07
"Ah! Maaf," ujar Okta.
Dia melepaskan pelukannya. Menatap Pais dengan mata berbinar. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia bertemu dengan teman Kakaknya.
"Okta terlalu seneng liat Abang. Kenapa, nih, sampai Abang tumben banget dateng ke rumah?" tanya gadis itu dengan semangat.
Pais tersenyum, "Tiga tahun, ya? Enggak kerasa udah selama itu. Terakhir kali aku ke sini, kamu masih pendek, kulit kamu coklat, tomboy. Sekarang beda banget. Bisa-bisa aku lamar kamu sekarang juga."
Bohong. Pais berbohong mengenai penampilan Okta yang ia lihat terakhir kali. Pais adalah orang yang paling update soal Okta dibandingkan Rizaldy. Akun sosial Okta selalu menampilkan kesehariannya. Tentu saja ia memperhatikannya dengan akun anonim. Pais memang aneh.
"Abang bisa aja. Jadi... kenapa Abang ke sini? Rindu Okta, ya?" tanya gadis itu dengan senyum lebar. Mata Pais yang terus memperhatikan wajah Okta tidak sengaja turun ke bawah. Okta langsung menyembunyikan tangannya ke balakang. Tidak ingin Pais memperhatikan hal yang tidak perlu ia lihat.
Tetapi Pais malah semakin mendekati Okta. Berusaha untuk menggapai tangannya. Namun Okta mundur selangkah, membuat Pais paham kalau diantara keduanya masih terbangun dinding kokoh.
"Iya rindu banget," ucapnya. Dia mengusap kepala Okta, "Tapi bukan itu alasan aku ke sini. Belajar yang rajin, ya. Biar kita bisa satu kampus. Kalau gitu aku mau ke atas."
Okta mengangguk. Dia memperhatikan Pais menaiki tangga dan berlalu begitu saja. Setelah di pastikan Bahwa Pais sudah masuk kamar Rizaldy, gadis itu langsung bergegas menuju kamar mandi. Dia mengunci pintunya dan segera membuka plester di lengannya. Plester tersebut sudah memerah sekali. Darah yang keluar dari tangan Okta tak henti bercucuran.
Dia membasuh lukanya. Terasa nyari sekali. Sayatan itu begitu dalam. Lukanya belum mengering hingga darah terus bercampur dengan air mengalir.
Pandangannya terus tertuju pada lukanya. Pendengaran Okta terlalu fokus pada keran air yang mengalir. Kejadian tadi terngiang di benaknya.
"Aku lelah, Ka! Gak bisa apa kalau kita berhenti? Aku capek, Ka. Aku sakit hati!" seru Okta.
Mereka berdua sedang berada di halaman belakang rumah Raka. Begitu luas bahkan danaupun ada di halaman belakang rumahnya. Okta bahkan selalu bertanya-tanya kenapa lelaki sekaya Raka bisa jatuh cinta padanya dan bahkan bisa bertindak segila itu.
"Sakit hati? Memangnya apa yang aku lakukan selama ini, Ta? Apa yang aku lakukan sampe kamu bilang gitu?" tanya Raka masih dengan kepala dingin.
Okta mengepal tangannya, "Banyak! Banyak, Ka! Sampai aku terbiasa sama sifat kamu. Aku harus setegar apalagi? Aku gak butuh kamu, Ka," lirih Okta di akhir ucapnnya.
"Gak butuh? Semudah itu kamu bilang gak butuh aku? Jangan kira kalau kamu gak bisa sakiti perasaan aku, Ta. Ucapan kamu itu—"
"Apa! Nyakitin hati kamu? Bagus kalau gitu. Kita selesai, Ka. Gak ada yang harus aku omongin sama kamu," ucap Okta. Berjalan menuju Raka. Hendak pulang.
Tetapi, Raka mengambil sesuatu dari celananya. Okta begitu lelah sekali. Dia hanya ingin menghabiskan akhir pekannya dengan tenang dan bermalas-malasan di rumah. Tapi Raka malah membuatnya masuk dalam situasi buruk ini.
"Raka! Kamu gila? Buang!" seru Okta kaget.
Sesuatu yang Raka keluarkan adalah sebuah cutter. Okta kaget sekali. Kenapa orang tampan macam Raka begitu gila sekali?
