25. Misi Penyelamatan
Dua jam sebelumnya.
Dalam sekejap Seneca dan Sawyer sudah menggabungkan diri dengan Scarlet dan Sean di gudang belakang toko kelontong keluarga Hawkins. Waktu Sean pertama kali mengutarakan usulnya, Seneca menyangka pemuda itu sudah sinting. Bagaimana tidak, mau dinilai dari sisi mana pun, bersembunyi dan mengintai rumah tempat sekumpulan werewolf berkumpul terdengar seperti misi bunuh diri. Penciuman tajam werewolf tentu dapat mendeteksi bau mereka, dan membocorkan fakta bahwa Scarlet tidak datang sendirian. Namun, tak lama kemudian, ia menangkap jalan pikiran pemuda itu. Suatu ide sederhana, tetapi cerdas, yang memanfaatkan biologi werewolf.
“Kau bermaksud untuk memanfaatkan celah waktu ketika matahari masih ada dan para werewolf masih berwujud manusia, kan? Selama mereka belum bertransformasi, seharusnya indera penciuman dan pendengaran mereka masih seperti manusia biasa,” ujar Seneca.
“Benar.” Sean mengangguk. “Hanya, kita tak bisa terlalu dekat. Aku curiga bahwa, entah bagaimana, mereka bisa mencuri dengar pembicaraan kami dengan Dokter Fischer. Mungkin ada di antara mereka yang berpendengaran tajam.”
“Setidaknya, pemimpin mereka pastilah seekor Anomali. Di komunitas yang menjunjung tinggi hierarki, hampir mustahil seekor werewolf biasa bisa mendapatkan posisi sebagai pemimpin. Apalagi seseorang dengan jaringan sekuat Whiteford,” gumam Seneca. Dahinya berkerut, otaknya berpikir keras. Pernah sekilas ia mendengar nama itu dari para pemburu di desa-desa lain. Konon, sosok itulah yang berada di balik serangan-serangan werewolf paling mematikan di Kerajaan Sonneval. Entah benar atau tidak, yang jelas mereka tidak boleh lengah.
“Aku punya ide,” celetuk Scarlet mendadak. Sontak, seluruh mata beralih padanya. Gadis itu berdiri. Dengan tekad kuat terpancar di wajah ia memandang rekan-rekannya satu-persatu.
“Aku akan masuk sendirian. Akan kuulur waktu dan kuikuti permainan para werewolf itu hingga mereka lengah. Lalu, barulah kita sergap mereka,” jelas Scarlet mantap. “Dengan demikian, kesempatan untuk menyelamatkan Dokter Fischer lebih besar.”
“Hei, mana bisa begitu? Jangan!” Spontan, Sawyer berdiri dan menggeleng kuat-kuat.
“Kau ingin menempatkan dirimu sendiri sebagai umpan? Tidak, Scarlet. Aku tidak bisa mengizinkannya.” Dengan tegas Seneca menambahkan. “Aku tahu kau mungkin percaya diri dengan kekuatan werewolf barumu, tetapi itu terlalu berisiko. Bagiku pribadi, lebih baik membiarkan satu orang mati daripada kehilangan lebih banyak nyawa dalam upaya penyelamatan yang sia-sia.”
“Meski begitu, aku tidak bisa membiaran Dokter Fischer dalam bahaya! Gara-gara aku, Dokter Fischer diculik. Jadi, kalau sampai ia tewas karena aku tidak berbuat apa-apa, aku ...,” suara Scarlet merendah, “aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri.”
“Bagaimana menurutmu, Sean? Sejak tadi kau diam saja. Jangan mendadak bisu begitu, dong!” Sawyer melempar pandang pada Sean. Memang, lelaki yang sekarang diajak bicara itu sedari tadi hanya bungkam seraya berpikir keras. Ditodong pertanyaan seperti itu, Sean berdiri. Sembari menatap rekan-rekannya dengan serius, pria itu berbicara.
“Mungkin ini satu-satunya kesempatan kita untuk membawa Dokter Fischer keluar hidup-hidup. Aku juga tidak senang membayangkan Scarlet yang jadi umpannya, tapi aku tidak melihat jalan keluar lain. Yang penting, semua harus bekerja sama.”
Seneca menangkupkan kedua tangan. Ia perhatikan wajah-wajah anak buahnya yang menatap penuh penantian akan keputusannya. Ia benci ide ini. Ia bahkan tidak repot-repot berusaha menyembunyikan hal itu dari raut wajahnya. Namun, apa lagi yang bisa dilakukan? Pria itu menarik napas panjang, pasrah.
“Baiklah, aku setuju.” Seneca menatap mata Scarlet lekat-lekat. “Tapi ingat, Scarlet. Jangan melakukan hal-hal yang membahayakan. Jangan mencoba sok pahlawan dan bertindak sendiri.”
“Terima kasih, Seneca. Aku mengerti.” Scarlet mengangguk. “Aku janji tidak akan membahayakan Dokter Fischer. Kau bisa pegang kata-kataku.”
