Chapter 16 - Holiday, Fun Time!
Laurena’s POV
Setelah pembagian rapot, ibu tidak marah terlalu banyak seperti yang sudah aku kira. Ibu beberapa kali memujiku karena nilai yang aku dapatkan cukup bagus, namun di saat yang bersamaan, mengancamku untuk menaikkan nilai-nilaiku. Ibu tidak mengucapkannya seperti itu adalah beban, tapi bagiku, itu terasa sebagai beban karena aku harus bisa memenuhi ekspetasi dan harapan ibu.
Ibu sempat bertemu dengan beberapa anak kelas, salah satunya adalah Rachelle. Tidak seperti dirinya, Rachelle tidak tersenyum atau menyapa, dia bahkan terlihat sedang stress. Ibu sampai bertanya siapa anak yang kurang ajar itu. Aku tidak menyebut namanya karena Rachelle sendiri beberapa kali menolongku dari Gina dan Kiara, terkadang Carla juga. Mungkin saja dia sedang ada masalah, aku tidak ingin menambah masalahnya.
”Liburan kali ini nggak bisa ke Bandung, gak apa, kan?” Berita yang dibawakan ibu sungguh mengejutkan diriku. “Nanti baru bisa pas taon depan, gak apa, ya? Soalnya papa masih sibuk.”
“Ho … masih nyesuain diri, ya? Makanya sibuk banget.” Aku terdiam selama beberapa saat, merenung soal ini. Aku tidak bisa bersikap egois, namun aku ingin kembali pulang dan bertemu dengan sepupuku. “Gak papa! tapi taon depan janji, ya!”
“Iya, janji kok. Trus, temen-temen kamu pada liburan?”
Ketika ibu mengucapkan teman-teman, aku teringat apa yang terdengar seperti keluhan dari mereka. Sebagian besar hanya akan berada di rumah dan menghabiskan waktu untuk belajar, beberapa ada yang berencana untuk pergi ke luar negeri, ada juga yang masih di dalam negeri. Tapi satu yang paling menonjol, Rachelle. Dia berkata kalau dia akan pergi ke tempat yang sangat jauh.
Ibuku menjentikkan jarinya di hadapanku sehingga aku kembali sadar dan ke ruang keluarga. Tatapan ibu menunjukkan kekhawatiran, ini membuatku merasa bersalah sehingga aku memberinya sebuah senyum yang sangat lebar, berharap senyuman ini dapat membuatnya tenang. Tapi apalah arti, ibu justru memicingkan matanya karena curiga.
“Ada beberapa yang keluar negri, ada juga yang dalam negri. Ada juga yang masih dipaksa belajar selama liburan. Tapi … ada yang bilang kalo dia bakal pergi yang jauh.”
“Maksudnya?”
“Hm … aku juga gak tau pasti. Aku juga gak deket sama anaknya. Tapi dia biasanya selalu senyum, dia juga punya sahabat yang … gak bisa dipisahin. Kalo dia pergi dalam artian itu, dia harus ninggalin sahabatnya, dong?”
“Rena, kamu tau kan kalo nggak setiap senyum yang ada itu menggambarkan kebahagiaan? Coba tanya diri kamu sendiri, berpa kali kamu malsuin senyum di depan mama?”
“Yah … sering sih.”
Ibu menatapku seperti ingin memperjelas perkataannya. Memang Rachelle adalah salah satu anak yang masuk dalam misteriku. Bersama dengan Stephanie dan Olivia, mereka semua seperti saling berhubungan satu sama lain. Ditambah Stephanie yang berteman dengan Kiara, Gina dan Carla, membuat semuanya terasa lebih rumit dari hal lainnya.
Seseorang dapat memalsukan rasa sedihnya dengan sebuah senyum. Dan senyum yang besar tidak akan membuatmu dicurigai. Apa mungkin itu semua yang dilakukan oleh Rachelle selama ini? Memang terkadang saat dia tersenyum ekspresinya seperti menahan hal yang lain. Dunia ini tidak menyukai orang yang diam dan penakut, mereka akan lenyap hanya dalam kedipan mata.
Dan satu-satunya cara adalah dengan berpura-pura. Dunia tidak pernah menerima orang yang lemah dan hancur. Berpura-pura kalau kau baik-baik saja adalah pilihan terakhir untuk bertahan. Tidak semua orang juga ingin mendengarkan kisahmu, mereka hanya penasaran dan mencari kelemahanmu. Semua itu akan mereka jadikan senjata untuk menyerang orang itu suatu hari nanti.
