12

Langit kamar Rizaldy terlihat begitu terang, imajinasi akan kehidupan yang bahagia terpampang jelas di langit-langit kamar. Dambaannya selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil. Walau hanya dalam pikiran.

Dia ingin istirahat. Dari siksaan Ayahnya, Okta, Pais, juga dunia. Dia sangat lelah. Berputar-putar dalam siklus yang tidak ada ujungnya. Dia ingin melarikan diri dari kejamnya dunia. Tapi, Ibundanya pernah berkata dulu. Katanya, Rizaldy harus tetap hidup agar Bundanya bahagia.

Ucapan yang tidak sengaja Argi lontarkan saat akan membunuh dirinya waktu kecil membuat dia semakin tegar menghadapi rumah yang tak lagi bisa disebut rumah. Hanya lelah saja yang membantu Rizaldy meloloskan diri dari sang Ayah.

Pria itu akan terus meladeni Argi jika dia dalam kondisi yang sehat. Maka dari itu, Rizaldy benci kalau dia pulang dan fisiknya masih terasa baik-baik saja. Semua itu tidak mampu membuat hatinya untuk menyuruh dia istirahat.

"Aldy rindu, Bunda. Kapan Aldy boleh susul Bunda?" ucapnya parau.

Tenggorokkannya serak, dia tertawa kaku. Bahkan menangis saja tidak bisa. Sudah jatuh sedalam apa hatinya itu?

***

Semesta memang memperlakukan seluruh makhluk hidup dengan sama rata. Pepatah lama yang mengatakan bahwa sesenang apapun itu, kesedihan pasti datang melanda.

Okta sedang merasakannya sekarang. Tapi dalam kondisi yang terbalik. Dia sudah sangat kecewa dengan Ayahnya yang selama ini selalu melindunginya. Satu tamparan itu mencerminkan bahwa Argi itu tamak. Tamak akan segalanya. Bahkan, anak gadis yang dia agungkan itu sampai dia serang karena tidak sesuai dengan harapannya.

Prilaku kekasihnya yang selalu berubah sifat itu membuat Okta sedikit tenang, walau hatinya bergejolak. Setidaknya, saat Raka sedang waras atau tidakpun, lelaki itu masih menyayanginya dengan cara yang berbeda.

"Sini, duduk. Kamu bisa cerita apa yang kamu alami," ucap Raka dengan hangat.

Gadisnya itu datang ke hadapannya tanpa di undang, dengan wajah yang sangat berantakan dan tapak merah di pipinya. Halaman rumah Raka memang tempat yang paling tepat untuk Okta melampiaskan segalanya.

Okta mendekat, dia masih terisak. Setelah kejadian yang membuat hatinya hancur, dia tidak tahu lagi harus lari ke mana selain datang kepada Raka.

Tangannya mengusap pipi kasar, "Aku butuh tempat istirahat, bukan tempat mengulang kenangan."

Pria itu mengusap ujung kepala Okta dengan pelan, gadis itu menepisnya dan menjaga jarak. "Jangan perlakukan aku seenakmu!" seru gadis itu dengan mundur beberapa langkah.

Raka berjalan menghampiri gadisnya, dia tidak tahu Okta kenapa atau mengapa. Yang bisa dia lakukan adalah menemaninya, karena bagaimanapun, Okta membutuhkannya. "Terus, kenapa ke sini?" tanyanya menusuk jantung Okta.

Gadis itu terdiam, dia tidak bergerak sedikitpun walau Raka sudah berada di hadapannya. Pertanyaan Raka terngiang di benaknya. Sebetulnya untuk apa dia datang ke mari? Mengapa dia datang kepada orang yang menjadi alasan hidupnya resah sampai saat ini.

Kenapa?

Hatinya benar-benar rumit. Padahal, sebagian besar dari masalah hidupnya adalah akibat dari pria yang berada di hadapannya. Tapi, lelaki itu berucap seakan semuanya bukan salah dia.

"Enggak apa-apa, Okta. Lampiasin semuanya, kamu masih punya rumah buat pulang. Ke mari," ucap Raka dengan tulus. Dia meregangkan tangannya dan memeluk Okta dengan hangat.

Gadis itu menahan tangis, dia tidak ingin terlihat begitu menyedihkan di hadapan Raka. Tapi, pada akhirnya, dia sendiri yang datang ke hadapan lelaki itu. "Enggak. Bukan. Kamu... kamu bukan Raka. Kamu bahkan gak tahu sakitnya perasaan aku. Kamu... kamu bahkan bu—kan siapa-siapa aku," isak Okta.