***
Itulah yang menancap di pikiran Scarlet ketika penyerbuan dimulai. Segera setelah para pemburu bermunculan, gadis itu berlari, menyelipkan diri di antara hadangan para werewolf. Pertama-tama, ia harus membawa Sal keluar dari kekacauan ini. Dengan satu lompatan, ia menyambar tubuh Sal. Begitu ia berbalik, ia lihat seekor werewolf mengayunkan lengan tepat ke arahnya. Terpaksa ia menggulingkan tubuh ke lantai, dengan masih membawa Sal bersamanya. Cukup keras keduanya jatuh menghantam lantai.
“Aduh! Apa yang terjadi?” Seketika Sal terbangun. Lelaki itu terheran-heran melihat keadaan sekitarnya. Begitu menyadari keberadaan para werewolf, lelaki itu terbelalak ngeri. Cepat-cepat ia palingkan pandangan pada gadis penyelamatnya.
“Penjelasannya nanti saja, Dokter Fischer! Sekarang, ayo keluar dari sini!” Segera Scarlet menarik kerah kemeja Sal. Terhuyung-huyung pria itu berdiri. Belum sempat mereka beranjak jauh, sudut mata Scarlet menangkap datangnya serangan lain. Kapaknya terayun, tepat menghadang kuku-kuku tajam si penyerang sebelum sempat menembus punggung Sal.
Tak jauh dari situ, Sawyer memantau dengan waswas. Sial bagi mereka, sepertinya para werewolf itu tahu betul Sal jadi target paling empuk untuk diserang. Di tengah kekacauan yang terjadi, kondisi baru bangun, ditambah tiadanya kacamata yang biasa menemani, pria itu praktis kebingungan menentukan arah keluar. Jadilah Scarlet direpotkan dengan dua tugas; menjaga Sal sekaligus melindungi diri sendiri. Ini tidak baik. Sawyer tahu, cepat atau lambat gadis itu akan kewalahan.
“Scarlet, merunduk!” seru Sawyer cepat. Panahnya melesat, menggores paha atas werewolf yang hendak menerjang Scarlet dari belakang. Diiringi raungan kesakitan, makhluk itu terjatuh. Kepalanya berpaling dan ganti menatap Sawyer dengan murka. Makhluk itu melontarkan badan ke depan, tepat ke arah pemuda itu yang masih berusaha mengisi crossbow-nya. Sesaat sebelum gigi-gigi tajam makhluk itu mengoyak tubuh Sawyer, sebuah tembakan keras menggema. Werewolf itu mendengking keras lalu jatuh tak bernyawa, darahnya terciprat ke wajah dan tubuh Sawyer.
“Terima kasih, Seneca!” Pemuda itu mengacungkan jempol. Yang diajak bicara hanya membalas dengan seringai tipis, lalu segera membidik werewolf lain. Sekali lagi senapan Seneca meluncurkan timah panas menembus kaki belakang werewolf berbulu cokelat yang memburu Sean. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan pemuda berambut pirang itu. Segera Sean berbalik dan menghunus pedang. Dengan satu gerakan cepat, ia menusuk werewolf itu tepat di jantung. Berhasil! Namun, ia tak sempat merayakan. Begitu ia yakin makhluk itu telah tewas, langsung ia beralih menghadapi werewolf lain yang berusaha meraih Scarlet.
“Pergilah, Scarlet! Kami akan menahan mereka,” ujar Sean pada Scarlet. Gadis itu mengangguk. Masih setengah menyeret Sal, Scarlet bergegas menuju pintu keluar. Menurut perhitungannya, dua werewolf sudah tewas. Sean dan Sawyer masing-masing menghadang satu, sedangkan dua lainnya dilukai cukup parah oleh Seneca.
Namun, di manakah Riley?
Waswas, gadis itu melihat ke sekelilingnya. Di pondok tersebut banyak celah untuk bersembunyi. Riley bisa saja ada di balik salah satunya. Bulu kuduk Scarlet meremang. Gadis itu memasang telinga. Ia tahu wanita itu dekat, tetapi ia tak tahu dari mana serangan akan datang.
Mendadak, pekik tertahan Sal mengejutkannya. Hampir saja pria itu tersentak lepas dari gandengan. Entah muncul dari mana, werewolf raksasa jelmaan Riley sudah berdiri menghadang, tepat menutupi pintu depan. Tanpa permisi, aroma darah manusia menyergap indera penciuman Scarlet. Cakar Riley telah meninggalkan goresan panjang di lengan kiri Sal, yang kini terus mengeluarkan darah tak peduli betapa pun pria itu berusaha menghentikannya. Walau Riley tak berbicara, Scarlet tahu, seringai bengis wanita itu jelas-jelas memperoloknya.
