10

Sejak pertemuan antara dua pasang insan yang saling mengutarakan hati, Raka dan Okta saling membangun hubungan dari awal. Keduanya berharap hal-hal tidak baik yang selama ini terjadi tidak akan terulang kembali.

Tapi, itu hanya bualan semata. Rasa haus akan kesempurnaan membuat perpecahan dalam hubungan mereka. Angan yang terbentuk karena ketidakpuasan itu sendiri membuat mereka saling menyalahkan satu sama lain.

"Bilang aja aku harus gimana, Ka!" seru Okta melancarkan aksinya.

Taman dekat rumah Raka yang seharusnya menjadi tempat penuh kenangan karena kencan pertamanya itu adalah taman tersebut menjadi kacau balau karena kesalahan yang saling mereka buat.

Raka terdiam, dia masih menimang-nimang siapa yang salah diantara mereka.

"Kalau dengan bermain wanita bisa buat kamu bahagia, terus aku itu apa? Salah satu penyemangat diantara wanita-wanita lainnya? Serendah itu aku buat kamu, Ka? Iya?!"

Mata Okta sudah berkaca-kaca, baru kali ini emosinya memuncak. Raka benar-benar tidak pernah bisa membuat hidupnya damai untuk sesaat. Bahkan berdiam diri di rumah saja bisa membuat Okta mengalami serangan batin karena Raka yang selalu pergi bersama para wanita yang berbeda.

Bahkan teman-temannya tidak pernah bosan memberitahu atau malah menyuruh Okta untuk mengakhiri hubungan yang tidak baik itu.

"Jawab, Ka! Sekarang mau kamu apa? Apa yang harus aku lakukan kalau mninggalin kamu aja bukan sebuah pilihan?!"

Kali ini Okta sudah kehilangan kendalinya, dia sudah menangis sejadi-jadinya. Rahang Raka mengeras, dia berbuat seperti ini karena Okta melukai perasaannya. Raka tidak pernah bertindak semaunya jika bukan karena Okta.

Dan gadis itu sekarang malah menangis tanpa tahu kalau kelakuannya selama ini selalu membuat Raka sakit hati.

"Harusnya aku yang ada di posisi kamu, Ta," ucapnya datar.

Raka mulai angkat bicara. Lelaki itu mulai mendekati Okta, dia melangkah perlahan seraya menahan emosinya yang hampir mencapai batas.

"Kalau nangis bisa selesain semua masalah, mungkin kita enggak bakal ada di situasi sekarang, Ta."

Lelaki itu sampai di hadapan Okta, dia berjongkok. Menatap Okta yang masih menangis tersedu-sedu. Ditariknya dagu Okta agar melihat wajahnya.

"Udah berulang kali aku bilang, kalau butuh sesuatu itu tinggal hubungi aku. Kamu sendiri yang berjanji seperti itu. Lalu, apa-apaan dengan pria yang selalu datang ke rumahmu? Dia simpanan kamu, Ta? Aku masih sabar selama ini. Tapi, lihat! Kamu aja bersikap seperti tidak melakukan kesalahan apapun."

Raka melepas cekalannya di dagu Okta dengan kasar. Gadis itu menunduk kembali, dia tersenyum lebar di sela tangisnya. Jadi itu yang selama ini membuat Raka hilang kendali? Menyimpulkan tanpa bertanya?

"Ha, ha!" Okta tertawa kencang mendengar penjelasan yang diberikan Raka.

Gadis itu mengusap pipinya kasar, dia berdiri di hadapan Raka dengan ekspresi muka yang sangat muak.

"Ternyata kamu enggak berubah, ya, Ka. Aku sendiri heran kenapa sampai saat ini masih mempertahankan hubungan yang seharusnya tidak pernah ada."

Okta membenarkan rambutnya lalu berjalan meninggalkan Raka.

"Kenapa? Ketahuan salah terus pergi dengan menyalahkan aku sebagai dalang dari permasalahan ini? Klasik." Raka ikut tertawa remeh. Benar-benar sebuah hiburan.

"Terus sekarang apa? Menyatakan putus hubungan karena prasangka aku yang benar? Lawak banget kamu, Ta. Tahu begini jadinya, harusnya aku diam saja. Menyedihkan."

Kini Raka yang meninggalkan Okta dengan kebungkaman, lelaki itu merasakan kemenangan. Tapi, amarah Okta sudah memuncak. Raka tidak akan bisa kembali dalam keadaan yang tidak bersalah.

"Mulut dan prilakumu sama-sama bajingan, ya. Ka? Berasumsi tanpa memastikan. Tahu apa kamu tentang perasaanku? Kamu pikir dunia ini berputar padamu? Sadar, Ka. Kamu hanya setetes air di luasnya samudera."