“Rena?” Panggilan ibu kembali membuatku sadar. “Memalsukan senyum itu juga kadang penting, tapi harus bisa liat situasi yang ada. Sama siapa juga kalian harus senyum itu penting.”
“Kadang aku mikir, orang yang selalu senyum palsu ada masalah yang nggak bisa diceritain … ada rasa mau nolong gitu.”
“Inget ya, kamu nggak akan bisa membahagiakan semua orang yang ada, tapi kamu harus bahagian mereka yang setia dan percaya sama kamu.”
Ucapan ibuku terus terngiang-ngiang selama beberapa hari. Selama ini aku selalu berusaha untuk menyenangkan semua orang, padahal tidak semuanya bahkan mengapresiasi keberadaanku di antara mereka. Justru itu bisa membentuk positive toxic, di mana maksud yang ada sebenarnya baik tapi terasa memuakkan sampai menyesakkan. Ini tidak akan membantu tapi justru jadi sebuah beban.
Setelah beberapa hariku di rumah saja, aku memutuskan untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat novel yang bisa aku koleksi. Karena selama bebrapa hari itu aku menghabiskan waktu untuk membaca semua novel yang aku miliki. Waktu liburan seperti ini memang menjadi momen yang cocok untuk membaca dan hanya bersantai, menikmati waktu luang yang ada.
Sebelum aku pergi ke toko buku, kuputuskan untuk pergi membeli frozen yogurt dari tempat yang belum lama buka. Karena cuaca yang sejuk, tidak banyak orang datang ke toko tersebut, tapi tidak bisa dibilang sepi karena sebagian kursi di dalam sudah diduduki. Mayoritas adalah sekelompok anak muda atau yang sepertinya orang sedang berpacaran. Segelintir ada yang datang sendiri.
“Selamat datang ….” Suara yang paling ingin kujauhi dalam liburan ini memasuki netraku. Carla, yang baru masuk ke kasir, bahkan sampai terhenti.
“Oh.” Responsku itu tidak sengaja keluar begitu saja dari bibirku.
Ekspresi Carla tetap datar, bahkan seperti berusaha memalsukan senyum. “Apa yang akan Anda pesan?”
“Apa yang menjadi rekomendasi?” Patut kuacungkan jempol kepada Carla yang masih bersikap profesional.
“Setiap hari ada menu spesial yang berbeda. Untuk hari ini ada matcha dengan toping coklat dan oreo.”
Mendengar nama matcha dan cokelat yang digabungkan membuatku mengangguk dengan semangat sebelum memastikan pesananku. Selama Carla melayaniku, dia seperti sangat bersusah payah untuk tidak menatapku, mungkin takut jika menatapku dia akan terbawa emosinya dan mengacau. Mempekerjakan anak yang bahkan belum masuk SMA adalah hal yang sulit. Mungkin dia memiliki koneksi?
Selama menunggu pesananku, aku merasa bingung apa yang harus aku katakan kepada Carla. Dia sendiri pasti tidak mau anak lain tau kalau dia bekerja di sini atau bahkan dia merasa kalau aku akan mentertawakannya? Yang mana pun tetap terasa tidak ada yang benar. Aku harus mengucapkan sesuatu kepadanya, tapi aku bahkan tidak tau harus berkata apa.
“Ini pesanan Anda. Silahkan kembali lain waktu.” Sebelum Carla bisa kembali, aku sudah memanggilnya tanpa berpikir. “Apa? Gua sibuk. Nggak liat gua lagi kerja?”
“Gua cuma mau bilang kalo lu gak usah takut. Gua gak bakal cerita ke yang laen kalo lu kerja di sini.”
“Lu mau kasih tau juga gua gak peduli,” sahut Carla tak acuh. Dia bahkan sudah beranjak meninggalkanku.
“Gua bakal hargain privasi lu. See ya!”
Rasa takut akan responsnya membuatku langsung meninggalkan meja kasir dan membawa frozen yougurt-ku. Karena aku juga tidak mau bertemu lagi dengan Carla, aku langsung keluar dan makan dalam perjalananku menuju toko buku. Perjalanan yang panjang itu terasa singkat karena frozen yougurt yang kubawa sepanjang perjalanan.
