Chapter 13 - Face Behind The Mask

Laurena’s POV

“Rena?” Suara ibu yang terasa menenangkan mengganggu tidur soreku. Setelah ujian berlangsung, tidak banyak hal yang terjadi.

Semenjak aku putuskan untuk diam, rasanya suasana kelas terasa aneh. Dan semenjak kejadian class meet,  aku merasa ada hal besar yang ditutupi oleh mereka bertiga, Rachelle dan yang lain. Di sekolah, setelah ujian akhir utama, kami akan disambut dengan ujian final dari sekolah, khusus. Ujian ini hanya berlangsung selama dua hari dengan mata pelajaran yang nantinya akan diujiankan pada kelas akhir.

Orang rumah tidak ada yang tau tentang perlakuan anak-anak di sekolah, tapi aku juga mencurigai ibu menyadari sesuatu. Hubungan kami cukup dekat jadi aku percaya kalau dia dapat merasakan sesuatu, terlebih ketika aku berbohong kepadanya. Ibu selalu tau kapan aku berbohong sehingga aku jarang berbicara yang tidak-tidak kepadanya. Di saat seperti ini, aku lebih memilih untuk diam karena terasa lebih tepat.

Bagiku berdiam adalah satu-satunya jawaban. Aku tidak perlu mengucapkan kebohongan yang dapat diketahui ibu, dan aku juga tidak perlu menjelaskan apa-apa. Walau ditanya, aku bisa mengalihkan pembicaraan yang ada. Jika aku sudah melakukannya, ibu tidak akan memaksaku untuk bercerita lagi. Sialnya aku, kali ini berbeda. Ibu merasa sangat penasaran hingga tidak bisa meninggalkanku sendiri.

“Rena, ayo keluar. Mama mau ngomong!” Ibu menggedor-gedor pintu kamar dengan keras. “Gak usah kunci kamar kamu ya!”

“Aduh, kenapa, Ma? Mau ngoceh lagi soal nilaiku?” ledekku sambil membuka pintu. Aku disambut dengan jitakan tepat di kepala, membuatku mengerang, “Sakit!”

“Nilai kamu itu kan salah kamu sendiri! Mama gak minta kamu ranking, cuma nilai di atas delapan lho!”

“Pelajarannya susah-susah, lagian kan aku masih adaptasi.”

Ibuku tidak menjawab tanggapan yang kuberikan dan menatapku lekat-lekat, terlihat seperti sedang melakukan scanning terhadapku. Ibu juga menatapku dari atas hingga bawah, membuatku merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Walau aku sudah berusaha untuk membuat ibu menghentikan tatapannya itu, ibu tetap menggenggam pundakku dengan keras bahkan memutar tubuhku beberapa kali.

Rasa pusing mengambil alih diriku. “Ma! Pusing! Ngapain sih?”

“Emang Mama nggak boleh khawatir sama kamu, hah?”

“Bukan gitu.” Kulepaskan genggaman ibu dan sekarang aku menautkan tanganku dengan milik ibuku. “Mama kenapa khawatir? Aku baik-baik aja kok. Cuma masih perlu adaptasi aja sama lingkungannya.”

Ibu menatapku dengan ragu sebelum menganggukkan kepalanya. Ini bukanlah sebuah kebohongan karena aku juga merasa butuh adaptasi dengan semuanya. Jelas sikap mereka memang berbeda, tapi selain itu juga pandangan mereka akan banyak hal sangat berbeda, seperti bagaimana mereka menganggap bahwa menjadi sempurna adalah segalanya. Dengan jadi sempurna segalanya akan didapatkan.

Sedikit kesalahan adalah kegagalan, dan kegagalan adalah sebuah jurang, jurang yang membawamu menuju kegelapan tanpa ada cahaya, di mana tidak akan ada yang bisa menyelamatkanmu. Semua orang adalah orang yang egois, kau hanya hidup sendiri. Orang yang bisa menyelamatkan dirimu sendiri hanyalah kau. Pandangan itulah yang ada pada mereka semua. Mereka meyakini sedang hidup sendiri.

Terasa menyedihkan, sepi, sesak, semua itu adalah hal yang pertama terlintas ketika melihat hidup mereka. Teman itu hanya kebohongan, tidak ada yang namanya teman, tidak ada yang bisa kau percayai. Semua orang memiliki topeng, bahkan terkadang, topeng di balik topeng. Seberapa jauh mereka akan bersikap seperti itu, aku pun tidak tau.

