02
Pais menyeruput kuah bakso langsung dari mangkuknya tanpa rasa malu sama sekali. Rizaldy hanya mengaduk-aduk makanannya. Tidak menarik minatnya sama sekali. Bukan karna tidak suka, tapi pikirannya sedang kalut.
Sibuk memikirkan dirinya untuk hidup sendiri. Pemikiran tersebut sudah menjadi tujuannya sejak ia berada di bangku sekolah menengah pertama. Pukulan dan ucapan tajam dari Argi sudah menjadi makanannya sehari-hari sejak hari itu. Hanya karena rasa sayang pada Bundanyalah membuat dia bertahan dari segala macam cacian serta makian dari sang Ayah.
"Gak bakal di makan, Dy? Gue makan, ya?" tanya Pais tanpa menunggu jawaban dari si pemilik.
Dia langsung menggeser mangkuk Rizaldy tepat ke hadapannya lalu makan dengan lahap. Tak sampai lima menit, isi mangkuk tersebut sudah bersih tanpa sisa. Termasuk kuahnya yang ikut menghilang, masuk ke dalam perut karetnya.
Rizaldy tidak memikirkan tindakan Pais. Dia memainkan pematiknya, lalu langsung mengambil bungkus rokok yang berada di tas. Baru saja pematiknya menyala, Pais langsung merebut rokok yang sudah berada di bibir Rizaldy.
"Di luar sana," ucapnya. Tangannya juga mengintruksikan agar Rizaldy keluar dari ruang makan rumah Pais.
Rizaldy kembali merebut rokok miliknya. Menghiraukan ucapan Pais. "Enak di dalem, Is."
Dia menyalakan kembali pematiknya dan mengesap rokok. Asap keluar dari mulutnya, dia mengetuk-ketuk jari telunjuknya di meja.
"Ambigu, anjir. Traveling pikiran gue, woy!"
Lagi-lagi Pais menepuk punggung Rizaldy dengan kasar. Kali ini sampai pria itu terbatuk. Pais sendiri tertawa kencang melihat Rizaldy tersedak karena ulahnya. Benar-benar teman kurang ajar.
"Ya, Tuhan. Ngakak gue. Kenapa bisa sampe batuk gitu, sih, Dy? Makannya kalo gue bilang di luar, ya, di luar. Kena batunya, kan?"
Tawa Pais begitu lepas. Rizaldy sendiri tidak ingin menanggapi ucapannya. Hanya melanjutkan isapan rokoknya tanpa mendengar celotehan dari Pais.
"Lagian tumben banget lo nyebat di sini. Gue kan udah bilang, kalau ada apa-apa cerita aja sama gue. Kayak ke siapa aja, lo. Santai aja, mulut gue gak lemes kalo masalah ginian."
Pais menepuk-tepuk pelan bahu Rizaldy. Pria itu menepis tangan Pais dan mematahkan rokoknya. Tidak berminat lagi untuk merokok. Dibuanglah ke dalam mangkuk lalu berdiri, keluar dari rumah Pais.
Pais segera mengikuti langkah Rizaldy, "Hey, lo gapapa, kan, Dy?"
"Kalau ada masalah, cerita sama gue. Serius bakal gue dengerin, jangan pendem sendiri. Lo bisa cerita ke gue," lanjutnya.
Rizaldy sama sekali tidak menanggapi ucapan Pais. Tidak peduli dengan apa yang pria itu ucapkan.
"Kalau gitu, lo denger cerita gue aja," ujar Pais. Rizaldy duduk di bangku depan rumah Pais. Memandangi jalanan yang begitu gelap tanpa disinari lampu jalan.
"Minggu lalu pas lo absen, gue duduk sendiri, kan. Biasanya ada lo. Gue juga istirahat sendiri. Lo inget Sarah, kan? Cewek senior yang nembak lo tahun lalu. Dia samperin gue, gue pikir dia mulai jatoh pada ketampanan gue dan mulai sadar kalau gue itu lebih tampan dari lo. Eh, tiba-tiba dia pergi pas gue bilang kalau lo absen. Padahal—"
"Is, pulang dulu," potong Rizaldy seraya berdiri. Menghampiri motornya.
Dia sengaja memotong ucapan Pais. Tidak ingin tahu lagi tentang apa yang akan Pais ucapkan. Bahkan dia tidak pernah meminta Pais untuk berteman dengannya. Dia butuh ketenangan sesaat. Jauh dari keluarganya. Tapi, Pais malah memperparah kondisinya.
Bagi Rizaldy, sendiri adalah kebebasan.
Bukannya dia tidak ingin berteman dengan Pais, mengingat sudah lima tahun berlalu saat pertama kali mereka bertemu. Dia hanya belum terbiasa dengan perilaku Pais yang tidak bisa ditebak. Dan dia juga tidak terbiasa menceritakan suatu hal pada seseorang.
