03

Langkah kaki Rizaldy memecah kerumunan anak-anak yang berlarian menuju kelasnya masing-masing. Tinggal tujuh menit lagi mata kuliah mereka berlangsung. Rizaldy terlihat sangat terburu-buru karena Pais terus menghubunginya, memintanya untuk datang lebih cepat. Tapi, Rizaldy yang memang niatnya tidak ingin masuk kelas, menjadi terpaksa mengikuti mata kuliahnya.

Dan yang membuatnya lebih terlambat lagi karena Argi yang menahan kepergiannya. Mengatakan kalau Okta menangis pagi-pagi buta. Ayahnya itu terus berceramah, mengatakan kalau Rizaldy harus menjaganya dan lain-lain. Bahkan sampai kembali tertampar. Memang tidak pernah bosan pria itu menghancurkan hari-hari Rizaldy.

Okta saat itu juga sudah berangkat sekolah. Karena tatapan tidak peduli dari Rizaldy, membuat Argi kembali mencekiknya. Kalau saja koleganya tidak menghubungi dia, mungkin Okta akan melihat mayat Rizaldy tergeletak di ruang tamu sepulang sekolah.

"Dy! Lo ke mana aja, sih? Kan udah gue bilang, datang pagi-pagi! Mana sini gue mau nyontek tugas lo!" seru Pais tidak sabar. Tangannya terulur menunggu Rizaldy memberikan buku catatannya.

Sebagai manusia yang baik, Rizaldy memberikan tugas yang sudah ia selesaikan dari kapan waktu. Baru saja Rizaldy menyodorkannya pada Pais, pria itu langsung merebutnya dan masuk ke dalam mode mahasiswa yang sedang mengejar deadline tugas.

"Bu Wiwin biasanya telat lima belas menit. Sekarang jam berapa, Dy?" tanya Pais dengan terburu-buru.

Rizaldy hendak menjawab pertanyaan Pais. Namun, pria itu langsung saja menjawab pertanyaannya sendiri. "Anjing! Lima menit lagi! Masih ada tiga nomor yang belum. Kenapa enggak lo kirim lewat chat aja, sih, kemaren? Kan bisa gue kerjain malem-malem!" rutuk Pais.

Rizaldy hanya bisa menghela napas. Celotehannya itu tidak bisa berhenti sedikitpun. "Argh! Puyengnya. Padahal gue nyalin, tapi kenapa pusing, sih? Lo kok ngerti pertanyaan nomor delapan, sih, Dy? Ya Tuhan, dosa gue apa, sih?"

Rizaldy mulai memasang earphonenya. Tidak ingin mendengarkan lebih banyak lagi. Padahal semalam Rizaldy sudah mengirimkan foto tugas beserta isinya pada Pais. Bukannya mengucapkan terimakasih, Pais malah membicarakan perempuan yang sedang mendekatinya. Sungguh miris sekali Rizaldy. Memiliki orang semacam Pais di hidupnya.

"Ekhem. Duduk semuanya!" seru seorang wanita. Membuat Rizaldy membuka earphonenya dan memperhatikan ke depan. Pais masih bergumam tidak jelas di sampingnya.

"Saya minta kalian untuk—"

"Akhirnya beres juga!" teriak Pais girang.

Tugas yang sedang Pais kerjakan sudah selesai. Dia berdiri dengan kedua tangan yang terangkat ke atas. Seakan dirinya sudah bebas. Padahal singa betina yang luar biasa garangnya sedang menatap nyalang padanya.

Wanita berjilbab juga berkaca mata tebal itu mengambil mistar besi. Mengayun-ayunkan di telapak tangannya. Keadaan kelas menjadi hening seketika. Dasar Pais.

"Kamu! Yang sedang berdiri! Keluar dari kelas saya!"

Lengkingan khas dari Dosen Killer itu terdengar sampai penjuru ruangan. Semuanya bergidik ngeri. Dan Pais masih bersantai ria.