“Ma, menurut Mama, jadi perfect itu penting?”

Ibu yang mendengarkan pertanyaanku duduk di kursi depan meja belajarku. “Perfect gimana? Ada banyak definisinya.”

“Nggak pernah buat salah, atau harus keliatan sempurna nggak ada cela. Harus terus senyum, gak boleh nangis. Kalo punya masalah, harus langsung ditutupin.”

“Hm … tergantung dari segi mana kamu liat. Emang kenapa, Rena? Temen-temen kamu kayak gitu?”

“Beberapa aja sih. Mereka kayak sok misterius, nggak terbuka, tapi nyatanya mereka kayak lagi jerit minta tolong ke orang lain, kayak mereka berharap kalo mereka bukan orang yang sekarang.”

Ibu tersenyum dan bangkit dari kursinya. Dia menghampiriku dan meletakkan tangannya yang hangat di atas kepalaku. Rasa hangatnya itu disalurkan kepadaku, dan seluruh tubuhku terasa lebih ringan. Semua rasa khawatirku juga seperti perlahan berkurang dengan sentuhannya. Memang sentuhan ibu adalah yang paling terbaik.

“Rena, kamu tau kan, setiap orang dibesarin beda-beda? Keluarga yang beda, tuntutan yang beda. Dan sekarang, masyarakat nggak butuh orang lemah yang gampang rusak. Masyarakat cuma mau orang sempurna. Dan tanpa sadar, masing-masing individu berharap masuk ke dalam kategori itu, mereka juga mau jadi manusia sempurna.”

“Nggak salah kan punya satu orang buat dipercayain soal rahasia?”

“Kita gak pernah tau kapan orang lain bakal ngerasa muak sama kita. Janji palsu sering terucap, rasa sakit hati dan kecewa yang ngajarin mereka buat nutup diri. Orang itu cuma perlu belajar buat percaya lagi, tapi, sama siapa?”

Semua yang diucapkan ibu memang terdengar benar dan besar kemungkinannya. Jika sudah sering dikecewakan berkali-kali, apa kau akan mempercayai orang lain lagi? Berharap orang itu berbeda dari yang sudah-sudah. Rasa takut akan dikecewakan lagi lah yang pastinya menghantui diri mereka. Tidak ada orang yang dasarnya mau sendiri, mereka hanya butuh seseorang yang tulus untuk mendengar jeritan mereka. Bukan hanya seseorang yang merasa penasaran.

Ucapan ibuku membuatku semakin yakin kalau aku memang dibutuhkan, mungkin tidak untuk semua orang, tapi setidaknya segelintir orang membutuhkanku. Seperti Olivia. Aku yakin orang sepertinya membutuhkan bantuan dariku. Entah dalam segi apa, tapi aku akan mengusahakan diriku menjadi orang yang dapat dipercaya olehnya. Awalnya mungkin dia menolakku, tapi pada akhirnya akan kubuat mereka berbicara.

“Nggak semua orang bisa kamu ajak jadi temen. Karena di hidup ini, kamu ada bukan untuk membahagiakan semua orang, tapi emang orang-orang yang butuh kamu.”

“Kalo mereka butuh tapi nolak?”

“Yang penting jangan sampe orang itu ngerasa keganggu sama kehadiran kamu. Kamu ada buat bantu mereka, kan?”

“Lain kali kalo aku butuh bantuan, aku bakal cerita ke Mama, janji! Kalo sekarang aku mau coba sendiri.”

***

Raquel yang dihukum karena bertengkar dengan Carla tidak hadir ketika upacara terakhir sebelum libur. Minggu ini adalah minggu ujian akhir, dan hari ini adalah pengumuman hasil class meet yang sudah diadakan. Kemenangan dari class meet akan masuk ke nilai raport karena itu hal seperti ini sangat penting. Semua anak dan kelas berlomba-lomba untuk menjadi nomor satu, hingga terkadang mereka lupa untuk bersenang-senang.

