Chapter 14 - Show Time

Olivia’s pOV

Samuel dan aku sedang berdiri berdampingan, kedua tangan kami sama-sama berada di belakang. Bahkan posisi berdiri kami sangat tegak. Ini bukan posisi yang asing lagi bagiku, tapi bagaimanapun tetap terasa melelahkan. Hal yang sama juga pasti dirasakan oleh Samuel karena dia terus mengernyitkan dahinya, menahan rasa sakit di pundak dan pinggangnya tanpa mau melawan secara langsung, menerima saja takdir kami.

Kami bersama-sama sedang menghadap ayah perihal ujian akhir yang kemarin. Seharusnya pertemuan ini berlangsung saat liburan berlangsung, di akhir pekan, tapi ayah membawa alasan kalau dia sibuk. Kami sebagai anak tentu tidak bisa melawan dirinya dan hanya menurut. Sialnya, penundaan itu jelas membuatku lebih takut dari biasanya. Jelas-jelas nilaiku lebih baik dari biasanya, tapi tetap saja aku merasa semakin gugup.

“Samuel, nilaimu terlihat meningkat, tapi dalam beberapa mata pelajaran justru menurun. Ada apa? Nilaimu tidak pernah seburuk itu. Bagaimana mungkin kau bisa turun lima angka? 95 bukan nilai yang sulit, bukan?” Ayah tidak membiarkan Samuel menjelaskan dan lanjut berbicara, “Apa karena Olivia? Ayah memang menyuruhmu untuk menjaganya, tapi bukan menjadikannya tanggung jawabmu, beban untukmu.”

“Olivia adikku, Ayah. Tentu saja itu tanggung jawabku. Ibu juga pasti ….”

“Ibumu sudah tidak ada. Dan kau tau alasannya, karena orang yang berada di sampingmu sekarang ini. Bukalah matamu, Samuel. Kau seorang Carter, seharusnya kau cerdas.”

Samuel kini tidak menjawab ayah, dia bahkan menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa malu, atau stress, apapun itu, reaksi dan jawabannya jelas membuatku sakit hati. Memang semua itu karenaku, namun tidak kusangka Samuel akan sejauh ini. Awalnya kupikir dia akan membantah dan melawan ayah, tapi dia justru hanya diam saja, bungkam seperti seseorang yang tidak memiliki opsi. Diamnya itu seperti jawaban kepada ayah kalau dia sangat setuju dengan ucapannya barusan.

Setelah diam beberapa saat, ayah kembali memulai percakapan tentang nilai-nilai yang dimiliki oleh Samuel, bagaimana dia akan menguatkannya dan apa saja yang akan dia dapat atas kerja kerasnya itu. Selama pembicaraan, ayah bahkan tidak menatapku barang sekilas saja. Dia berbicara seakan-akan aku tidak ada di sana dan aku bukan bagian dari seorang Carter. Seperti aku hanya sebuah bayangan yang menghantui mereka semua.

“Dan kau, Olivia Carter,” ucap ayah dengan nada kesal. Setelah satu jam, baru inilah dia menatap ke arahku. “Pencapaianmu sungguh buruk, kau tau? Bukankah kita sudah membuat perjanjian? Apa sesulit itu untuk mencapainya?”

Selama sesaat aku hanya terdiam. “Maafkan aku, Ayah.”

“Kau nyaris tidak masuk sepuluh besar, apa kau sedang bercanda? Mengapa kau tidak bisa mencontoh Samuel?” Ayah menghembuskan napas kesal. “Sungguh aku tidak habis pikir denganmu, Olivia.”

“Tapi nilai-nilainya meningkat semua, Ayah.” Suara Samuel yang membelaku membuat ayah menatapnya tajam.

“Apa Ayah bertanya tentang pendapatmu?” Samuel tidak lagi menjawab ayah. “Kalau bukan karena kasus itu, Ayah yakin kau tidak akan masuk sepuluh besar.”

“Anak-anak sepuluh besar itu semua mencontek!”

Ayah mengangkat tangannya, telapak tangannya menghadap ke arahku. Tindakannya ini membuatku langsung terdiam dan tidak melanjutkan ucapan yang sudah ada di ujung lidah. Benar, memangnya kapan ayah pernah mendengarkanku? Setiap penjelasan yang ada tidak ada artinya, ayah hanya mau dengar dan percaya apa yang dia inginkan saja. Semua harus sesuai dengan kemauannya.

