. Tertinggal seperti debu yang kian menumpuk dan akan dihilangkan hanya dalam sekali hempasan.

Tapi kau bisa mengubah masa depanmu dengan pilihanmu sekarang.

“Udah nonton pertandingan Carter? Gila! Keren banget, nggak ada ampun!”

“Keren sih, tapi bikin gua makin ogah deket dia. Ada yang bilang kalo saudaranya si Rachelle bundir gara-gara si Carter. trus sekarang deket gara-gara disuruh bayar, tebus dosa gitu.”

Stephanie yang mendengar itu langsung mendekati anak-anak itu. “Hm? Kenapa soal Olivia? Gua … temennya juga loh.” Sebuah senyum yang sangat manis tergambar di bibir Stephanie.

“A-ah! Stephanie.”

Rachelle yang makan di sampingku tersedak ketika melihat senyuman dari Stephanie. Senyuman manisnya memang selalu terlihat menyeramkan, bagi mereka yang selama ini sudah mengenalnya dekat. Berbeda dengan Gina, dia pasti justru merasa senyuman itu adalah sebuah tropi. Memang, senyuman Stephanie selalu membuat orang lain tersenyum, menuruti perkataannya dan bungkam seribu bahasa.

“Kalo mau ghibahin orang, pinter-pinter ya.” Rambut anak yang menggosip itu diacak-acak. “Karena tembok juga punya telinga.” Dengan itu, Stephanie menatap ke arahku, seakan tau sedari tadi aku mendengarkan pembicaraan mereka.

“Eh? Dia ngeliat ke sini, kan?” komen Rachelle yang tersentak. Anak-anak di hadapan Stephanie mengikuti pandangannya dan berhasil menatap kami. Ekspresi terkejut mereka tidak dapat digantikan.

Masih dengan ekspresi dingin, aku kembali fokus ke makananku. “Nggak heran lagi, kan dia Stephanie.”

Hanya dengan kami berdua yang makan, suasana yang ada anehnya terasa canggung. Kupikir awalnya perasaan kami sudah membaik dan hal seperti ini—rasa canggung—tidak akan ada lagi. Nyatanya, aku salah besar. Tanpa adanya Olivia bersama, suasana yang ada justru semakin memburuk. Apa kami akan baik-baik saja? Entahlah. Kami selalu mengandalkan Olivia untuk mencairkan suasana yang ada.

Pulang hari itu aku memutuskan mencari Olivia, ini juga atas dasar paksaan Rachelle yang harus pulang lebih cepat. Dia tetap berada di ruang latihannya, seperti yang biasa dia lakukan ketika mood-nya berubah drastis. Bersama Daniel juga. Daniel yang sedari tadi memperhatikan Olivia merusak tubuhnya menyadari keberadaanku dan tersenyum pahit. Senyuman itu seperti menjelaskan segalanya kepadaku. Aku balas sapaannya dengan mengangguk kecil.

“Dua jam. Dia bolos jam terakhir.”

“Makan siang?” Daniel menghembuskan napas kesal.

“Entahlah. Aku sedang berada di gedung SMP. Tapi sepertinya dia hanya makan roti itu. Kutemukan bungkusnya di dekat loker.” Perhatian Daniel teralihkan ke belakangku. “Di mana temanmu yang satunya? Ah, siapa namanya? Rachel? Rachelle!”

Bukannya menjawab pertanyaan itu, aku hanya mendekati Daniel dan melepas tasku, mendekati Olivia yang masih meninju sand bag di hadapannya. Dia hanya menggunakan pelindung tangan, yang menurutku sedikit sia-sia. Tangannya gemetar, tapi ekspresi wajahnya menggambarkan determinasi. Aku berdiri di belakang karung dan menahannya ketika Olivia kembali memukul. Pukulannya begitu bertenaga meski dia terlihat kelelahan dengan keringat yang membanjiri tubuh.

“Minggir,” gumamnya dengan nada dingin. Ucapannya tidak kugubris, menyebabkan kondisinya semakin marah. “Gua bilang minggir! Otak lu udah rusak saking pinternya, hah?!”

Bukan karung yang di hadapannya yang jadi target kali ini, namun aku. Pukulannya beberapa kali mengenai tubuhku dan usahaku untuk mengelak membuat kalung yang kusimpan keluar. Kuletakkan satu tangan di lutut selama aku membungkuk. Tangan lainnya mengangkat ke atas, berharap dia mau berhenti sekarang juga. Untungnya, kini Olivia menurut.

Ketika aku sudah kembali berdiri, kalung itu tidak luput dari pandangannya. Dia terlihat ingin menggapai ke arah kalungku, di saat bersamaan aku melangkah mundur. Perbuatanku sepertinya menyakiti perasaannya karena dia mendengus dan berbalik menuju di mana tasnya disimpan. Tanpa ragu, aku langsung mengejarnya, Olivia dan pride-nya adalah hal yang menyebalkan.

