Chapter 11 - Cheating is Common

Olivia’s POV

“Jangan keluar sampai kau menyelesaikan semua soal itu!” Ayahku membanting pintu kamar dan bahkan menguncinya dari luar.

Dari balik pintu aku dapat mendengar suara Samuel yang bercakap-cakap dengan ayah. Walau terdengar samar, aku tau dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Suara omelan Samuel dan langkahnya yang mengejar ayah menggema di kamarku. Baru ketika semuanya tenang aku merebahkan diriku ke kursi putar yang memiliki roda. Soal yang sudah ayah print ada di hadapanku, tergeletak tak tersentuh.

Nilai bagus, itulah yang harus aku dapatkan agar tidak memalukan nama Carter. siapa yang aku ajak bercanda? Belajar bukanlah kesukaanku, namun menyandang nama Carter aku harus bisa dalam banyak bidang. Karena ayahku harus memamerkan satu-satunya putri dari semua kawannya, yang tidak kalah dari anak laki-laki mereka. Membual bahwa memiliki putri adalah kebahagiaan tiada tara.

“Ugh! Apa Raquel bisa kuhubungi?” Aku membuka ponselku dan memasang musik dengan keras sebelum melihat chat dari group. Rachelle kembali dengan segala cuap-cuapnya dan Raquel tentu saja membalasnya singkat, “Dasar Owen. Kenapa juga kau harus mirip denganku.”

“Liv? Tadi gua udah ngomong ke ayah … katanya tenggat waktunya dua jam, kalo nggak ….”

“Ya udah pergi sana. Jangan ganggu gua.”

“Liv, gua mohon kali ini aja, turutin kata ayah.”

Mendengar ucapan Samuel hanya membuatku menghela napas. Untuk ayah, untuk ayah, dan untuk ayah. Apa bahkan aku penting bagi mereka semua? Aku anak perempuan, aku lemah, aku tidak berdaya, dan banyak lagi. Memuakkan! Bahkan aku sudah muak dengan diriku sendiri. Terasa lucu, tapi itulah kenyataannya. Apa arti semua piala itu jika tidak ada orang yang bangga akannya?

“Olivia Carter … kalo lu berhasil, kalo lu dapetin nilai di atas sembilan puluh, gua … bakal ajak lu kayak dulu lagi. Kita bareng-bareng ketemu mama, ya?”

Mendengar mama disebut oleh Samuel dengan nada yang sedih seketika membuat air mataku terbendung. “Mama gak mau liat gua, Sam. Mama benci sama gua.”

Anehnya, aku mengharapkan sebuah balasan dari Samuel, namun balasan itu tidak kunjung datang. Siapa yang aku ajak bercanda? Tentu Samuel juga akan membenciku, karena semua orang juga membenciku. Lagipula, aku juga pantas untuk dibenci. Orang sepertiku memang harus dibenci oleh yang lain. Tidak ada yang perlu dibanggakan dari orang seperti diriku. Ya, aku juga benci diriku, sangat benci.

Kuusap mataku yang mulai berair sebelum kukirim pesan kepada Raquel. Memang aku dan dirinya tidak berteman. Tapi anehnya, aku membantunya dan dia membantuku, seperti friends with benefit. Kami menginginkan hal-hal yang hanya ada  di antara salah satu dari kami. Dan Rachelle adalah orang yang menyatukan kami sehingga membentuk group seperti ini.

“Nona Carter, Tuan Carter ingin berbicara.”

“Yang mana?” jawabku acuh. aku menuliskan jawaban terakhir sebelum merenggangkan tubuhku. “Kalo itu Samuel, bilang aja udah selesai, foto buktinya bakal dikirim.”

“Baik, Nona.” Aku melirik ke arah makan malamku sebelum meletakannya di lantai. Aku sibuk memfoto jawaban yang ada hingga mendapat video call dari Rachelle. Belum sempat aku mengangkatnya, pintu kamarku terbuka dengan kasar.

“Ayah harap kamu tidak mengecewakan.”

Samuel yang memberi acuangan jempol di belakangku terlihat puas. Well, setidaknya mereka tidak perlu tau siapa yang sebenarnya menyelesaikan tugasku. Ketika ayah sudah meninggalkan kamarku, Samuel menatap ke arah makanan yang berada di lantai. Dia menghembuskan napas sebelum mengambil nampannya, menatap ponselku yang masih terus bergetar. Samuel tau aku memiliki kenalan, dia yang juga selalu bersikap protektif dengan siapa aku kenal.

