17

"Masa-masa itu, ya?" tanya Okta dengan senyum simpul.

Dia mengambil napas dalam-dalam, melihat hamparan cakrawala yang begitu indah dipenuhi bintang-bintang.

"Dulu aku pikir Arkan adalah segalanya buatku. Rumah buat aku pulang dan tempat istirahat dari bisingnya rumahku, Ka," cuit Okta perlahan.

Dia mulai mendekatkan dirinya pada Raka dan menyandar pada bahu lelaki itu. Raka juga mengalungkan tangannya pada bahu Okta, membuat gadis itu semakin dekat dengannya.

"Aku pikir Arkan akan menjadi orang satu-satunya yang paling mengerti aku, Ka. Walau dia egois, mudah cemburu, posessif, tapi aku tahu kalau dia sayang banget sama aku. Dan aku terlalu bodoh untuk terlalu percaya sama dia, Ka," lanjut Okta.

Air mata yang coba Okta tahan, mulai luruh. Perasaannya kembali terkenang.

Tentang Arkan dan wanita yang berhasil menyakiti perasaannya.

"Ar! Kamu tahu apa yang kamu lakuin sekarang?!" teriak Okta penuh sakit hati.

Mereka berdua—tidak. Tepatnya bertiga, sedang berada di taman yang dekat sekali dengan rumah Arkan. Okta tidak tahu tepatnya di mana, tapi Arkan selalu mengajak Okta ke taman tersebut. Membuat Okta sedikit hafal dengan lingkungan di daerah sana.

Namun ia tak mengira kalau taman tempatnya berkencan, Arkan gunakan untuk berkencan juga dengan perempuan lain.

"Siapa cewek itu?" tanya Okta masih mengendalikan emosinya.

Tapi Arkan tak menjawab sama sekali.

"Cewek itu siapa, Ar?!" tanya Okta penuh amarah.

Perempuan yang berada di samping Arkan semakin mengeratkan pelukannya di tangan Arkan. Dia bahkan bergelayut manja dengan wajah takutnya.

"Sayang? Dia siapa, sih?" tanya perempuan itu dengan manja.

Okta membelalakkan matanya, "Sa-sayang? Kalian—kalian benar-benar pacaran?"

Perempuan tersebut mulai memberanikan dirinya. Dia menatap Okta dengan sedikit keberanian. "Iya. Aku sama Mas Arkan pacaran. Mbak ini siapanya Mas Arkan? Kenapa tiba-tiba marah dari tadi?" tanya gadis itu dengan terbata-bata.

Okta mundur perlahan, tawa kecil keluar dari mulutnya. Membuat Arkan jadi tidak enak hati. "Haha. Mas? Mas Arkan?"

Okta menggelengkan kepalanya perlahan. "Kamu, Ar. Kamu... kamu benar-benar lukain aku sepenuhnya, Ar," lanjut Okta kecewa.

Arkan menepis tangan perempuan di sampingnya dan mengejar Okta. Dia mencengkram lengan Okta dengan kuat. "Ini salah kamu juga!" seru Arkan.

Okta langsung berbalik dan menepis tangan Arkan dengan kasar. "Salah aku? Salah aku apanya?! Emannya aku buat kamu kenapa? Aku bahkan selalu kasih kamu kabar walau kamu suka tiba-tiba menghilang! Dan sekarang aku tahu alasan kamu hilang! Karena cewek itu! Cewek yang berhasil ganti posisiku!" teriak Okta marah, sakit hati, kesal, juga kecewa.

"Mas Arkan? Hubungan Mas sama Mbak itu apa? Kenapa dia marah-marah sama Mas?" tanya perempuan itu dengan ketakutan.

Okta bahkan sudah tidak sanggup lagi mendengar suara perempuan itu. Dia semakin menyakiti perasaan Okta.

"Dua tahun yang hampir kita habiskan bersama ternyata cuman sampah, ya?" tanya Okta melirik perempuan tersebut dengan tajam.

"Ternyata kamu lebih suka cewek polos yang bahkan enggak ngerti situasi yang sekarang sedang berlangsung. Kamu lebih suka cewek bodoh yang enggak paham kejadian kayak gini, ya?" tanya Okta lagi, dia semakin menyindir perempuan tersebut.

"Mas? Dia siapa, sih?" tanya perempuan itu. Arkan menatapnya dengan tajam. "Diam! Kamu diam dulu! Jangan buat banyak masalah!"

