5. Penyintas Kecil
Ada nuansa melankolis tersendiri dalam pemandangan desa yang telah hancur. Betapa pun ia berusaha, Scarlet tidak bisa mengenyahkan rasa itu dari benaknya. Boneka yang tertelungkup di halaman depan, piring dan gelas yang ditinggalkan setengah terisi di meja makan, hiasan dinding yang terbakar setengah, serpihan-serpihan kertas surat. Siang tadi, rumah-rumah itu dipenuhi kehidupan. Sekarang, tidak ada yang tersisa. Kini, setiap kali ia melangkah memeriksa suatu rumah dan tidak menemukan mayat, Scarlet hanya bisa berdoa semoga penghuninya sempat menyelamatkan diri.
“Kamar tidur aman!” Scarlet melangkah menghampiri teman-temannya di ruang keluarga sebuah rumah. Sudah sepuluh rumah yang mereka periksa. Sekali mereka bertemu werewolf terluka, tetapi si werewolf abnormal belum kelihatan batang hidungnya.
“Semua lengkap? Baik, kita lanjutkan ke rumah berikutnya,” ujar Jess datar. Sejurus kemudian, ia melambaikan tangan, mencegah para rekannya pergi.
“Ada apa?” sahut Seneca kesal.
“Tunggu dulu. Aku mulai merasa ini tidak efektif. Jumlah kita terlalu banyak. Tentu makhluk itu sudah berpindah tempat begitu mendengar langkah kaki kita.” Jess menyilangkan lengan di depan dada.
“Sialan, pada akhirnya kita terperangkap dalam permainannya, eh? Bila kita berpencar, ia akan menampakkan diri dan berusaha membunuh kita. Bila kita tetap bersama, ia akan mencari celah untuk kabur, dan akan menyerang lagi di lain hari. Yah, apa pilihanmu?” Seneca mengangkat bahu. “Kalau kau bertanya padaku, kurasa tidak ada salahnya berpencar dalam grup-grup kecil. Kemampuan anak-anak ini sudah lumayan.” Jari telunjuknya bergerak menandai beberapa orang dari kumpulan anak buahnya. Paling akhir, jari itu terarah pada Scarlet.
“Nah, bagi yang kena tunjuk, bawa dua anggota lain dan pergilah berpencar.” Seneca bahkan tidak memberikan kesempatan bagi Scarlet untuk bertanya-tanya. Setelah sadar dari kagetnya, cepat-cepat gadis itu melirik kedua sahabatnya, yang sayangnya telah menemukan kelompok mereka masing-masing. Sean hanya memberinya senyum dan acungan jempol, sementara Sawyer berujar lebih frontal.
“Semoga beruntung!” Pemuda itu menyeringai jenaka, lalu pergi dengan kelompoknya memasuki sisa-sisa toko kelontong.
“Sialan kalian semua.” Scarlet hanya bisa menyahut, separuh kesal dan separuh geli. Tentu saja ia tidak bisa marah pada sahabat-sahabatnya sendiri. Lagipula, ia tahu Seneca tidak akan membiarkannya mengambil kedua pemuda itu dalam timnya. Secara kemampuan, mereka bertiga terlalu setara. Kalau alasan mengapa hanya Scarlet yang ditunjuk jadi ketua tim, gadis itu tidak tahu. Seperti sebagian besar pemburu lainnya, ia seringkali tidak bisa menebak jalan pikiran lelaki itu.
Scarlet melihat berkeliling. Ah, Drew masih mencari-cari kelompok. Kalau Drew bisa mengatasi sifat gampang paniknya, Scarlet tahu anak itu sebenarnya cukup gesit. Ia panggil satu orang anggota junior lagi, seorang remaja tinggi berkulit gelap bernama David West. Scarlet mengenalnya sebagai seorang anak yang diselamatkan warga desa beberapa tahun lampau dari sebuah kereta kuda beratap terpal setelah para werewolf merenggut nyawa orang tua dan adik-adiknya. Dalam beberapa hal, Scarlet merasa nasib mereka berdua agak mirip, dan itulah sebabnya ia ingat betul nama remaja itu. Bersama-sama, ketiga pemburu itu memulai misi mereka.
