Chapter 20 - What Family?

Olivia’s POV

Berlari di bawah hujan deras untuk waktu yang lama adalah hal yang bodoh. Menyesalinya memang tidak akan membawa diri ini ke mana-mana. Tapi, perasaan kesal bagaimana aku merasa sedikit demam menghantui diriku. Samuel tidak memberi komentar banyak ketika melihatku basah kuyup, seperti dia sudah menduga aku akan melakukan hal seperti ini.

“Hm, lu sakit?” tanya Raquel dengan gamblang. Aku yang sedang mengunyah roti, atas paksaan Rachelle, langsung tersedak. Bagaimana bisa hanya dengan sekali pandang dia tau?

“Siapa yang bilang? Gak usah ngada-ada! Gua baek-baek aja!” Kualihkan pandangan mataku ke arah lain. Tau kalau pertanyaanku menarik perhatian Rachelle, aku langsung mengalihkan pembicaraan. “Kemaren si Rena … masalah lagi.”

Rachelle menghembuskan napas pelan. “Sadar nggak sih? Beberapa hari ini dia kayak masalah terus?”

Raquel yang semula terlihat tertarik dengan arah pembicaraan ini hanya diam. Ekspresi wajah yang sebelumnya menggambarkan kehidupan sudah kembali ke wajah yang dingin. Apa dia berhak memikirkan orang lain? Seakan-akan dia ingin berkata seperti itu. Terlebih dengan masalah Sony yang menggemparkan satu sekolah sekarang. Dan Sony itu sendiri mendengarnya. Anak sepertinya tidak mungkin tinggal diam, mulut besarnya memang harus dijahit dengan jarum terbesar yang ada. Bila bisa, aku yang akan sukarela menjahit bibir busuknya.

Tentu dia tidak akan membiarkan Raquel dan Rachelle lolos begitu saja. Nampaknya apa yang aku perbuat kepadanya belum cukup. Dia masih mengucapkan sampah-sampah tidak berguna yang anehnya dipercaya cukup banyak orang. Jika aku boleh jujur, aku merasa jijik. Dia menganggap jika namanya bukan Sony, Raquel pasti akan menerimanya menjadi pacar. Tanpa sadar bahwa dirinya sendiri adalah sampah yang bahkan ditolak oleh Kiara. Mungkin saja dia mengalami cidera otak ketika aku memukulnya, saat dia jatuh tergeletak cukup keras.

“Itu Rachelle, kan? Menurut lu bener ga rumornya? Soal kakaknya yang bunuh diri.”

“Kalo gua sih percaya-percaya aja. Toh dia emang selalu aneh, kan?” Terdengar suara kikikkan dari anak-anak itu, seperti merasa puas bisa menjatuhkan seseorang seperti Rachelle.

Memang, untuk membuat diri merasa lebih baik, menjatuhkan orang lain adalah jalan pintasnya. Agar bisa menjadi di atas, jatuhkanlah yang ada di atas tersebut. Entah dengan cara kotor atau curang, mereka pasti akan terus berusaha agar tidak berada di bawah terus. Tentu tidak akan ada orang yang ingin terus dikatai, meski sudah berusaha terkadang mereka gagal. Momen seperti ini adalah momen di mana mereka bisa membalikkan posisi, bukan? Dengan begitu, Rachelle akan langsung berada di paling bawah.

"Lu kasian nggak sih sama si kak Sony? Ternyata namanya dia sama kek orang yang udah mati, mana bunuh diri lagi."

"Ih, gua sih gak suka banget sama orang yang bunuh diri, kayak idupnya paling sengsara aja. Bener nggak? Apa lagi yang modelan kayak Olivia tuh, caper!"

"Eh, tapi masa iya kakaknya bunuh diri, dia diem aja?"

Anak-anak itu terus mengoceh tanpa menghiraukan ekspresi gelap dari Rachelle. “Udah puas gosipnya? Ada orangnya kenapa nggak langsung tanya aja?”

Semburanku membuat anak yang menggosip beserta kedua ‘teman’ku terkejut. Raquel tersedak minumannya dan Rachelle justru menyikutku dengan keras. Kutahan eranganku dan kutatap tajam Rachelle yang berpura-pura tidak melakukan kesalahan apapun. Dia bahkan berpura-pura tidak melihat anak-anak itu. Dia memang tidak suka dengan keributan, baginya orang-orang itu memang berhak mengutarakan pendapat mereka.