Spill!” perintahku. Olivia yang sedang menenggak minumannya menatapku sekilas sebelum beralih ke kalungku.

“Buat apa? Toh gua bukan bagian penting dari idup lu!” Olivia terkekeh kecil sebelum meremas botolnya kuat-kuat. “Pergi. Gua muak liat muka lu! Jangan datengin gua lagi sampe gua sendiri yang dateng.”

“Trus lu mau tinggalin semua usaha lu? Aksi protes lu ke Stephanie?”

Lagi-lagi Olivia terkekeh. “Apa peduli lu? Sahabat? Temen? Basi banget! Kalo gua emang sahabat lu … itu kalung apa? Buktinya lu gak pernah cerita ke gua, kan? Kenapa? Karena gua nggak penting buat lu dan menurut lu gua bukan orang yang bisa dipercaya.”

Ucapan Olivia membuatku terdiam karena sebagian dari yang dia katakan adalah kebenaran. Aku tidak pernah percaya pada Olivia sepenuhnya. perasaanku selalu mengatakan kalau orang seperti Olivia harus dijauhi. Jika tidak bisa, setidaknya jangan terlena dengan ucapannya. Kenyataan ini pasti menyakiti dirinya karena dia tidak mudah mempercayai orang.

Merasa tidak perlu mengucapkan apa-apa lagi, Olivia langsung keluar dari ruang latihan, mengabaikan panggilan Daniel yang terlihat panik. Kami saling tatap selama sesaat sebelum menghembuskannya bersamaan, tanpa diduga. Perhatianku teralihkan ke arah kalung yang menggantung. Hanya dalam sekali lihat dapat diketahui ini bukan sekedar kalung biasa. Di dalamnya tersimpan memori paling bahagia.


***

“Rena Sayang, PR gua udah dikerjain?” Suara Gina yang terdengar melengking mengejutkan seisi kelas. Dia yang baru masuk langsung mendekati Rena yang menyibukkan diri.

“Ada sama Kiara.” Jawaban Rena kali ini terdengar sangat dingin, berbeda dari biasanya yang terdengar ketakutan.

Gina yang mendengar langsung mendengus. Tangannya langsung menggenggam rambut Rena dan menariknya keras-keras. “Lu berani ngomong gitu sama gua?”

“Emang lu siapa yang bisa ngatur gua?”
Meski posisi Rena sekarang tersudut, dia tetap terlihat akan melawan Gina tanpa ragu. Anak-anak lain mengeluarkan ponsel mereka dan merekam semua kejadian ini. Tidak satupun terlihat akan membantu Rena atau menghentikan kejadian ini. Dan ya, aku adalah satu dari beberapa anak yang hanya diam dan menonton. Aku sama sekali tidak berniat ikut campur urusan mereka.

Gina yang tidak menyangka Rena akan seperti ini mendorong kepalanya yang jadi korban dengan keras. Dia bahkan membuat Rena menabrak beberapa meja ke belakang. Tangan Gina menunjuk ke salah satu gadis yang hanya menonton. Dia memerintahkannya untuk maju dan berdiri di hadapannya, punggunya menghadap ke arah Gina. Hal seperti ini sudah tidak mengherankan lagi, bahkan sudah biasa terjadi.

“Tampar dia kenceng-kenceng.”

“Eh? Ta-tapi,” gagap anak itu takut. Dia membalikkan tubuhnya untuk menatap ke arah Gina. Namun teriakannya membuat dia kembali menatap Rena yang masih tergeletak di lantai.

“Gua bilang tampar! Tampar yang kenceng!”

Anak itu melakukan apa yang diperintahkan. Awalnya terlihat keraguan darinya. Tangannya gemetar dan pukulannya lemah. Omelan dan makian dari Gina berhasil membuatnya takut. Tamparannya semakin lama semakin keras, Rena sendiri hanya diam. Seakan-akan mengorbankan dirinya agar anak di hadapannya tidak disakiti sama sekali. Bukan sesuatu yang akan kusebut sebagai pengorbanan berharga. Dia bukan seorang noble, dia hanya bodoh.

“Udah cukup!” bentak salah satu anak yang duduk di depan.

“Diem lu!” Gina menatap anak yang memberontak. Telunjuknya mengacung sebagai tanda peringatan. “Kalo ada yang berani ngelawan gua, gua bakal pastiin lu semua gak bakal bisa idup tenang.”

Mata Gina kembali menatap Rena yang masih terus berbaring di lantai. Kini wajahnya terlihat memerah parah, mungkin juga akan bengkak. Matanya seketika membuka, membuat anak yang menamparnya berjalan mundur. Langkahnya yang tidak diperhatikan membawa maut. Dia menabrak Gina di belakangnya, sehingga anak itu semakin marah.