***
Ketiga pemburu itu mengambil jalan ke Timur, melintasi bagian belakang desa. Di area itu, rumah-rumah berdiri berjauh-jauhan, dikelilingi halaman luas berumput dan kandang-kandang ternak. Meski api tidak mencapai area itu, tetapi jelas para werewolf tidak melewatkannya. Tubuh-tubuh tak bernyawa jadi saksi utama, daun pintu dan jendela yang tinggal serpihan jadi saksi pendukungnya.
Salah satu rumah tampak berada dalam keadaan yang lebih baik dibanding tetangga-tetangganya. Memang pintu pagarnya terbuka lebar, tetapi pintu itu masih utuh. Tampak jelas kalau seseorang sengaja membukanya. Perlahan, ketiga pemburu itu melangkah ke dalam. Tempat itu sunyi. Beberapa bangkai werewolf tergeletak berjajar di bawah sebuah pohon besar. Di sekitarnya, lima manusia terbaring tak sadarkan diri.
“Ayo periksa, siapa tahu ada yang selamat,” ujar Scarlet. Gadis itu melangkah berhati-hati, menghampiri sesosok pemuda berjaket hitam yang tertelungkup di balik sebuah peti kayu. Perlahan ia mengitari peti itu, sehingga kini ia dapat melihat keseluruhan tubuh orang itu.
Bahkan dalam perburuan terbesarnya, belum pernah Scarlet melihat cedera separah yang dialami pemuda malang itu. Sebuah bekas cakaran besar melintang mencabik puggungnya. Bekas-bekas gigitan terlihat di sepanjang kaki kanan dan tangan kirinya. Scarlet yakin betul kalau ia dapat melihat tulang di balik segala daging yang robek itu. Satu-satunya yang menghibur gadis itu adalah kenyataan bahwa sosok itu sudah mati, karena ia benar-benar tidak dapat membayangkan rasa sakit yang dialami sosok itu pada menit-menit terakhir kehidupannya. Kalau saja ia tidak ingat bahwa kedua juniornya ada bersamanya, Scarlet pasti sudah menjerit. Ia cepat-cepat menjauh, lalu duduk di teras rumah.
“Hei, Scarlet, semua mayat ini anggota pemburu dari Desa Whittington!” Drew berlari-lari melapor, mengabaikan wajah pucat seniornya.
“Kami tidak berhasil menemukan penyintas. Ngomong-ngomong, apa kau baik-baik saja?” David bertanya dengan suara lebih pengertian.
“Anomali itu pernah ada di sini,” sahut Scarlet singkat. Ia duduk dengan kaki terlipat menempel ke dada, tangan kanannya memegang dahi. Ia tahu bukan saatnya untuk takut. Ia tahu ia tidak boleh meracuni mental para juniornya dengan pesimisme. Namun, pertanyaan dalam benaknya menggelisahkannya.
Makhluk macam apa yang dapat menghabisi sekelompok pemburu sekaligus dengan mudahnya?
Mendadak, Scarlet menoleh ke belakang. Samar-samar, terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah tersebut. Derapnya cepat dan ringan melintasi lantai kayu, lalu menghilang secepat munculnya. Begitu halusnya suara itu, hingga ketiganya pasti akan melewatkannya kalau saja Scarlet tidak kebetulan berada di teras rumah.