Untung ketika aku memasuki toko buku makanan yang kubawa itu sudah habis dan tak lama hujan juga turun, memungkinkan untukku menghabiskan waktu lebih lama di sini dan beralasan kepada ibu. Setiap rak aku kelilingi untuk mencari bacaan yang sesuai denganku. Butuh waktu yang lama untuk bisa menemukan cerita itu, tapi saat aku menemukannya, aku merasa seperti baru melihat harta karun. Buku yang cocok denganku adalah salah satu harta paling berharga, mencocokkan pembaca dengan penulis sering kali terasa susah. Namun ketika sudah ditemukan, untuk memisahkannya akan sulit.
“Lu juga baca seri itu?”
Kutatap orang yang mengajakku berbicara, mengejutkanku. “Eh? Cindy? Lu juga ke sini?”
“Iya, sendirian juga nih. Keliling bareng, ya?”
“Boleh, boleh. Dari seri ini gua suka yang ke lima, kalo lu?”
“Sama! Yang ke lima tuh bikin baper parah!”
Aku dan Cindy bahkan menyempatkan diri untuk makan bersama sebelum kami pulang ke jalan masing-masing. Senyum yang ada di bibirku tidak pernah hilang, membuat ibu bahkan bertanya-tanya. Berita yang juga dia bawakan membuatku tidak bisa tidur. Katanya karena kami tidak bisa pulang ke Bandung, sepupuku dan keluarganya lah yang akan datang menjenguk.
Selama aku menunggu kedatangan mereka, aku sering pergi ke tempat Carla bekerja, berharap dengan begitu dia akan mulai terbuka denganku. Kenyataannya, sulit sekali untuk bisa mengajaknya mengobrol, bahkan hanya sekedar melihat saja. Entah dia sibuk dengan pelanggan lain atau dia sengaja menghindariku. Apa pun itu, semua terasa menyebalkan. Liburan ini tidak membawakan berkah kepadaku sama sekali atau sebuah pencerahan dalam mendekati Carla dan mengetahui alasannya jadi begitu agresif.
“Ketika liburan berlangsung, semua terasa membosankan! Tapi ketika sekolah sudah masuk ….”
“Rena?” Ucapanku terputus ketika ada seseorang yang memanggilku dengan cukup kencang.
“Oh, Rachelle!” Melihat Rachelle berada di hadapanku terasa sangat aneh, membuatku bingung tapi di saat bersamaan lega karena dia belum melakukan hal aneh, jika itu yang dia maksud. “Rumah lu di daerah sini?”
Rachelle terlihat ragu-ragu selama beberapa saat. “Uhm … nggak, kebetulan lewat aja. Ada urusan.”
Ketika dia berucap seperti itu, aku baru menyadari pakaian yang dia gunakan. Dia memakai topi, alasan aku hampir tidak mengenalinya, dan juga sebuah ransel yang cukup besar. Bagi mereka yang melihatnya bisa mengira kalau dia kabur dari rumah. Meski, bisa saja itu terjadi, kan? Bahkan aku rasa sekarang dia berusaha menutupi sesuatu dariku. Jika dia memang bermaksud untuk pergi jauh dengan kata lain kabur dari rumah, mungkinkah dia sedang melakukannya sekarang?
Namun seketika aku berpikir, apa ada orang yang memanggil orang lain jika mereka berniat kabur? Bisa saja kan aku melaporkannya? Tapi kalau begitu, apa yang sebenarnya dia tutupi? Kenapa dia berpakaian sangat aneh? Kenapa sikapnya juga ikut berubah? Dan yang terpenting, kenapa ucapannya itu terdengar sangat menyeramkan? Mengapa dia tidak mau menceritakannya kepada siapa pun? Bukankah membagi beban akan lebih menenangkan daripada menanggungnya sendiri?
“Oh … sekolah pasti masuknya pas, kan? Nggak ngaret?” Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja. Meski terkesan bodoh, detak jantungku bertambah cepat karena takut akan tanggapannya. Aku belum siap menerima jawabannya itu.
“Iyalah! Nggak mungkin gua masuk telat! Yang ada tuh bocah satu ngambek sama gua!”
“Bocah?”
“Iya, siapa lagi kalo bukan Raquel.” Rachelle tersenyum sangat lebar ketika menyebutkan nama sahabatnya itu. “Dia nggak bakal betah di sekolah tanpa ada gua.”