Ayah kembali duduk dan membolak-balik kertas hasil ujianku, mengeluarkan napas berat sekali lagi. Melihat responnya tidak mengejutkanku sama sekali. Bahkan aku tidak merasakan apa-apa lagi, tidak seperti dulu. Samuel akhirnya memberanikan diri untuk menatap ke arahku, raut wajahnya tidak bisa kubaca, membuatku merasa semakin kesal.

Kertas yang ayah genggam dilempar asal ke mejanya yang hampir penuh dengan berkas miliknya sendiri. Dia melepas kacamata, mengerucutkan bibirnya. Samuel yang sudah menyadari ini mengernyitkan dahinya lagi. Aku juga sudah tau apa maksud dari ekspresi yang diberikan oleh ayah. Berdoa saja tidak akan menyelamatkanku dari apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin aku harus memohon ampun kepadanya.

“Olivia Carter. Kau sudah tau balasannya.” Ayah bangkit dari kursinya, melonggarkan dasi dan melepas jam tangannya. “Kita sudah sering membicarakannya, bukan? Mengapa … kau masih sungguh mengecewakan?”

Ayah meletakkan tangannya di pipiku. “Aku akan berusaha lebih lagi.”

“Semua itu hanya omong kosong!” Teriakan ayah seketika membuatku merasa sedikit takut. Ibu … tolong maafkan aku. "Sekarang, kau akan membayar semuanya."

***

Raquel yang sibuk memakan makanan Rachelle memandangnya dengan pandangan penuh pertanyaan. Untuk waktu yang lama, ini adalah tatapan pertamanya yang manusiawi. Dia terlihat tertarik dengan apa yang diucapkan oleh Rachelle, aku sendiri tidak mendengarkannya. Aku hanya mendengar nama Rena dan Gina terus-terusan disebut. Pikiranku teralihkan karena berusaha untuk menahan rasa sakit di tubuhku yang seperti membakar.

Rasanya semalam ayah mengerahkan seluruh tenaga dan juga amarahnya. Marah karena nilai Samuel juga turun. Lucunya, akulah yang jadi tempat pelampiasannya dan bukan Samuel yang berhubungan. Butuh usaha keras bagiku menutupi wajahku agar tidak terlihat sangat buruk. Nyatanya, usahaku itu tetap saja disadari oleh Carla, dan sepertinya Rachelle karena dia terus menatapku dengan ekspresi aneh.

“Lu gak makan?” Pembicaraan mereka terhenti dan keduanya menatapku yang hanya menggenggam botol minum sedari awal. “Tumben diem aja.”

“Gak, tadi pagi makan kebanyakan, jadi masih kenyang.”

“Boong. Lu kan gak pernah sarapan di rumah.” Raquel menatapku lekat-lekat, seperti ingin menekankan ucapan Rachelle. “Kenapa? Ada masalah lagi? Santai aja, toh kita juga udah biasa dengerin masalah lu!”

Ucapan Rachelle sama sekali tidak membuatku merasa baik. Justru aku semakin merasa buruk. Aku tidak tau banyak hal soal mereka, tapi mereka bahkan mendengarkan omelan dan ocehanku. Rasanya seperti aku tidak pernah bersyukur dengan apa yang aku miliki. Tangan Rachelle tiba-tiba saja diletakkan di kepalaku. Dia tersenyum kepadaku dan mengacak-acak rambutku. Sesuatu yang suka dia lakukan untuk menenangkan orang lain.

Raquel juga terlihat menatapku dengan sebuah senyuman kecil. Senyuman yang sangat jarang dia tunjukkan, tapi saat dia memberikannya, dia memiliki maksud yang paling tulus. Senyumannya selalu membuat wajahnya yang cantik itu bersinar. Jika dia tidak terkenal karena sifatnya yang dingin, dia pasti terkenal karena wajahnya yang cantik dan senyumannya yang menawan bak dewi kecantikan, membuat banyak laki-laki jatuh hati dalam sekali pandang. Hal yang akan membuat dia dibenci oleh banyak wanita lain karena terlihat begitu menawan.

“Tidakkah kau mempercayai kami?”

“Apa kita pernah saling percaya selama ini?”

Raquel mengerucutkan bibirnya. “Ayo, kita serius dalam pertemanan ini. Bukan hanya sekedar orang yang mengenal dan memiliki tujuan yang sama.”

“Tiba-tiba nih?”

