Chapter 18 - Hot News
Raquel’s POV
Tahun ajaran baru datang lebih cepat dari dugaan. Semua yang terjadi dalam enam bulan terlewati begitu saja. Kali ini selama liburan sekolah aku dan Rachelle pergi bersama. Butuh usaha yang keras untuknya membujukku agar pergi bersamanya kali ini. Sesuatu dalam diriku mengatakan kalau kali ini aku harus ikut sehingga akhirnya aku menyetujui ajakannya itu.
Di hari pertama sekolah, beberapa anak sama sekali tidak kukenal satu kelas bersamaku. Sialnya, aku kembali sekelas dengan Gina. Alangkah lebih baik jika aku sekelas dengan Kiara. Dia memang menyebalkan, tapi Kiara masih menjaga image-nya sebagai seorang selebgram. Dia harus jadi seseorang yang bisa dianggap sebagai panutan atau menjadi orang yang dipercaya.
“Apa ibumu sudah memikirkan kuliah untukmu?” Pagi-pagi Rachelle sudah menyapaku dengan pertanyaan konyolnya.
“Hm?” balasku malas, kualihkan pandanganku dari buku.
“Ah, nggak, nggak. Lupain aja. Nanti temenin gua ke club ya.”
“Kenapa nggak bareng gua aja? Maen di rumah gua.”
Rachelle terdiam dan menunduk. Dia bahkan mengerucutkan bibirnya sebagai tanda tidak mau membahasnya lebih lanjut. Sifatnya yang dimanjakan di rumah memang terkadang terbawa hingga sekolah. Sesuatu hal yang sudah mendarah daging memang akan sulit untuk dihilangkan. Rachelle juga terkadang menyadari ini, tapi tidak sekalipun dia merasa menyesal.
Tidak bisa berkata apakah aku sial atau tidak, lagi-lagi aku dipertemukan dengan Laurena dalam kelas yang sama. Kali ini tempat duduk kami berdekatan. Dia terlihat jauh berbeda dari tahun pertama masuk. Anak yang dulu sangat ceria, murah senyum, ramah dan sering menyapa sekarang hanya terus menundukkan kepalanya. Senyumannya juga terkesan lemah dan tidak memiliki cahaya.
“Duh! Ati-ati dong kalo jalan!” omelan dari suara yang asing memasuki pendengaranku ketika kami sedang beristirahat. Mata seluruh anak kelas tertuju kepada sumber suara itu. Tanpa diduga, orang yang diomeli adalah Kiara.
“Gua diem aja loh. Nggak salah omelin orang nih?”
“Ha! Bukannya minta maap malah ngoceh gak jelas. Ngerasa hebat gara-gara jadi selebgram?”
Kiara menatap Gina yang menatapnya balik. “Dari tadi gua udah di sini loh padahal. Mata lu ke mana? Yang laen juga bisa buktiin.”
“Dari tadi gua ngobrol sama Kiara. Jangan halu!”
Anak ini mengeluarkan suara tawa kesal yang ditujukan kepada dua anak itu. Tatapannya berubah menjadi lebih tajam, tapi Kiara tidak terpengaruh akan hal itu. Dia justru menatapnya lebih tajam lagi, ditambah dengan tatapan Gina yang juga sama-sama mematikan. Dengan adanya mereka, kapan aku bisa hidup tenang di kelas? Mereka tidak akan puas jika belum menunjukkan kepada dunia kalau merekalah yang berkuasa di kelas ini, di sekolah ini.
“Gua? Halu?” Tanpa segan anak itu langsung mendorong Kiara agar bisa mendekati Gina. Hal yang menakjubkan terjadi. Beberapa anak laki-laki yang ada di kelas langsung berdiri di hadapannya. “Minggir! Ngapain ikut campur, hah?”
“Lu udah hampir nyakitin Kiara, mending lu diem sebelom gua laporin.”
“Ini gak ada urusannya sama lu pada! Minggir gua bilang!”
Anak itu tidak memiliki niat untuk mengalah. Merasa sudah membosankan, kualihkan pandanganku kepada Rachelle yang beberapa baris di belakangku. Dia terlihat berusaha untuk tidur, tapi tentu keributan yang ada hanya akan membuat kepala terasa pening. Keributan itu terus berlanjut sampai aku menghela napas pelan. Selama beberapa saat aku baru menyadari adanya hal yang janggal. Diamnya Laurena Llyod.
