Chapter 19 - The Same
Laurena’s POV
Kubasuh wajahku saat waktu istirahat sudah datang. Kejadian yang terungkap pagi-pagi terasa terlalu memualkan bagiku. Dengan satu tatapan saja yang diberikan Gina … aku bahkan tidak bisa melakukan apa-apa. Mengapa aku menjadi seperti ini? Hanya karena mereka, semua perasaan takut ini sekarang menghantuiku. Mereka sekarang sudah berhasil membuatku terlihat seperti sebuah lelucon.
“Oh, lihat siapa yang ada di sini,” ucap Olivia dengan dingin. Dia menyunggingkan sebuah senyum yang membuatku ingin menampar wajahnya. “Ngapain ngeliatin gua gitu?”
“Nggak,” balasku singkat. Semenjak hari itu, aku tau lebih baik kalau aku tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Terlebih ketika orang itu tidak mau dibantu sama sekali.
Olivia mencuci tangannya sebelum berucap, “Gua denger pagi ini ada rusuh di kelas lu. Masalah apa lagi yang lu lakuin?”
Aku? Membuat masalah? Mendengar ucapan Olivia yang berkata kalau aku membuat masalah anehnya memancing emosiku. Jika Olivia tidak cekatan sama sekali, sekarang dia pasti sudah tercekik karena aku. Dia terkekeh kecil, seperti merasa puas dengan reaksiku. Kuputuskan untuk meninggalaknnya sendiri, tidak mau berurusan dengannya, tapi langkahku terhenti begitu saja seperti ada yang mengkontrol diriku. Aku teringat dengan apa yang terjadi pagi itu dan mencoba untuk mengetes Olivia, seberapa dekatnya dia dengan anak-anak lain.
“Lu tau … Rachelle punya kakak namanya Sony?” Karena aku tidak menatap Olivia, aku tidak bisa melihat bagaimana reaksinya sekarang. Tapi diam darinya sudah menjadi jawaban bagiku, aku merasa sangat yakin akan apa jawabannya. “Guess you haven’t”
Kali ini aku yang memberi seringai kepuasan. Walau tau Olivia tidak akan bisa melihatnya, melakukannya memberi kesenangan tersendiri. Langkah kakiku terasa berat untuk kembali ke kelas. Rasa takut yang semula sempat hilang muncul kembali menggerogoti diriku. Padahal, hari ini mereka lebih tenang dari biasanya karena berita yang ada tadi pagi. Mengapa aku masih terus merasa takut dengan mereka? Mereka juga manusia yang sama sepertiku.
Tanpa sadar aku sudah berhenti melangkah, mendapat omelan dari anak lain karena kata mereka aku menghalangi jalan. Kuhembuskan napas sebelum kembali melangkah, namun dengan perlahan, setidaknya anak-anak tidak akan mengomel dan berkata aku menghalangi jalan mereka. Celotehan anak-anak di sekitarku terdengar sangat memuakkan. Ingin sekali aku kabur dari semua itu, tapi aku tidak mau jadi seorang pengecut. Kabur artinya menyerah, bukan?
Kalau kau menunjukkan kepada orang lain kalau kau lemah, mereka akan memanfaatkannya untuk mengahncurkanmu lebih jauh lagi. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah berpura-pura kuat. Selalu tersenyum layaknya orang tanpa ada masalah. Dengan begitu mereka tau, kau akan terus tersenyum walau masalah datang menimpa. Mereka tidak akan bisa mengganggumu karena tidak memberikan reaksi yang mereka inginkan dan itu membosankan.
“Ck! Mana sih itu anak? Makanan gua belom dateng juga!”
“Bentar lagi bel, kan? Ribetin banget sih! Pake cari gara-gara segala! Belom puas kali ya dihukum.”
“Napsu makan gua udah ilang. Dahlah, balik ke kelas aja. Capek gua nunggunya.” Ketiga anak yang semula menunggu di depan kelasku langsung pergi begitu saja. Tak lama datang anak dari kelasku, napasnya tersengal dan tubuhnya bersimbah keringat.
“Re-Rena, liat anak yang di sini nggak?”
Selama beberapa saat aku hanya terdiam karena terkjeut dan bingung, tapi akhirnya aku menunjuk ke arah mana anak-anak itu telah pergi. Respons teman sekelasku sama sekali tidak terduga. Dia anak yang selalu menjaga ucapannya, tiba-tiba saja dia merutuk di hadapanku dan menghentak-hentakkan kakinya karena kesal. Suara kaleng yang menghantam satu sama lain terdengar nyaring dari kantong belanjaannya.
