08

Okta membaringkan tubuhnya, dia melihat notifikasi pesan dari Raka. Isinya penuh dengan permintaan maaf juga permintaan untuk tidak bertemu terlebih dahulu.

"Gila, kamu, Ka."

Setelah itu, dia melemparkan ponselnya. Duduk dengan lemas dan menatap ke arah meja belajarnya. Terpampang ada fotonya dan Raka di sudut meja. Foto tiga tahun silam. Di mana hubungan mereka sangat bahagia sekali.

"Okta? Papa mau tanya sesuatu, turun dulu sebentar."

Suara ketukan disertai permintaan Argi kepada Okta agar keluar dari kamarnya membuat Okta kembali tersadar bahwa ingatan yang penuh dengan kebahagiaan itu hanyalah kenangan semata.

"Iya, Pa. Sebentar," balasnya.

Langkah kaki terdengar menjauh dari kamar Okta, Argi sudah turun ke bawah. Cepat-cepat Okta mengganti pakaiannya dengan baju lain. Dia merapikan rambutnya juga menutupi luka di lengannya dengan jaket.

Gadis itu menuruni tangga dengan perlahan, bisa dia lihat Ayahnya sedang duduk di ruang tamu. Perlengkapan memancingnya tergeletak di samping meja.

"Kenapa, Pa?" tanya Okta.

Gadis itu duduk di hadapan Argi dengan tenang, tidak seperti biasanya yang selalu diliputi oleh keadaan yang tegang.

"Ini apa, Ta?" tanya Ayahnya datar.

Argi menyodorkan plester basah yang sudah ternodai oleh darah.

Air muka Okta langsung berubah drastis. Dia menggelengkan kepalanya perlahan. "Punya Mas Ijal mungkin, Pa." Ia memainkan tangannya, suasana sangat tegang sekali.

Betapa bodohnya dia meninggalkan jejak di kamar mandi. Pelipisnya mulai mengeluarkan keringat, dia tidak bisa tenang sama sekali.

Argi menyimpan plester tersebut di meja, dia menatap Okta dengan seksama. Terlihat jelas bahwa Okta sedang menyembunyikan sesuatu. Di tambah anak perempuannya yang tidak pernah memakai jaket di rumah, membuat dia semakin curiga.

"Sudah Papa bilang, bukan. Kalau kenapa-kenapa itu bilang, kamu bisa hubungin Papa atau Rizaldy. Dan lagi ini memang tugasnya Rizaldy untuk menjaga kamu..." Argi terus melancarkan ceramahannya kepada Okta.

Gadis itu sudah hafal sekali dengan kalimat-kalimat yang berakhir menyalahkan Rizaldy. Tidak pernah bisa Okta melawan keras ucapan Ayahnya, dia terlalu takut diperlakukan seperti Rizaldy jika dia membangkang.

"Okta cuman kena sayatan doang, Pa. Di oles pake salep juga sembuh, kok," jawab Okta, berusaha menenangkan diri.

Argi masih memperhatikan anak perempuannya itu. "Buka jaket kamu."

Mata Okta terbelalak, dia tidak ingin lukanya terlihat oleh sang Ayah.

"Buka."

Argi menekan nada bicaranya. Dengan terpaksa Okta membuka jaket dan menutupi luka di lengannya. Argi menggeram dan mencengkram tangan Okta. Dia memperhatikan luka sayat yang dalam itu dengan teliti. Hingga cengkramannya itu membuat Okta mengerang karena darah yang sudah berhenti, kembali mengalir.

Dia melepas cengkraman di tangan Okta dengan kasar, lalu mengambil napas dalam-dalam.

"Rizaldy!" teriak Argi dengan kencang.

Okta berdiri dan meminta Ayahnya untuk tidak membawa-bawa Rizaldy dalam masalah ini. Tapi, Argi sama sekali tidak menggubris perkataan Okta.

"Turun sekarang juga!"

Pais yang mendengar teriakan dari orang yang sama langsung melirik Rizaldy dengan kaget. "Ayahlo, Dy?" tanyanya dengan hati-hati.

Rizaldy berdiri, menyimpan gitarnya di sebelah Pais. "Hm."

Pria itu hanya berdeham lalu keluar dari kamarnya, tidak mengatakan apapun selain menutup pintu. Pais sendiri bingung harus berbuat apa.

"Papa enggak perlu bawa-bawa Mas Ijal lagi, ini memang salah Okta!"

Anak lelakinya baru saja memijak tangga pertama, suara teriakan Okta terdengar hingga telinganya. Sudah tidak salah lagi memang anak itu yang membuat dia terlibat dalam banyak kesalahpahaman.

"Cepat ke mari!" teriak Argi.

Langkah Rizaldy tetap sama. Walau dia bisa melihat dengan jelas ekspresi Argi yang sudah merah padam, anak itu tetap berjalan dengan santai. Bahkan dia sempat menghisap rokok terakhirnya dan ia masukan puntung rokok tersebut ke dalam vas bunga.

"Kamu tahu Okta terluka?" tanya Argi, berusaha untuk menahan amarahnya.

Rizaldy melirik Okta yang sudah berkaca-kaca, gadis itu menggelengkan kepalanya dan menatap Rizaldy dengan sendu. Memang hanya Oktalah yang membuat hidupnya begitu menderita.

