11

"Tapi, ya, Dy. Kalau misalnya kita mulai dari awal semuanya, tandanya planning kita gagal, dong? Pak Agus bilang ke gue kalau rencana kita mentah banget. Gak habis pikir kenapa plan asoy yang kita bikin itu bisa enggak diterima."

Celotehan itu masih berlanjut, Pais terus menyalahkan dosen yang tidak salah apa-apa. Sudah berapa kali Rizaldy bicara kalau ide dari Pais itu tidak masuk ke dalam planning bisnis mereka. Pantas saja kalau Pak Agus mencoret bahkan menyobek klipingan mereka.

"Budgetnya aja sampai ratusan juta, Is. Gimana Pak Agus bisa terima?" tanya Rizaldy.

Pais masih tidak bisa terima mentah-mentah perihal proposalnya tentang rincian bisnis yang akan mereka jalani di semester depan. Tapi, perkataan Rizaldy tidak salah juga, modal dengan ratusan juta itu tidak cocok jika digunakan untuk memulai awal bisnis dengan ide yang masih belum rampung.

Bisa-bisa, rugi, iya. Balik modal, tidak.

Pais duduk di atas motor Rizaldy, "Enggak tahu lagi, ah. Otak gue udah stuck."

Rizaldy memandang Pais dengan datar, lalu, meninggalkannya sendiri di parkiran. Dia harus segera membenarkan rencana bisnisnya.

***

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, dia baru sampai di rumahnya setelah mengerjakan rencana bisnis yang selalu mendapat tinta merah karena usulan-usulan tidak masuk akal dari Pais.

Langkahnya baru saja sampai di ujung tangga, dia sengaja mengabaikan kehadiran dua sosok yang terlihat sedang menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan, Rizaldy?

Argi berucap dengan dingin, "Rizaldy." Wajah Okta sangat sendu, matanya sembab, hidungnya merah, dan isakan tangis masih terdengar samar-samar dari mulutnya.

Rizaldy berbalik, menatap mereka berdua yang menunggu Rizaldy untuk mendekat. Tetapi, lelaki itu memalingkan wajahnya dan melanjutkan langkah kakinya menuju kamar.

Argi berdiri dan berteriak, "Ke mari kamu, Rizaldy!"

Suara teriakan yang menggema itu tidak membuat langkah lelaki melambat. Dia tetap menaiki anak tangga tanpa perduli lagi dengan makian-makian yang terus keluar dari mulut Ayahnya sendiri.

"Rizaldy! Cepat turun ke mari!" serunya lagi.

Anak lelakinya sama sekali tidak menggubris perkataan Argi, sudah muak dia mendapatkan amarah yang alasannya sendiri tidak pernah Rizaldy ketahui. Tubuh dan pikirannya sedang lelah, dia tidak ingin meladeni amukan dari Argi.

"Kurang ajar sekali, kamu! Didikan siapa, hah? Saya tidak pernah mengajarkan kamu bersikap seperti itu!" sarkas Argi.

Isakan tangis Okta makin mengeras, dia yang sudah cukup sakit hati karena perlakuan buruk Raka, semakin terluka karena perlakuan Ayahnya terhadap Rizaldy. Dia tidak begitu paham diperlakukan seperti itu oleh Argi, tapi, dia tahu sekali rasanya pasti lebih menyakitkan dari posisinya.

"Kamu juga, Okta. Berhenti bela Kakak kamu yang belum pernah lindungi kamu sama sekali. Apa untungnya menyalahkan diri untuk seseorang yang tidak tahu malu sepertinya!" teriak Argi.

Gadis itu tersentak, dia benar-benar tidak menyangka bahwa Ayahnya sendiri sudah terbutakan oleh egonya.

Okta berdiri, "Sudah cukup, Pa! Okta enggak pernah bela Mas Ijal. Semua yang Okta katakan itu benar, Mas Ijal memang enggak salah apa-apa. Papa enggak perlu ikut campur masalah Okta! Okta sudah besar, Pa. Mau sampai kapan lagi Papa perlakukan Okta seperti anak kecil?!"

Argi menahan kepergian anaknya, dia menatap sangar kepada Okta. Gadis itu menundukkan kepalanya, tidak berani menatap balik mata Argi.

"Sejak kapan kamu jadi pembangkang seperti ini? Ajaran dari Rizaldy juga?" tanya Argi tegas. Okta hanya diam, tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Argi menaarik dagu Okta agar bisa menatapnya, "Benalu memang. Harusnya Papa tinggalin dia dari dulu."