Rachelle yang berdiri di belakangku menggunakan headphone-nya selama Kepala Sekolah berbicara. Aneh karena para guru tidak memarahinya, atau mungkin mereka tidak menyadarinya. Kalau pun mereka menyadarinya, mereka tidak terlihat peduli sama sekali. Kiara yang berada di depanku juga menggunakan earphone. Berbeda dengan Rachelle yang bersenandung, Kiara terlihat diam, seperti dia sebenarnya tidak memasang lagu apa-apa.

Setelah pengumuman sudah selesai, semua murid beramai-ramai pergi dari lapangan dan masuk kelas. Beberapa anak olahraga bermain basket selama beberapa saat. Jadwal kami memang sudah kosong. dua hari kami wajib masuk untuk persiapan ujian sekolah. Banyak dari anak-anak yang pergi ke perpus, membuat kelompok belajar, atau mencari guru mata pelajaran terkait.

“Kayaknya udah gak heran ya kalo liat kita rame-rame.” Suara Gina memecahkan keheningan kelas. Kiara, Rachelle dan Raquel, semua ada di dalam kelas. Ditambah dengan beberapa anak yang sudah sibuk dengan urusan mereka.

“Oh, ceritanya mau bully Rena lagi?”

“Peduli apa sih lu sama Laurena? Pacarnya, ya? Terus Raquel mau di ke manain?” Ucapan Gina mengundang tawa pada beberapa anak. Kiara menatapku sebelum mencibir. “Kiara aja sampe bosen liat mukanya. Padahal gua inget banget lu bilang ke Laurena, gak usah ikut campur urusan pribadi.”

“Bisa diem? Ada anak yang mau belajar.”  Raquel menurunkan buku yang sedari tadi ia pegang. “Gua ketua, gua punya hak buat ngatur. Rena wakil, dan gua denger lu bahkan ngelawan ucapan wakil?”

Gina terdiam atas ucapan Raquel yang dingin. Jika mau, dia bisa menjawab Raquel, tapi aku yakin rasa takutnya sudah membuat dia tidak bisa memikirkan balasan yang sepadan. Kiara menghembuskan napas berat, seperti dia kecewa dengan Gina. Sahabatnya itu terlihat sadar karena dia langsung menghentakkan lantai, wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Jika diperhatikan, dia terlihat seperti orang anak kecil yang merajuk.

“Gina, Sayang,” ucap Rachelle dengan nada yang sangat manis. “Enggak semua hal yang lu mau bisa didapetin. Ini bukan rumah lu di mana semua bakal nurut sama lu. Tolong, ya, ngaca dulu.”

“Diem! Lu gak berhak ngatur gua! Lu bedua nggak bisa ngatur gua!”

Rachelle sama sekali tidak terlihat seperti terkejut melihat sikap Gina yang kekanakan seperti ini. Kiara bahkan terlihat kesal ketika mendengar suara jeritan dari Gina, seperti dia sudah menduga apa yang akan terjadi. Perlakuan mereka semua membuatku semakin bingung dengan hubungan masing-masing. Ucapan Stephanie waktu itu tiba-tiba terlintas di benakku. Bagaimana sebuah sejarah akan menjadi sejarah selalu.

Sebenarnya aku tidak mau terlalu ikut campur dengan urusan mereka, tapi sekarang aku bahkan ikut terlibat dalam masalah mereka. Tentu aku tidak bisa diam saja jika seperti ini. Apa seekor semut akan diam ketika diinjak? Mereka pasti akan berusaha untuk keluar sebelum mereka akhirnya mati. Hal yang sama juga berlaku untukku. Aku tidak akan tinggal diam jika mengancam nyawaku, atau kebahagiaanku.

Kiara yang sedari tadi hanya diam saja bangkit sambil menggebrak meja. Headphone yang dia kenakan dilepas dan dilempar ke mejanya. Dia menatap tajam ke arah Gina, seperti memerintahkannya untuk diam. Anehnya, Gina menuruti perintah dari Kiara. Ekspresi merajuknya kini terlihat sangat jelas sehingga Raquel harus menahan tawanya dengan sebuah seringai kecil.

“Lu itu juga berisik! Sadar diri dong!”

“Gua? berisik? Kalo gua diem terus gimana cara nutup mulut anak bocah itu?”

“Gua bukan bocah! Yang bocah di sini tuh lu!”

Rachelle menatap Gina seperti ingin memangsanya, membuat Gina kali ini menutup mulut rapat. “Trus lu sangka sekarang lu itu bener? Temen lu negurusuh, lu cuma diem aja. Harusnya kan lu kontrol temen lu!”