“Kalian mendengarnya?” bisik Scarlet. Kedua juniornya mengangguk. Mereka tahu bukan werewolf asal suara itu. Yang mereka dengar adalah suara kaki telanjang manusia, tanpa ketukan khas dari kuku-kuku werewolf. Dengan hati-hati, mereka memasuki rumah itu. Tidak ada yang menarik perhatian, kecuali sebuah lemari besar berpintu kembar di kamar tidur utama. Pintunya seperti ditutup asal-asalan. Sesaat, ketiganya membisu. Lalu, bersama-sama, ketiganya membukanya.
“Waaaaah! Pergi! Pergi!” Suara jeritan anak-anak terdengar begitu sinar lentera yang dibawa David menyerbu masuk ke dalam lemari itu. Sesaat kemudian, seorang bocah laki-laki mengintip keluar dengan takut-takut. Usianya tidak lebih dari delapan tahun. Wajahnya kotor sekali, perpaduan sempurna ingus, debu, dan sarang laba-laba. Tangannya menggenggam sebuah gantungan baju dari kawat, benda terdekat yang bisa ia raih dari dalam lemari itu.
“Halo!” sapa Drew ramah. “Tenang, kami pemburu. Kau aman sekarang.”
“Ayo, keluarlah bersamaku.” David mengulurkan tangan, yang langsung disambut malu-malu oleh si bocah. “Kenalkan, namaku David. Ini kawanku Drew, dan itu seniorku, Scarlet. Siapa namamu?”
“Keith,” gumam anak itu singkat. Ia langsung bersembunyi di belakang David. Mata bulatnya memandangi Drew dan Scarlet penuh tanda tanya.
“Hei, Keith, mau tahu satu fakta yang keren? Kau satu-satunya orang yang kami temukan di daerah ini! Kau pemberani sekali. Mungkin, besar nanti, kau bisa bergabung bersama para pemburu!” Drew mencoba menyemangati anak itu.
“A ... apakah kalian tidak melihat Jane?” Setelah mendengar ucapan Drew, tiba-tiba anak itu bertanya dengan panik. “Jane itu adikku. Tingginya kira-kira sebahuku, rambutnya dikuncir dua dengan pita merah. Pipinya merah seperti buah persik. Kumohon, temukan dia ....” Anak itu tertunduk. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.
“Tenang saja, kami akan menemukan adikmu.” Scarlet mengusap kepala Keith. Dibimbingnya anak itu keluar, lalu diserahkannya pada David.
“Akan kubawa dia ke tempat pengungsian di gereja,” ujar David sambil menggandeng anak itu. “Setelah itu, aku akan segera kembali.”
“Kalian janji akan mencari Jane, kan? Sungguh?” Bocah itu berseru. Matanya terbuka lebar, menatap penuh harap pada para penolongnya. Scarlet tersenyum dan mengacungkan jempol. Memang tak seharusnya ia menjanjikan apa pun, tetapi ia tidak tega menghancurkan harapan anak itu. Barangkali, jauh di dalam lubuk hatinya, gadis itu pun juga berharap akan menemukan kehidupan lain di tengah ladang kematian yang tengah ia pijak. Sepeninggal David, gadis itu berpaling pada juniornya yang masih tinggal.
“Drew, periksalah rumah-rumah yang lain, tetapi jangan pergi terlalu jauh. Aku akan memeriksa ladang. Tetap waspada, oke?” ucap Scarlet pada juniornya. “Nanti, kalau David kembali, suruh ia bergabung bersamamu. Ingat, kalau kau menemukan Anomali, jangan kaulawan. Segeralah lari mencari yang lain.”
Drew mengacungkan jempol. Scarlet mengangguk, lalu mengedarkan pandang ke ladang jagung yang membentang luas di belakang rumah-rumah warga. Dengan mantap, ia langkahkan kaki menembus hamparan tanaman itu.
Maaf aku kelamaan meninggalkan kalian dalam cliffhanger, para pembacaku ಥ‿ಥ
Btw, part ini dulunya tidak berdiri sendiri di versi sebelumnya. Yep, selamat datang di salah satu bab baru! Selamat menikmati~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top