Entah karena alasan apa, sekumpulan anak itu meminta maaf dan bahkan membungkuk sebelum pergi meninggalkan kami bertiga dalam suasana yang canggung. Di masa ini, akulah yang berada di posisi paling tidak enak karena dua pasang mata sudah menatapku lekat-lekat, seperti menguliti dirikku dalam pikiran mereka. Tentunya mereka tidak menginginkan perhatian lain, melebihi apa yang mereka dapat sekarang.

“Olivia Carter!” bentak Rachelle yang membuatku terlonjak walau sudah mengganti posisinya. Dia mengusap keningnya. “Orang-orang kayak gitu nggak perlu diladenin, oke?”

Aku terdiam mendengar itu hingga Rachelle kembali berteriak memanggil namaku. “Iya, Kanjeng Ratu,” jawabku dengan sinis. Roti yang semula kumakan sudah habis dan perutku justru merasa mual. “Gua balik ke kelas. Ada PR yang belom diperiksa.”

“Nanti gua mampir ke ruang latihan,” ujar Raquel datar. Rachelle awalnya terlihat tidak percaya, atas ucapanku maupun Raquel, namun dia hanya mendiamkan kebohonganku itu.

Langkah yang kuambil terasa berat. Lebih tepatnya, tubuhku terasa berat. Beberapa kali terasa seperti dunia sedang berputar di sekitarku. Kusingkirkan semua perasaan itu dan terus berjalan menuju kelas untuk menemui mejaku berantakan. Buku-buku berserakan di lantai, beberapa lembar terlihat robek dan coretan-coretan dengan tinta merah dapat terlihat.

Tidak perlu membacanya untuk tau apa isi dari tulisan-tulisan yang ada di meja. Dan aku tau siapa yang menulis itu. Seseorang dari club dance Carla yang juga teman sekelasku, entah apa yang sudah dihasut oleh anak itu hingga ada yang berani menggangguku. Anak-anak lain terlihat berbisik-bisik ketika menatap ke arahku.

Mati saja kau!

Dasar anak tidak tau malu!

Caper!

Bajingan kecil!

Kapan mati?

Udah siap mati?

Gua tunggu tanggal pemakaman lu ya, Olivia Carter.

Semua tulisan di meja tidak mempengaruhiku. Dengan kepala yang semakin terasa sakit, aku mengambil buku-buku yang tergeletak di lantai satu per satu. Bisikan itu tiba-tiba terhenti, membuatku tau si biang onar sudah datang. Seperti yang sudah kuduga, dia tidak datang ke mejaku dan memberi sebuah smirk, menatap temannya yang sibuk membaca sebelum duduk di kursinya sendiri.

Carla selalu bersikap superior, seperti mengabaikan fakta kalau lebih banyak orang yang membencinya. Dia tidak memikirkan kalau orang-orang tidak menyukai sikapnya yang merasa seperti seorang putri. Cukup berbeda denganku yang merasa harus selalu melawan mereka semua dan mengucapkan kebenaran. Memang tidak selalu berakhir baik, aku hanya merasa lebih baik untuk mengucapkan semua yang kurasakan begitu saja. Karena aku yang memegang kontrol hidupku.

“Tugas presentasi, tim siapa yang belom kumpul?” Suara ketua yang menggelegar membuat kepalaku terasa semakin sakit. Merasa bukan urusanku, kubaringkan kepala di meja yang penuh dengan hinaan.

“Tadi pagi udah kumpul semua, sama si ibu.”

“Katanya ada yang belom kumpul. Tim dua kalo nggak salah.”

Suara gebrakan meja berhasil membuatku tersentak bangun. Seharusnya aku tau, siapa lagi kalau bukan Carla yang akan membuat keributan seperti itu? Dia berjalan ke depan dan menggenggam tangan ketua kelas. Ah, andai aku bisa keluar dari sini. Suara manja Carla terdengar lantang di kelas yang sekarang sudah sepi karena gebrakan anak itu, dia sama sekali tidak menyadari perbuatan apa yang sudah dia lakukan.

“Tapi kel gua yang kumpul pertama. Kan lu juga yang ingetin gua.” Beberapa anak terlihat berpura-pura muntah mendengar ucapan Carla.

“Kalo gak percaya, langsung ngadep aja. Gua juga heran. Oh, sekalian ajak Carter, wali kelas nyariin dia.”