"Gak tidur di sini, Dy? Udah jam sebelas ini. Yakin mau balik aja?" tanya Pais meyakinkan Rizaldy.
Pria itu mengangguk. Menaiki motornya seraya memakai helm. Pais hanya tersenyum, lagi-lagi menepuk punggung Rizaldy dengan keras. Dan Rizaldy hanya mengangguk lalu menyalakan mesin motornya. Menancapkan gas, keluar dari rumah Pais.
Pais masih berdiri dengan lambaian tangannya, menatap jalanan yang sudah gelap gulita kembali. Setelah bermenit-menit terdiam, dia akhirnya masuk kembali ke dalam rumah.
Sedangkan motor Rizaldy melesat mengarungi jalan raya yang mulai sepi. Udara semakin tipis, tapi tak menggoyahkan keinginan Rizaldy untuk terus melaju dengan kecepatan tinggi. Suhu dingin terus menusuk kulit Rizaldy bak jarum. Dia bahkan mengambil jalan memutar agar bisa lebih lama lagi di jalanan. Belum siap dengan segala hal tak terduga yang akan terjadi di rumahnya.
Ia sempat berpikir untuk kembali ke rumah Pais. Menerima tawaran pria itu untuk bermalam di rumahnya. Namun, hari sudah larut. Dia malas untuk memutarbalikkan tujuan hanya karena menghindari ceramahan yang tak pernah masuk dalam telinganya.
***
"Dari mana saja, jam segini baru pulang?" tanya Argi, marah.
Kedua tangannya terlipat di depan dadanya. Menatap tajam pada Rizaldy. Matanya seperti akan keluar detik itu juga. Rizaldy baru saja pulang, membuka sepatunya saja belum sempat. Tapi, sudah mendapatkan tatapan tidak enak dari Ayahnya sendiri.
Terlihat Okta sedang duduk membelakangi mereka berdua dari balik sofa ruang tamu. Rizaldy menyeringai, tahu alasan dibalik Ayahnya yang begitu mempedulikan jam pulangnya.
"Okta pulang sendirian! Kamu sebagai Kakaknya gak punya perasaan apa? Perhatikan adik kamu, Rizaldy! Jam sepuluh malam belum pulang ke rumah. Seharusnya kamu cari! Gimana kalau dia kenapa-kenapa di jalan? Kamu mau tanggung jawab? Otaknya di pakai coba. Kamu itu sudah dewasa. Jangan pikirkan perutmu sendiri!" seru Argi, marah besar.
Dia mendekati Rizaldy dengan tangannya yang sudah turun. Di tatapnya Rizaldy yang baru saja membuka sepatunya lalu memakai sandal rumah. Tanpa mempedulikan Argi yang menatapnya penuh rasa benci.
"Rizaldy!"
Akhirnya Rizaldy menatap Argi. Tapi, tatapannya begitu datar. Air mukanya juga tidak berekspresi apapun. Darah Argi semakin panas, melihat anak lelakinya yang hanya diam tak menanggapi di tambah dengan tatapannya yang begitu tidak peduli. Tangannya terulur, menggapai leher Rizaldy lalu mencekiknya.
Rizaldy sedikit terkejut, tapi tetap dengan tatapan dinginnya. Cekikan Argi semakin menguat, membuat Rizaldy terbatuk. Okta langsung menghadap ke belakang dan berlari menghampiri Argi. Mencegahnya untuk bertindak lebih jauh.
"Pa! Cukup! Okta juga pulang dengan selamat Okta gak apa-apa!" seru gadis itu.
Seketika Argi langsung melepas cengkraman tangannya. Rizaldy langsung mengambil napas dengan terburu, terbatuk beberapa kali. Argi menatapnya dengan tajam dan berlalu menuju kamarnya. Lagi-lagi Okta yang menjadi alasan mengapa Rizaldy diperlakukan seperti itu. Hanya anak perempuannya saja yang terus di perhatikan. Lalu, kapan mimpi bahagia Rizaldy akan terwujud?
Setelah Rizaldy membaik, dia langsung membawa helmnya. Melewati Okta begitu saja, menuju kamarnya. Adiknya itu mengikuti dia hingga Rizaldy masuk ke dalam kamar. Yang sebelumnya tidak berkata-kata, akhirnya berbicara juga pada Rizaldy.
"Mas... Papa enggak maksud gitu, kok. Dia cuman—"
"Apa?" tanya Rizaldy langsung memotong ucapan Okta.
Dia membuka jaketnya. Menggantungkan di sebelah pintu. Membuat Okta masuk ke dalam kamar tanpa izin. Namun, Rizaldy sama sekali tidak peduli dengan sosok manusia di sampingnya itu.