Tidak mengucapkan sepatah katapun kepadaku, anak itu langsung pergi meninggalkan tempat kami berdiri dengan tergesa-gesa. Wajahnya, walau hanya sekilas, menggambarkan ketakutan dan amarah. Ya, tentu saja. Kapan pun itu, kasus bully pasti tetap akan ada. Seberapapun aku berusaha melindungi seseorang … orang itu bisa menipuku. Semua orang memiliki wajah yang dia tampilkan kepada beberapa orang saja, hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat seluruh wajah orang tersebut.
“Hah …. Apa sih yang aku pikiirkan. Fokus saja pada dirimu.” Begitu aku melangkahkan kakiku ke dalam, beberapa anak terlihat langsung menatap diriku, layaknya aku adalah spesies langka.
“Menurut lu, si Rena bakal ikut campur urusan Rachelle, gak?”
“Rena? Ya pastilah! Lu kayak gak tau si Laurena Llyod aja!”
“Ssssttt, orangnya dateng tuh!”
“Dodol!” Salah satu anak langsung memukul kepala anak yang menyebutkan namaku dengan keras.
***
Bisa dikatakan cukup aneh, tapi saat aku pulang, hujan turun dengan cukup deras. Cuaca yang ada sekarang benar-benar menggambarkan suasana hatiku. Begitu menyedihkan dan tidak ada kebahagiaan sama sekali. Rasanya sangat cocok untuk bergelung di atas kasur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh. Ditemani dengan secangkir cokelat yang sudah siap diminum kapan saja. Jika berjodoh, bahkan bisa membaca novel.
Nyatanya yang terjadi di hadapanku bukanlah salah satu dari semua itu. Sembari aku menunggu jemputanku, earphone kesayanganku sudah terpasang di telinga, melantunkan musik yang menenangkan pikiran. Ketenanganku terpecahkan ketika seseorang menarik earphone-ku, membuat ponselku ikut tertarik. Refleks membuatku bangkit berdiri dari kursi tempat aku menunggu jemputan bersama beberapa anak lain.
Suara tawa itu kembali terdengar. “Ekspresinya pas kaget dong! Coba kalo tadi direkam, bisa viral kali!”
“Apa mau lu?” tanyaku yang sudah merebut earphone-ku kembali.
“Nggak banyak kok, nggak usah sewot gitu lah.”
Carla langsung merangkulku dan berbisik tepat di telinga. “Lu masih inget janjinya, kan? Ato lu mau gua ingetin lagi?”
Tubuhku segera tegang karena itu. Kenapa justru di saat seperti ini? Apa yang mereka inginkan dariku? Apa tidak puas dengan kegiatan sehari-hari mereka? Apa lagi yang mau mereka lakukan sekarang? Carla terlihat menyadari respon yang kuberikan sehingga dia terkekeh sebelum tertawa dengan keras. Matanya yang berwarna hijau karena kontak lens terlihat menyeramkan. Entah karena apa dia lebih cocok menjadi seorang penjahat di sini daripada yang lainnya.
Tawa Carla terhenti tepat ketika seseorang menubruknya, tangannya yang masih merangkul diriku terlepas, tidak sebelum aku ikut tertarik. Semua, termasuk aku, ikut menatap siapa yang berani mendorong Carla dengan begitu keras. Ketika Carla sadar siapa orang itu, ekspresinya menggelap dan suaranya juga berubah menjadi berat. Perubahannya menunjukkan betapa dia tidak senangnya dengan orang yang baru datang itu. Justru tatapannya seperti ingin membunuh.
“Carter!”
“Masih gak malu juga. Mau gua umumin ke semua orang? Kalo perlu di depan Stephanie? Dia masuk organisasi, lho. Mau bikin dia malu?”
Gina terdengar merutuk. “Ngapain sih lu ikut campur?! Ini urusan kita sama Rena, lu nggak berhak ikut campur!”
“Gua nggak berhak? Hello? Rena itu temen sekelasnya sahabat gua, gua juga punya hak!”