“Hah?” Tanpa sengaja suara itu keluar dari bibirku. Kekehan yang semula kembali kudengar karena responsku itu. “Ah, iya.”

Carla yang masih menggenggam tangan ketua kelas kini menatapku dengan sinis sebelum dia terlihat menggerutu dan meninggalkan kelas dengan langkah yang kasar. Di saat yang bersamaan, bel masuk berbunyi, menandakan kalau guru sebentar lagi akan masuk. Ketua kelas itu tidak mengucapkan apa-apa tapi memberi pandangan seperti aku harus mengikuti Carla sekarang juga, yang akhirnya kulakukan dengan senang hati. Meski ketua kelas tidak begitu berani denganku, namun dia bisa menggunakan kekuasaannya untuk menjatuhkanku.

Di ruang guru terlihat sedikit kosong, menandakan kebanyakan dari mereka sudah pergi ke kelas masing-masing. Wali kelasku terlihat mengusap-usap keningnya. Beberapa kali dia menghela napas kasar. Ketika aku berada di sampingnya, dia tidak terlihat seperti menyadari keberadaanku. Carla yang juga ada di sini menatapku sekilas sebelum mencibir. Pandangannya dia alihkan ke guru yang ada di hadapannya sekarang.

“Ah!” teriak wali kelasku. “Carter! Apa yang kau lakukan hanya berdiri saja di situ?”

“Oh, apa Carter membuat masalah?”

“Tidak mungkin. Seorang Carter? Terlebih, dia sudah dewasa, seharusnya dia bersikap lebih bijak.”

Wali kelasku mendiamkan guru lain. “Ini. Ada paketmu. Diberikan dari rumah atas permintaan spesial.”

Aku mengambil tas yang digenggam oleh wali kelasku. Kuintip isi dari tas itu dan menemukan sepucuk surat dan juga obat. Melihat ini membuat perasaanku tidak enak. Tapi kalau aku harus menebak, Samuel yang seharusnya mengirimkan ini semua. Dengan alasan apa? Mengapa tiba-tiba? Kebaikannya itu justru terasa mengerikan.

“Terima kasih,” jawabku dan meninggalkan ruang guru saat itu juga.

Bukannya kembali ke kelas, kakiku membawa diriku ke toilet terdekat. Tas yang ada kubuka dan kuperiksa satu per satu isi dari tas tersebut sebelum membaca surat yang terselip. Jelas ini adalah tulisan Samuel, tapi apa yang tertulis di kertas itu membuatku ingin membakarnya. Memang, tidak pernah ada alasan baik jika ada tindakan seperti ini.

“Ngaku aja!” Langkahku terhenti ketika mendengar suara Carla. Aku yang baru dari kamar mandi merasa bingung.

“Ngaku apa? Gua nggak salah apa-apa.”
“Pasti lu yang ambil tugas tim gua, kan?! Ngaku! Abis kumpulin tugas lu ke ruang guru!”

Mendengar ocehan Carla membuatku menghela napas. “Gua nggak ada waktu buat main-main.” Obat yang diberikan oleh Samuel sudah bereaksi, membuat pandanganku mulai berkunang-kunang. “Kalo lu cuma mau ngebual, mending diem.”

Aku mulai mengambil langkah besar, takut jika obat itu akan bereaksi sepenuhnya sebelum aku siap. Namun Carla juga ikut mempercepat langkahnya. Hingga dia berhasil menggenggam tanganku dengan jarinya yang besar. Entah karena apa, pegangannya terasa sedikit menjijikkan sehingga aku langsung menepis tangannya.

“Nggak … usah ikut campur.” Ucapanku ditemani dnegan erangan kecil karena kepalaku kembali terasa sakit. “Jangan ganggu!”

“Nggak! Gua gak bakal berenti sampe lu ngaku kalo lu itu salah! Balikin tugas gua!”

Carla meraih ke arah kantong jasku. Meski tubuhku perlahan mulai mematikan dirinya, gerakanku masih terbilang cekatan. Beberapa percobaan Carla tidak ada yang berhasil. Tubuhku sendiri mulai kelelahan, dan Carla tentu menyadarinya. Dia menarik rambutku, menciptakan erangan lain yang keluar dari bibir.

Pandanganku mulai mengabur, lebih parah dari sebelumnya. Carla yang berada di hadapanku terlihat menjadi beberapa orang dengan wajah mirip. Kakiku juga perlahan mulai melemah, siap menggeletakkan tubuhku di lantai. Tarikan Carla sudah tidak terasa, dan di telingaku terdengar suara bising yang memekakkan, meredam semua panggilan yang ada.