Di saat seperti ini, tidak peduli dia ketua atau bukan, pasti dia akan melawan, membuat mereka diam dan memberi omelan tentang rasa kekeluargaan. Namun kali ini berbeda, Laurena tetap menundukkan kepalanya. Sesekali terlihat dia menatap ke arah Kiara dengan takut-takut. Sikapnya ini membuatku penasaran apa yang terjadi kepadanya. Namun aku tidak suka ikut campur urusan orang terlalu dalam, hanya akan membawa petaka.
Hal yang ada di luar dugaan terjadi. Laurena menggebrak meja dengan tangan yang gemetar. Tubuhnya terlihat sangat kecil walau dia sudah berdiri. Tapi kepalanya masih saja terus menunduk. Semua perhatian sekarang ada padanya dan semua menunggu apa yang akan dia lakukan. Laurena menatap semua anak sebelum lari keluar dari kelas. Kedua tangannya terlihat gemetar cukup hebat. Tidak biasanya dia akan terlihat ketakutan begitu, apa yang terjadi dalam enam bulan itu?
“Dia kenapa? Kok aneh gitu?” celetuk salah satu anak lama.
“Aneh banget!” tawa anak yang berdiri melindungi Kiara. Suara ejekan terhadap Laurena dapat terdengar semakin jelas.
Seisi kelas terdiam karena sekali lagi dikejutkan, kali ini oleh Rachelle. “Bisa diem?! Ada hubungannya gak sih sama lu pada? Baru hari pertama udah pada cari ribut! Dan lu, Kiara, balik ke kelas lu! Lu tuh ganggu, ganggu banget!”
“Oh, jadi maksud lu kalo ada ribut pasti salah gua, gitu?”
Kiara yang semula hanya diam saja mulai berbicara, semua orang menatap Kiara dan Rachelle secara bergantian. Pertengkaran seperti hal yang paling ditunggu oleh yang lain. Semenjak pulang, Rachelle memang bersikap aneh. Dia lebih dingin dari biasanya. Memang kepadaku terlihat biasa saja, tapi aku bahkan bisa merasakan keraguannya. Rachelle menatapku sekilas sebelum kembali menatap Kiara tajam. Dia sudah membulatkan tekadnya sekarang.
Belum Rachelle bisa mengucapkan apa-apa sebagai balasan, tiba-tiba saja bel istirahat sudah selesai berbunyi. Kiara menggerutu akan sesuatu sebelum dia keluar dari kelas dan menatap Rachelle untuk terakhir kali. Jelas sekali dari matanya kalau dia tidak senang dengan gangguan Rachelle. Kerumunan yang ada mulai kembali ke kelas atau tempat mereka masing-masing. Rachelle tidak kembali duduk, justru dia keluar kelas tanpa memandang ke arahku.
***
“Nona Owen?” panggil sopirku yang baru datang. “Maaf saya datang terlambat, tadi ada kecelakaan.”
“Tidak apa. Lagi pula aku yang mengubah jadwal secara dadakan.”
“Tidak, Nona. Saya seharusnya selalu siap.” Mendengar ini membuatku menghembuskan napas kesal. Formalitas mereka selalu berhasil membuatku merasa sesak.
“Nona?”
Dari belakangku lagi-lagi terdengar suara yang asing, tapi aku mengenali suara itu. Sony, kakak kelas yang mendekatiku dulu. Apa dia masih belum menyerah? Padahal sudah hampir satu tahun kami tidak bertemu. Dia menuruni anak tangga dan berdiri tepat di sebelahku. Dia bahkan mengeluarkan sebuah seringainya yang selalu membuat anak lain tergila-gila akan dirinya, tapi bukan aku.
Bagiku, senyumannya yang seperti itu sama sekali tidak menawan. Justru membuatku ingin menampar wajahnya keras-keras, kalau bisa sampai meninggalkan bekas untuk waktu yang lama. Dengan begitu, dia akan berhenti tebar pesona kepada murid lain. Berbeda dengan yang tahun lalu, kini tatapannya kepadaku terlihat sangat merendahkan. Dia menatap sopirku yang menundukkan kepalanya, entah sebagai hormat atau apa. Sony menatapku sekilas, kilatan matanya mengingatkanku akan seseorang.
