3. Teror di Malam Purnama
Nyala api menerangi deretan pemuda dan pemudi yang berkumpul di alun-alun Desa Chartain. Tubuh-tubuh berbaris tegap penuh energi, kontras dengan kesunyian dan kegelapan rumah-rumah di sekitar mereka. Ketika warga desa menyudahi kegiatan mereka, saat itulah para pemburu mulai bekerja. Setiap malam mereka berpatroli sesuai giliran jaga di sekitar pagar desa, siap mengantisipasi kalau-kalau para werewolf membobol pagar dan memasuki desa.
Di antara para lelaki, Scarlet Dixon berdiri. Dengan sudut matanya, ia melirik satu-satunya perempuan lain dalam kumpulan itu. Fran, gadis mungil berambut hitam yang hanya tiga bulan lebih tua dari Scarlet. Ia dan Scarlet bergabung pada hari yang sama, tiga tahun lalu. Malam ini adalah malam terakhirnya di skuad pemburu sebelum ia berhenti untuk mempersiapkan pernikahannya. Setelah ini, Scarlet akan benar-benar menjadi satu-satunya wanita di sana.
Scarlet menarik napas panjang. Bisa ia rasakan beban kapak yang tersandang di punggungnya. Tentu itu bukan kapak yang sama dengan benda karatan yang menyelamatkan hidupnya enam tahun lalu. Kapak itu baru, dibuat khusus untuknya ketika ia memutuskan untuk menjadi anggota pemburu penuh waktu. Bisa ia rasakan pisau-pisau lempar kecil di tas pinggangnya ikut bergeser setiap kali kakinya bergerak. Bisa ia rasakan tudung merahnya melambai-lambai diterpa angin malam, membuat bayangnya terlihat makin mencekam.
Kalau kau ingin lanjut, baiklah, Namun, jika ingin berhenti, sekaranglah saatnya.
Suara itu muncul tanpa permisi dalam benak Scarlet. Kembali ia teringat pada keresahannya siang tadi. Ini bukanlah patroli pertamanya, jadi seharusnya tidak ada alasan baginya untuk merasa serisau itu. Mulai irikah ia pada kehidupan teman-temannya? Ataukah itu sinyal bahwa sesuatu yang besar akan terjadi malam ini? Scarlet benar-benar tidak mengerti.
“Ada apa?”
Mendadak, sebuah sentuhan ringan menyapu tangan Scarlet. Sedikit terperanjat, gadis itu menoleh. Mata biru gelap Sean memandangnya penuh perhatian.
“Apa semua baik-baik saja? Kau agak aneh hari ini.” Suara Sean membawa Scarlet kembali pada kenyataan. Ingat alasanmu di sini, Scarlet, suara lain bergaung di benaknya. Buru-buru disingkirkannya lamunannya jauh-jauh. Gadis itu tersenyum, berharap ia bisa meyakinkan Sean bahwa semuanya sungguh baik-baik saja. Di atas mereka, bulan purnama bersinar terang, sesekali hilang dan timbul di balik awan-awan yang berarak. Mungkin itu sebabnya aku terus berpikir yang aneh-aneh sejak tadi, batin Scarlet.
“Perhatian, semuanya!” Suara lantang Seneca menembus dinginnya udara malam, membawa seluruh perhatian para anggota kelompok pemburu tertuju padanya. Enam tahun berlalu sudah, tetapi gaya dan pembawaan Seneca masih sama seperti dulu. Pria yang lincah, blak-blakan, beraura sedikit licik, tetapi juga memiliki daya pikat yang khas. Saat ini, ialah komandan dari kelompok informal itu. Ya, memang informal. Selama bertahun-tahun, mayoritas kelompok pemburu di Kerajaan Sonneval bertahan dengan tekad mandiri masyarakat untuk melindungi diri.
Tanpa perlu ada yang memberitahu, warga desa-desa kecil seperti Desa Chartain sudah paham bahwa pemerintah tidak mau membuang-buang anggaran militer mereka yang berharga untuk melindungi daerah-daerah yang tidak terlalu vital bagi jalannya kerajaan. Entah apakah anggaran itu digunakan dengan semestinya, atau hilang dalam perut tikus-tikus berdarah biru di istana, warga tidak tahu. Warga Chartain juga tidak terlalu peduli. Di saat urusan mencari makan dan bertahan hidup jadi masalah utama sehari-hari, urusan politik dan orang-orang bangsawan terletak di prioritas terbawah.
“Seperti yang bisa kalian lihat sendiri, malam ini bulan purnama.” Seneca menuding ke langit, sedang tangan satunya diletakkan pada posisi berkacak pinggang. “Kalian pasti sudah tahu apa artinya. Malam ini, kita harus meningkatkan penjagaan. Khusus para anggota junior, kalau kalian menemukan werewolf yang bentuk, ukuran, atau warnanya berbeda dengan werewolf lazimnya, segera lapor padaku atau anggota senior lain. Jangan coba-coba kalian hadapi mereka sendiri."
Scarlet dan sahabat-sahabatnya paham betul arti peringatan itu. Sejalan dengan legenda-legenda yang digaungkan di berbagai negara, bulan purnama merupakan saat para werewolf mencapai puncak kekuatan mereka. Terkadang, muncul werewolf yang memiliki kekuatan jauh di atas rata-rata werewolf biasa. Para penduduk Kerajaan Sonneval menyebut makhluk-makhluk itu Anomali.