Setiap anak, terutama laki-laki, yang berbicara denganku harus melewati data, dipertanyakan identitas dan apa maunya berhubungan denganku. Kali ini, aku tidak tau apa aku harus tenang karena rumor aku membunuh ibuku sendiri, karena alasan ini yang membuat mereka bungkam. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau berbicara denganku, berbeda dengan dulu. Hal yang sama terjadi pada Samuel tapi karena wajahnya, semua orang mencintainya.

“Gak mau diangkat? Kayaknya penting.”

“Sejak kapan lu ikutan urusan pribadi gua?”

“Lho, selama ini gua harus tau siapa temen lu. Angkat di depan gua. Itu video call, kan?” Memang tidak diucapkan, tapi aku tau kalau Samuel sedang mengancam akan memberitau ayah tentang anak sekolahku yang tidak diketahui identitasnya berada dekat denganku.

“Kenapa?” jawabku ketus kepada Rachelle. Kutatap Samuel dari sudut mataku. “Gua lagi sibuk.”

“Lu abis chat Raquel, kan? Ini masalahnya penting.”

“Hah?” Tanpa sadar aku sudah terlepas mengucapkannya.

“Raquel butuh bantuan kita.”

Samuel yang  masih mendengarkan menatapku dan ponsel yang kugenggam secara bergantian. Aku menatapnya dengan takut, bukan karena akan ketauan bertanya pada Raquel untuk jawaban, takut dia akan mencurigaiku karena aku berkata tidak memiliki teman. Jika kau bukan teman, mengapa mereka meminta pertolongan hingga ke hal pribadi, benar?

Rachelle sepertinya menyadari kalau aku sudah tidak memperhatikannya lagi sehingga dia memanggilku berkali-kali. Samuel juga seperti tersadar dari lamunannya sehingga dia menunjuk ke arah ponsel dan menjawab panggilan Rachelle. Aku memang tidak menceritakan kepada Rachelle atau yang lain kalau aku memiliki kakak, lagipula itu tidak penting. Samuel sendiri tidak menganggapku sebagai adiknya. Namun jika dia tau sekarang, tentu hanya akan ada masalah yang timbul.

“Bantuan? Bantuan apa?”

“Gua jelasin besok, ya, kalo bisa dateng pagian, gua bakal ke tempat klub lu, pastiin udah kebuka, gua nggak mau nunggu di luar.”

“Jam?”

“Sebelum anak asrama bangun.”

Samuel yang tau kapan jadwal para anak asrama membesarkan matanya karena terkejut. Dia mau mengucapkan sesuatu sebelum aku memberinya tatapan galak. Untungnya Samuel mengerti sehingga dia menutup mulutnya dan menunggu sampai aku sudah selesai menelepon. Kuberi jawabanku kepada Rachelle dengan sebuah anggukkan kepala dan dia hanya memberi sebuah acungan jempol sebagai gantinya.

“Lu bener-bener mau pergi pagi?”

“Gua tinggal alesan mau belajar, perpus kan komplit di sana.” Samuel menggelengkan kepala tidak percaya mendengar ucapanku.

“Kalo sampe ayah tau lu gak ke perpus, gua angkat tangan.”

“Emang kapan lu pernah bantu ato support gua?”

Ucapanku berhasil membuat Samuel menutup mulutnya rapat-rapat. Dia menghembuskan napas, untuk kesekian kalinya, sebelum keluar dan membawa nampan makan malamku bersamanya. Setelah dia keluar, aku langsung membaringkan tubuh di kasur, mengambil ponselku yang semula berada di kantongku dan mencari video bertarung terbaru. Hanya dengan menonton sering kali mengajarkanku sesuatu dan aku juga akan melatihnya ketika di sekolah.

Anehnya, aku sulit untuk tidur semalaman, aku terus terjaga sehingga bangun pagi bukan masalah bagiku, bisa dikatakan aku hampir tidak tidur sama sekali. Kutatap semua buku tebal yang ada di meja beserta semua latihan soal yang diberikan ayah. Mungkin dipukuli akan lebih baik dari semua soal ini. Tentu dia akan memaksa diriku untuk membaca dan mempelajari itu. Semua buku itu aku masukkan ke dalam tasku yang lain sebelum turun untuk bertemu dengan ayah yang sarapan dengan tenang.