“Kalo gua bilang gua peduli, lu juga gak bakal percaya, kan? Jadi mending langsung ditunjukkin pake tindakan.”

Rachelle benar, seberapa pun orang berkata peduli kepadaku, aku tidak pernah mempercayainya. Berapa kali pun orang tersebut mencoba, pada akhirnya mereka akan merasa lelah denganku. Mereka akan meninggalkanku setelah merasa muak dan itu dalam terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Dan ketika kau terus menolak mereka, mereka juga akan berhenti dalam waktu yang tidak lama dan tidak lagi berjuang. Mereka akan mengganggapmu sebagai beban, atau pencari perhatian saja.

Perlakuan yang seperti main-main itu membuatku merasa bosan, lelah untuk mempercayai orang lain. Jika aku sendiri tidak butuh, aku tidak akan mencoba apa-apa. Berbicara, menyapa, atau menatap orang lain. Lagipula, sebagian besar yang mengenalku akan merasa takut karena tau tentang latar belakangku. Anak seorang pembunuh, siapa yang mau dekat-dekat dengan pembunuh? Mereka takut kalau mereka akan menjadi target selanjutnya atau merusak reputasi mereka yang begitu indah.

“Setelah gua pikir, gua juga gak tau gimana Rachelle bisa kenal sama lu.”

Rachelle menatapku cemas, dia tau pembicaraan ini begitu sensitif bagiku. “Hm, gua gak ada hak buat cerita. Dan gua rasa kalo udah waktunya, Liv bakal cerita, ya, kan?”

“Bisa jadi,” jawabku tak acuh. Rachelle kembali mengacak-acak rambutku. “Ish! Rambut gua berantakan jadinya!”

“Emang udah berantakan, kan? Udah nih makan. Nggak usah sok-sok mau ngambek. Gak cocok sama lu!”

“Bukan ngambek, dia mah nge-drama.”

Baru kali ini aku berhasil memukul Raquel, dan dia bahkan tidak masalah dengan hal tersebut. Aneh, justru dia menunjukkan cengirannya yang lebar. Rachelle sama sekali tidak terkejut melihat anak dingin itu tersenyum dengan lebar. Mungkin saja aku menatap Raquel dengan tatapan terpana karena Rachelle langsung mentertawakanku. Dia bahkan sampai tersedak makannya yang masih dia kunyah. Raquel menggelengkan kepala sebelum menyerahkan botol minumnya.

Aku tidak menceritakan kejadian semalam kepada satu pun dari mereka, tapi akhirnya Rachelle menyadari salah satu lebam yang kudapatkan. Dia memerintahkanku untuk menghabiskan makananku sebelum dia membantu mengobati semua lebam yang ada. Aku melakukannya dengan setengah hati, aku tidak pernah suka makan, dan porsi yang diberikan Rachelle membuatku merasa sedikit mual.

“Anak kelas gak ada yang sadar? Ini parah banget, lho!” Rachelle sepertinya menyadari perubahan mood-ku yang susah payah aku tutupi.

“Carla tau, yah … kalo udah ngomongin Carla tau sendirilah. Apa lagi semenjak class meet, kayak makin benci aja.” Sebuah senyum muncul di bibir Rachelle dan dia menatap Raquel.

“Ntar lu gak ada jadwal latihan, kan? Maksudnya privat sama Daniel.” Kugelengkan kepala sebagai jawaban, merasa bingung akan apa lagi yang direncakan oleh Rachelle.  “Ntar makan es krim ya, gua yang traktir! Lu semua wajib dateng.”

Janjinya itu memuat kami bertiga berada di salah satu toko es krim dekat sekolah. Aku dan Raquel duduk berhadapan, kami beberapa kali saling pandang namun cepat-cepat mengalihkannya. Tanpa penjelasan, Rachelle hanya berkata akan mengajak makan es krim dan mengobrol biasa. Selama dia sibuk memesan dan menunggu pesanannya itu, aku ditinggal dengan Raquel.

Sikapnya yang dewasa sering kali membuatku meragukan kalau kami memang seumuran. Lebih tepatnya, aku sering lupa kalau Raquel seumuran denganku. Bahkan dia sering kali terlihat lebih dewasa dari Rachelle yang tidak masalah sama sekali. Di saat Raquel dikejar oleh laki-laki, saat itu aku sadar kalau dia memang seumuran denganku.

