Chapter 1 - New Student
Laurena's POV
Cornation International High School, dari Gardania Foundation. Sekolah yang paling terkenal, bukan karena keeliteannya, tapi juga karena kualitas sekolahnya. Karena itu, ayah memutuskan untuk memasukkanku ke sekolah ini. Bukan hanya ada SMA saja, tapi bahkan ada SMP di sini, dan mereka juga menyediakan asrama khusus untuk anak yang mau. Aku pernah melihat asramanya, dan aku benar-benar merasa takjub ketika melihatnya.
“Lauren, semuanya udah disiapin, kan? Nggak ada yang ketinggalan?”
“Nggak kok, Pah. Udah berangkat gih, nanti telat.” Ayah hanya terkekeh kecil sebelum menganggukkan kepalanya.
“Semangat!” Ayah pun melajukan mobilnya dengan cukup kencang dan menghilang dari pandanganku.
Ranselku kukenakan dengan benar sebelum menatap sekolah yang ada di hadapanku. Gedung yang besar ini tidak pernah gagal membuatku kehilangan kata-kata. Aku bisa saja tersesat karena ini, tapi aku memiliki keyakinan kalau anak-anak di sini akan membantuku juga, hopefully. Pekarangan sekolah penuh dengan lautan manusia, dengan jas biru yang menjadi ciri khas sekolah ini.
Dengan perasaan takut namun juga semangat, aku memasuki lapangan yang sungguh luas. Yang lebih menakjubkannya lagi, sekolah ini memiliki lapangan indoor, sehingga tidak akan ada lagi anak yang bisa berpura-pura pingsan karena kepanasan. Aku sendiri akan merasa lebih tenang jika berada di lapangan indoor karena aku yang memiliki fisik yang sedikit lemah.
“Untuk anak baru bisa ke arah kiri, dan baris dengan rapi!” Satu hal yang menguntungkan lagi, sekolah internasional membebaskanku dari MOS.
“Hai!” sapaku kepada gadis di sampingku. “Nama gue Laurena Llyod, lu bisa ….”
“Gak peduli.” Jawaban singkat itu terasa seperti ingin mencemoohku. Aku memperhatikannya dari atas hingga bawah, menyadari sebuah kalung yang dia kenakan.
“Rude,” bisikku. Anak itu hanya memutar bola matanya sebelum menghadap ke depan.
“Biarin aja. Kenalin, gua Rachelle Demian, nggak ada nama panggilan.”
“Gue Laurena Llyod, bisa dipanggil Lauren, Rena ato Nana.” Aku menjabat tangan anak itu. Anehnya, dia memiliki sebuah senyuman yang terkesan misterius, sebisa mungkin aku mengabaikan pandangan itu.
Rachelle kembali fokus ke depan sebelum berbicara lagi,” Yang tadi namanya Raquel Daniel Owen. Dia loncat setaon karena pinter banget. Tapi dia juga dijulukin ice queen.”
“Hm … nggak heran.” Pandanganku melayang ke arah anak yang bernama Raquel itu, tidak mengherankan jika dia disebut sebagai ice queen.
Percakapan kami terhenti ketika kepala sekolah dan kepala yayasan berjalan ke podium dan melakukan pembukaan. Pada awalnya, aku merasa tertarik dengan kata-kata sambutan itu, tetapi semakin lama, aku tidak bisa fokus dengan keadaan yang ada. Ucapan kepala sekolah hanya terdengar samar-samar di telingaku dan anak-anak lain juga terlihat sudah bosan. Setelah pembukaan itu berakhir, upacara secara resmi dilaksanakan.
Untungnya upacara dilaksanakan dengan sangat cepat. Itu pun masih harus disusul dengan pembinaan dan juga pembagian kelas. Semua anak baru berkumpul pada satu tempat. Keramaian itu membuatku merasa sesak, semua ingin lebih dulu masuk ke kelas mereka masing-masing. Memang melelahkan, tapi jika bisa perlahan, mengapa tidak? Jika seperti ini, seseorang bisa saja terluka!