"Haha!" tawa Okta pecah. "Ternyata kamu lakuin dia lebih buruk dari aku, Ar. Kamu gak pernah bentak aku sekasar itu. Jadi ini, ya, yang namanya pilih kasih?" tanya Okta, kali ini menatap Arkan dengan mata berkaca-kacanya.

Arkan menghampiri Okta dan memegang kedua tangannya. "Iya, Sayang. Ini cuman salah paham. Aku masih sayang kamu. Maaf aku—"

"Maaf? Maaf, Ar? Kamu serius?"

Okta menggeleng perlahan dan menepis tangan Arkan. Dia mengusap matanya yang mulai mengeluarkan air mata. "Enggak, Ar. Kita selesai. Kata maafmu gak bakal aku terima sampai kapanpun. Nikmati malam kalian. Aku pamit," ucap Okta lalu berlari ke arah lain.

Dia terus berlari, mengikuti ke mana arah angin membawanya. Dirinya sudah menangis dengan leluasa, meluapkan segala rasa sakit hati dalam hatinya. Sampai ia berhenti di bawah pohon besar untuk berjongkok. Merenung dan mencurahkan segalanya.

"Dan di sana kita bertemu, Ta," ucap Raka seraya menghapus jejak air mata di pipi Okta.

"Iya. Kita bertemu di sana setelah sekian lama kamu tidak masuk sekolah. Dan aku ingat betul kalau aku memohon padamu untuk menjadi rumahku. Kamu ingat, kan?" tanya Okta dengan serak.

"Iya, aku ingat."

Pria itu ingat betul tentang pernyataan cinta yang begitu tak terduga dari anak kelas dua SMP itu.

"Kak! Kakak mau kan jadi pacar aku?"

Pernyataan yang kelewat tiba-tiba itu membuat Raka memundurkan kembali langkahnya. Tapi Okta menangis semakin kencang. Dadanya terasa sakit melihat gadis itu menangis.

"Sini, nangis sekencang-kencangnya sampai suara kamu hilang. Sampai semua luka di hatimu hilang. Sampai semua kenangan yang menyakitimu larut bersama air matamu. Aku di sini, Ta. Selalu di sini."

Okta kembali menangis kencang. Mengingat semua kenangan itu. Kenangan yang Okta kubur dalam-dalam. Kini mulai naik lagi ke permukaan. Okta yang dulu dan Okta yang sekarang kini sama-sama bersandar pada dada yang sama.

Dada dari seorang Raka yang berhasil melekatkan hatinya yang hancur.

"Aku sayang dia, Ka. Aku benar-benar sayang dia sepenuh hati. Hanya karna temanmu itu, Arkan selalu menganggap kalau aku sedang mendua darinya. Apapun yang aku katakan tak pernah dia dengar. Dia hanya ingin mendengarkan apa yang ingin dia dengarkan dan menutup telinga tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku terlalu bodoh, Ka. Bodoh sekali karena menaruh hati terlalu dalam untuknya," cicit Okta begitu terluka.

Raka mengeratkan pelukannya pada gadisnya ini. "Jangan khawatir, Ta. Aku bukan Arkan yang bisa semudah itu berpaling," tenang Raka.

Okta langsung menjauhkan badannya dan menatap Raka dengan tajam. Dia masih terisak, namun perasaanya menjadi kesal sekali. "Kamu yang malah lebih parah dari Arkan, Ka. Kamu bahkan lebih berengsek dari dia."

"Aku?" tanya Raka dengan bingung. "Enggak mungkin, Ta. Aku sayang kamu. Gak mungkin aku begitu."

"Lalu Sella? Kamu tahu kan kalau dia suka kamu dari lama? Dia bahkan selalu tindas aku dulu. Selama bertahun-tahun, Ka!" seru Okta kesal.

Raka mengusap pipi Okta dengan lembut dan mendekapnya dengan erat. "Aku tidak pernah menyukai Sella, Ta. Tidak pernah sekalipun. Bahkan berpikir untuk mendua darimu saja tidak pernah. Tidak pernah terbayangkan. Tidak akan pernah bisa. Kamu tahu itu, kan?" tanya Raka dengan dekapannya yang hangat.

Okta mengepalkan tangannya. Raka memang orang yang bukan seperti itu, tapi itu saat tahun pertama ia mengenalnya. Sekarang? Hal seperti itu sudah sangat mungkin, bahkan sudah terjadi.

"Kamu... masih mengencani Sella, Ka. Dan aku... berusaha bertahan di sisimu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top