“Kalo gitu kontrol temen lu juga dong! Rena yang cari masalah duluan!”

Mendengar namaku disebut, aku langsung menatap Kiara yang berdiri di kursinya yang ada di depanku. Dia bahkan tidak memberi secuil perhatian kepadaku dan terus menatap Rachelle dengan menantang. Anak-anak di kelas ikut menatap ke arahku, seperti bingung dan juga berharap pertengkaran ini cepat selesai. Perhatian Rachelle berpindah ke arahku, dia menatapku seakan-akan ingin berkata kalau aku harus tutup mulut dan jangan ikut campur urusan ini.

Protes yang semula sudah aku siapkan terhenti begitu saja dengan satu tatapan mematikan Rachelle. Raquel juga terlihat menatapku sebelum bangkit berdiri. Suara decitan kursinya membuat anak-anak memusatkan perhatian kepadanya. Tak sekali pun aku melihat ada senyum di wajah Raquel, tapi dia terlihat bahagia dan puas, tidak jelas karena alasan apa.

“Rena? Emang dia ngapain? Daritadi diem kok. Dari dulu lu bedua bareng Carla ‘kan yang selalu nge-bully Rena?”

“Mana hormat lu sama kakel, hah?!” cicit Gina akhirnya.

“Hormat?" Gina yang berada di belakang Raquel hanya bisa memandang sisi wajahnya. “Orang kayak lu gak berhak dapet hormat dari gua. End of case, kalo mau ribut gua bakal panggil Bu Ros.”

Mendengar nama wali kelas kami yang galak disebut benar-benar ampuh. Setiap anak yang ada di kelas langsung terdiam, tidak berani protes atau mengucapkan apa pun. Ini juga termsuk Kiara dan Gina yang kebingungan mengatasi kondisi ini. Berbeda dengan Gina, Kiara langsung menggunakan headphone-nya lagi dan mengambil buku di mejanya. Melihat sahabatnya itu diam, akhirnya Gina berjalan keluar kelas.

Karena waktu yang bebas, istirahat kali ini terasa lebih sepi. Tidak banyak anak yang pergi ke kantin. Cindy juga menolak ke kantin dan fokus berada di perpustakaan untuk belajar, yang katanya akan digunakan untuk tidur. Hanya seorang diri, aku mencoba mencari teman untuk makan. Aku melihat sekitar sampai suara yang asing tapi seperti kukenal terdengar olehku.

Stephanie yang sudah tidak pernah aku lihat berada di hadapanku, dengan senyuman yang lebar hingga aku merasa ada yang janggal darinya. Dia mengangkat tas makannya ke hadapanku, seperti ingin berkata kalau dia juga akan makan dan sedang mencari teman untuk diajak makan bersama. Awalnya aku ragu untuk mengiyakan, tapi teringat dengan ucapan Rachelle tentang keluarga Gina. Jelas ini membuatku kembali penasaran.

“Steph, gua mau nanya.”

“Apa tuh? Bukan pelajaran, kan? Kalo iya, nanti aja, otak gua udah kebakar.”
Ucapannya mengundang kekehan kecil dariku. “Bukan kok. Ini soal Gina sama Kiara.”

“Kenapa lagi mereka?”

“Lu kenal mereka sejak kapan? Bisa deket gimana? Trus Kiara sama Gina tuh udah sahabatan lama?”

Stephanie terihat mengunyah makanannya sambil memasang ekspresi berpikir. Bukan berpikir yang berpura-pura, tapi seperti dia benar-benar tidak ingat dari mana permulaannya. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaanku yang mudah. Dan sesuatu dari dalam diriku mengatakan kalau dia tidak ingin menjelaskannya secara mendetail, sehingga dia sedang berpikir cara menjelaskan dengan menutupi kebenaran.

“Gua juga gak inget pasti sih. Tiba-tiba aja gua deket sama mereka, kayak gua sama Rachelle. Tapi setau gua Kiara sama Gina kenal waktu SMP, waktu itu kelas satu semester dua. Gina lagi ada masalah.”

“Masalah? Masalah keluarga? Ada hubungannya sama dia yang mau segalanya diturutin?”

“Gua gak bisa cerita sih, tapi yah … Gina model anak yang bakal dapetin apa aja yang dia mau. Bahkan kalo someday dia mau beli soal ujian, mungkin bisa.”