“Laurena … Laurena …,” bisikku mencari namaku di papan yang dipajang. “Dapat!” Aku segera mengambil tasku yang dikumpulkan dan pergi ke kelas dengan senyum yang besar.
“Oh, Laurena?” Suara itu menarik pehatianku. “Lu kelas sepuluh A juga?”
“Iya.” Rachelle merangkul leherku dan menarikku ke kelas.
“Ini kelasnya, gimana? Keren nggak?” Proyektor, loker dalam kelas, pendingin ruangan, meja dengan komputer, semuanya ada!
“Gila … ini bener sekolah, kan?” Rachelle terkekeh kecil sebelum melepas rangkulan tangannya.
“Masing-masing meja udah ada nama, cari punya lu.”
Mengikuti instruksi Rachelle, aku pun memperhatikan meja-meja yang masih kosong dan mencari namaku sendiri. Ketika aku menemukannya, seseorang di depanku sudah menempati kursinya. Dia memiliki rambut hitam panjang yang bergelombang. Di bawah jas sekolahnya terlihat hoodie berwarna abu-abu, dan juga dia mengenakan sebuah headphone.
Kelas mulai dipenuhi dengan anak-anak yang, walau menggunakan seragam, menggunakan berbagai jenis fashion. Anak di depanku juga melepas headphone dan jasnya. Ketika dia akan menyampirkan jasnya, dia baru menyadari keberadaanku yang duduk di belakangnya. Sebuah senyum canggung terukir di bibirku begitu saja, melihat ekspresinya yang membuatku merasa kurang nyaman. Ekspresi itu akhirnya hilang dan digantikan dengan senyuman biasa.
“Gue Kiara Charlton, panggil Kiara ato Ra aja.”
“Gue Laurena Llyod.” Aku menjabat tangannya dengan penuh antusias. Dia juga tidak terlihat bermasalah dengan itu.
“Anak baru?” Kuanggukkan kepala sebagai jawaban. “Udah kenal siapa aja?”
“Oh, uhm. Tadi sempet ketemu Raquel, ada Rachelle juga. Tadi sih sempet kenalan sama Rachelle, sempet ….”
“Rachelle Demian?!” serunya. Sebagian anak di kelas langsung menatapnya dengan tatapan kesal dan penasaran. Tapi mereka semua akhirnya kembali fokus pada masalah masing-masing. “Lu ngobrol sama dia?”
“Hooh, masalah?” Kiara hanya menggelengkan kepalanya dan membalikkan tubuh.
Merasa ada yang janggal, aku berusaha untuk memanggilnya lagi, sayang bel masuk berbunyi tepat setelah aku memanggilnya. Anak-anak di dalam kelas langsung berhamburan dan duduk di kursi masing-masing. Dalam hitungan menit, guru wali kelasku sudah datang. Dia adalah seorang perempuan dengan paras yang cantik, seperti seorang fresh graduate, dan terlihat sangat ceria. Tetapi kacamata yang dia kenakan itu berkata lain dari wajahnya.
Buku yang dia pegang dibantingnya dengan keras ke meja dan dia menatap kami semua dengan tajam di balik kacamatanya. Dia terlihat sedang menilai tentang kami dan mempelajari sifat kami. Tatapannya itu membuatku, dan pastinya beberapa anak lain, merasa takut. Kiara yang berada di hadapanku menatap guru itu sekilas sebelum memainkan ponselnya yang ada di dalam rak, tidak peduli apakah dia diperhatikan atau tidak.
“Kau,” panggil guru itu dengan suara lantang, mengejutkan sebagian anak-anak. Tangannya menunjuk ke arah Raquel. Dia membuka sebuah map dan mengangguk. “Raquel Daniel Owen, ketua kelas.” Tangan guru itu berpindah ke hadapanku. “Kau, Laurena Llyod, wakil ketua kelas.”
“He?!” seruku tanpa berpikir.
“Tidak ada yang komplen!” Guru itu menatapku tajam. “Rachelle Demian dan Kiara Charlton, sekretaris.”
