4. Tragedi Desa Whittington
Mustahil!”
Sekali lagi, Sawyer memandangi asap hitam yang membubung ke langit. Ya, rasanya memang mustahil serangan werewolf dapat memporak-porandakan sebuah desa dengan begitu mudahnya. Apalagi, Desa Whittington juga memiliki kesatuan pemburu sendiri. Namun, betapa pun tidak masuk akalnya, pemandangan malam itu adalah hal yang nyata. Itu berarti, para pemburu Desa Chartain harus lekas bertindak sebelum desa mereka bernasib sama.
“Sawyer! Scarlet dan aku sudah membalut luka-luka orang ini, tapi aku tidak bisa menghentikan pendarahan dari luka di punggungnya. Akan kupanggilkan dokter!” Fran berseru, lalu segera melesat pergi. Scarlet berlari kembali ke pos, lalu membunyikan bel. Kali ini lima kali bel berdentang, tanda serangan werewolf. Tak lama kemudian, Seneca dan para anggota senior lainnya muncul, kelihatan agak keheranan.
“Scarlet, apa maksudmu sebenarnya? Tadi kauberi sinyal kebakaran, dan sekarang serangan werewolf?” Ada nada kesal dalam suara Seneca. Namun, begitu ia menyaksikan apa yang terjadi, seketika itu air mukanya berubah. Dalam sekejap, ia berubah menjadi seorang komandan yang efisien, sigap membagi-bagikan tugas pada pasukannya.
“Tim Satu dan Dua, lindungi setiap jalan keluar-masuk desa. Tim Tiga dan Tim Empat, ambil kuda dan segera pergi ke Desa Whittington. Aku akan mengikuti kalian.” Seneca memperhatikan para pemburu bersiap-siap. “Ayo, Drew, jangan berdiri saja! Bahkan tikus pun lebih bernyali darimu! Fran, tunggu sebentar.” Begitu ia melihat Fran sudah kembali sambil membawa dokter desa dan sedang mempersiapkan kuda, segera ia menghentikan gadis itu.
“Fran, tinggal di sini dan bantu amankan desa. Tidak usah ikut berangkat.” Tanpa menoleh Seneca berujar, ringan tetapi tegas. “Akan jadi ironis kalau hari terakhirmu bekerja juga sekaligus jadi hari terakhirmu hidup di dunia, kan?”
Fran segera menoleh begitu mendengar hal itu, tetapi Seneca sudah berlalu. Sejenak gadis itu terdiam, tetapi rasa tanggung jawabnya segera mengambil alih dan membuatnya bergerak sesuai dengan perintah itu. Sementara itu, Scarlet dan Sean sudah berpacu di atas kuda masing-masing. Sawyer mengikuti di belakang mereka, sambil mengawasi Drew yang sejak tadi agaknya ingin kabur saja.
Semakin mendekati Desa Whittington, suara lolongan dan geraman terdengar makin jelas. Kuda-kuda mereka maju dengan gelisah. Tidak ada yang berani berbicara. Dari sudut matanya, Scarlet dapat melihat sosok-sosok hitam menguntit mereka di sela-sela pepohonan. Sepintas, gadis itu tampak tenang. Kedua tangannya menggenggam tali kekang, matanya mengawasi keadaan sekeliling. Namun, seluruh tubuhnya siaga. Sosok-sosok hitam itu tidak pernah lepas dari pengamatannya. Ia tahu, hanya tinggal tunggu waktu sampai para werewolf itu menyergap mereka.
Sebuah raungan dari sisi kiri Scarlet menandai awal serangan itu. Hampir bersamaan, seekor werewolf berbulu kelabu menerjang ke arahnya. Secepat kilat tangan kanan Scarlet mengayunkan kapaknya, sedangkan tangan kirinya erat mencengkeram tali kekang. Tidak kena. Karena ia hanya melakukannya dengan satu tangan, Scarlet tidak bisa terlalu mengendalikan arah dan tenaga tebasannya. Kuda yang ditunggangi Scarlet meringkik keras, nyaris melemparkan penunggangnya ke tanah.
“Nightshade, tenang!” Buru-buru ia menarik tali kekang kuda hitam itu. Werewolf yang tadi menargetnya sekarang menerkam Sean dari depan.
“Ah, setan!” Sean buru-buru menghindar ke samping sembari menebaskan pedangnya. Terdengar raungan marah, disertai sedikit percikan hangat ke pakaian dan wajah Sean. Penasaran, pemuda itu melemparkan pandangan cepat ke belakang. Werewolf itu berdiri tegak menatapnya. Mata merah monster itu bernyala-nyala penuh nafsu membunuh. Walau sebuah goresan panjang melintang miring di dadanya, hanya sedikit darah yang keluar. Dalam hati, Sean merutuk. Seandainya ia menambah sedikit tekanan pada ayunan pedangnya, tentu ia dapat menghasilkan luka yang fatal. Dengan goresan seringan itu, bukan hanya si werewolf masih bisa menyerang, tetapi ia kini cukup marah untuk menjadikan Sean sebagai target utamanya.
Sean memacu kudanya. Tidak perlu usaha keras untuk membuat kuda yang sudah ketakutan itu lari tunggang langgang. Memang posisi mereka tidak menguntungkan. Mereka tidak terbiasa bertarung sambil mengendarai kuda, dan asap dari Desa Whittington mulai terasa memedihkan mata. Satu-satunya keinginan Sean sekarang adalah tiba di tujuan.
