8. Fenomena Tak Biasa
Langit-langit kayu.
Itulah benda yang pertama kali dilihat oleh kedua mata biru Scarlet. Itu bukan langit-langit kamarnya. Langit-langit kamarnya datar, bukan segitiga seperti ruangan ini. Pun kasur bulu angsa berseprai biru muda yang ia tiduri bukan miliknya. Demikian pula halnya dengan gaun tidur berwarna putih yang dikenakannya. Sinar matahari menembus jendela bertirai putih di dinding sebelah kirinya, cahayanya lembut menerangi seluruh ruangan.
Pelan-pelan Scarlet mencoba bangun. Seketika itu ia mengerang, lalu kembali menjatuhkan tubuh ke kasur. Memang bodoh yang ia lakukan, mencoba menumpukan badan pada siku kanan sedang bahunya masih terluka parah. Apa boleh buat, sudah kebiasaan. Sekonyong-konyong, ia mendengar langkah-langkah kaki menaiki tangga. Kembali ia membaringkan diri. Tak lama kemudian, pintu kamar pun terbuka, dan wajah seorang lelaki menyembul dari baliknya.
“Kau sudah bangun! Bagus!” Lelaki itu berjalan masuk. Scarlet mengenalinya. Dialah Sal Fischer, dokter di Desa Chartain. Usianya baru menginjak awal tiga puluh tahunan. Baru setahun lalu ia berpraktik di Desa Chartain, menggantikan dokter sebelumnya yang pensiun setelah berdinas selama hampir empat puluh tahun. Setahu Scarlet, jas lab lusuh hampir tak pernah absen membungkus tubuhnya yang tinggi dan kurus. Ditambah rambut cokelat keriting dan kaca mata bulat, penampilannya lebih mirip ilmuwan gila daripada dokter desa. Meski penampilannya cukup nyentrik, semangat dan keahliannya telah membuatnya disukai warga desa.
“Ibumu mengirimkan sup ayam kesukaanmu. Tadinya ia mau menjengukmu, tapi lebih baik kau kuberi waktu beristirahat sedikit lagi.” Sal meletakkan sebuah rantang pada meja kecil di samping ranjang Scarlet. Kemudian ia buka sebuah meja lipat yang ia ambil dari kolong ranjang, lalu ditatanya makanan itu di atasnya.
“Uh, Dokter Fischer, pukul berapa sekarang?” tanya Scarlet, matanya mencari-cari jam.
“Setengah sebelas. Tenang, masih pagi! Masih waktu yang tepat untuk sarapan.” Sal membantu Scarlet duduk di ranjang, lalu menyajikan sarapan di depannya. “Waktu kau tiba di sini, kau sudah kehilangan banyak darah. Jujur saja, itu operasi paling menegangkan yang pernah kulakukan pada pukul tiga pagi! Yah, paling tidak kau selamat, dan aku cukup bangga pada diriku sendiri karenanya.” Ia tertawa kecil.
Scarlet membalas dengan anggukan kecil. Sup ayam buatan ibunya terasa sangat lezat, meski ia harus makan perlahan-lahan dengan tangan kiri. Beberapa kali ia kesulitan menyendok, dan kuah jadi bertetesan di meja portabel itu. Ugh, rasanya seperti ia anak kecil saja!
“Kau tahu, begitu jahitan di bahumu sembuh, kau akan bisa menggunakan tangan kananmu seperti tidak pernah terjadi apa-apa.” Sal berusaha menghiburnya. “Kau beruntung makhluk itu tidak memutus sarafmu. Kalau itu yang terjadi, yah, hanya keajaiban yang bisa membuatmu mampu menggerakkan tangan kananmu lagi.”