Guruku terus menyebutkan nama dan memberikan posisi-posisi mereka di dalam kelas. Aku? Menjadi wakil ketua kelas? Terlebih dengan gadis seperti Raquel? Rasanya aku harus bersiap mental untuk berbicara dengan dinding dan bukannya manusia. Fokusku kembali ke kelas ketika guru itu kembali membanting mapnya yang berisikan data kami. Pada akhirnya, dan untungnya, dia memperkenalkan dirinya.
“Nama saya Ros, Rosalinda. Dan saya yang akan menjadi wali kelas kalian, mengerti?” Seluruh kelas hanya diam saja. “Saya bilang mengerti?!”
“Iya, Bu Ros.”
“Bagus. Hari ini saya akan memberi bimbingan, tapi tidak semua. Sebelumnya, ada yang ingin ditanyakan?”
“Jadwal pelajaran tambahan, kapan akan dibagikan?”
“Seminggu setelah kelas dimulai. Pre-test juga akan dilakukan secara random, jadi bersiap-siap.”
Ketika jam menunjukkan pukul sepuluh, bel berbunyi dan seluruh kelas mulai membereskan bukunya. Aku juga termasuk dari anak-anak itu. Dalam sekejap, banyak anak yang sudah keluar, aku menduga mereka adalah anak-anak asrama. Kiara yang berada di depanku juga langsung mengenakan headphone-nya serta jas yang awalnya disampirkan.
Sekilas Kiara menatapku sebelum mencibir dan pergi tanpa sepatah kata pun. Tasku yang baru kusampirkan sebelah bergelantungan dan aku sendiri dikejutkan oleh seseorang yang merangkulku dari belakang. Orang itu adalah Rachelle. Dia memberiku sebuah senyum yang tentu saja aku balas. Dia mengajakku mengobrol sepanjang perjalanan keluar, hingga dia melihat jemputannya.
Lautan anak berjas biru perlahan mulai menipis. Masing-masing dari mereka berjalan pulang dan menemui jemputan mereka. Aku sendiri sedang melakukan hal yang sama, menunggu jemputanku. Aku memang merasa canggung untuk memiliki jemputan, tapi ayah berkata kalau aku akan terbiasa nantinya. Aku terus menunggu jemputanku dalam diam, sampai seseorang berdiri di hadapanku.
“Permisi, kau menghalangiku,” ucapku dengan sopan.
“Not my problem,” sergahnya bahkan tanpa menatapku. Aku menarik pundaknya agar menatapku.
“Hei! Lu pikir lu itu siapa?” Anak itu menatap tanganku yang berada di pundaknya dan mendengus kesal.
“Singkirin tangan lu, gua jijik!” Bukannya aku menyingkirkan tanganku, aku justru menggenggam pundaknya lebih erat. “Gua bilang singkirin tangan lu!”
Anak itu tiba-tiba saja memukul wajahku, tepat ketika seseorang datang ke hadapannya. Dia memang bukan pemukul yang handal, tapi dapat aku pastikan kalau pukulannya itu benar-benar menyakitkan. Ekspresi yang aku tunjukkan pasti sangat terkejut sehingga anak di hadapanku ini merasa puas. Ketika dia berbalik, dia berhadap-hadapan dengan supirku. Wajahnya benar-benar terlihat marah.
“Apa yang kau lakukan pada Nona Llyod?”
Aku segera berlari ke hadapan supirku untuk menghentikannya. “Tidak apa-apa. Hanya terjadi kesalahpahaman saja. Lihat, aku baik-baik saja, bukan?”
“Ada bekas merah di pipi Anda.” Sial! “Saya akan melaporkannya—”
“Tidak, tidak perlu! Ini baru hari pertama, jika lain kali dia berbuat seperti itu lagi, aku akan segera memberitaumu, bagaimana?”
Supirku, untungnya, menganggukkan kepalanya dan mengambil tas sekolahku sebelum dia kembali ke mobil, membuka pintu dan menungguku masuk. Aku menatap anak yang memukulku untuk menemuinya menggerutu pada dirinya sendiri. Melihatnya seperti itu membawa kesenangan pada diriku. Dengan nada yang jahil, aku mengucapkan salam kepadanya, sebuah senyum terukir di bibirku.