Kiara menatap Olivia sebelum pandangannya dialihkan kepadaku. Bagaimana dia tidak bingung? Olivia dengan mudahnya berkata kalau Rachelle dan Raquel adalah sahabatnya. Orang yang selama ini selalu menolak untuk memiliki satu orang teman saja tiba-tiba berkata seperti itu. Dia memiliki sahabat, dia mengakui kedua ank itu sebagai sahabatnya. Aku tidak mengalami serangan jantung adalah hal yang menakjubkan.
Gina menatap Kiara, seperti menunggu jawaban darinya. Orang yang ditatap hanya mencibir dan langsung pergi meninggalkan tempat untuk kembali masuk ke dalam gedung sekolah. Seperti pengikut yang setia, Gina dan Carla ikut masuk tanpa menatapku untuk terakhir kalinya. Berbeda dengan Gina, Carla dengan sengaja menabrak bahu Olivia yang mendengus kesal. Mereka sepertinya akan terus bermusuhan seperti anjing dan kucing.
Selama beberapa saat, Olivia terus menggumam pada dirinya, seperti sedang marah. Apa yang dia lakukan ini membuatku terdiam. Olivia mulai berjalan ke sana kemari, ekspresi wajahnya menunjukkan amarah sebelum kami saling bertatapan. Gumaman atau omelannya terhenti, matanya terpicing layaknya orang melakukan scanning. Ekspresinya juga menunjukkan betapa serius hal yang ingin dia ucapkan ini.
“Jangan bilang-bilang ke Rachelle ato Raquel soal hari ini. Kalo sampe ketawan, awas!”
“Nggak, gua gak mau ikut campur lagi.” Lagi-lagi Olivia mendengus kesal.
“Says the one who spill the rumor.”
Belum aku bisa membalas ucapan Olivia, dia langsung lari keluar menembus hujan yang entah kapan akan berhenti. Dalam sekejap bajunya sudah terlihat basah dan karena derasnya hujan, aku kesulitan untuk mendeteksi keberadaannya sekarang. Belum aku tersadar dari keterkejutanku, mobil jemputanku sudah datang dan membawakanku payung. Memang sopirku ini selalu bisa diandalkan ketika waktu berubah menjadi buruk. Bantuannya berhasil membuat hariku terasa lebih baik. Karena kebahagiaan tidak hanya muncul pada hal besar, namun juga hal kecil.
Perjalanan pulang hari itu teras lebih lama dari biasanya. Rintik hujan yang membasahi kaca mobil mengaburkan pandanganku. Walau aku sudah hafal apa saja yang ada, setiap kali hal ini terjadi hanya membuatku merasa kacau. Seseorang seperti sedang memainkan perasaanku naik dan turun. Dan memang, di waktu seperti ini aku akan merasa banyak hal telah kusia-siakan. Aku bisa mengelak itu semua, tapi aku seperti memaksa diri untuk terus memperhatikan dan peduli pada hal itu.
“Rena, sudah pulang?” Mendengar suara ibu hanya membuatku semakin merasa bersalah. “Mau makan?”
“Nggak, Mah. Nanti aja,” ujarku dengan ragu. Ibu mengerutkan keningnya sebelum mengiyakan perkataanku dan membiarkanku ke kamar.
Di masa ini aku yakin kalau ibu mulai mencurigaiku, tapi aku bisa berkata apa? Beberapa kali aku memohon agar dibiarkan tinggal sendiri di dorm, tapi ayah langsung menolaknya mentah-mentah, berkata kalau seharusnya aku kumpul bersama keluarga selagi bisa. Apa yang diucapkan oleh ayah membuatku tidak bisa melakukan apa-apa selain menurut. Memang benar, selagi ada waktu manfaatkanlah dengan baik karena kita tidak tau kapan akan mendapatkan kesempatan seperti itu lagi.
Perlahan aku merasa kehilangan diriku, seperti aku tidak bisa lagi menjadi diriku yang dulu. Setiap harinya di sekolah hanya ada rasa takut. Setiap tindakan yang kuperbuat selalu diperhatikan. Jika satu hal saja salah, mereka tidak akan segan mengulangi kejadian itu, membuatnya seperti barang buangan. Kau juga akan menjadi bahan olok-olokkan tanpa henti. Orang yang memiliki kuasa adalah orang yang akan menang. Semua akan tunduk pada orang itu.