Dia duduk dengan tenangnya. "Kenapa, sih, dia? Baru masuk kelas udah marah-marah lagi."

Rizaldy menggeserkan badannya. Menjauh dari Pais. Dia tidak ingin terkena batunya.

"Pais!" teriak Bu Wiwin.

Seketika Pais langsung menengok ke arah depan. Jari telunjuknya mengarah pada dirinya sendiri. "Saya, Bu?"

Dosen itu terlihat semakin kesal. Dia melempar spidol ke arah Pais. Dengan sigap lelaki itu mengelak. Alhasil, orang yang duduk di belakangnya terkena amukan Bu Wiwin.

"Anjing! Sakit, goblok!"

Pais langsung menoleh ke belakang, ikut meringis kesakitan. "Keluar dari kelas saya!" teriak Bu Wiwin lagi. Pais mencolek bahu Rizaldy, meminta bantuannya.

"Dy, gue baru aja beres kerjain tugas dia. Tolongin, dong."

Rizaldy memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak mengenali siapa orang di sampingnya. Seluruh murid menatap ke arah Pais, menahan tawa karena kelakuannya yang begitu tidak ada akhlak.

"Sekarang juga, Pais!"

Perintah paten dari sang Dosen tak bisa terelakkan lagi. Pais merapikan alat tulisnya dan berlalu pergi dari ruangan. Anak-anak tertawa saat Pais menjulurkan lidahnya, mengejek Bu Wiwin karena mengusirnya pergi. Wanita tua itu menggelengkan kepalanya, menghela napas dalam-dalam. Masih saja ada kelakuan anak didiknya yang minus sekali.

***

"Lepas, Ka! Aku bisa pulang sendiri!" teriak Okta.

Cengkraman di pergelangan tangan Okta semakin menguat. Dia meringis kesakitan. Lelaki di hadapannya sama sekali tidak tahu cara memperlakukan perempuan dengan lembut.

"Sekarang kamu udah berani meninggikan suara, ya? Didikan siapa, hm? Kakakmu itu? Pantas aja belakangan ini kamu bersikap dingin. Harus aku bereskan pria itu?" tanya Raka dengan raut seriusnya.

Okta menggeleng cepat. Kaget dengan ucapan Raka yang tidak main-main. Jantungnya berdetak dengan cepat. Rasa sakit di pergelangan tangannya hilang seketika. Pikirannya berkecamuk. Memikirkan hal apa yang akan membuat Raka kembali biasa saja.

Dengan senyum manisnya Okta berbicara, "Enggak usah, Ka. Maaf, ya? Belakangan ini kondisi badanku kurang sehat. Kayaknya aku meracau banyak hal. Kita pulang, yuk? Atau mau mampir ke tempat biasa dulu?"

***

"Babe? Hari ini aku mau pergi ke tempat lain. Aku antar kamu sampai depan komplek, ya?" tanya Raka.

Lengannya mengusap lembut tangan Okta yang berada di atas pahanya. Gadis itu sedikit terdiam dan sedang melamun. Menatap kosong pada jalanan.

"Bunny?" tanya Raka lagi.

"Hm? Ah, iya gapapa," jawab Okta seketika.

Tangan satunya gemetar, memegang erat seat belt. Detak jantungnya terus-menerus berdegup kencang. Dia berharap komplek perumahannya perpindah langsung ke hadapannya sekarang juga.

"Kamu enggak bakal tanya alasannya apa?" tanya Raka dengan dingin.

Tangannya menyingkirkan tangan Okta. Gadis itu menelan salivanya susah payah. Raka jelas terlihat sangat marah.

"Kenapa emangnya?" tanya Okta dengan senyum manisnya. Dia juga kembali memegang tangan Raka yang sudah memegang setir. Membuat lelaki itu kembali menyimpan tangan Okta di pahanya.

"Ada sesuatu. Ingat Sella?"

Okta mengangguk, "Teman sekelasmu tahun lalu, bukan?"