***

Cahaya yang begitu terang menusuk mata. Butuh beberapa waktu bagiku beradaptasi dengan terang dari lampu dan ketika aku sudah membuka mata, hal yang ingin aku lakukan adalah menutupnya lagi. Penyesalan menghantamku kuat-kuat, tapi aku tau, aku tidak akan bisa kabur dari kenyataan. Rachelle yang ada di sampingku berdeham keras.

“Obat apa yang lu minum, hah?”

“Dari Sam.”

“Buat apa?” Sebagian dari diriku merasa bersyukur sudah menyimpan surat dari Samuel di dalam bajuku. “Jawab, Liv. Kalo lu nggak jawab, gimana kita mau bantu? Lu tau gak seberapa shock gua denger lu pingsan di koridor pas bareng Carla?”

Ucapan Rachelle yang terdengar kasar membuatku terdiam sebelum berucap, “Maaf. Hanya saja ini sudah seperti tradisi keluarga Carter.”

Rachelle mendengus kesal dan bersiap untuk berjalan ke arahku. Untungnya Raquel menghentikan aksi apapun yang akan dilakukan oleh Rachelle. Tatapan Raquel jelas membuatnya berhenti selama beberapa saat. Pandangannya dia alihkan dariku dan kutatap ke arah yang lain lagi. Meski begitu, ekspresinya tetap menunjukkan rasa frustasi yang mencekik dirinya.

Selama beberapa menit di antara kami hanya ada ketenangan. Waktu yang ada seperti ingin berkata kalau kami harus merenung. Terlebih karena apa yang menjadi tugas kami justru terhenti. Pintu UKS terbuka dengan perlahan dan orang yang muncul sama sekali tidak terduga. Stephanie melangkah masuk dengan senyum lebar.

“Gua denger dari Carla … abis berantem sama dia lu sakit?”

“Bukan urusan lu!” semburku.

“Apa gara-gara babak penyisihan kurang dari seminggu? Seorang Carter tidak boleh sakit, bukan?”

Stephanie memberikan senyum sinis yang tidak luput dari pandangan Rachelle maupun Raquel. Kedua-duanya menatap Stephanie dan aku secara berganti-gantian sebelum anak tidak diundang itu diusir oleh Raquel dengan keras. Ekspresinya yang datar bahkan mengejutkan Stephanie, seperti dia tidak menyangka kalau ada yang berani seperti itu kepadanya.

Tentu dengan berat hati Stephanie akhirnya keluar. Raquel memiliki efek yang besar sekali bila dia angkat bicara. Seperti orang-orang tunduk dan menurut. Sebagai serikat siswa, bukankah Stephanie harus menjaga reputasinya di sekolah? Rachelle terlihat puas ketika Stephanie sudah tidak ada lagi di ruang UKS. Mungkin mereka menganggapnya sebagai sebuah hama.

“Carla bilang kalo lu curi PR dia. Emang bener?”

“Jujur, gua nggak ngerti sama yang dia omongin.”

Raquel mempelajari wajahku. “Trus kenapa lu bisa dituduh sama si Carla? Selain emang dia dendam sama lu.”

“Gua sempet ke ruang guru abis ngumpulin tugas. Sama guru itu gua dipanggil, file tim gua keselip. Tapi sejak awal di meja gua gak ada liat tugas dia.”

“Lu tau kalo Carla bikin papa lu ditelepon?”

Berita mengejutkan yang diumumkan oleh Rachelle membuatku shock sampai aku di rumah. Rena yang sempat melihatku tidak kugubris. Gina yang juga sedang mengobrol, sepertinya dengan Sony, tidak kuhiraukan. Saat pulang, tentu saja aku tau apa yang menungguku. Walau pintu kamar sudah kukunci, rasa takut yang ada tetap memakanku perlahan-lahan.

Tepat saat ayah pulang, suara panggilan dan teriakannya menggema di seluruh rumah. Cacian, bentakan, dan perlawanan Samuel. Apa bahkan hidup di sini masih berguna? Apa aku berhak berada di sini? Setiap hal yang kulakukan … bukankah aku hanya mengacau? Orang sepertiku tidak pantas disebut sebagai seorang Carter. Aku tidak pantas hidup di antara mereka yang memang lebih berhak.