“Pesanan kalian datang!” Dengan nampan berisikan tiga mangkuk es krim ukuran besar, Rachelle tersenyum lebar dan meletakkan nampan di meja. “Olivia es krim cokelat-mint, Raquel vanilla-strawberry, dan gua chocochips cookies!”

“Tau dari mana gua suka mint?” Pertanyaanku itu tidak diindahkan Rachlle dan justru dia sibuk menyuap es krimnya sendiri.

“Katanya matcha di sini jadi favorit?” Tangan Raquel mengangkat mangkuk tanpa ada masalah, seperti tidak ada hawa dingin yang dikirimkan dari mangkuk. Memang julukan Ice Queen cocok untuk dia. Pandangannya dia tebarkan pada seluruh toko. “Anehnya sepi.”

Rachelle akhirnya tertawa paksa. “Nggak bisa apa makan es krimnya tanpa nanya-nanya? Ntar lumer lho.”

Eye smile yang diberikan oleh Rachelle memang manis, namun bibirnya berkata lain. Raquel menuruti perkataan Rachelle dan memakan es krimnya dalam diam. Ketenangan di antara kami terasa canggung, tidak ada bahasan apa pun yang siap kami bicarakan, ini adalah hal yang asing. Belum pernah kami bertemu atau berkumpul di luar sekolah, tentu menjadikannya hal yang paling canggung.

Setelah beberapa menit hanya berdiam diri sambil makan, aku akhirnya mengeluarkan soal-soal yang sudah ayah persiapkan. Mata Raquel membesar ketika aku mengeluarkan setumpuk soal dari dalam tasku. Bahkan Rachelle tersedak biskuitnya. Reaksi mereka tidak merendahkan—seperti yang aku pikir akan mereka lakukan—dan menatapku dengan mata membulat, jika aku yang ada di posisi mereka aku pasti akan lebih heboh.

“Itu soal apa aja?” tanya Rachelle akhirnya.

“Nggak tau tuh. Mau dibaca berapa kali juga gak ngerti.”

Raquel meletakkan mangkuknya dan mengambil salah satu jilid dari setumpuk soal yang ada. “Menurut gua sih gampang, bukan soal basic sih. Mau gua ajarin?”

“Ntar gua ganggu lagi.”

“Santai aja.”

Tanpa basa-basi, Raquel mengambil kotak pensilku. Dia terlihat memilah-milah isinya sebelum mengambil salah satu pensil berserta penghapus. Dia bahkan bertukar posisi dengan Rachelle yang duduk di antara kami. Rachelle tersenyum dengan lebar ketika melakukannya. Sungguh, kalau bisa aku akan menampar wajahnya keras-keras sampai senyuman itu hilang.

Hal yang mengejutkan, akhirnya Rachelle ikut belajar bersama. Menit menjadi jam dan langit mulai menggelap. Aku mengecek ponselku untuk mendapat Samuel mencoba meneleponku berkali-kali. Kata kasar tidak sengaja terselip, membuat kedua orang yang bersama menatapku kebingungan. Aku menatap lembar soalku yang sudah banyak terjawab sebelum akhirnya memutuskan tindakan selanjutnya.

“Gua pulang duluan, ya. Samuel dari tadi nelpon gua.”

“Oh, iya, gak pa-pa. mending lu telepon balik dulu, siapa tau penting.” Raquel mengangguk atas ucapan Rachelle sebelum mereka kembali menekuni soal di hadapan mereka. Sesuai dengan perkataan Rachelle, aku memutuskan untuk menelepon Samuel.

“Ayah udah pulang? Kenapa telepon gua banyak-banyak?”

“Nggak, katanya sih pulang telat lagi. Dia tadi nanya lu di mana, katanya mau ngomong. akhirnya gua bilang lu ngurung diri di kamar, lagi kerjain soal.” Samuel terdiam selama beberapa saat sebelum lanjut berbicara, “Lu pulang sekarang, ya. Sebut alamat aja lu di mana. Gua yang jemput.”

Pada awalnya aku menolak untuk memberitahu Samuel di mana aku berada agar aku bisa pulang sendiri. Tapi bibirku sendiri telah mengkhianatiku. Aku mengucapkan tempat aku berada sebelum mematikan sambungan telepon. Ketika aku sadar, aku sudah mengacak-acak rambutku kesal dan tanpa sadar menabrak seseorang berpakaian aneh di depan kasir.