Ketika nama itu disebut, aku baru sadar kalau Raquel lebih muda dari kami. Aku bahkan tidak ingat akan fakta itu, bahwa Raquel satu tahun di bawahku. Sikapnya yang selalu lebih dewasa bahkan membuatku mengira kalau dia sudah lebih tua dariku. Siapa pun juga akan berpikir demikian dan mengira dia memiliki baby face atau orang yang awet muda. Memang tidak dapat dipungkiri untuk yang satu ini, dia terlihat begitu dewasa namun di saat bersamaan lebih muda dari umurnya.
Beberapa saat berlalu dengan kami yang hanya berdiam diri. Masih dengan wajahnya yang tertutupi, Rachelle memandang ke arah langit, dia seperti menikmati cahaya matahari yang setengah tertutup oleh awan mendung. Sebuah senyum yang terlihat sedih terukir di bibirnya. Rasa gatal ingin bertanya membuatku hampir asal bertanya kepadanya, tapi sebisa mungkin aku menahan semua itu. Aku tidak boleh menjadi seseorang yang memaksakan kehendak. Jika dia ingin, dia pasti akan bercerita. Aku akan menunggu sampai hal tersebut terjadi.
“Lagi mau ke mana? Kok sendirian aja di sini?” Pertanyaan basa-basi Rachelle membuatku terkejut selama beberap saat, ketika aku sudah tersadar aku mengukir senyum kecil. Setidaknya dia berusaha untuk bercakap-cakap denganku.
“Bosen aja di rumah baca novel setiap saat, jadi gua keluar bentar. Lu perginya lama? Siapa tau bisa nemenin.”
“Nggak usah. Gua perinya jauh … banget. Tapi baru pergi dua hari lagi sih. Gua mau OTW ke rumah Olip dulu.”
“Tau rumahnya?” Mataku membelalak saat bertanya. Bukannya menjawab, Rachelle hanya tersenyum, bahkan terkekeh.
“Nggak. Makanya mau nyari.”
Terdengar bodoh, tapi jika yang dia bicarakan adalah Olivia, tidak terasa aneh lagi. Sikapnya yang misterius itu seperti makanan sehari-hari bagi setiap orang yang melihatnya. Tapi bagiku tetap terasa aneh bagaimana mereka terlihat sangat dekat tapi bahkan rumah satu sama lain saja tidak tau. aku memang tidak tau di mana rumah Kiara dan Gina, tapi itu karena aku tidak dekat, bisa dikatakan bahkan mereka membenciku. Namun berbeda dengan Rachelle, dia terlihat begitu menyayangi anak itu, tapi dia bahkan tidak tau rumahnya.
Masalah lainnya, Olivia seperti marah kepada mereka, Rachelle dan Raquel. Biasa saat istirahat dia akan berkumpul bersama, tapi aku bahkan tidak melihat batang hidungnya. Di hari pertama ujian waktu itu, sekembalinya Raquel, dia tidak berbicara dengan Rachelle dan langsung memasang earphone-nya. Dia juga tidak menghiraukan panggulan sahabatnya itu. Dia jelas mengabaikan kedua sahabatnya dan semua orang bisa menyadarinya dengan baik. Mereka hanya terlalu takut untuk membuat rumor.
Melihat semua itu membuatku yakin kalau mereka semua bertengkar karena hal yang tidak akan aku ketahui, sesuatu yang terasa besar hingga akan membuat sejarah seperti yang dikatakan oleh Stephanie. Mungkin bukan hal yang besar, tapi mengetahi sifat Olivia, dia mungkin membuat keadaan semakin runyam. Atau mungkin karena sifat dingin Raquel yang juga menjadi alasan dari pertengkaran ini. Apa pun itu, Rachelle dalam keadaan terhimpit.
“Mau gua bantu cari?”
“Nggak, gua udah nanya Stephanie kok. Dia pasti tau.” Nama itu lagi. Sepanjang liburan berlangsung aku selalu berusaha untuk melupakan nama itu walau hanya sebentar. “Kenapa? Lu mules?”
“Hah? Ah … nggak kok, gak papa.” AKu termenung selama sesaat, mencoba mencari kata-kata yang pas, “Lu … kenal deket sama Stephanie?”