“Terima kasih kembali. Sampai berjumpa besok.” Aku menatap nametag-nya sekilas. “Gina Ayu Dewi.”
Ketika aku menyebut namanya, matanya membesar dan ekspresinya menunjukkan kemarahan. Belum sempat dia mengucapkan apa-apa, aku sudah pergi meninggalkannya dan masuk ke dalam mobil. Bukannya ke rumah, supirku membawa mobil ke minimarket terdekat dan membelikanku obat. Dia bahkan membantuku menggunakannya dan berkata kalau ayah atau ibuku melihatnya, mereka akan marah besar.
Sesampainya aku di rumah, aku bertemu dengan pengurus rumah. Katanya ibu sedang pergi karena ada urusan mendadak. Makan siang sudah tersedia dan kali itu rasanya sangat sepi. Bukan hal yang biasa bagiku untuk makan sendiri. Ibuku jarang pergi dan selalu bekerja di rumah. Ibu berkata, seorang anak yang sukses pasti memiliki support dari orangtuanya.
“Ah, Bi, untuk besok siapkan seragam olahragaku juga. Kami akan mengadakan senam di pagi hari.”
“Baik. Apa minum yang disiapkan juga double?” Aku menjawabnya dengan anggukkan sebelum pergi ke kamarku.
“Hari pertama di sekolah baru!” seruku sembari menghempaskan tubuhku di kasur. “Ah, lukaku seberapa parah hingga dia khawatir ayah akan marah?”
Aku mengambil kaca kecil yang berada di lemari samping tempat tidurku. Butuh beberapa saat sebelum aku menyadari seberapa buruknya memar itu. Dia pasti menggunakan cincin di tangannya karena aku melihat sebuah luka kecil. Meski kecil rasanya tetap sakit. Fokusku terbuyarkan ketika ponselku berbunyi dan nama yang tertera di sana adalah sepupuku.
“Bagaimana Bandung? Tiba-tiba sekali kau meneleponku!”
“Sungguh tidak enak! Aku harap Kak Rena ada bersamaku!” Aku terkekeh mendengar responnya.
“Jangan seperti itu. Bukankah kau ikut karena ingin memberi support kepada ayahmu juga? Paman sudah memberi pilihan untuk tinggal bersamaku atau bersama dia, dan kau memilih ….”
“Ya, ya, ya. Aku tau,” potong sepupuku. “Aku hanya rindu berpetualang bersama ketika aku pergi denganmu. Semua hal yang ada pasti terasa sangat seru! Dan aku merindukan itu semua.”
Lagi-lagi aku terkekeh mendengar balasannya. Percakapan kami berlangsung cukup lama hingga ibuku pulang. Aku berpamitan dengan sepupuku, membuat dia sedikit merengek ketika tau aku baru bisa menghubunginya besok setelah pulang sekolah. Pada akhirnya, sepupuku itu menyetujui tawaran dan mematikan sambungan telepon. Sisa hari itu berjalan dengan cepat. Dan tanpa terasa, esok harinya sudah datang.
***
“Buku sekolah? Baju olahraga? Sarapanmu? Bekal? Semua sudah siap, kan?”
“Pah, semuanya sudah disiapin. Mendingan Papa cepet-cepet panasin mobil sembari menungguku makan.” Ayah mengacak-acak rambutku dan keluar sambil memanggil supir rumah.
“Makannya tidak perlu terburu-buru.” Ibuku datang membawa roti panggang dengan telur dan bacon. Ditambah dengan secangkir susu hangat yang dibawakan oleh pengurus rumah.
“Wah … sejak kapan makan pagi jadi semewah ini?”
“Semenjak kau jadi anak SMA.”
