06

Kaleng soda menggelinding ke arah rak karena senggolan dari lengan Rizaldy. Dia hendak berdiri untuk mengambil soda tersebut. Tapi, ada tangan lain yang meraih barang itu.

"Lembur, Kak?" tanya seorang gadis. Rizaldy berdiri dan menatapnya penuh tanya. Dia mengambil kembali soda yang gadis itu pegang tanpa menjawa pertanyaan dari gadis tersebut.

Langsung saja dia melanjutkan pekerjaannya. Merapikannya dengan cepat agar bisa bersantai lebih lama. Tapi pikirannya masih bertanya-tanya tentang gadis tadi. Dia seperti mengenalinya.

Gadis itu sedang merapikan rak yang tak jauh darinya, mendisplay produk sesuai dengan jenis dan golongannya. Merasa terperhatikan sekali, dia menghentikan kegiatannya dan merapikan baju.

"Kenapa, Kak? Ada sesuatu di baju aku?" tanya tersipu malu.

Rizaldy hanya memandangnya lalu berjalan begitu saja tanpa mengatakan apapun. "Kak!" seru gadis itu tiba-tiba.

"Kenapa, Sarah?" tanya Rizaldy menjawab panggilan gadis itu.

Senyum lebar tercetak di wajahnya. Dia senang sekali Rizaldy bisa mengingat namanya. "Aku kira Kakak lupa namaku," ucapnya malu-malu seraya menyampirkan rambut ke belakang telinganya.

Tapi, senyuman tersebut memudar ketika telunjuk Rizaldy menunjuk pada name-tag yang gadia itu pakai. Pantas saja Rizaldy begitu mempertahikannya dengan terang-terangan.


"Jadi, kenapa?" Rizaldy bertanya kembali.

Dia sedikit meregangkan badannya. punggungnya sakit karena terlalu lama membungkuk. Merapikan display paling bawah, ditmbah ada barang masuk saat dirinya baru saja bertukar shift. Memang hari yang baik sekali untuk Rizaldy. Lengkap sudah pegal di tubuhnya.

"Kalau mau merokok, ada di bawah meja kasir. Ambil aja, Kak. Toko biar aku yang jaga."

Ah, Rizaldy mengingatnya sekarang. Sarah itu adalah gadis yang sedang berada di kelas akhir masa SMA. Dibalik tampangnya yang sangat polos dan ceria itu, dia juga sering menemani Rizaldy merokok ketika mereka berada di waktu shift yang sama. Sudah lama sekali sejak mereka berdua bersama.

Rizaldy mengangguk sebagai balasan dari perkataan Sarah. Dia menuju kasih dan mengambil kotak rokok milik Sarah. Selera mereka memang sama.

Dan Sarah begitu mengagumi Rizaldy sejak lama. Alasan dia bekerja paruh waktu di toko ini pun karena Rizaldy. Gadis itu tidak sengaja bertemu dengan Rizaldy saat sedang belanja di mari. Biasanya Sarah tidak mampir di toko jalanan sini. Karena rumahnya yang memang jauh. Namun, Sarah jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ia sedang menemani temannya belanja. Senang sekali rasanya di satukan dalam shift yang sama lagi.

***


"Terima kasih telah berbelanja dengan kami. Selamat malam, hati-hati di jalan."

Sarah meregangkan tubuhnya. Yang tadi adalah pelanggan terakhir. Sudah waktunya untuk menutup toko. Rizaldy bahkan sudah berada di depan toko untuk menurunkan etalase. Gadis itu merapikan meja kasir dan masuk ke dalam ruang staff. Dia menganti pakaiannya dan mengambil rokok dari tasnya.

Sudah dua batang yang ia hisap. Pas sekali Rizaldy datang saat Sarah menyalakan batang ketiganya. "Ini, Kak," tawar Sarah pada Rizaldy.

Pria itu menolaknya dan langsung saja berjalan menuju loker miliknya. Tumben sekali Rizaldy menolak. "Ada masalah, Kak?" tanya Sarah mengkhawatirkan kondisi Rizaldy.

Pria itu hanya menggeleng dan mengganti pakaiannya dengan baju santai. Dia berjalan begitu saja melewati Sarah. Gadis itu langsung berucap padanya. "Kak! Bisa antar aku pulang gak?"

Rizaldy membalikkan badannya. Menatap jam tangan yang menunjukkan pukul tiga pagi. Tidak ada waktu lagi jika ia harus mengantar Sarah pulang. Dia harus siap-siap pergi kuliah sebelum Pais membunuhnya dengan cerita-cerita tidak berguna.

"Gak bisa," jawab Rizaldy dan langsung terburu-buru keluar dari toko.

Sarah tersenyum, "Hati-hati, Kak!" serunya.

Rokok yang sudah menyala itu ia patahkan dan buang. Rizaldy masih belum meliriknya. Sarah belum menyerah untuk mendapatkan perhatian Rizaldy. Sifat dingin pria itu mampu memikat hati Sarah. Karena itu, walau sulit, dirinya memaksakan diri untuk bekerja di tempat ini.

***

Hari-hari berlalu dengan damai. Okta tidak melakukan hal-hal aneh yang bisa membuat Rizaldy terjebak dalam amarah Argi. Pria tua itu juga mengabaikan kehadiran Rizaldy selama beberapa hari ini. Tapi tidak dengan Pais. Kecintaannya terharap perempuan-perempaun cantik membuatnya begitu pening sekali. Ditambah celotehannya yang memang tidak ada manfaat apa-apa.