Rachelle yang mengetik di posel tiba-tiba berhenti. “Dapet ide dari mana?”
Di saat itu aku langsung menyesal telah bertanya kepada Rachelle tentang masalah ini. Selama ini, Rachelle tidak pernah berbicara dingin kepadaku, kecuali saat Raquel sakit. Dan selama ini, seberapa pun dia tidak menyukaiku, dia selalu mencoba untuk menutupi perasaan itu. Tapi sekarang, bahkan nada yang dia berikan dulu tidak sebanding dengan hari ini. Rasanya begitu dingin dan juga menyeramkan, seperti dia ingin membunuhku dengan kata-katanya itu.
“Uhm … waktu itu Stephanie sendiri yang bilang ke gua.” Rachelle tidak menjawab sahutanku, membuatku takut kalau dia marah. Namun bukan salahku bukan jika Stephanie berkata begitu?
“Oh.” Diam. Mulutku bahkan terasa seperti tersegel setelah reaksi dari Rachelle. Lalu apa? Apa dia dekat? Atau tidak? Mengapa sulit sekali menjelaskannya? “Dulu sempet deket, gua gak mau ungkit.”
“Ma-maaf,” gagapku yang hanya dibalas dengan anggukkan.
“Gua pergi dulu.”
Tanpa memandangku untuk terakhir kali, Rachelle langsung pergi begitu saja. Bahkan aku belum sempat mengucapkan salam. Kutatap tubuhnya yang semakin lama semakin kecil dan membaur dengan kerumunan yang ada. Setelah dia hilang, aku juga memutuskan untuk meninggalkan tempatku berada. Cuaca yang mendung semakin parah, aku harus mencari tempat berteduh sebelum hujan turun dengan deras.
Sepupuku bersama keluarganya datang esok harinya. Kembali melihatnya setelah waktu yang lama membuatku merasa sungguh bahagia. Kebahagiaan ini tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Hal yang sama juga terjadi kepada sepupuku, dia langsung memelukku dan menggelayutiku seharian, membuat ayahnya, pamanku, marah. Tapi aku tidak masalah dengan ini.
“Mau dikenalin sama temen sekolah nggak?”
“Ada? Siapa?”
“Namanya Carla Kooper, dia kerja part-time gitu.”
“Wih … keren! Mau ketemu.”
“Ijin dulu gih sana. Bilang mau pergi bareng Kak Rena. Mau beli frozen yougurt. Kan favorit kamu tuh.”
Sepupuku itu langsung mengangguk dengan semangat. Dia bangkit dari sofa dan belari menuju paman yang sibuk mengobrol dengan ibu. Ayah yang masih sibuk bekerja tidak bisa menyambut keluarga paman dengan hangat, tapi dia tidak masalah. Katanya ayah juga harus fokus agar pekerjaannya selesai lebih cepat. Ibu juga setuju dengan perkataan paman.
Dengan mudahnya sepupuku itu mendapat ijin untuk pergi bersamaku. Dia langsung bersiap-siap dan berpamitan. Awalnya ibu menawarkan agar aku diantar, tapi aku menolaknya mentah-mentah dengan alasan tempatnya yang dekat. Nyatanya, aku ingin mengobrol dengan sepupuku lebih banyak sambil menikmati cuaca setelah hujan sepanjang pagi.
“Nah, ini tempatnya!” seruku sembari membuka pintu. Mata sepupuku itu membesar ketika melihat isi dalam tempat ini. “Langsung pesen aja, ya?”
“Boleh, boleh. Makin penasaran sama temen Kakak.”
“Bentar lagi juga ketemu.” Kami berjalan menuju meja kasir tanpa mengucapkan apa-apa ang menurutku dikarenakan dia gugup. “Carla! Kayak biasa ya, kali ini dua. Ini sepupu gua ….”
“Nggak peduli,” jawab Carla dengan mata terpicing. Baru aku mau protes, sepupuku menahan.
“Gak papa. Nggak usah sebut nama. Toh kalo takdir … nanti bakal ketemu lagi.
🌻✨🌻
(10/03/21)
New chapter! Makin ke sini konfliknya makin banyak nih, gimana? Bikin pusing nggak?
Jangan lupa tinggalkan vomments kalian ya! Tambahkan cerita ke reading list dan follow akunku untuk tau update cerita lain ~
See you next update ^^v~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top