Kembali, Scarlet hanya memberi anggukan kecil. Sekarang, setelah ia sadar sepenuhnya, gadis itu teringat pada suatu hal yang merisaukannya. Bila ia memikirkan hal itu matang-matang, kemarin malam, rasanya mustahil kawan-kawannya bisa jadi sangat ketakutan hanya karena melihat penampilannya yang kacau. Hati kecilnya yakin bahwa ada peristiwa luar biasa yang mereka saksikan. Beberapa suapan kemudian, ia memberanikan diri untuk berbicara.
“Dokter Fischer, kurasa sesuatu yang sangat aneh terjadi pada diriku kemarin malam," ujarnya ragu-ragu. “Saat menghadapi Anomali itu, tiba-tiba aku merasa seperti bukan diriku sendiri. Ah, bagaimana aku harus menjelaskannya, ya? Rasanya pikiranku seperti dikendalikan oleh satu hal, yaitu keinginan untuk membunuh makhluk itu. Aku bahkan hampir tidak bisa merasakan sakit sampai semua itu berakhir! Anehnya, rasa haus darah itu tidak hilang begitu makhluk itu tewas. Baru setelah kulihat teman-temanku berdiri di ambang pintu, aku merasa kembali lagi jadi diri sendiri.”
“Ah, mengenai itu ....” Mendadak, ekspresi wajah Sal Fischer berubah gugup. Kedua tangannya ditangkupkan di atas pangkuan. Dahinya berkerut selagi ia mencari kata-kata yang pas.
“Ada sesuatu yang salah, bukan?” Scarlet menatap Sal lekat-lekat. “Kenyataan bahwa aku dapat mengimbangi kelincahan makhluk itu saja sudah merupakan hal yang aneh. Ditambah lagi, ketika teman-temanku melihatku ...,” Scarlet menghela napas panjang, “mereka tampak sangat ketakutan.”
Sal menyandarkan punggung di kursi. Jari-jemarinya memainkan rambutnya yang keriting. Scarlet terus memperhatikan wajah lelaki itu. Aneh, ia tampak gugup, batin Scarlet. Itu sama sekali bukan pertanda baik. Namun, sejurus kemudian, sebuah kilatan ide muncul di mata lelaki itu. Ia duduk tegak, lalu menatap Scarlet lekat-lekat.
“Scarlet, apa yang kamu ketahui tentang werewolf?” tanyanya tiba-tiba. Scarlet memandangnya seolah-olah dokter itu sudah kehilangan akal. Untuk apa ia mengalihkan topik pembicaraan? Kalau saja gadis itu tidak sangat menginginkan jawaban, pasti sudah ia sudahi pembicaraan itu.
“Yah, mereka sudah ada sejak ratusan tahun lalu, dan hanya muncul di malam hari. Di siang hari, mereka tidak bisa dibedakan dari manusia biasa. Ada yang hidup tersembunyi di hutan, tetapi kemungkinan besar lebih banyak yang hidup berbaur di antara manusia di kota. Sinar bulan memicu perubahan mereka. Makin kuat sinarnya, makin kuat pula mereka. Saat berada dalam wujud werewolf, mereka kehilangan sifat kemanusiaan mereka. Insting pemangsa mengambil alih, mengubah mereka jadi makhluk-makhluk berbahaya. Oleh karena itu, hukum kerajaan menyatakan bahwa werewolf legal untuk dibunuh.”
Scarlet menjawab dengan tenang. Temponya datar dan cepat, seperti orang yang sedang menjawab ujian lisan. Apa boleh buat, itulah salah satu materi pertama yang ia pelajari waktu memulai pelatihan sebagai pemburu. Masih segar di benaknya hari-hari ketika ia begadang untuk menghafalkan frasa itu beserta materi-materi lainnya sebelum ujian.
Seulas senyum tipis muncul di bibir Sal. Meski begitu, tatapan matanya masih terlihat gundah. Tampak benar kalau ia sedang berusaha mengulur waktu. Diam-diam, Scarlet jadi ikut resah dibuatnya. Resah, sekaligus kesal. Ia paling sebal kalau ada orang yang menganggapnya terlalu sensitif untuk menerima kabar buruk. Bagi Scarlet, kabar buruk sudah seharusnya dihadapi. Toh kabar itu tidak bisa dihindari selamanya.