Jawaban ibu membuatku tersenyum dan aku lanjut makan dengan perasaan lebih bahagia dari biasanya. Keluarga adalah tempat di mana aku bisa jadi diriku sendiri, di mana aku bisa menceritakan segala keluh kesahku, di mana aku bisa mencari perlindunganku. Karena itu, aku akan membuat kedua orangtuaku merasa bangga dengan apa yang aku lakukan.
“Untuk anak sains, dimohon untuk tidak membuat alasan agar tidak mengikuti senam pagi!” Suara Kepala Sekolah terdengar sangat kencang di lapangan yang terbuka.
“Jangan dorong! Gue nggak mau sentuhan sama lu!” Suara yang aku kenali itu terdengar dari barisanku. Ketika aku membalikkan tubuhku, aku dapat melihat Gina yang melipat tangannya di depan dada.
“Ternyata gua satu kelas dengan anak pemukul,” sindirku. Gina yang mendengar suaraku langsung berdiri dengan tegak. Ekspresinya menunjukkan ketakutan, tapi kemudian diubah menjadi tak berekspresi.
“Apa mau lu?” Beberapa anak menatap kami. “Masih belom puas juga dipukul?”
“Nggak kok, Cuma nyapa.”
“Cish! Gaje.”
Merasa puas dengan respon yang kudapat, aku kembali menatap ke depan dan tak lama, musik untuk senam terpasang dengan lantang, mengejutkan banyak murid. Guru olahragaku, yang perempuan, memimpin jalannya senam hingga selesai. Dia berdiri di tengah-tengah, ditemani beberapa kakak kelas. Senam selesai sekitar satu jam kemudian, meninggalkan anak-anak bersimbah keringat. Tidak terkecuali aku yang bahkan tersengal-sengal.
Secara teratur, kami kembali ke kelas yang sekarang memasang kipas dan bukan AC. Kiara yang duduk di depanku mengeluarkan kipas kecil otomatis dan meletakkannya di meja. Dia juga kembali mengambil headphone-nya. Menggelengkan kepalaku, aku menatap ke arah sekitar untuk menemui Raquel yang dikerumuni banyak orang.
“Kaget ya lu?” Aku menatap ke belakang, melihat anak yang berbicara. “Nama gua Alia, panggil Lia juga gak papa.”
“Maksudnya kaget apa?”
“Raquel.” Dia menunjuk ke arah anak yang disebut dengan kepalanya. “Loncat setaon, tapi aslinya dia bisa loncat dua ato tiga taon, tapi katanya mau ngerasain sekolah anak pada umumnya. Tapi, sifatnya malah begitu.”
“Biarinlah, mungkin … dia ada masalah?”
“Yah, intinya sih gue nggak suka orang kek dia. Sok dingin.”
Aku tidak menjawab pernytaan Lia dan kembali menatap Raquel. Tapi kali ini, dia bahkan ikut menatapku tepat di mata, membuatku merasa takut. Aku melihat ke arah lain, berharap dia menatap orang lain dan bukan aku. Sialnya, dia justru menatapku dengan mata tajam dan sebuah seringai aneh. Dia kembali ke sikapnya yang biasa ketika seorang guru datang ke kelas.
Kami mengikuti kelas sebelum diperbolehkan mandi dan mengganti pakaian kami. Benar, mandi. Bahkan sekolah ini menyediakan fasilitas seperti itu. Kami hanya boleh keluar sepuluh orang saja sehingga harus berganti-gantian, sesuai absen. Ketika sudah saatnya aku, Rachelle menatapku dengan tampang misterius. Bahkan dia melambaikan tangannya.
“Kalian hanya punya sepuluh menit, oke? Timer akan Ibu pasang, jangan lebih. Ayo masuk.” Aku sendiri masuk ke dalam bilikku dan mengunci pintunya. “Timer dimulai!”
“Sekolah macam apa yang aku masuki ini …?” gumamku.
🌻✨🌻
(16/12/2020)
Hai, hai! Gimana nih untuk permulaan ceritanya? Udah penasaran sama selanjutnya? Ditunggu ya! Update setiap rabu! Total ada 30 chapter.
Jangan lupa untuk tinggalkan vomments kalian sebagai bentuk dukungan! See you next week 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top