Dia memukul-pukul dada serta punggung Raka bertubi-tubi. Tidak perduli jika sang empu kesakitan atau tidak. Raka hanya membalasnya dengan senyum dan belaian kasih sayang di kepala gadis itu. "Keluarin semuanya, Ta. Tangisi sampai air mata kamu enggan untuk menangisi hal itu. Bukannya udah aku bilang? Kamu masih punya tempat untuk pulang."

"Raka." Pukulan tangan Okta melemah, dia menyandarkan seluruh tubuhnya pada Raka hingga keduanya terduduk di atas tanah. "Iya," jawab Raka.

Gadis itu masih terisak, tidak ingin menangis terlebih dahulu sebelum menyampaikan suatu hal yang masih mengganjal pikirannya. Okta menanggah, melihat Raka yang tersenyum dengan tulus, "Aku capek...." Raka mengangguk, "Iya."

Tangannya mencengkram ujung pakaian Raka, "Aku sakit...." Raka masih setia memeluk Okta dengan tulus, dia masih membelai rambut gadis itu tanpa paksaan. "Iya," jawabnya tanpa ingin memotong luapan Okta.

Kerongkongannya mulai serak, suaranya bergetar. Dia ingin menangis sekencang mungkin, tapi hatinya masih menyuruh untuk tetap bertahan dan meluapkan seluruh bebannya. Gadis itu memeluk Raka dengan erat, "Sampai kapan aku harus bertahan? Aku lelah, Ka."

"Iya," tidak pernah bosan Raka mengatakan hal itu. Saat ini, Okta tidak butuh masukan atau kritikan. Yang dia butuhkan adalah seorang pendengar yang bisa mengerti posisinya.

Mulutnya masih berusaha untuk mengucapkan beberapa patah kata, "Sebenarnya, di mana seharusnya aku kembali? Di mana tempat yang harus aku sebut rumah? Di mana seharusnya aku bahagia? Aku pengen pulang." Gadis itu menggigit bibirnya kuat, dia tidak ingin tumbang saat ini juga.

Raka hanya mengangguk, "Iya."

Cengkraman di pakaian Raka semakin mengeras, Okta sudah tidak bisa lagi menahan semua emosinya. "Semuanya benar-benar usai buat aku, Ka. Semuanya udah berakhir. Enggak ada lagi tempat buatku--"

"Sstt...."

Raka menarik tubuh Okta lebih dalam ke pelukannya, dia tahu apa yang akan terjadi jika perkataan Okta terus dilanjutkan. "Kita lanjut obrolannya kalau kamu udah benar-benar meluapkan seluruh amarahmu. Sekarang, cukup menangis dipelukanku aja."

Isak tangis itu semakin kencang, Okta masih menahan seluruh amarahnya. Lelaki itu membelai dengan lembut kepala Okta dan berbisik, "Gak apa-apa, Ta. Luapin semuanya."

Bahkan, Raka yang sedari tadi tersenyum saja meringis mendengar luapan tangis dari gadisnya. Begitu menyayat hati dan menyedihkan. Entah apa yang sedang gadisnya itu alami.

***

"Mau ke mana kamu? Tidak punya rasa malu setelah mengabaikan saya kemarin?" tanya Argi dengan tajam.

Rizaldy baru saja sampai di pintu depan. Ia hendak memakai sepatu, tetapi, nada suara yang tidak mengenakkan itu mengurungkan dia untuk pergi keluar rumah.

Argi membuka lebar-lebar koran hariannya, "Hari ini pintu rumah tidak akan terbuka untukmu. Diam di kamar dan renungkan apa kesalahan yang telah kamu buat."

Anak lelakinya itu tidak mendengar perkataan Argi sama sekali, dia memakai sepatunya dan bergegas untuk membuka pintu. Tapi, sebuah cangkir berisi kopi melayang dan menghantam pintu di depan pria itu.

Dia masih terdiam walau cipratan dari air kopi yang panas serta serpihan kaca itu mengenai wajahnya.

Terdengar suara kertas yang di lempar di atas meja, "Sudah saya katakan kalau hari ini kamu tidak boleh keluar rumah! Dengan alasan apapun itu. Mengerti?!"






A/N:
Blablabla. Iya, Pak Argi. Sesukamu aja. Kemarin bilang mau ngusir, sekarang gak boleh pulang.

As always,
Be wise, Darling.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top