“Tidak tau malu!” teriak ayahku yang membuka pintu kamar, mendapatkan kunci cadangan. Dia langsung menampar wajahku. “Dasar anak gila! Mencuri pekerjaan anak lain hanya karena kau membencinya? Aku tidak pernah memiliki anak yang sememalukan dirimu, Olivia!”

Samuel yang tau kondisiku berusaha menenangkan. “A-ayah. Tenang dulu, Sam yakin kalau ada salah paham. Mengapa tidak mendengarkan dari pihak Olivia juga?”

Ayah menatapku sekilas, seperti sedang menimang-nimang apakah aku harus diampuni atau tidak. Mengetahui sifat ayah, tentu dia menolak. Dia mendengus sebelum melepaskan ikat pinggangnya. Samuel yang juga menyadari berjalan mundur. Senyum sinis ayah tergambar di wajahnya dan dengan senyumannya, dia mengayunkan ikat pinggang itu ke arahku.

“Dasar anak tidak tau diuntung! Bahkan orang yang kau sebut ibu akan menyesal telah melahirkanmu!” Rasa perih dari hantaman ikat pinggang ayah mulai terasa di lenganku. “Kau pikir sekolahan adalah tempat bermain? Sudah kuperbolehkan ikut club bela diri tidak jelas, masih melunjak?!”

Ayah melempar ikat pinggang ke arahku, membuatku sekilas menatap Samuel yang ada di belakangnya. Keningnya berkerut, tapi dia tidak memandang ke arahku. Fokusku teralihkan ketika ayah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Semua rasa sakit yang kurasakan sekarang seperti tidak ada apa-apanya. Air mata yang semula membendung kini telah hilang. Semuanya seperti berhenti sekarang.

***

“Olivia Carter?” Suara Rena terdengar jelas ketika aku turun dari mobil ayah. “Lu gak papa?” Langkah Rena terhenti ketika ayahku juga turun.

“Cepat jalan! Aku tidak punya banyak waktu.”

Tanpa mengucapkan apa-apa, aku meninggalkan Rena yang terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Alasan ayah datang agar berkata bahwa aku bukan pelaku dari kasus Carla. Aku tidak tau apa benar dia percaya atau semua itu hanya sebagai bentuk menjaga nama baiknya. Hal yang paling penting untuknya adalah nama dan statusnya di hadapan orang lain.

Lenganku, yang sudah memar, digenggam kuat-kuat oleh ayah dan dia menarikku ke ruang guru. Anak-anak yang datang pagi melihat semua ini dan langsung berbisik-bisik. Hanya satu orang saja yang tidak, dan itu Stephanie. Di saat semua menjadi heboh karena ayahku datang Stephanie justru tersenyum dengan bahagianya.

“Carter?” Suara wali kelasku terdengar menyeramkan hari ini. “Ah, Anda adalah ayahnya, benar? Mari kita ke ruang kepala sekolah. Olivia, kembali ke kelas.”

“Tidak!” sela ayah tegas. “Kau tunggu di depan sampai aku keluar.”

“Ba-baik.” Tanpa sengaja suaraku bergetar, entah apa ayah menyadarinya atau tidak.

Seperti yang diperintahkan, aku menunggu ayah keluar. Ponselku yang berada di kantong terasa bergetar dan nama Samuel terpampang. Kuabaikan telepon itu dan mengiriminya pesan. Selama aku menunggu, aku hanya bertukar pesan dengan Samuel, bahkan ponselku hampir jatuh kala seseorang menggenggam lenganku. Ayah kembali membawaku ke tempat yang sepi.

“Camkan kata-kataku! Kalau sampai ada panggilan lain dari sekolah, aku akan mengeluarkanmu dari klub bodoh itu!”

“Bela diri bukan ….!” Belum selesai aku berbicara, ayah sudah menamparku keras.
Mata ayah yang memerah menatapku tajam. “Bantah aku lagi dan kau akan tau akibatnya!”

🌻✨🌻

(24/03/2021)

Wahh, tinggal sepuluh chapter lagi dan cerita ini akan end. Gimana nih yang baca sejauh ini?

Yuk share pengalaman baca dan alasan kalian bisa suka sama cerita ini!

Jangan lupa tinggalkan vomments, share ke temen kalian dan masukin reading list ^^
Follow akunku jga untuk info cerita lainnya~

See you next update! ^.^v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top