“Kau bangun pagi?”

“Ingin ke perpus. Belajar lebih serius.”

Ayah menganggukkan kepalanya. “Bagus. Kalau ujianmu bagus, aku akan mengabulkan permintaanmu. Ranking tiga, kau bisa, kan? Samuel selalu nomor satu, harusnya nomor tiga mudah untukmu. Semua anak lain masuk lima besar, kau bahkan tidak masuk sepuluh besar terakhir kali.”

“Anak lain punya tutor pribadi.”

“Kau yang selalu menolak!” bentak ayah tiba-tiba yang membuatku mengerutkan kening dan menjauhi ayah sedikit. “Selalu terobsesi dengan boxing, taekwondo dan semua bela diri bodoh itu!”

Kutundukkan kepalaku mendengar ayah yang berbicara seperti itu. Tidak sadar bahwa salah satu alasan aku belajar itu semua karena dirinya dan juga pekerjannya. Bukannya nilaiku buruk, aku hanya malas belajar, bahkan nilaiku selalu di atas Carla dalam hari biasa. Kalau aku memang serius belajar, memang rank lima dengan mudahku dapatkan. Tapi aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, aku tidak mau memaksa diri untuk melakukan hal yang tidak kusukai. Karena itu aku menolak belajar dengan serius.

“Jawab kalau aku bertanya!” Pukulan pertama ayah mendarat di pipiku. Meski begitu, aku tidak kunjung menjawabnya. “Kubilang jawab! Apa gunanya kau belajar itu semua, huh?!”

“Ayah, cukup. Olivia akan ke sekolah. Bagaimana kalau ada anak yang melihat lukanya?” Samuel memeluk ayah dari belakang yang sudah berhasil memukulku berkali-kali.

“Katakan saja kalau ada bajingan yang berani melakukannya!”

Ayah melepaskan genggamannya pada Samuel dengan mudah. Dia merapihkan jasnya sebelum berjalan ke hadapanku lagi. Dia mengangkat tangannya lagi dalam posisi siap memukul, membuatku menunduk. sebuah tawa puas keluar dari bibirnya dan dia menamparku sekali, cukup pelan dari biasanya, sebelum meninggalkan ruang makan sambil bergumam. Samuel juga mendekatiku dan menatapku penuh dengan kebencian.

“Sehari aja, Liv, sehari aja. Jangan cari gara-gara!” Samuel ikut meninggalkan ruang makan sembari menabrak pundakku kasar.

Saat itu juga nafsu makanku langsung hilang. Bahkan hanya mencium masakan untuk bekalku nanti sudah berhasil membuatku mual. Tanpa mengatakan apa-apa lagi kepada pengurus rumah, aku langsung meninggalkan ruang makan untuk berangkat ke sekolah. Bahkan ketika bibi itu memanggilku, aku tidak menjawabnya dan terus berjalan keluar rumah. Sopir yang mengantarku terkejut ketika melihatku sudah keluar.

Terburu-buru, dia langsung mengambil tas tentengku dan membukakan pintu mobil. Hanya hal-hal kecil seperti ini yang bisa aku banggakan dari menjadi seorang Carter. Kau tidak perlu melakukan banyak hal. Akan ada orang yang mengurusimu setiap harinya, walau hanya karena terpaksa. Kuambil earphone dari dalam tasku dan kugunakan selama perjalanan.

***

Saat ujian sudah dimulai, semua orang menjadi gila. Mereka gila belajar. Mayoritas akan membenamkan wajah ke dalam buku saat istirahat, dan sisanya akan membahas soal ulangan yang sudah terlewat. Carla yang berada satu kelas denganku tidak terlihat menanggapi ujian ini sangat serius, tapi dia jelas sangat percaya diri akan ujiannya. Entah apa yang terjadi pada anak yang satu itu.

Rachelle yang mengajakku berbicara seminggu sebelum ujian hanya memerintahkanku untuk memperhatikan Carla hampir sepanjang hari, aku harus melakukan hal-hal aneh yang dia lakukan, entah apa maksud dari itu semua. Rachelle hanya menjelaskan kalau Carla sedang merencanakan sesuatu dengan Gina, namun kali ini senjatanya adalah Gina dan targetnya adalah Raquel.