“Memang, lu itu Ice Queen sekolah ini. Pantes buat diperlakuin kayak ratu. Kayaknya laen kali gua harus bawa karpet merah.”
“Nona, apa saya boleh melaporkannya?”
Kutatap Sony dengan ekspresi datar. “Tidak ada gunanya berhubungan dengan seorang hama.”
Sony terlihat kesal dengan balasanku. Ketika aku melangkah meninggalkannya, dia mulai mengeluarkan kata-kata kasar. Teriakan-teriakannya membuat beberapa anak yang masih ada menatap ke arahnya. Sopirku bahkan berhenti dan bertanya lagi apa aku serius tidak mau menghukumnya. Mendengarnya yang mulai mengucapkan kata tidak senonoh membuatku berpikir dua kali untuk melakukannya. Suara teriakannya itu terhenti sehingga aku menatapnya.
Olivia yang masih menggunakan baju training terlihat menjulurkan tangan kanannya yang mengepal. Tepat di mana seharusnya Sony berdiri digantikan dia yang tergeletak di tanah, menahan rasa sakit dari perutnya yang berhasil dipukul oleh Olivia. Melihat cengiran Olivia benar-benar hampir membuatku tertawa lepas. Anak itu memang selalu tidak terduga, dia juga bisa sangat membantu ketika tidak ada yang meminta.
“Lu ngutang sama gua pokoknya!” teriak Olivia yang sekarang menginjak kaki Sony, membuat dia merutuki Olivia berkali-kali.
“Whatever,” balasku kecil, tidak peduli apa dia dengar atau tidak. Aku bersusah payah menutupi senyuman yang ingin muncul di bibir. Aku tidak bisa tersenyum sekarang!
“Nona sudah siap pulang?”
Kutatap sopirku yang sudah membuka pintu. “Ah iya. Maaf. Ayo pulang. Dan jangan bilang pada mom masalah ini.”
Supirku mengangguk takut-takut atas ucapanku. Walau dia adalah bawahan ayahku, aku tetap memiliki kuasa atasnya, terlebih dia harus bekerja untukku. kadang aku mendengar hal-hal tidak enak dari mereka dan itu menjadi black mail-ku atas mereka. Hanya beberapa saja yang dapat aku percayai di rumah dan mungkin itu alasan Rachelle benci ke rumahku. Aku sendiri benci dengan rumah yang aku tinggali.
***
Seperti biasanya, pagi ini aku juga datang lebih pagi. Hal yang aneh adalah fakta Gina juga sudah ada di kelas, bahkan dia terlihat sudah datang sedari tadi. Bukan hanya itu yang menggangguku, tapi Laurena juga ada di dalam kelas, kepalanya tertunduk sangat dalam sedangkan Gina berdiri dengan sangat tegak, menunjukkan kalau dia lebih tinggi dari Laurena. Bukan hanya dalam tubuh, namun juga pada kekuasaan yang ada.
Merasa bukan urusanku, tentu aku menghiraukannya. Kulewati Gina yang menghalangi jalan. Urusan seperti ini adalah tugas Rachelle dan bukan aku. Jika dia melihatnya sekarang, tanpa segan dia akan langsung menengahi dan mengomeli Gina. Jika dilawan, sejuta sumpah serapah bisa dengan mudah keluar dari bibirnya. Rachelle tidak masalah mengucapkannya bila sedang emosi tinggi, baginya itu akan menenangkan.
“Akh!” Gina yang dengan sengaja kudorong langsung merespons berlebihan. “Gak bisa liat apa gua ada di sini?!”
“Siapa suruh lu ngalangin jalannya?” Anak yang sudah datang dan menonton menahan napas terkejut.
Laurena yang semula menundukkan kepalanya menatapku dengan ragu. “Raquel … minta maap aja sama Gina. Nggak ada salahnya, kan? Toh, minta maap duluan nggak harus selalu salah, tapi tau kalo hubungan baik satu sama lain itu lebih penting.”
Ucapan Laurena memang ada benarnya, tapi semenjak hari itu, aku tidak pernah mengucapkan kata maaf. Semakin sering kau mengucapkannya, orang lain akan menganggapmu lemah. Meminta maaf artinya kau menyerah dengan keadaan dan memilih untuk tunduk dnegan ucapan orang itu. Tunduk berarti kau harus selalu mengikut kemauannya, menjadi budak mereka.