"Ya, gitu, Mas. Papa pasti khawatir sama, Mas. Dia sayang, kok—"
"Keluar!" perintah Rizaldy.
Kata sayang yang Okta ucapkan begitu semu dan jelas sekali bohongnya. Tidak mungkin sikap itu terselip pada hati Argi yang begitu keras padanya.
Okta langsung terdiam. Dia paham Rizaldy marah. Tapi, Okta tidak ingin Rizaldy berpikir kalau Ayahnya sama sekali tidak mencintainya. Okta ingin memberitahu, ingin menjelaskan bahwa; jika Argi tidak mencintai atau menyayanginya, maka Okta akan selalu menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan padanya.
Melihat Okta yang sama sekali tidak mendengarkan ucapannya. Rizaldy langsung saja melepas pakaiannya, membuang sembarang dan membuka lemarinya. Mencari pakaian santai untuk tidur. Okta langsung membalikkan badannya. Tapi, tak mengurungkan niatnya untuk tetap berada di kamar Rizaldy.
"Mas, Okta boleh tidur di sini?" pinta gadis itu lalu membalikkan badannya.
Rizaldy sudah mengganti pakaiannya. Dia duduk membelakangi Okta, sibuk mengambil sesuatu dari laci nakas.
"Ada yang mau Okta ceritain sama Mas. Okta juga mau minta maaf, Bunda bilang—"
"Keluar, Okta!" seru Rizaldy marah.
Nada kata yang biasanya tak berekspresi, kini begitu kesal dan marah. Okta sendiri tersentak mendengarnya. Menatap sendu pada Rizaldy. Perkataannya salah. Ingin sekali Okta menarik kata-katanya. Pria itu tidak tahan dengan kehadiran Okta yang mungkin akan mengucapkan kata-kata tak masuk akal lagi. Jika Okta tidak ingin keluar, maka Rizaldy tinggal menyeretnya untuk pergi. Dia bahkan mendorongnya dengan kasar dan menutup pintu dengan kencang.
Badan Okta bergetar. Dia tahu dia salah. Lagi-lagi hubungannya dengan Rizaldy tak kunjung membaik. Mulutnya memang sulit sekali untuk diatur. Semua kata yang berada dipikirannya langsung terluapkan begitu dia berbincang dengan Rizaldy. Dan hal itu yang selalu membuatnya berjarak. Tidak bisa menyaring hal mana yang harus ia ucapkan.
Keadaan yang kurang nyaman ini tak kunjung mereda. Angin yang selalu menyejukkan kini terasa seperti hunusan jarum. Mau sampai kapan hubungan diantara kedua saudara itu membaik?
"Mas... maaf," rintih Okta sebelum pergi menuju ruangannya.
Mata Okta berkaca-kaca. Masalahnya dengan Rizaldy belum terselesaikan. Di tambah Raka yang membuat perasaannya campur aduk. Mengurungnya dalam rangkaian kalimat tanpa titik. Hidupnya begitu pedih.
Dan Rizaldy tengah merebahkan dirinya. Menatap langit-langit kamar. Banyak sekali pikiran yang terlintas di dalam kepalanya. Tak ada satupun solusi selain menjauh dari Ayah dan Anak itu.
Tetapi, hal kecil tersebut bahkan tidak bisa Rizaldy bayangkan atau impikan. Satu-satunya yang jadi penghalang adalah Okta. Walau pergi jauh dari kediaman inipun, Argi akan tetap pergi mencarinya.
Apa lagi jika anak perempuannya itu terluka. Entah itu perasaan atau fisiknya. Argi hanya mencari pelampiasan karena tidak bisa menjaga anaknya, seperti halnya mendiang istirnya. Dan tempat yang paling tepat untuk melampiaskan perasaannya adalah Rizaldy seorang.
Entah sampai kapan lagi pria itu bisa bertahan dengan segala kesalahan yang terus dilimpahkan padanya. Cacian serta makian sudah seperti makanannya sehari-hari. Tak pernah bosan pula Argi mengatakan hal-hal yang begitu menyakitkan pada anaknya sendiri.
A/N:
Gue ngerasa kasian banget sama si Rizaldy. Gue kadang merasa ada di posisi dia. Ya, walau dia lebih parah dari gue, sih. Tapi kadang, jadi anak pertama itu gak enak. Kadang gue pengen banget rangkul Rizaldy. Dan bilang kalau hidup memang sesulit itu.
Tapi gue harap, kalian tetap baik-baik aja sama keluarga kalian. Belum terlambat buat minta maaf sekarang. Gue gak pengen lihat kalian nyesal. Jangan sampe, ya?
As always,
Be wise, Darling.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top