“Agaknya Seneca benar waktu mengatakan bahwa kau adalah salah satu murid terbaiknya,” balas Sal, masih mengulur waktu. “Kau benar-benar mengerti apa yang kauhadapi sehari-hari.”
“Dokter Fischer, tolong langsung saja pada inti permasalahan.” Suara Scarlet meninggi. Sal tersentak dibuatnya. Ragu-ragu, pria itu menumpuk peralatan makan yang sudah kosong, lalu menyisihkannya ke meja kecil di tepi ranjang. Ugh, Scarlet benci melihat pria yang tidak tegas seperti itu. Seandainya Sal Fischer adalah bagian dari skuad pemburu, Scarlet yakin pria itu akan mati pada misi pertamanya.
“Yah, kurasa tidak ada gunanya aku menyembunyikan hal ini darimu.” Akhirnya Sal menyerah. Ada nada kepasrahan yang kentara dalam suaranya. “Kau adalah sebuah fenomena medis yang aneh, Scarlet. Meski kau telah menjalani sebagian besar hidupmu sebagai manusia biasa, kejadian yang kaualami kemarin menunjukkan bahwa kau mampu bertransformasi menjadi manusia setengah werewolf tanpa sepenuhnya kehilangan kendali diri.”
“Er, apa?”
Dari seluruh skenario berita buruk yang dapat dipikirkan oleh otak Scarlet, tak satu pun yang mempersiapkannya untuk menerima kabar ini. Ingatan-ingatan samar berkelebat dalam benaknya. Bagaimana dari sudut matanya ia menyaksikan sendiri proses perubahan pada tangannya, tetapi mengiranya sebagai imajinasi semata. Bagaimana mata Anomali itu melebar penuh keheranan ketika ia berhasil melepaskan diri. Tiba-tiba, teror dan kekagetan di wajah teman-teman gadis itu jadi punya penjelasan yang lebih masuk akal.
“Kau pasti bercanda, Dokter Fischer.” Scarlet berucap pelan. Komedi ironis macam apa ini? pikirnya. Ia, yang selama ini mendedikasikan hidupnya untuk memburu werewolf, sebenarnya adalah salah satu dari mereka? Tidak, ia tidak terima disamakan dengan makhluk-makhluk barbar itu. Yang benar saja, memangnya dari mana ia memperoleh kekuatan itu? Bukankah seluruh keluarganya adalah manusia?
Benarkah itu? Sebuah bisikan begema dalam benak Scarlet. Gadis itu menatap Sal dengan seksama, masih berharap lelaki itu akan meralat kata-katanya. Harapan itu, tentu saja, langsung sirna begitu Sal kembali membuka mulut.
“Maaf, Scarlet, tetapi aku tidak pernah bercanda mengenai diagnosis pasien-pasienku,” sahut Sal muram. “Sungguh, sebenarnya aku juga tidak ingin mengatakan hal ini.”
Mendadak, Scarlet tersentak. Pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi berpusar dalam otaknya telah membuka salah satu memori terdalamnya, yang bertahun-tahun terkunci di sudut alam bawah sadarnya. Bukan pertama kali ini ia menyaksikan seorang yang lama hidup sebagai manusia biasa tiba-tiba bertransformasi menjadi werewolf. Ia ingat, di malam penentu nasibnya sepuluh tahun lalu, tidak ada orang lain di rumah selain ia dan neneknya. Dengan mata kepalanya sendiri, gadis itu menyaksikan nenek yang sangat mencintainya berubah jadi makhluk yang ingin merenggut nyawanya. Gadis itu terbelalak ngeri ketika ia menyadari apa yang telah dilakukannya.
Sepuluh tahun yang lalu, Scarlet Dixon membunuh neneknya sendiri.
Gimana, sudah mulai misterius, belum? Ikuti terus ceritanya, ya! 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top