“Sean, merunduk!” Ia dengar Scarlet berteriak. Sebilah pisau melesat tepat di atas kepala Sean, lalu menancap di mata kiri werewolf yang hendak menerkamnya. Makhluk itu terlempar ke tanah sambil meraung kesakitan. Namun, ia masih belum menyerah. Baru saja makhluk itu bangkit, tembakan panah Sawyer menembus kepalanya, mengakhiri sepak terjang werewolf itu selamanya.
“Kaulihat itu? Pisauku bekerja,” ujar Scarlet dengan seringai puas.
“Terima kasih, Scarlet dan Sawyer!” seru Sean. “Sawyer, Drew, bagaimana keadaan di belakang?”
“Tidak begitu baik, tapi kami berusaha!” Sawyer berseru dari belakang. “Drew benar-benar memasuki mode panik di atas kudanya. Dia agaknya kehilangan kemampuan untuk menanggapi apa pun yang kukatakan, tapi sejauh ini ayunan liar parangnya mampu mencegah monster-monster sialan itu mendekatinya. Aku sendiri mendapatkan dua pengikut kecil yang menyebalkan‒ Ah, itu mereka lagi! Maaf, bicara lagi nanti!”
Kembali terdengar beberapa desing panah dari belakang. Beruntunglah, para pemburu lain datang menyusul, membunuh beberapa werewolf dalam perjalanan mereka. Penambahan jumlah petarung membuat segan para werewolf yang tersisa. Mereka berpencar dan menghilang di kegelapan hutan, menggeram-geram memperingatkan bahwa mereka akan kembali di lain waktu.
***
Ketika para pemburu tiba di Desa Whittington, mereka hampir-hampir tidak dapat mengenalinya. Gerbangnya terbuka lebar, para penjaganya bergelimpangan. Balai desa, yang dulunya megah, telah roboh menjadi puing-puing hangus. Dilihat dari keparahan kerusakannya, sepertinya dari situlah api berasal. Api masih berkobar di beberapa rumah warga. Di sana-sini terdengar teriakan dan jeritan manusia, bercampur baur dengan raungan werewolf.
Warga yang selamat berdesak-desakan dalam gedung gereja, bangunan paling kokoh di desa itu saat ini. Sebagian besar hanya membawa pakaian yang melekat di badan. Di sana sini terdengar tangisan anak-anak. Sebagian orang merawat para korban luka, sedang sebagian lagi berjaga di pelataran dengan senjata seadanya.
“Ah, syukurlah kalian datang. Di sini benar-benar kacau! Ikut aku!” Seorang wanita berpakaian serba hitam berlari menghampiri mereka. Ia terlihat sama kacaunya dengan pemandangan di sekitarnya. Namun, bukan luka berbalut kain perca di pahanya yang membuat Seneca tertegun. Bukan pula tongkat patah bernoda darah dalam genggamannya, atau pakaian dan rambut yang serba kusut. Wajah wanita itulah penyebabnya. Seneca tahu ia bukan orang sembarangan. Wanita itu adalah Jess Hartman, komandan pemburu Desa Whittington. Sampai malam ini, Seneca benar-benar tidak pernah menduga bahwa akan ada kejadian yang mampu menerakan teror begitu rupa di wajah wanita itu.
“Anomali?” tanya Seneca dengan suara rendah. Satu anggukan kecil dari Jess sudah cukup untuk menanamkan ketegangan dalam dirinya. Ia tahu, malam ini akan terjadi pertempuran besar.
“Tidak usah khawatir akan para werewolf biasa! Orang-orangku masih bisa mengatasi mereka. Yang kubutuhkan darimu adalah bantuan untuk melacak dan melumpuhkan Anomali itu.” Jess buru-buru menambahkan. “Yang berhasil kuketahui, werewolf itu pandai menyembunyikan dirinya dalam celah-celah sempit, dan menyerang tiba-tiba dari balik kegelapan. Ia juga lebih pandai daripada werewolf biasa. Berhati-hatilah pada kolong tempat tidur, ceruk perapian, lemari baju, dan benda-benda semacam itu. Makhluk itulah yang membuka jalan untuk semua kekacauan ini.”
“Kau yakin kau tidak ingin beristirahat dan menyerahkan misi ini pada kami, Jess? Kau terlihat buruk.” Begitu ia melihat langkah wanita itu terpincang-pincang, Seneca tidak tahan untuk tidak berkomentar. “Apalagi kau kehilangan senjatamu.”
“Memangnya kau akan melakukan hal itu kalau ada di posisiku?” sahut Jess sengit. Ia lemparkan sisa tongkatnya ke tanah, lalu diambilnya sebilah pedang dari tangan salah seorang anak buahnya yang tewas.
“Nah, sekarang aku sudah siap,” ujarnya dingin. Bersama-sama, gabungan pemburu dua desa itu pun menelusuri puing-puing desa, berharap mampu menyergap sosok yang bertanggung jawab atas kehancuran itu.
Akhirnya sampailah kita ke babak action pertama! Waktu sedang mengedit, aku menyadari banyak bagian narasi di versi sebelumnya yang seperti dinding saking panjangnya. Semoga sekarang adegannya lebih enak dibaca, ya!
(♡ω♡ ) ~♪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top