Pertanyaan yang dilemparkan oleh Argi sama sekali tidak mendapatkan jawaban.

"Kamu tuli, hah?!"

Kini Argi menjewer telinga Rizaldy. Anaknya itu sama sekali tidak bergeming, walau teringanya sudah berdenyuk sakit, tampangnya masih saja sama. Sangat datar.

Hal itulah yang membuat emosi Argi semakin memuncak. Tangannya berhenti menjewer telinga Rizaldy, dia mengepalkan tangannya dan tiba-tiba Okta berteriak dengan kencang.

Pais keluar dari kamar Rizaldy. Dia berjalan dengan perlahan dan mengintip dari ujung tangga. Dia bisa melihat dengan jelas seorang pria yang dia kenal sebagai Ayah dari Rizaldy sedang kehilangan kontrol akan dirinya sendiri.

Berkali-kali Argi memukul wajah Rizaldy. Hal ini sudah sering sekali dia alami saat kecil. Sejak dia beranjak dewasa, hanya tamparan dan cengkraman di lehernya saja yang sering Argi lakukan padanya.

Rasanya, Rizaldy mengenang masa-masa yang paling kelam itu.

"Pa! Udah, Pa. Okta mohon."

Gadis itu menahan tangan Argi yang akan memukuli Rizaldy. Tapi Argi menepis tangan Okta hingga anak itu terjatuh. Argi melayangkan kembali pukulannya dan menarik kerah baju Rizaldy.

Wajah lelaki itu sudah dipenuhi dengan lebam merah yang sebentar lagi akan berubah warna menjadi ungu. Sudut bibir, sudut mata, hidung serta pipinya mengeluarkan darah. Cincin yang tak pernah lepas dari jari manisnya membuat luka serta lebam di wajah Rizaldy semakin parah.

"Saya sudah jelaskan berkali-kali bahwa tugas kamu itu untuk melindungi Okta! Saya sudah besarkan kamu sampai sekarang dan saya belum pernah melihat balasan yang kamu berikan. Hanya sekadar menjaga anak kecil satu saja kamu tidak bisa, lalu untuk apa kamu hidup, hah? Cukup main-mainnya. Saya tidak ingin hal ini terjadi lagi!"

Argi melepas cengkraman di baju Rizaldy dan berjalan mengambil alat pancingnya dan pergi ke arah pintu depan lalu menghilang. Bisa dia dengar suara mesin mobil meninggalkan pekarangan rumah.

"Ohok!" Rizaldy berbatuk.

Dia menyeka darah yang berada di mulutnya. Seluruh wajahnya sangat nyeri sekali, dia melihat Okta yang menangis tersedu-sedu. Dengan perlahan gadis itu mendekati Rizaldy, dia tidak berani mengangkat kepalanya setelah melihat wajah Rizaldy yang sangat terluka.

Rizaldy melirik lengan yang selalu Okta tutupi dengan telapak tangannya. Perlahan dia bisa melihat luka sayat di balik telapak tangan gadis itu. Cukup dalam sampai dia bisa melihat darah segar muncul dari luka tersebut.

Okta mengulurkan tangannya, dia ingin mengelus pipi Rizaldy agar luka yang Kakaknya itu dapatkan tidak terlalu nyeri.

"Enggak sebanding ternyata."

Kata-kata dingin yang keluar dari mulut Rizaldy membuat Okta menghentikan pergerakan tagannya. Rizaldy menepis tangan Okta dengan kasar, dia berdiri dengan sempoyongan. Okta berdiri dan memeluk Rizaldy dari belakang dengan erat.

"Maaf, Mas. Maafin Okta, seharusnya Okta lebih hati-hati lagi. Maaf." Okta menangis lagi, dia tidak ingin melepas pelukan ini.

"Kalau maaf bisa menyelesaikan semuanya, seharusnya neraka ini sudah sirna dari dulu."

Rizaldy melepas tangan Okta dan kembali melanjutkan langkahnya. Dia terbatuk kembali, sampai badannya terjatuh. Kakinya lemas sekali.

"Mas!" seru Okta.

"Diam, Ta!"

Tubuh Okta membeku, dia tidak bisa melangkah lagi. Pais turun dengan cepat dan membopong Rizaldy menuju kamarnya. Okta terduduk di lantai, dia melihat Pais yang juga meliriknya. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis kembali.

Kepercayaan dirinya yang mulai muncul karena Rizaldy mulai berbicara beberapa patah kata, mulai hancur kembali. Bahkan dia ingin Rizaldy kembali diam tidak pernah berinteraksi kepadanya. Daripada mendengarkan ucapan-ucapan dingin yang belakangan ini Rizaldy lontarkan kepada Okta.

Gadis itu lelah berada di posisi yang serba salah. Tetap diam dan membiarkan Rizaldy terluka atau membangkan dan berujung tersakiti seperti Rizaldy.

Dia lebih memilih egonya. Dia ingin menolong Rizaldy tapi bukan dengan cara membangkang. Dia pikir, ada cara lain lagi agar keduanya bisa terbebas dalam posisi yang tidak menguntungkan.







A/N:
Okta emang bener-bener jahat, ya?

As always,
Be wise, Darling.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top