“Tumben belajar?” celetuk Rachelle yang mengajakku makan bersama seperti biasa. Raquel juga ada bersama kami, dia sedang memakan roti salmonnya dan mendengarkan musik lewat airpods. “Tumben juga udah nggak ngeluh soal Carla? Biasa tiap hari ngoceh?”

“Berisik. Emang lu juga mau dengerin ocehan gua? Lagi, ngapain gua mikirin tuh bocah satu. Mending cari hal yang guna.”

“Hm, ya udah. Gua respon nih. Si Raquel sok sibuk. Padahal belajar aja gak pernah, tapi tiap kali ajak main nolak.”

“Main aja noh sama Laurena.”

Ketika nama itu kusebut, Rachelle sesaat terlihat sangat terkejut. Matanya membulat dan menunjukkan ketakutan. Dari ekspresinya terlihat jelas seperti dia baru menyadari sesuatu hal yang sangat buruk. Raquel yang sedang memandang sekitar menatap Rachelle bingung sebelum menatapku dengan menganggukkan kepala sebagai pertanyaan, ada apa dengan Rachelle?

“Gua baru sadar, serem banget.”

“Sadar apaan?”

“Rena jadi pendiem!” seru Rachelle yang bahkan membuat Raquel melepas airpods-nya. “Dia kayak ngebatasin diri gitu. Aneh gak, sih? Ato cuma gua aja?”

“Yah … kalo kenal deket aneh sih, tapi menurut gua biasa aja.”

Rachelle memandangku sebelah mata sebelum mendengus ketika sadar aku sudah mulai membaca buku pelajaran lagi. Tanda kalau aku tidak mau diganggu olehnya. Raquel yang sudah melepas airpods-nya menatap Rachelle bertanya-tanya, seperti mengharapkan penjelasan lebih dari sahabatnya itu. Dia pun menceritakan kejadian seminggu lalu yang kudengarkan baik-baik dalam diam agar mereka tidak sadar.

Hari terakhir sekolah terasa seperti neraka. Kami akan libur selama dua hari, untuk melakukan penilaian pada ujian kami. Hasil sementara akan diumumkan secara online dan selama itu kami harus mempersiapkan diri untuk lomba antar kelas atau class meet per semester. Semua orang sibuk menentukan siapa yang akan memainkan apa. Tanpa bertanya padaku, mereka sudah memasukkanku ke dalam list tim basket.

“Dah pulang? Di dapur ada makanan, makan dulu sambil nunggu makan malem.”

“Gua gak mau makan malem. Lu hari ini pergi kan sama temen-temen lu?”

“Ngusir nih ceritanya?”

“Iya.”

Samuel menatapku dengan tatapan tidak senang sebelum menghembuskan napas dan mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaanku. Sebuah senyum puas kupasang sebelum meninggalkan ruangan dan mulai bersiap-siap. Waktu latihanku berkurang karena fokus dengan belajar selama seminggu dan karenanya malam itu aku ingin go all out, tidak mungkin mengganggu siapa-siapa atau ditahan oleh orang lain.

Setelah latihan basket pada hari terakhir libur, semua anak diharapkan hadir untuk pengumuman nilai yang ada. Biasanya aku akan melewatkannya dan melihat hasil di sekolah, namun kali ini aku merasa gugup, bahkan jantungku berdegup kencang seperti ini adalah lomba pertamaku. Setelah aku membersihkan badan, aku sudah duduk di depan komputerku untuk menunggu pengumuman yang ada. Samuel anehnya juga ikut menunggu bersamaku.

“Gua liat-liat lu belajar, kan? Harusnya sepuluh besar nyampe lah.”

“Berisik.” Samuel menggelengkan kepala sembari mengangkat kedua tangannya. “Ah, sial. Kenapa juga pake gugup segala.”

Samuel yang mendengarku langsung mengacak-acak kepalaku dan terkekeh, seperti tidak pernah kumarahi sebelumnya. “Santai aja. Siapa suruh lu kali ini belajar. Kan biasa gak belajar juga dapetnya udah bagus.”

Tidak segan-segan aku langsung memukul perutnya kesal agar diam. Orang sepertinya tidak akan tutup mulut jika tidak terpaksa. Selama menunggu akhirnya ada ketenangan, namun lama kelamaan terasa menegangkan. Ketika hasil ujian keluar, Samuel yang langsung mencari namaku, mewakilkan diriku yang masih terpaku. Wajahnya menggambarkan segalanya ketika dia sudah selesai membaca. tidak akan ada yang berubah.