"Ka, buang cutternya, ya? Aku gak jadi pulang. Kamu mau apa? Jalan-jalan? Makan siang? Tolong, Ka. Jangan bertindak yang aneh-aneh," melas Okta. Walau dalam hatinya dia begitu kesal dan marah. Tapi hal ini bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan. Raka benar-benar gila, sampai dia bisa saja mencelakai Okta.
"Ha? Setelah kamu bilang gak butuh aku dengan semudah itu, kamu bilang kamu tetap di sini? Bahkan ngajak aku buat pergi keluar? Aku gak sebodoh itu, Ta. Tenang. Aku gak bakal lukain kamu," balas Raka.
Okta menggelengkan kepalanya. Ucapan Raka sama sekali tidak bisa dipercaya. Okta begitu takut dengan sosok di hadapannya. Pikiran dia berkecamuk. Tidak tahu harus bertindak seperti apa.
"Kamu gak percaya, Ta?" tanya Raka. Okta hanya memandangnya dengan takut. Raka mengarahkan cutter pada lengan.
"Raka! Cukup! Jangan lakuin hal bodoh! Buang cutternya sekarang juga!" marah Okta. Lelaki itu benar-benar melukai dirinya.
Apa yang harus Okta lakukan?
"Om! Tante! Bibi! Raka butuh bantuan!" teriak Okta dengan sekuat tenaga. Tapi seperti yang dijelaskan di atas. Rumah raka begitu besar sampai memiliki danau pribadi di halaman belakang. Sekeras apapun Okta berteriak, tidak ada yang mendengarnya.
"Bantuan? Kamu teriak ke siapa Okta? Orang rumah tahu dan sadar kalau kamu pacarku. Jadi mereka menjauh dari posisi kita. kalau terdengarpun, mereka tidak akan membantumu.
"A-aku...."
Raka memang gila.
Okta lemas sekali. Kakinya gemetar. Okta... telah masuk dalam kandang singa. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu untuk dimakan atau dilepaskan.
Gadis itu menghela napasnya dalam-dalam. Mengampiri Raka. Tanpa berpikir apa yang mungkin akan terjagi padanya, Okta terus saja melangkah. Sedangkan Raka mundur, menjauh dari Okta.
"Mau apa kamu! Mundur, Ta."
Okta menggeleng. Menggapai tangan Raka. Karena kaget, Raka menepis tangan Okta. Namun sayang sekali, cutter yang Raka pegang menyayat lengan Okta begitu dalam.
"Aw!" ringis Okta.
Dia melihat lengannya mengeluarkan darah. Ditekannya dengan kuat agar tak banyak darah yang keluar.
Dengan wajah yang begitu kaget, Raka terpaku. Lidahnya kelu sekali. Sedangkan Okta mendekatinya, mengikis jarak diantara mereka. Tatapan Okta sudah sebegitu sedihnya sampai tak sadar ia menangis.
"Raka... aku bener-bener capek, Ka."
Okta mencengkram erat lengannya. "Cukup, Ka. Aku pengen berhenti."
"Aku pengen kita selesai."
Raka sudah sadar. Dia membuat cutter berlumuran darah dan menggapai tangan Okta. Darah terus mengucur dari lengan Okta. Mendarat pada rumput yang hijau.
"Aku pengen bahagia, Ka."
"Ssttt, cukup Okta. Kita masuk, harus diobati," kata Raka benar-benar panik.
"Keegoisan kamu selalu nyakitin aku, Ka. Aku harus sekuat apa lagi? Hatiku harus sehancur apa lagi?" tanya Okta begitu pilu. Air matanya terus turun.
Raka membuka kemejanya. Dia gunakan untuk membalut luka Okta. Dia langsung memeluk Okta. Dengan rasa menyesal.
"Okta maaf. Maaf, aku gak bermaksud buat sakitin kamu."
"Aku benci kamu, Ka."
Okta mendekap Raka dengan erat. Begitu erat sekali. Hatinya terasa hangat. Yang gila itu ternyata Okta. Sudah sesakit apapun dia, sudah sebenci apapun dia, Okta tetap mencintainya.
Okta membuka matanya. Melihat pantulan dirinya di cermin. Darah yang keluar dari lukanya itu sedikit demi sedikit sudah mengering. Wajahnya terlihat lelah sekali. Matanya bengkak sekali dan merah.
Dia segera membasuh muka, menyegarkan diri dan mengeringkan tangannya. Harus ia obati sebelum Argi tahu.