“Minggir. Aku tak punya waktu berurusan denganmu,” desis Scarlet. Ditariknya Sal mendekat. Sudut mata gadis itu menangkap pergerakan tiga werewolf lain dari samping kanan, kiri, dan belakangnya. Mereka berbeda dengan makhluk-makhluk yang dilawan rekan-rekannya. Kondisi mereka masih prima, belum tersentuh senjata. Sial, seharusnya aku tahu Riley tak mungkin melakukan serangan hanya dengan enam werewolf, batin Scarlet. Malam masih panjang. Entah berapa banyak lagi werewolf yang masih menunggu di luar sana. Scarlet tahu, selagi masih sempat, ia harus menyelesaikan segalanya dengan cepat.
Dengan geraman dalam, Scarlet menyerbu ke depan. Sekejap mata, Riley menghilang dari pandang. Mendadak, sebuah kekuatan besar menghantam tulang kering Scarlet. Gadis itu terbanting ke depan. Ia tahu sekarang, kekuatan Anomali Riley adalah kecepatannya yang luar biasa, hingga sulit ditangkap mata. Sambil berusaha mengabaikan rasa sakit di kaki dan sikunya, gadis itu menoleh ke belakang.
Apa yang dilihat gadis itu sungguh merupakan mimpi buruk. Sal bersimpuh di lantai sambil mencengkeram lengannya yang terluka, terlalu takut untuk bereaksi. Sembari menjilat moncong, ketiga werewolf pendatang baru mengelilingi pria itu. Scarlet kehabisan ide. Sungguh, mereka terlalu dekat. Kalaupun ia menyerang, ia tidak akan sempat memblokir terkaman ketiganya. Sementara suara geraman dan raungan makin kencang ia memalingkan muka, tak sanggup menyaksikan Sal dijadikan serpihan tanpa nyawa.
“Scarlet!”
Sekejap, asa Scarlet kembali membara. Tidak salah lagi, itu suara Sal! Lantas, suara cabikan apakah yang tadi ia dengar? Buru-buru ia menoleh ke belakang. Sirna sudah tatapan pongah nan kejam dari para werewolf itu. Luka menganga menghiasi pinggang satu dari mereka, sedang yang dua lagi masing-masing terluka di mata kiri dan bahu kanan. Di samping Sal, Seneca berdiri tegak. Tangannya menggenggam sebuah pisau berbilah hitam legam, yang telah berulang kali menyelamatkan nyawanya dalam pertarungan-pertarungan jarak dekat.
“Hoi, jangan menonton saja! Bawa Dokter Fischer pergi dari sini!” Seruan Seneca membawa Scarlet kembali pada kenyataan. Gadis itu bergegas memapah Sal, membiarkan Seneca menangani tiga werewolf kroco itu. Ugh, sepertinya lutut dan betisnya besok bakal dipenuhi memar. Namun, belum saatnya untuk mengeluh. Bersama, Scarlet dan Sal keluar dari zona pertempuran.
Sinar lentera menyilaukan mata begitu Scarlet menjejakkan kaki ke halaman pondok. Takut-takut dua pemburu junior berlarian mendekatinya dengan tatapan bagai memandang hewan eksotis di sirkus. Gadis itu menarik napas lega. Satu urusan beres sudah. Biar anak-anak itu mengurus Sal selanjutnya. Sekarang, saatnya ia membereskan Riley dan komplotannya.
***
Riley menggeram melihat prajuritnya bertumbangan satu-persatu. Betapa tidak bergunanya para werewolf rendahan itu! Bahkan gerhana bulan yang sebentar lagi terjadi pun agaknya tak cukup untuk meningkatkan kekuatan mereka hingga mampu mengalahkan para pemburu. Namun, gagal bukan pilihan. Bila ia gagal dalam misi ini, Terrence Whiteford sudah pasti bakal mengubah kepalanya jadi hiasan dinding.
Apa boleh buat, terpaksa ia mengeluarkan senjata rahasianya.
Dengan satu gerakan cepat, Riley mengeluarkan sebuah botol kaca kecil berisi cairan ungu pekat dan membantingnya ke lantai. Seketika, asap tebal menyebar memenuhi pondok kecil itu. Warnanya kelam keunguan, bagai langit menjelang malam. Bersamaan, aroma manis menguar, menusuk indera penciuman semua yang berada di sana.
“Ugh! Apa-apaan ini?! Semua, cepat berlindung!” Seneca cepat-cepat menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan. Para pemburu lain pun cepat-cepat menghindar, mencari tempat aman hingga jarak pandang kembali normal.
Hanya sebentar asap tersebut ada. Namun, Sal menyadari bahwa itu bukan bom asap biasa. Itu adalah senyawa yang jauh lebih berbahaya. Bagai legenda namanya menyebar di antara para peneliti. Harum manisnya yang menusuk jadi ciri khasnya, lazim tercium sesaat sebelum adanya serangan besar-besaran. Dengan panik ia menoleh, memandangi bulan yang mulai menghilang di balik bayang. Tiba-tiba lelaki itu berdiri. Ia berlari ke ke pintu pondok, mengabaikan seruan-seruan pada pemburu junior.
“Awas, hati-hati!” Sal berteriak sekuat tenaga. “Asap tadi bukan bom asap biasa! Itu ramuan untuk mengaktifkan kebuasan para werewolf!”
Akhirnya pertarungan dimulai!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top