Raka tersenyum, "Kita kencan hari ini. Jadi, aku cuman bisa antar kamu sampai depan komplek. Tapi, kalau kamu pengen aku temani sampai depan rumah, enggak masalah juga, sih."

Raka menimang-nimang ucapannya. Okta tersenyum lagi, kali ini benar-benar terpaksa. Dia tahu kalau Raka bukan lagi bagian dari hidupnya. Dia juga tahu hubungan ini hanya sementara dan sekadar permainan bagi lelaki itu. Dia juga tahu dan sadar betul bahwa hubungannya dengan Raka sudah benar-benar berakhir minggu lalu.

Tapi, sakit sekali mendengar Raka akan berkencan dengan temannya sendiri. Okta tahu tujuan Raka saat melontarkan pertanyaan mengenai Sella. Lelaki itu berusaha membuat hidup Okta berantakan. Dia berharap Okta akan menangis di depannya dan memohon agar gadis ini kembali kepadanya.

Tapi tidak lagi.

Okta tidak ingin masa-masa yang mengerikan ini terus terjadi. Dia ingin mengakhirinya hari ini juga.

"Ah, begitu, ya? Selamat atas hubungan kalian berdua," ucap Okta memberi selamat.

Namun, hatinya begitu hancur. Tidak seperti wajahnya yang terlihat ceria. Dia mengepalkan tangannya. Bahkan menarik kembali tangan yang sedang Raka usap.

"Kamu bisa berhenti di sini, Ka. Aku bisa pulang sendiri. Kasian, Sella. Dia pasti sedang tunggu kamu.

Okta terus mempertahankan senyumnya, sedangkan hatinya hancur berkeping-keping.

Raka langsung menepikan mobilnya. Namun, mengunci seluruh pintu sebelum Okta melepaskan sabuk pengamannya.

"Harusnya kamu marah, Ta."

Suara dingin itu membuat sekujur tubuh Okta menegang. Raka melepaskan sabuk pengamannya dan mendekati Okta. Tangannya mencengkram rahang Okta dengan kuat. Bulir keringat di dahi gadis itu mengucur. Habislah dia hari ini.

"Kamu sadar kalau aku bilang akan berkencan dengan temanmu, hm? Pacar yang pengertian pasti marah, emosi, bahkan melontarkan kata putus," ucap Raka tajam.

"Kamu itu anggap aku apa, Ta?" tanyanya begitu kecewa.

Wajah Raka semakin dekat, kening mereka sudah bertemu. Raka melepaskan cengkramannya, menjadi mengusap lembut pipi Okta. Dia bahkan mengecup bibir gadis itu.

Raka merasakan tangan Okta berusaha untuk memukul perutnya. Namun dengan cepat, dia mengunci pergerakan Okta dengan lengannya.

Kini Okta sama sekali tidak bisa bergerak. Kedua tangannya tercekal oleh Raka. Lelaki itu kembali menciumi Okta, kali ini dengan lembut. Tapi, Okta tidak terima di perlakukan seperti itu lagi.

Dia menggigit bibir Raka segan-segan. Raka menjauh dari Okta dan meraba bibirnya. Darah segar terasa di mulut Okta. Bibir Raka mengeluarkan darah. Lelaki itu menyeringai melihat bercak darah dari bibir Okta. Tangannya kembali mencengkram rahang Okta.

"Lepas! Hubungan kita selesai, Ka! Kamu gak bisa perlakuin aku semau kamu lagi!"

Senyum Raka semakin lebar. "Hubungan kita belum berakhir, Bunny. Tidak akan ada kata akhir dalam hubungan kita. Kamu tahu itu, kan?"

Air mata Okta luruh seluruhnya. Perasannya tak terbendung lagi. Raka tersenyum puas, menjilat air mata yang menuruni pipi Okta lalu di kecupnya.

Raka benar-benar gila.







A/N:
Hm, Raka luar biasa banget, ya? Wkwkwk.

Seenggaknya mereka gak jomblo kayak gue. Sad bgt sih.

As always,
Be wise, Darling.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top