Kuabaikan kedua orang itu dan langsung duduk di kursiku sendiri. Tatapan Gina sudah kentara menunjukkan perasaan apa, berbeda dengan Laurena yang sekarang sudah menunduk dengan sendirinya. Sikapnya jauh berbeda dengan yang biasa. Apa yang terjadi kepadanya? Mengapa dia bisa sampai seperti itu? Mengapa dia berubah banyak? Siapa yang membuatnya begitu? Seluruh pertanyaan mulai berputar di kepalaku.
Hari ini Rachelle datang lebih lambat dari biasanya dan dapat kulihat lebam di pipinya. Tatapan yang dia berikan kepadaku seakan-akan ingin berkata untuk jangan ganggu dia atau mempertanyakan lukanya. Aku tau seberapa bencinya jika mulai membahas itu, sehingga kuputuskan untuk mengunci bibirku rapat-rapat. Sayangnya ketenangan kami kembali diusik.
“Hot news!” teriak anak laki-laki dari kelas Kiara. Dalang itu sendiri pun ikut datang dengan ekspresi puas diri. “Gua bawa hot news dari Kiara!”
“Pagi-pagi udah heboh aja.”
“Tau tuh, kek ada kebakaran!”
“Datengnya sih dramatis, tau-taunya beritanya biasa aja!”
Sautan anak-anak itu memenuhi seluruh ruang kelas. Kiara sempat tertegun mendengar seberapa heboh semuanya. Hanya sekilas dapat terlihat keraguannya, tapi dia dengan berani melangkah ke depan, menuju meja guru di tengah dan menggebraknya, berusaha menarik perhatian seluruh anak kelas. Aneh semua orang terlihat menurut dan langsung diam. Padahal biasanya mereka tidak memedulikannya.
Kiara berdeham beberapa kali. “Hot news yang gua bawa hari ini soal temen kalian, Rachelle dan Raquel.”
“Jangan ngadi-ngadi! Raquel kan Ice Queen, mana mungkin ada gosip ato semacamnya!”
“Kiara, gua tau lu benci sama Raquel, tapi gak gini juga.”
Sekali lagi kelas mulai rusuh, tapi kali ini penuh dengan protes dari anak-anak. Kiara menatapku tajam sebelum mengeluarkan seringai. Sekali dia mengangkat tangan, semua anak terdiam lagi. Rachelle yang sedang bad mood terlihat seperti ingin membunuh Kiara, sedangkan Gina yang puas bermain-main justru berjalan ke sebelah sahabatnya.
“Kiara jujur kok. Kita di sini ada kabar yang bakal bikin lu semua kaget. Terserah mau percaya apa nggak.”
Ucapan Gina membuat semua yang ada di dalam kelas terdiam dan saling tatap. Masing-masing dari mereka masih memberi tatapan tidak percaya tapi mereka tidak tau persis atau komplain, justru mereka terlihat sangat penasaran. Entah karena alasan apa, kali ini aku merasakan takut, mungkin karena audience yang ada dan menunggu kepastian berita ini.
“Kalian semua tau kan kalo Rachelle sama Raquel keliatan deket banget? Gak kayak sama si Carter itu.”
“Nggak cuma itu aja. Bahkan Raquel sempet nggak sekolah satu taon, siapa sih yang nggak tau berita ini? Secara dia kan anak paling pinter.” Bisikan-bisikan di kelas mulai terdengar semakin keras.
“Raquel Daniel Owen cuma anak adopsi dari keluarganya yang sekarang!”
Berita yang dibawakan oleh Kiara membuat semua anak terdiam dan langsung menatap ke arahku, tidak terkecuali Laurena yang sedari awal hanya menunduk. Memang setiap anak menatapku, tapi aku bahkan bisa merasakan tatapan Rachelle di antara semua itu. Dan bisa kukatakan, tatapan yang dia berikan sama sekali tidak mengenakkan atau bersahabat, seperti dia juga ingin membunuhku diam-diam.
Semua reaksi anak di kelas membuat Kiara dan Gina saling tatap dan tersenyum dengan puas. Tampaknya mereka belum selesai atau sangat puas dengan hal yang baru saja mereka ucapkan. Kiara mengeluarkan ponselnya dan terlihat sangat bahagia ketika sudah selesai mengutak-atiknya. Dia mengangkat ponsel itu tinggi-tinggi dan kembali berteriak untuk menarik perhatian anak-anak.