Okta benar-benar membuat Raka kehilangan kendali, lelaki itu berbalik, menghampiri Okta dan mencengram pergelangan tangan Okta dengan kuat. Gadis itu meringis kesakitan, bagaimana tidak? Raka benar-benar melampiaskan kemarahannya kepada Okta.

"Kamu—"

"Lho, Okta ngapain di sini? Jauh banget mainnya," celetuk Pais.

Pria itu sedang berjalan kembali ke rumahnya, dia masih memutar-mutarkan kantung plastik berisi pesanan Rizaldy. Mulutnya tengah mengunyah permen karet. Dia meniupnya seraya menunggu Okta berbicara.

Tapi gadis itu terdiam, begitu juga dengan lelaki di sebelahnya. Pais memicingkan matanya, memperhatikan sosok pria yang berada di hadapannya.

"Hm, kayaknya gue kenal, deh," Pais berguman. Dia masih asyik mengunyah permennya.

"Oh, Iya! Pacarnya Okta, ya? Lagi pacaran ternyata, pantes mainnya jauh. Hati-hati, ya, kalian berdua. Awas diikutin setan, ha, ha."

Maksud perkataan Pais adalah peribahasa yang mengatakan jika seorang laki-laki dan perempuan berduaan, maka yang ketiga adalah setan. Mereka berdua di buat bingung oleh perkataan Pais yang tidak jelas.

"Ah, iya. Kalian bisa mampir ke rumah. Ada Aldy, kok, Ta. Biar sekalian pulang bareng. Tapi, kalau mau lanjut pacaran silahkan. Abang Pais undur diri!"

Pais melayangkan hormat kepada Okta dan melanjutkan perjalanannya.

Gadis itu tersenyum, andai saja lelaki yang dia pacari itu Pais. Mungkin hidupnya tidak akan seperti ini.

"Dia siapa?" tanya Raka di sela-sela kegembiraan Okta.

"Abang Pais, orang yang tadi kamu bicarakan. Dia teman Mas Ijal. Puas? Bisa lepasin tangan aku, kan?"

Raka melepas tangan Okta dengan cepat, dia mengikuti Okta yang berjalan dengan cepat. Salah sekali dia menuduh kalau Okta menyembunyikan sesuatu darinya.

***

"Dy... gue merasa kalah sebelum mengungkapkan lagi."

Pais melempar kantung plastik yang berisi rokok serta soda kepada Rizaldy, pria itu merengek melihat Rizaldy.

"Gue tadi lihat Okta lagi sama pacarnya di taman. Sakit banget perasaan gue. Bayangin, Dy! Gue nyuruh mereka mampir ke sini karena ada lo. Gimana kalau ke sini beneran? Hati gue gak siap, Dy," rengeknya lagi.

Pais terus menggangku Rizaldy dengan kata-katanya yang tidak ada habisnya. Tapi, salut sekali. Pais bisa bersikap biasa saja setelah melihat sang pujaan hati sedang bersama pria lain yang berstatus pacarnya.

"Enggak bakal ke sini."

Rizaldy akhirnya berbicara setelah satu jam penuh Pais terus merengek di hadapannya.

"Serius?!" teriak Pais. Pria itu langsung semangat mendengar ucapan Rizaldy.

Rizaldy hanya mengangguk, melanjutkan kembali acaranya yang sempat terjeda karena kelakuan Pais yang sudah di luar akal manusia.

"Kalau gitu, aing mau nyoktek tugasnya dong."

Pais mendekati Rizaldy dan mencolek dagunya. Memang tidak ada akhlak sekali kelakuan Pais.

Rizaldy hanya menghela napasnya perlahan. Dia memberikan salah satu buku tugasnya yang baru saja selesai dia kerjakan. Rizaldy sendiri tidak paham dengan pemikiran Pais. Bisa-bisanya dia menangisi seorang perempuan berjam-jam, tapi tidak bisa mengerjakan tugas yang tidak akan sampai satu jam pengerjaannya. Kalau Pais pintar.

"Beruntung banget gue punya elo, Dy. Lama-lama bisa kepincut juga gue sama lo."

Rizaldy tidak ingin mendengar celotehan lelaki itu lagi, dia menyalakan pematik lalu menghisap rokoknya. Memasang headset lalu menyetel musik agar suara Pais tidak lagi bisa dia dengar.




A/N:
Argh! Okta buat kesel banget. Padahal kalau putus, ya, putus aja.

As always,
Be wise, Darling.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top