Jantung Okta seketika berhenti. Baru kali ini Argi mengatakan hal yang begitu kejam seperti itu. Tangan gadis itu menepis lengan Argi, dia memalingkan wajahnya. Air mukanya sangat kecewa sekali.

Seseorang yang harusnya menjadi tempat dia bergantung, ternyata tidak sehebat yang dia kira. Segala perlakuannya yang sangat buruk kepada Rizaldy bukan karena salah pria itu. Tapi, salahnya sendiri karena telah menjerumuskan Rizaldy ke dalam lingkaran masalah tanpa ujung.

Okta terlalu dimanja, kasih sayang yang menurutnya belum cukup itu membuat dia menjadi gadis egois yang tidak bisa menyembunyikan masalahnya sendiri. Bahkan, yang seharusnya dimarahi adalah Raka, bukan Rizaldy.

Tapi, kebungkaman Okta membuat Argi berpikir kalau semua hal yang terjadi pada anak perempuannya itu adalah kesalahan dari Rizaldy yang tidak becus mengurus adiknya.

"Itu bukan salah Mas Ijal, Pa. Tolong ngertiin posisi Okta," ujarnya disertai isakan tangis.

Argi mundur beberapa langkah, "Tidak ada toleransi lagi, dia memang harus pergi dari rumah ini."

Okta menarik napasnya perlahan, "Pa... untuk kali ini, Papa bisa, kan, ngertiin Okta? Okta capek, Pa, berantem karna hal sepele gini."

Pikiran serta perasaannya benar-benar terkuras. Suatu hal yang hancur, tidak bisa dikembalikan dengan sempurna. Cara termudahnya adalah mencegah sebelum menanggulangi. Tapi, itu bukan penyesalan namanya kalau datang dari awal.

"Sepele? Papa itu sayang kamu, Okta. Papa lakuin ini semua demi kamu, Papa pengin kamu bahagia," balas Argi.

Bahagia? Definisi bahagia menurut Argi itu seperti apa? Menyalahkan orang lain karena kelalaiannya sendiri? Memaki orang lain agar dirinya merasa paling hebat? Sebenarnya apa arti bahagia bagi Argi?

Okta menepis tangan Argi yang ingin mengusap pipinya, "Tapi, Okta enggak pernah bahagia! Cara Papa itu salah. Okta bisa temukan kebahagiaan Okta sendiri! Malah dengan perlakuan Papa yang terus menyalahkan orang lain, membuat Okta berpikir kalau seharusnya Okta enggak perlu hadir dalam kehidupan Papa."

"Okta. Jaga bicara kamu!" seru Argi.

Tangannya terkepal, ingin sekali menampar mulut Okta yang tidak bisa menjaga perkataannya.

"Okta enggak mau jadi penyebab hancurnya kehidupan orang lain, Pa!" teriak Okta tak kalah keras.

Argi mengangkat tangannya, "Okta!"

Sebuah tamparan mengenai pipi Okta dengan keras, gadis itu menghentikan tangisnya. Air mata terus mengalir dari matanya. Ternyata seperti ini perasaan yang selama ini Rizaldy rasakan. Memilukan, menyakitkan, kecewa, dan perasaan yang Okta sendiri tidak bisa ungkapkan.

Hal yang membuat Okta sendiri tidak tahan dengan perlakuan ayahnya, berhasil Rizaldy tahan sejak kecil. Dia juga sadar, betapa kerasnya Rizaldy berjuang untuk membuka mulut hanya untuk menanggapi seorang manusia yang menyebabkan hari-harinya menjadi neraka.

Okta memegang pipinya, "Okta benci Papa."

Dengan penuh kecewa, gadis itu meninggalkan Argi yang tengah terlamun menatap tangannya sendiri. Pria itu begitu terpuruk menyadari apa yang baru saja terjadi. Tangan yang seharusnya menjadi raihan untuk anaknya itu malah menjadi sebuah pedang yang membunuhnya.

Argi, Okta, dan Rizaldy sama-sama kecewa dengan keadaan. Bahkan waktu, yang katanya bisa menyembuhkan segala macam luka, tidak yakin dengan masalah yang keluarga itu alami. Sebuah kekecewaan dengan alasan yang berbeda.

Mereka semua sama-sama rusak.







A/N:
Asek. Makin panas nih.

As always,
Be weise, Darling.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top