Fakta bahwa Scarlet belum pernah melihatnya secara langsung tidak dapat mengingkari sejumlah laporan dari berbagai wilayah tentang keberadaan mereka. Werewolf yang merayap di dinding, menyerang dari dalam air, berpindah tempat dengan kecepatan luar biasa, semua jadi kisah yang diceritakan turun temurun oleh orang-orang tua pada anak mereka. Tadinya Scarlet sangsi, tapi bila Seneca sendiri yang mengatakannya, pastilah itu hal yang nyata.
Pengarahan malam itu singkat saja. Seusai pengarahan, para pemburu berpatroli sesuai kelompok dan wilayah yang sudah disepakati. Malam itu, Scarlet bersama dengan Sean, Sawyer, Fran, serta seorang anggota baru. Drew Baker, remaja lima belas tahun yang penuh semangat, tapi masih sering ceroboh. Seperti biasa pula, mereka ditugaskan di dekat Gerbang Selatan. Jalan di balik gerbang itu membentang sejauh satu setengah kilometer menembus hutan ke Desa Whittington, desa tetangga yang sama-sama merupakan wilayah pertanian.
Malam itu sungguh hening. Langit musim semi sedikit berawan, tetapi kelihatannya kecil kemungkinan akan hujan. Tumbuh-tumbuhan berdiri diam, tanpa angin sepoi yang membuai. Hanya sayup-sayup terdengar suara jangkrik dan burung hantu dari kejauhan. Setelah memeriksa daerah lingkup tugas mereka, kelima orang itu berkumpul di pos penjagaan di depan gerbang.
“Malam ini sepi sekali, ya?” Sean menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas desa. Memang hanya pagar semi permanen dari kayu setinggi lima meter yang mampu dibangun oleh warga Desa Chartain untuk melindungi diri, tetapi kayu-kayu gelondongan yang dijajar vertikal itu sejauh ini berhasil menghindarkan desa dari kerusakan parah setiap ada serangan.
“Memang. Aku sudah menyorotkan lenteraku ke sekitar sini, dan sejauh ini tidak ada ancaman terlihat,” sahut Scarlet. “Mungkinkah keadaannya setenang ini juga di pos-pos lain?”
“Mari kita berharap supaya malam ini jadi malam yang tenang untuk kita. Bukannya aku mengatakan ini karena ini hari terakhirku bekerja, tapi, yah, hari-hari yang tenang adalah berkat, kan?” Fran menambahkan dengan suaranya yang ringan dan merdu.
“Ah, yang benar saja!” Drew melompat turun dari tunggul pohon yang ia duduki di depan pos begitu mendengar ucapan Fran. “Kukira aku akan menghadapi werewolf sungguhan hari ini! Ugh, haruskah kita tetap diam menunggu di sini sampai pagi?”
“Ssh, diam!”
Sawyer, yang sedari tadi duduk berselonjor di lantai pos sambil memejamkan mata seperti sedang tidur, mendadak mengangkat kepalanya dan mengisyaratkan teman-temannya untuk diam. Setelah kesunyian kembali mengelilingi mereka, barulah mereka mendengar suara lolongan bersahut-sahutan di sela-sela bunyi-bunyian serangga malam. Kedengarannya memang jauh sekali, tetapi jumlah lolongan yang terdengar jauh lebih banyak daripada yang pernah mereka dengar sebelumnya.
“A ... apa itu?” Drew mencicit, buru-buru masuk ke dalam pos. Tidak ada yang menjawab. Semua diam mendengarkan sembari menggenggam senjata erat-erat.
“Aku akan periksa.” Sawyer melangkah keluar sembari mengeluarkan teropongnya. Yang lain siaga dengan senjata masing-masing, mata mereka lekat mengawasi Sawyer. Tampak sinar berkedip-kedip dari arah desa tetangga. Sinar tersebut makin lama makin besar. Samar-samar asap hitam tebal membubung, membuat para pemuda itu yakin bahwa desa tetangga mereka sedang terbakar.
“Kebakaran! Kebakaran besar di Desa Whittington!” Sawyer berseru. Segera Scarlet lari menyambar tali lonceng dan membunyikannya tiga kali, isyarat untuk kebakaran. Belum sempat Sawyer menurunkan teropong, ia melihat sekelompok orang lari tunggang langgang ke arah mereka. Teror merayapi tengkuknya ketika satu persatu orang dari kelompok tersebut menghilang dalam kegelapan hutan, seolah ditarik sesuatu yang tak terlihat. Dengan tangan kirinya, ia memberi isyarat pada Sean untuk bersiap membuka gerbang.
“Tolong! Tolong!”
Begitu sampai ke gerbang Desa Chartain, kelompok pengungsi itu telah jauh mengecil, menyisakan hanya seorang pemuda. Jelaga, tanah, dan darah mewarnai baju pria itu yang tadinya putih. Kedua tangannya mencengkeram sebuah parang yang bilahnya patah. Sawyer mengenali parasnya sebagai salah satu pemburu dari Desa Whittington. Agaknya, pria itu pun mengenalinya pula. Begitu melihat Sawyer, ia menjatuhkan parangnya, lalu mencengkeram bahu Sawyer dengan kedua tangannya. Hanya seruan singkat yang berhasil ia ucapkan ketika Sawyer dan Scarlet memapahnya masuk melewati gerbang desa, sebelum ia jatuh tersungkur.
“Segera kirim bantuan! Desa Whittington diserang werewolf!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top