“Selama ini Rachelle selalu bilang kalo dia anak tunggal. Tapi nyatanya, dia boong.”
“Beberapa hari yang lalu gua nggak sengaja liat di biodata anak-anak kelas kita,” sambung Gina yang sudah menatap Rachelle. “Tebak dong apa yang gua liat?”
“Rachelle punya sodara?”
“Bingo!”
Seruan anak-anak semakin keras. Kali ini tatapan Laurena berpindah dariku menuju ke Rachelle yang ada di belakangku beberapa kursi. Aku tidak memiliki kekuatan untuk melihat ke belakang dan membaca ekspresi Rachelle saat ini. Yang pasti, tatapannya akan sangat masam. Lagipula, aku juga terlibat dalam masalah keluarga Rachelle, mana mungkin aku bisa menatapnya sekarang. Aku hanya akan merasa malu jika melakukannya.
“Oh? Kenapa diem aja?” ejek Gina yang berjalan ke arah Rachelle. “Gua ada buktinya loh.”
“Mau lu apa?” tanya Rachelle ketus. Gina tertawa dengan cukup keras dan menunjukkan ponsel Kiara kepada anak yang lain.
Ponsel itu beberapa kali berpindah tangan, aku tidak tau lagi bagaimana reaksi Kiara melihat ini. Bahkan Laurena juga ikut membaca berita atau data dari Rachelle. Tentu di sana juga tertera nama dari saudara Rachelle. Reaksi mereka semua bahkan tidak tergantikan. Well, kalau aku bersama mereka, aku juga akan merespons dengan gaya yang sama.
“Mirisnya … nama dari kakak Rachelle itu Sony!” Beberapa anak yang tidak membaca dari ponsel langsung menahan napas dan menatapku. Tentu siapa pun pasti teringat akan kejadian itu. “Bukan, bukan. Bukan Sony yang itu.”
Kiara terkekeh. “Rachelle, kalo lu mau nurutin perkataan gua, semua sisa rahasia lu nggak bakal kebongkar lho!”
“Gua harus percaya sama lu bedua?”
Ucapan Rachelle ada benarnya. Namun mengetahui tentang keluarganya, aku merasa ada yang janggal. Semua seakan-akan Rachelle tidak peduli lagi akan apa yang keluar dari bibir Kiara. Padahal, selama ini dia selalu menjaga dengan baik semua hal tentang keluarganya. Mengapa sekarang? Apa karena kejadian yang lalu? Apa dia sudah hilang harapan akan segalanya?
Kuberanikan diri untuk menatap ke arah Rachelle yang masih bertatapan dengan Gina. Dia memang terlihat datar tanpa ekspresi, tapi rasa sesak dari semua pusat perhatian ini membuatnya takut. Tidak ada yang menyadarinya, dan ini justru membuatku yang takut. Apa dia akan baik-baik saja? Mengapa dia bahkan masih menantang Kiara yang siap mengekspos keluarganya? Kalau dia takut, kenapa dia tidak menyerah saja dan justru memperkeruh suasana? Apa dia ingin terlihat tangguh di hadapan anak lain?
“Jadi … lu lebih pilih diem?” tanya Gina yang menatap rendah Rachelle. Tatapan itu tidak dibalas karena Rachelle sudah memperhatikanku. Ini jelas membuat Gina tertawa hebat. “Oh, gitu ya. Oke. Nggak masalah.”
“Gina! Hargai privasi orang!” bentak Laurena akhirnya. Hanya dengan sekali tatap dari Gina, dia sudah kembali duduk dan tidak mengucapkan apa-apa. Terlihat dia mengunci bibir rapat-rapat. Mungkin sekarang dia sedang menyesali perbuatan sembrononya.
“Kakak dari Rachelle namanya Sony. Banyak yang nggak tau dia karena dia udah mati … dan dia bunuh diri.”
🌻✨🌻
(17/03/2021)
Hot news banget dong! Gimana nih chapter kali ini? Bikin deg2an? Shock? Tangan tremor?
Jangan lupa share your thoughts ya, tinggalkan vomments kalian juga! Masukin reading list dan share ke temen2 kalian ^^
Follow aku untuk update cerita lain~
See you next update!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top