Dengan kasar, anak itu di dorong hingga mengenai mejaku. Saat mata kami bertemu, dia terlihat gemetar dengan hebat. Sebagian dari diriku merasa iba, tapi ini juga salahnya. Semua ini adalah salahnya, urusannya dengan Gina. Aku tidak memiliki hak, atau berniat untuk ikut campur. Masalahku sendiri sudah membuatku pusing, aku tidak mau menambahnya dengan yang bukan milikku sendiri. Meski aku memiliki kekuatan untuk menghentikannya, aku tidak akan menggunakannya untuk membantu orang lain yang tidak ada hubungan sama sekali denganku.

Melihat air mata dan ketakutan dari anak di hadapanku seketika membuatku merasa semakin tidak enak. Sony tidak menyukai ini. Kalung yang masih di leherku teras memanas, membuatku merasa tidak nyaman. Secara refleks, tanganku mencoba melonggarkan kerah bajuku. Semua ini membuatku merasa sesak. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa aku merasa dorongan kuat untuk mengulurkan tangan kepadanya?

“Maafkan aku. Aku sungguh minta maaf.” Kepada siapa dia meminta maaf? Kenapa dia meminta maaf? “Maafkan aku, sungguh aku tidak sengaja.” Pemikiranku menggelap. Dia meminta maaf kepadaku.

“Hey, Gina!” panggilku tidak berpikir dua kali. “Lu tau kalo lu tuh malu-maluin? Gunain orang lain buat kepuasan lu? Bahkan lu lebih rendah dari sampah!”

“Apa lu bilang?”

Gina mengernyitkan dahinya setelah mendengar ucapanku. Dia menatap sekitar, dan aku yakin dia sadar orang akan lebih memilih melindungiku dari pada dia yang terus-terusan menggunakan ‘kekuatan’ untuk kepentingan dirinya. Rena, sepertinya sudah kehilangan akal, terkekeh dengan ucapanku dan bangkit berdiri. Awalnya kupikir dia mendekati Gina, namun aku salah besar.

Langkahnya terseok-seok, seperti dia menyakiti kakinya ketika terjatuh tadi. Perlahan tapi pasti, dia mendekatiku. Biasanya aku tidak pernah merasa takut, anehnya kali ini aku merasa sedikit tegang, perasaan tidak enak menggerogotiku hidup-hidup. Setiap langkah yang diambil oleh Rena terasa seperti bom waktu untukku. Ketika dia sudah di depanku, bom tersebut akan meledak. Membawaku hancur berkeping-keping.

“Kenapa lu ikut campur urusan gua? Apa hubungannya sama lu? Kenapa lu harus ikut campur sekarang? Hah?! Jawab!”

Reaksi Rena membuat seluruh kelas terdiam. “Ikut campur …,” bisikku yang terhenti. Kenapa aku harus ikut campur? Ini adalah masalah mereka, tidak seharusnya aku terlibat.

“Kenapa baru sekarang kalo lu mau ikut campur?! Kenapa harus sama gua? Jelasin!” Rena menarik kerah seragamku, tanpa sengaja ikut menarik kalungku. “Kenapa gua?”

Semua pertanyaan Rena tidak ada yang bisa kujawab. Semua anak terlihat terlalu terkejut dengan respons Rena. Beberapa terlihat sadar dan menyadari kalau Rena masih menarik kerah bajuku. Kutepis tangannya, tapi kalungku justru tertarik.
Rena sepertinya menyadari keberadaan kalung itu karena dia langsung menariknya keluar layaknya orang yang kehilangan akal. Eskpresi Rena penuh dengan tanda tanya, seperti sedang menimang apakah dia harus membukanya atau tidak. Tepat ketika aku berusaha merebutnya dari Rena, dia menariknya hingga lepas. Mengangkatnya tinggi dan membuka loket itu.

“Huh? Laki-laki?” Ucapan Rena menarik perhatian Gina yang sedari tadi hanya menonton.

“Laki-laki? Sony?” Dengan mudah Gina mengambil kalung dari tangan Rena yang sekarang menatapku bingung. Sebuah seringai terukir di bibir Gina ketika melihat foto di situ. Perhatian semua anak kelas teralihkan saat pintu membuka, menunjukkan Rachelle. Dia menatapku sebelum ke kalung di genggaman Gina.

“Ah, shit,” ucap Rachelle cukup keras hingga aku mendengarnya.

🌻✨🌻
(27/03/2021)

Uwo! Sudah mendekati detik-detik ending! Gimana nih perasaan kalian? Makin penasaran dengan kelanjutannya? Rahasia-rahasia yang dipegang para tokoh? Jangan sampe ketinggalan keseruan cerita ini sampe ending ya ^^
Pantengin terus update-an nya!

Jangan lupa tinggalkan vomments dan juga share ke temen kalian ya ^^

Masukkan reading list kalian juga kalau berkenan 😆🥰

See you next update~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top