16

"Hey! Kita ketemu lagi. Kebetulan banget gak, sih?" tanya seorang lelaki yang berdiri di depan kelas Okta.

Gadis itu menatap lelaki itu dari atas sampai ke bawah. Mengingat-ingat siapa dia dan meyakinkan diri kalau mereka bukan ditakdirkan untuk bertemu. Melaikan lelaki itu sendiri yang menghampiri Okta.

"Ah! Kakak yang kemarin jahili aku, ya?" tanya Okta. Dia menyembulkan kepalanya keluar pintu dan melirik ke sana-kemari. "Kakak yang satunya ke mana? Gak ikut?" tanya Okta lagi.

Lelaki itu melirik ke sana-kemari, lalu menggeleng. "Enggak, tuh. Kenapa? Kamu suka sama dia?" tanya lelaki itu.

Okta menggeleng lalu tersenyum lebar. Bukan untuk lelaki itu, tapi lelaki di belakangnya. Lelaki yang sudah menempati hatinya.

"Arkan!" teriak Okta lalu menerobos badan lelaki yang kemarin menjahili Okta.

"Kamu gak latihan hari ini? Aku baru aja mau samper kamu ke sana. Kenapa?" tanya Okta dengan girangnya.

Namun laki-laki itu datar sekali. Begitu datar sampai Okta tidak lagi banyak berbicara dan ikut terdiam. "Kita pulang, yuk?" tanya Okta seraya menarik lengan kekasihnya.

"Cowok itu siapa."

Pertanyaan yang tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan. Okta tersenyum dengan paksa, berusaha untuk terlihat bahagia. "Dia? Dia itu Kakak Kelas yang kemarin aku bilang ke kamu. Yang jahilin aku. Katanya aku jatuhin pulpenku, ternyata enggak."

"Terus ngapain dia di kelas kita? Dan sapa-sapa kamu seakrab itu. Kalian pasti selingkuh," tuduh Arkan dengan datar.

Okta panik. Jelas saja tidak. Untuk apa?

"Heh bocah. Jangan sok-sok an, deh. Mulut lo bisa dijaga, kan?" tanya lelaki yang Okta sendiri tidak tahu namanya siapa. Yang jelas, dia adalah teman dari Raka.

Dia melangkah dengan paten menuju Arkan. Bersiap untuk menerjang lelaki tersebut. "Bocah? Gue maksudnya? Gak salah tuh?" jawab Arkan dengan pertanyaan.

"Wow, wow! Kata-kata lo luar biasa, ya? Tadinya gue cuman mau mastiin kalau cewek lo single atau enggak karna temen gue tertarik sama dia. Tapi ternyata enggak."

"Kalau gitu. Sekarang bisa pergi dan gak ganggu cewek gue, kan?"

Lelaki itu menggeleng, "Tapi setelah gue liat kelakuan lo yang begitu, mending gue yang rebut mangsa temen gue sendiri dibanding liat dia sama pecundang macam lo!" seru lelaki itu lalu menarik kerah seragam Arkan.

"Jangan mentang-mentang cewek lo suka sama lo, lo merasa menang. Sekarang biarin dia yang pilih. Lepas dari lo atau tetap di sisi lo," ancam lelaki itu.

Namun Arkan tersenyum lebar, seakan dirinya sudah menebak siapa yang akan menang. "Oh, silahkan. Silahkan tanya dia," ucap Arkan begitu percaya diri.

Lelaki ini menghampiri Okta dan memegang bahunya perlahan. "Hey, kamu. eum...," Dia melirik nametag Okta. "Ok-ta? Iya, Okta. Kamu pilih ikut bareng aku dan bebas atau tetap sama bocah aneh itu?" tanyanya.

Okta juga melirik seragam pria itu. Namun tak ada nametag yang terpasang. "Eum, Kak...."

"Ahmad."

"Ah! Iya, Kak. Kak Ahmad gak perlu khawatir. Aku sama Arkan baik-baik aja. Kakak mending balik ke kelas Kakak aja. Aku mau pulang sama Arkan," jawab Okta dengan mudah sekali tanpa berpikir.

Ahmad merasa kalah sekali dan pergi, menyenggol bahu Arkan dengan kuat. "Dasar Kakak Kelas narsis!"