Padahal tampang Pais biasa aja. namun mampu memikat hati para wanita cantik. Rizaldy sendiri kadang heran. Tapi tak ingin tahu lebih dalam. Hanya merasa kasihan dengan wanita-wanita yang terjerat dengan pesona anehnya.

"Lo tahu dia bilang apa? Katanya gue lucu. Sumpah gemes banget itu cewek. Hati gue melting seketika. Emang, ya, kalau orang tampan itu bisa memikat hari banyak cewek. Bangga banget gue jadi Pais. Ketampanan tiada tara ini tidak akan pernah lenyap!" serunya dengan alay sekali.

Rizaldy hanya menaikan alisnya, melanjutkan mengetuk meja dengan bolpoin. Ajakan Pais untuk belajar bersama itu berakhir dengan cerita-crita yang tidak jauh dari perempuan. Kadang rasanya Rizaldy muak dan meninggalkan Pais.

"Hari ini jadi ke rumah lo, kan, Dy? Gue udah mandi kembang tujuh rupa, nih. Siapa tahu balik-balik dapet hatinya Okta," racau Pais dengan percaya dirinya.

Tidak ada tanggapan dari Rizaldy. Dia masih mengetukkan bolpoinnya. Ada sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya.

"Minum-minum dulu di sana, sekalian ngobrol sama si Okta. Terus paskita saling memandang,... Boom! Dia terpanah sama ketampanan gue. Wah, briliant banget rencana gue, Dy," kata Pais dengan tawanya. Dia membayangkan kalau dirinya akan segera menjadi kekasih Okta.

"Gak ada alkhol di rumah," balas Rizaldy seadanya.

Dia merapikan buku-bukunya dan bersiap untuk pulang. Pais juga ikut membereskan barang-barangnya lalu menepuk pundak Rizaldy dengan kencang.

"Bukan minuman keras, Anjing!" rutuk Pais kesal. Rizaldy menghela napasnya, "Kalau es batu, ada banyak."

"Enggak gitu juga, goblok! Lo kenapa, sih, Dy?" tanya Pais dengan kencang.

"Berisik!" seru perpustakawan yang sedang merapikan buku di rak buku depan mereka berdua.

Rizaldy kembali menghela napasnya. Pais memang tidak punya urat malu.

***


Pais melirik sekeliling  ruang tamu Rizaldy. Menatap bingkai foto yang berisi Argi dengan Okta di dalamnya. Langkahnya terus menyamping, melihat foto-foto tersebut. Hingga sebuah foto membuatnya tertawa.

"Dy! Sini dulu!" teriak Pais.

Rizaldy yang sudah berada di lantai dua, kembali turun karena panggilan Pais. Dia berjalan santai menuju sofa. Tidak ingin melihat apa yang sedang Pais lihat.

"Okta kelakuannya kayak cowok ternyata. Manjat-manjat pohon gini. Tapi gemes, sih," ucapnya seraya memegang bingkai foto yang berisi Okta dengan Ibunya.

"Hm," jawab Rizaldy hanya dengan dehaman.

"Kok lo gak ada, sih? Gue liat dari ujung sana sampe ujung sini isinya cuman Okta doang. Jangan-jangan...," Pais menggantungkan ucapannya.

"Enggak, ah. Gak mungkin," gumamnya.

Rizaldy berdiri dan menatap Pais yang masih memandagi foto keluarga. "Gitarnya jadi gak?" tanya Rizaldy dan mendapatkan anggukan dari Pais.

Dengan langkah lebar, Rizaldy kembali menaiki anak tangga menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti ketika Pais berlari menuju pintu depan dengan antusias.

Rizaldy memperhatikan Pais dari tangga. Dia terlihat tertekan sekali setelah membuka pintu depan. Pais melihat Okta turun dari motor seorang pemuda. Lelaki itu bahkan mengecup Okta sebelum pamit dan pergi.

Dengan cepat Pais kembali, menghampiri Rizaldy dengan aura kelamnya. "Gue merasa tertolak sebelum menyatakan, Dy."

Lagi-lagi Rizaldy menghela napasnya. Seingatnya dia pernah memberitahu Pais kalau adiknya memang sudah punya kekasih.

"Lho? Ada tamu, Mas?" tanya Okta saat dirinya baru saja memasuki rumah. Dia menatap ke arah tanggan dan melihat sosok Pais sedang berdiri di sana. Rizaldy langsung saja menaiki tangga. Tidak ingin berbicara apapun pada Okta.

"Abang Pais? Kapan Abang ke sini?" tanya Okta senang lalu berlari menghampiri pria itu tanpa sempat membuka sepatunya.

Pais sedikit bimbang antara mengikuti Rizaldy atau menunggu Okta yang tengah menghampirinya. Tapi, sebelum Pais memutuskan sesuatu. Okta sudah memeluknya dengan erat. Wajah kaget perpampang jelas pada wajah Pais.

"Okta kangen banget! Bang Pais kenapa baru ke sini sekarang?" tanya Okta, masih dengan pelukannya.

Pais terdiam tak berkata-kata. Dirinya menatap Rizaldy yang sudah menginjakkan kaki di lantai dua. Tak pernah Pais bayangkan kalau Okta akan menghampirinya semudah itu.

"Tolong gue, Dy," ringisnya dalam hati.










A/N:
Hm... seketika gue punya pikiran buat pasangin Rizaldy sama Okta.

As always,
Be wise, Darling.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top