Menjadi terkenal adalah satu-satunya cara agar kau diakui. Menjadi terkenal sampai orang lain bisa mendapatkan apa yang mereka ingini dengan cara curang, memanfaatkan orang lain. Jika tidak ada koneksi … kau bukan orang yang penting. Bahkan guru pun bisa menutupi kasus besar. Yang butuh kau lakukan menjadi dekat dengan guru itu. Dekati dan berpura-pura menjadi murid yang baik, maka setiap rahasiamu akan aman bersama mereka.
“Tugas untuk besok …,” gumamku. “Interview dengan orangtua tentang mengurus anak agar memberi dampak pada masyarakat? Konyol.”
“Rena, mau bantu Mama masak malem?”
Suara panggilan ibuku membuatku terlonjak. “I-iya, boleh!”
“Kenapa? Lagi ngerjain tugas?”
“Maunya sih, tapi tugasnya gak jelas.” Tatapan ibu membuatku terdiam sesaat. “Maksudnya penjelasannya bikin bingung. Disuruh interview orangtua soal membesarkan anak.”
Ibu terkekeh mendengar penjelasanku. Benar, ibu selalu seperti ini. Jika ada masalah yang menimpanya, dia akan berkata kalau semua hanya belum saatnya. Hal yang paling penting adalah tersenyum, karena kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya. Jika seseorang percaya akan hal itu, maka tidak akan jadi masalah.
“Ma, apa pendapat Mama soal guru yang pilih kasih?” Dengan pertanyaan yang kulontarkan, aku berhenti mencuci sayuran dan menatap ibu.
“Pilih kasih di antara para murid udah biasa dan guru juga lebih suka sama murid yang aktif di kelas. Nggak selamanya guru yang salah karena perhatiin beberapa murid aja.”
“Kalo sampe ngebandingin?”
Pertanyaanku membuat ibu terdiam. Ekspresinya seperti menggambarkan rasa sakit. Apa ibu juga mengalami hal yang sama dulu? Setiap individu itu berbeda, membandingkan yang satu dengan yang lain adalah kesalahan. Tidak ada orang yang berhak dibanding-bandingkan karena mereka unik dengan cara mereka sendiri. Tapi mengapa, dunia tidak mau menerima perbedaan itu?
Anak-anak populer akan lebih disukai oleh guru, tapi bagaimana caranya agar kau populer jika setiap kata yang keluar dari bibirmu selalu dicemooh? Apa fungsi guru yang mendukung muridnya sudah hilang? Peran teman sekelas untuk saling mendukung juga berubah. Semua berlomba-lomba menjadi nomor satu, padahal mereka adalah juara dalam hidup mereka masing-masing.
“Manusia selalu jadi manusia. Rasa ingin mendidik anak dengan kehebatan sama selalu muncul. Nggak semua pola pikir orang sama. Satu-satunya cara dengan yakin sama diri kalian sendiri.”
Jika orang lain boleh memiliki pola pikir yang berbeda, kenapa banyak orang yang ditolak? Seseorang harus menjadi sama dan berbeda di saat bersamaan. Lelucon apa yang sedang dilontarkan? Jika menjadi diri sendiri salah, dan menjadi orang lain adalah kejahatan, harus jadi siapa diri itu? Pergi dari dunia dengan paksaan?
“Padahal … kalo bisa saling ngerti satu sama lain, bakal kerasa lebih enak. Kenapa harus bandingin setiap individu?”
“Yang paling penting, kamu nggak pernah sekali pun kehilangan jati diri kamu. Kamu itu siapa, kamu sendiri yang bakal nentuin. Jangan sampe ke bawa ucapan orang. Dengerin mereka boleh, ambil positifnya, buang yang negatifnya.”
Kuanggukkan kepala tanda mengerti. “Rena bakal usaha, biar nggak ada hal-hal negatif yang ganggu lagi.”
Ibu tersenyum atas ucapanku sebelum kembali melanjutkan masakannya. Aku sendiri mulai melanjutkan tugas yang diberikan oleh ibu. Makan malam hari itu terasa lebih tenang dari biasanya, terlebih fakta bahwa ayah belum pulang dari kerjanya. Dan memang, beberapa hari ini aku merasa kalau orangtuaku sedikit menjauh dariku.
Walau aku mengerti dengan semua yang terjadi, nyatanya aku tidak bisa mempraktekkannya di sekolah. Menatap anak yang di-bully, anak yang dikucilkan tanpa bisa melawan. Rasa ingin membantu mereka memang ada, tapi kekuatan apa yang aku miliki hingga bisa menang melawan mereka? Dan yang paling parah yang terjadi, guru juga tidak jauh berbeda dari yang lain.