“Naek dua rank aja. Good luck ya ngomong ke ayah.”

“Sialan!” jeritku kepada Samuel yang telah beranjak pergi dari kamarku. “Kenapa? Kenapa cuma naek dua?!”

Kugebrakkan kedua tanganku ke meja. Tidak, memang dunia tidak pernah adil, tapi pasti ada alasan lain. Aku melihat list anak-anak yang mendapat rank di atasku. Aku tau siapa yang biasa ada di atas, dan sekarang list yang aku lihat semua terasa asing. Hanya beberapa saja yang aku kenali. Dengan melihat list ini sudah membuatku yakin kalau ada seseorang yang sedang mengacau.

Di sekolah semua orang langsung heboh. Anak-anak dengan nilai tinggi memamerkan nilainya, sedangkan yang tidak membicarakan bagaimana mereka bisa jadi di atas, termasuk Carla yang tiba-tiba berada di atasku. Baru saja aku masuk ke dalam kelas, Carla yang melihatku langsung berbicara dengan keras. Andai aku bisa membuatnya tutup mulut, mungkin dia sudah bungkam, Namun mengetahui sifatnya, aku yakin dia pasti akan membuat drama lagi.

“Diam semuanya!” Wali kelas kami tiba-tiba masuk padahal bel masuk belum berbunyi. Ekspresi yang diberikan olehnya terasa menyeramkan. “Saya tau kalian merasa bingung dengan hasil ujian kalian, ini tidak hanya pada kelas kita, tapi juga kelas lain.”

Seorang anak yang baru datang terkejut melihat wali kelasku. “Ah, maaf.”

“Tidak, tidak. Bel belum berbunyi. Silahkan duduk.” Setelah anak itu duduk, guruku menatap kami semua satu per satu. “Kami para guru sedang menyelidiki apa yang terjadi. Kebocoran soal sudah sering terjadi, tapi kami para guru selalu mengatasinya. Kali ini, saya harap kalau kalian terlibat, langsung melapor.”

“Ah, maling mana mau ngaku!”

“Diam!” Guruku menggebrakkan papan absennya. “Bagi yang ketahuan telah mencontek dan dia tidak melapor, kalian tau apa yang akan langsung terjadi. Sekian.”

Ketika guruku telah keluar dan tidak terlihat lagi, semua anak langsung mengerang, mengomel dan bahkan menyebut nama beberapa anak. Mayoritas menyebut nama Carla yang sudah memerah. Aku tidak tau apa artinya, tapi tentu saja ini mencurigakan. Melihatnya seperti itu terasa lucu sehingga aku terus memperhatikannya. Kalau sudah begini, apa yang akan dia lakukan?

“Emang apa buktinya kalo gua salah satu anak yang nyontek?!” bentak Carla langsung menatap ke seisi kelas. “Toh, kalian juga pada nyontek, kan? Mungkin gak pake bocoran soal, tapi kan tetep aja, kalian pake cara curang. Gak usah sok suci terus nge-judge orang!”

“Kalo udah salah mah salah aja.”

“Mau bukti? Buktinya nilai lu lebih bagus dari Olivia. Nilai lu tuh gak pernah di atas dia. Karena lu belajar? Yang gua liat Olivia yang belajar tuh!”

“Oh … jadi kalian sekarang dukung pembunuh, gitu?”

Ucapan Carla membuat semua anak diam, memang tanpa sadar mereka semua sudah mendukungku. Sekarang setelah menyadarinya, mereka memilih untuk diam. Carla terlihat sedikit puas dengan respon mereka semua dan berjalan keluar kelas. Dia membawa tasnya bersama sebelum anak-anak kelas menatapku tajam. Semua itu tidak kuhiraukan karena kali ini ada sebuah harapan aku bisa lebih di atas.

🌻✨🌻

(20/02/2021)

Sesuai janji!! Hari sabtu juga akan update!!

Gimana nih chapter yang satu ini? Seru? 🌚👀 Bikin gigit bantal? Wkwkwkwmkwk

Semoga kalian suka chapter satu ini ya ^^
Jangan lupa juga tinggalkan vomments, follow my account, masukin reading list + share ke temen2 kalian~

See you next weekkkk ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top