“Gila! Bukannya ilegal?”

Pertanyaanku tidak dijawab oleh Stephanie, dia hanya mengangkat bahu tanda dia tidak tau jawaban pastinya, tidak mau lanjut membahas, dan tidak ingin berurusan. Memang, jika seseorang sungguh kaya, apa pun bisa kau beli, bahkan, menutupi semua tindakan ilegal yang pernah dilakukan. Tidak heran jika Gina bersikap seperti itu. Dia sudah hidup enak terlalu lama.

Seperti sebuah kutukan, tiba-tiba saja aku mendengar suara dehaman seseorang. Bukan hanya seseorang, tapi orang yang sangat aku kenali, suara dari Gina. Stephanie yang menghadap ke arahku terlihat terkjeut, dia bahkan tersedak makanannya. Meski takut, aku mencoba memberanikan diri untuk berbalik dan menghadap Gina. Ekspresinya terlihat sangat marah.

“Puas ghibahin gua?”

“Gua cuma nanya kok!” sergahku yang langsung merasa kesal dengan ucapannya. “Gua nanyw dan dijawab. Kalo rahasia, harusnya Stephanie diem aja, kan? Kalo mau marah, bukan sama gua!”

“Tapi yang biang keroknya tuh lu!” Kiara tiba-tiba saja muncul di belakang Gina dan menepuk pundaknya, seperti ingin meminta dia untuk diam saja.

“Cuma tinggal bilang maap aja gak susah, kan? Ato lu terlalu arrogant buat minta maap? Yang mancing duluan siapa? Lu, kan? Jadi lu yang salah.”

Kutatap Stephanie yang terlihat sama bingung denganku. Sebagian dari diriku mau percaya kalau Stephanie memang terkejut, tapi sebagian dari diriku menolak percaya. Sejauh ini yang aku tau Stephanie  selalu lebih dekat dengan Kiara dan Gina, tidak pernah terlihat dia bersama dengan Rachelle. Aku mempercayai kalau Stephanie memihak kepada Gina dan yang lain.

Kiara berdeham, membuatku tersadar dari lamunanku. Aku memberi Stephanie tatapan terakhir sebelum aku menghadap Kiara dan Gina. Mereka berdua memiliki ekspresi yang sama. Bagi mereka yang tidak terbiasa akan merasa merinding, namun setelah beberapa kali melawan Gina, menatap matanya tidak lagi jadi masalah. Tidak akan aku biarkan dia menikmati penderitaanku, percaya bahwa aku sudah tunduk kepadanya.

“Kalo gitu lu harus minta maap ke gua juga. Selama ini lu udah sebar rumor tentang gua.”

Gina mendengus kesal. “Nggak salah denger, nih? Semua ini juga yang mulai gara-gara lu! Sadar diri dikit napa, sih? Otaku lu udah mendem apa?”

“Susah ya ngomong sama yang pas-pasan.”

“Laurena Llyod, lu tuh sadar gak sih? Semua masalah ini tuh mulai gara-gara lu, lu semua yang mulai dramanya! Buka mata lu!”

Gina terus menerus mendorong keningku dengan jari telunjuknya selama dia berbicara. Perlakuannya yang semena-mena ini membuat darahku serasa mendidih karena amarah. Awalnya aku mencoba menahan emosiku, tapi makin lama justru terasa semakin menyebalkan. Kutepis tangan Gina yang terlihat terkejut saat aku melawan. Dia mengeluarkan sebuah tawa kering yang justru membuatku semakin marah.

“Masih ngelawan? Berani juga lu!”

“Gina, udah lah. Ini kan salah gua juga. Jangan cari ribut lagi,” ucap Stephanie yang menengahi.

“Gua gak sudi! Bakal gua buat dia bayar kesalahannya!”

🌻✨🌻

(27/02/2021)

Oye update lagi~! Gimana sama chapter yang satu ini? 👉🏻👈🏻 Apa kalian ada pendapat tentang pembahasan mamanya Rena? Kalo author sendiri sih setuju, apa lgi bagian Gina yang kalo punya duit, tindakan ilegal bisa ditutupin hhhhhh

Anyway, jangan lupa untuk tinggalkan vomments, share ke teman kalian dan masukkan reading list kalian! Follow me for more updates ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top