“Makanan gua lama banget sih datengnya. Heran. Katanya pelari tercepat di sekolah, cuma ke kantin aja lama.” Salah satu anak dari kelas sebelah terlihat menunggu di depan kelasku dengan tangan dilipat.
“Loh? Sela, kamu gak ke kantin?” Suara guru matematika kami menarik perhatian sekumpulan anak itu.
“Tadi saya nitip, Pak,” bohong Sela dengan lancar.
Anak-anak yang juga ada di sana hanya diam dan menonton, seakan mengiyakan perkataan Sela yang berupa dusta. Guru itu tentu saja tidak terlihat bermasalah. Dia bahkan mempercayai perkataan Sela. Anak yang disuruh Sela datang saat itu juga, mendapat tatapan kebencian dari Sela yang tidak luput dari pandangan sang guru.
Guru itu terkenal karena kegalakkannya sehingga aku berpikir Sela akan dimarahi saat itu juga. Tapi betapa salahnya diriku. Guru itu justru tersenyum dengan sangat manis kepada anak yang menunduk. Sela terkekeh dan mengusap kepala anak yang tidak kuketahui namanya. Jelas sekali dia terlihat ketakutan, bahkan sampai menunduk.
“Kalo ada yang nitip, harusnya lebih cepet dong. Nanti kalo Sela gak makan gara-gara udah bel, kamu mau tanggung?”
“M-maaf, Pak. Ta-tadi di kantin rame ….”
“Paling kamu nongkrong dulu kan di kantin? Katanya juara lomba lari cepat.”
Anak itu tidak menjawab ucapan dari guru itu. Semua anak juga hanya menonton apa yang ada di hadapan. Termasuk aku. Dengan memalukannya aku juga ikut menonton apa yang tersedia. Guru itu menggelengkan kepala seperti tidak senang dan kembali tersenyum kepada Sela. Dia mengambil langkah kecil meninggalkan koridor kelas.
Setelah guru itu sudah hilang dari pandangan, Sela langsung menatap anak itu dan memukul kepalanya. Rintihan kecil keluar dari bibir anak itu dan dengan refleks kakiku melangkah hanya untuk terhenti dengan sendirinya. Kedua tanganku basah karena perasaan takut dan emas. Mengapa di saat seperti ini aku justru lemah? Mengapa aku tidak bisa menegakkan apa yang seharusnya dilindungi? Apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sama sekali bukan hal yang baik.
“Kenapa lama banget, hah? Nggak denger kata Pak Setno? Kalo gua kelaperan gimana?”
Anak itu tidak menjawab dan diamnya itu membawa kepuasan kepada setiap anak di sisi Sela. Mereka menarik plastik di tangan anak yang ketakutan dan mendorong-dorong tubuhnya. Kata-kata kasar mereka lontarkan tanpa merasa bersalah. Tidak berpikir bahwa kata-kata itu bisa meninggalkan bekas di dalam benaknya untuk waktu yang lama. Anak yang lain pun meninggalkan tempat kejadian, menyisakan diriku yang masih terpaku.
Meski aku juga ingin berjalan ke arah sana, kakiku terasa berat. Pada akhirnya, aku tidak jauh berbeda dengan mereka, mereka yang hanya menonton dan melihat ketidakadilan terjadi. Terlebih saat guru juga diam melihat ini. Semua, apa murid berhak untuk melawan? Apa ada ruang bagi seseorang seperti aku di sini? Aku memang berakhir seperti yang lainnya.
“Kalo laen kali lu telat, gua nggak bakal tahan-tahan lagi! Biar lu sadar!” Aku mengambil langkah, bukan ke anak itu, tapi pergi menjauhinya.
🌻✨🌻
(20/03/2021)
Sedikit fast update! Semoga kalian suka chapter yang satu ini ^^ sebenernya inti dari chapter satu ini tentang org yg cuma omdo "gua juga mau bantu" ato yg sok di muka umum untuk "nggak boleh bully" tapi nyatanya, mereka cuma nonton pas ada kejadiannya.
Hope you like this chapter, jangan lupa tinggalkan vomments, masukin reading list kalian dan share ke teman-teman kalian!
See you next update~ jangan lupa follow akunku ^^v~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top