"Okta?"
Badan Okta tegang. Baru saja dia menutup pintu kamar mandi. Terdengar suara Argi dari ruang tamu. Dengan segera dia memasang senyum cerianya dan menutupi lengan dengan jaket yang ia pasang dipinggangnya.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Argi lagi, mendekati Okta.
Senyumnya hilang setelah menatap Argi. Tatapan yang Ayahnya berikan begitu nyata dan lembut. Rasanya Okta ingin menangis dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Lho? Kamu kenapa, Okta? Ada yang sakit? Mau ke rumah sakit?" tanya Argi panik ketika melihat anaknya menangis.
Okta menggelengkan kepalanya. Mengusap air mata dan sedikit tersenyum pada Argi. "Okta habis nonton drama, Pa. Sedih banget ceritanya. Maaf buat Papa khawatir," bohong Okta. Dia sedikit takut. Takut Argi menyadari kebohongannya.
"Ya ampun, Papa kira ada apa. Yaudah, jangan lupa makan," ucap Argi. Dia menunjukkan alat pancing yang sedang dia bawa, "Papa lupa bawa ini. Kamu mau Papa bawain apa pulang nati? Makan? Spagetti kesuaan kamu? Atau pizza?" tanya Argi dengan lembut sekali.
"Pizza boleh?" tanya Okta dengan senang. "Enggak. Papa bercanda. Kamu gak boleh makan makanan cepat saji," jawabnya.
Okta meringis dalam hati. Lukanya sakit sekali terkena kain jaket. Dia ingin segera masuk ke dalam kamarnya. "Es krim. Okta mau Es krim. Kalau gitu Okta ke kamar, ya? Okta harus kerjain PR," ujarnya beralasan.
***
"Hah... nyaman banget kamar lo, Dy. Bersih, rapi, sunyi lagi. Coba di rumah gue? Tetangga depan gak pernah bosen setel lagu dangdut. Bawaannya jadi pengen joget terus, kan."
Pais bergiling-guling di ranjang Rizaldy. Sedangkan pemilik kamar itu hanya memetik acar senar gitar dan duduk di lantai.
"Tapi gue gak nyangka hal pertama yang Okta lakuin pas lihat gue itu malah peluk gue. Iri gak? Iri dong, masa enggak!" racau Pais kegirangan.
"Mati hari ini juga gue gak masalah, Dy. Enggak ada penyesalan lagi di hidup gue!"
Rizaldy menghela napasnya. Begitulah Pais. Tidak pernah waras kalau menyangkut perempuan. "Jangan mati di sini," jawab Rizaldy setelah lamanya tak berbicara.
"Aw, sweet banget, sih, lo, Dy. Gue gak bakal mati semudah—"
"Ribet pindahin mayatnya kalau mati di sini," lanjut Rizaldy.
Pais langsung marah-marah dan berceloteh ria. Rizaldy tidak berniat untuk mendengarkan ucapannya. Kadang dia sendiri bingung, kenapa orang macam Pais itu bisa satu kempus dengannya. Padahal untuk seukuran Rizaldy yang pintar, lolos ujian di sekolahnya saja sudah sulit.
"Eh, iya." Pais duduk sambil memeluk bantalnya Rizaldy. "Okta kenapa? Gue lihat di jaketnya ada darah. Apa jangan-jangan dia berantem sama pacarnya?" tanya Pais penasaran.
"Hm." Rizaldy hanya menjawabnya dengan dehaman. Tidak ingin bicara panjang lebar tentang adiknya.
"Tapi enggak mungkin, deh. Orang tadi gue lihat cowoknya cium Okta. Terus dia kenapa? Lo tahu?"
Rizaldy tidak menjawab sama sekali. Dia melanjutkan memetik gitarnya. "Percuma gue tanya sama elo, Dy."
Pais merebahkan tubuhnya. Rizaldy dingin sekali pada adiknya sendiri.
"Rizaldy!"
Pais seketika bangun. Menatap Rizaldy dengan kaget. Suara teriakan itu terdengar sangat kencang. Bisa dipastikan bahwa orang tersebut sedang marah besar.
"Turun sekarang juga!"
A/N:
Raka bener-bener gila, ya? Tapi gue gak habis pikir sama perasaan Okta. Kenapa dia masih mau sama Raka. Stres banget gue sama cewek satu itu.
As always,
Be wise, Darling.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top