Okta menghela napasnya dengan lega. Ia pikir akan terjadi keributan di hadapannya tapi ternyata berhasil teratasi. "Kita pulang, yuk?" ajak Okta.

Namun Arkan masih berdiam diri di tempatnya. "Kenapa kamu lega begitu?" tanya Arkan mengintimidasi.

"Kita mampir di tempat es krim samping sekolah, ya? Nanti aku cerita," jawab Okta lalu meraih tangan Arkan. Tapi lelaki itu menepisnya dengan kasar.

"Siapa dia?"

"Kakak Kelas yang menjahiliku kemarin. Kenapa, sih, Ar?"

Tatapan Arkan begitu menguliti tubuh Okta. Dia sering kali berdebat tentang hal ini bahkan sampai berhari-hari. Kadang Okta lelah, tapi dia terlalu takut untuk meninggalkan Arkan. Karena melihat dirinya bersama lelaki lain saja sudah membuat Okta kewalahan begini, apalagi kalau mereka pisah.

Dan yang paling menyebalkan adalah mereka berdua satu kelas. Okta pasti akan merasa canggung sekali.

"Kamu yakin cuman sebatas Kakak Kelas doang?" tanya Arkan, mencurigai Okta.

"Kamu sendiri tahu, kan, aku gak pernah ke manapun bahkan di jam istirahat kalau gak sama kamu. Kamu juga selalu periksa ponselku setiap hari dan aku gak pernah chat sama laki-laki manapun. Setiap pulang sekolah aku pasti tunggu kamu latihan dan kamu antar aku pulang. Habis itu kita telfonan sampai aku tidur. Memangnya ada waktu buat aku selingkuh?" tanya Okta, kesal.

"Kemarin waktu aku pulang dari rumahmu, ada jeda tiga menit waktu kamu balas chatku. Kamu online, lho, Yang. Tiga menit itu kamu pakai untuk apa?" tanya Arkan semakin possesif.

"Aku gak balas karna lagi ganti baju. Aku kan udah bilang kalau aku mau ganti baju dulu. Lagian aku juga langsung read chat kamu, kan? Tandanya aku lagi ada di roomchat kamu. Gimana caranya aku balas chat orang lain kalau aku aja lagi chat an sama kamu?"

Arkan mengangkat alisnya. Seakan tidak percaya dengan ucapan dari Okta. "Kenapa? Kamu masih gak percaya aku? Perlu kita video call setiap malam biar kamu percaya kalau aku gak main-main sama cowok lain?" tanya Okta, kesal sekali.

Arkan menyeringai, "Ide bagus." Okta langsung membelalakkan matanya. Tidak percaya bahkan Arkan benar-benar sepossesif itu.

"Ar. Kamu paham, kan, artinya itu apa?"

"Apa?"

"Kamu itu terlalu posessif banget. Hubungan kita mulai gak baik. Aku cuman bercanda bilang begitu. Kamu sendiri tahu, kan, kalau aku sayang kamu. Kenapa aku harus main-main sama cowok lain?"

Arkan tidak menjawab dan berjalan begitu saja. Meninggalkan Okta di depan kelas mereka. Okta menahan rasa kesal di dadanya. Dia sudah berkutat dengan kepribadian Arkan sejak kelas pertama. Sudah berjalan hampir dua tahun, tapi tetap saja Okta tidak pernah merasa terbiasa.

"Kenapa diam? Ayo pulang. Aku gak ada latihan hari ini."

Okta melangkah dengan perlahan, mengikuti kekasihnya yang sempat berbalik namun berjalan kembali tanpa menunggu. Okta melirik ke lorong lain, dia melihat Raka sedang berdiri di ujung sana. Sendirian dan hanya menatap kepada Okta.

Gadis itu terus melangkah dan berlari untuk menyusul Arkan yang sudah jauh.

"Ar! Tunggu aku!" teriak Okta.

Raka masih memperhatikan dari jauh. Hanya memperhatikan saja. Sejak Ahmad, temannya itu menghampiri Okta serta pertengkaran kecil yang akhirnya di menangkan oleh pihak Okta.

"Hm... menarik," ucap Raka lalu berlalu.

Dia merasa percaya diri sekali untuk mendapatkan Okta. Dan dia yakin, Okta juga pasti akan jauh cinta padanya ketika Raka sudah memulai aksinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top