Orang itu menatapku, mungkin karena aku kecil, dan menundukkan kepalanya agar dapat melihat wajahku dengan jelas. Saat itulah aku baru sadar kalau dia menggenggam pisau yang teracung ke penjaga kasir. Tidak pernah kusangka ada orang yang berani merampok di tengah keramaian seperti ini. Setelah sadar aku terus menatapinya, pisaunya itu dia acungkan ke arahku.

“Pergi, Bocah! Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau menurut.” Ancamannya hanya membuatku menatap dirinya dan pisau yang dia genggam.

“Lalu? Kalau aku tidak mau bagaimana, Paman?” gertakku. “Ancamanmu itu sama sekali tidak menakutkan. Aku bisa berteriak sekarang juga, bukankah itu buruk untukmu?”

“Dasar bocah tidak takut mati!” Paman itu merangsek maju dengan pisau yang dia arahkan kepadaku, siap menghujamkannya pada tubuhku.

Kuakui, dari caranya memegang pisau tidak seperti orang kebanyakan, dia seperti sudah terlatih atau seorang yang pro. Tapi gerakannya lambat dan mudah terbaca. Dengan mudahnya aku mengelak serangan-serangan yang dia berikan. Perbuatanku ini memuatnya semakin emosi sehingga gerakannya semakin lamban. Tidak segan aku menendang kaki bawah orang itu yang akhirnya terjatuh menabrak meja.

Suara bising itu menarik perhatian semua pelanggan, Rachelle dan Raquel langsung berdiri dan kami saling tatap. Kualihkan pandangan dari mereka, memasang ekspresi kosong tanpa ada rasa ampun. Penjaga kasir itu terlihat terburu-buru menelepon polisi sebelum menahan napas. Tanganku bergerak secara langsung, dengan bodohnya menahan pisau yang lagi-lagi diarahkan kepadaku.

Melihat darahku sendiri keluar cukup banyak membuatku marah, namun kuingat kembali pesan dari Daniel. Dalam sebuah pertarungan kalian tidak boleh terbawa emosi atau menunjukkan ekspresi. Lawan kalian akan bisa membacanya dan memanfaatkannya untuk keuntungan mereka. Karena itu ekspresi yang ditunjukkan sangat berpengaruh.

“Bajingan!” rutukku dengan datar. Melawan rasa sakitku, aku menarik pisau itu dari tangannya dan melempar ke lantai. “Kau pikir kau akan selamat? Mari ucapkan selamat tinggal.”

“Tu-tunggu! Maafkan aku! Sungguh aku minta maaf!” ucapannya tidak aku dengarkan, kukepalkan tangan kananku dan kuberi pukulan tajam beberapa kali kepadanya.

“Olivia! Cukup!” Rachelle menahanku setelah beberapa pukulan. Kutatap dirinya dan balik ke orang itu. “Iya, sudah cukup.”

“Oh …. Baiklah.”

Setelah beberapa menit berlalu, bukannya polisi yang datang, justru Samuel yang masuk dengan pandangan khawatir. Dia pasti mendengar apa yang terjadi dari orang-orang di luar. Ekspresinya menunjukkan khawatir, tapi aku tau dia sedang menutupi amarahnya. Matanya membulat ketika melihat tangan dan bajuku yang berlumuran darah.

Samuel berlari ke arahku, membuat Raquel dan Rachelle mundur. Rachelle masih menggenggam kapas dan menatap Raquel meminta pertolongan. Ekspresi Samuel sama sekali tidak melunak, dia bahkan mengeratkan rahangnya kuat-kuat . Kedua tangannya di kepal erat sebelum memperhatikan luka yang ada di tanganku. Ah, aku baru ingat kalau dia takut darah semenjak kejadian itu.

“Lu gak papa? Perlu ke rumah sakit?”

“Nggak usah. Cuma luka kecil aja. Lagian ada Rachelle yang bantu obatin lukanya.” Mataku membesar ketika tidak sengaja menyebut nama Rachelle.

“Rachelle? Siapa Rachelle …?”

🌻✨🌻

(03/03/2021)

Wah tanpa terasa sebentar lagi sudah memasuki setengah cerita nih! Gimana pengalaman baca kalian sejauh ini? Mau cepet-cepet ending atau pengen agak lebih panjang lagi?

Gimana nih chapter satu ini? Kesel sama Samuel? 👀

Anyway, jangan lupa tinggalkan vomments kalian sebagai bentuk dukungan ^^

Share ke temen kalian, masukin reading list, and follow me!

See you next update~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top