24. Negosiasi Senja
Matahari sudah beranjak turun ketika Scarlet tiba di tepi hutan. Ia sendirian. Alam pun seolah tahu akan suasana mencekam yang meliputi hatinya. Burung-burung tak berkicau, hewan hutan tak terlihat, bahkan angin pun tak berembus. Semesta bagai menahan napas, sembari memperhatikan gadis itu melangkah tegap membelah rerumputan.
Kurang lebih lima belas meter dari rumah neneknya, gadis itu melirik jam sakunya. Lebih tepatnya, jam saku Seneca yang ia pinjam. Pukul empat kurang lima menit. Ia tidak terlambat. Sekarang ia hanya dapat berdoa, berharap keputusan yang ia ambil sudah tepat. Dengan kapak tergenggam erat, ia pun memasuki rumah.
Sinar mentari sore jatuh melalui jendela besar di ruang tengah pondok, menyinari sosok Sal yang terikat dalam posisi duduk di sebuah kursi kayu. Kepalanya terkulai ke bawah, tangan dan kakinya terjuntai tak bertenaga. Sisa-sisa darah kering menodai wajah dan kemejanya. Di belakangnya, sesosok insan berjubah hitam berdiri. Tubuhnya semampai, gerak-geriknya luwes tanpa suara. Bagai asap sosok itu mengitari Sal yang masih tak sadarkan diri, lalu berdiri lurus menatap Scarlet. Sudut-sudut bibirnya melengkung, menyunggingkan sebuah senyum licik.
“Kaukah itu, Whiteford?” tanya Scarlet. Kapak tetap siaga dalam genggamannya, posisinya siap menyerang. Matanya menyipit, memperhatikan sosok itu dari kepala hingga ujung kaki.
Tangan sosok itu bergerak menurunkan tudungnya. Jari-jarinya putih dan lentik dengan kuku-kuku yang terawat. Tampaklah wajah sesosok wanita berusia kira-kira akhir dua puluhan. Kulitnya seputih susu, rambutnya lurus dan halus membingkai wajah ovalnya. Baru kali itu Scarlet melihat rambut pirang berwarna sepucat itu. Matanya biru muda, bagai air di danau yang beku. Tanpa sadar, Scarlet terpana. Bila peri di buku cerita yang sering dibacanya waktu kecil dulu mewujud jadi nyata, pasti wanita inilah yang jadi rupanya. Hanya, Scarlet tahu persis bahwa sosok itu bukanlah peri. Sosok itu adalah lawannya, yang mungkin akan sekaligus jadi malaikat kematiannya malam ini.
“Kaget, Scarlet Dixon? Kurasa ini bukan kali pertama kau melihat wujud manusia seorang werewolf.” Wanita itu berujar sembari meletakkan tangan di bahu Sal. “Kau di sini untuk pria manis ini, eh? Ia sedikit terlalu tua untukmu, bukan?”
“Ia temanku! Apa yang kaulakukan padanya?” seru Scarlet. Gadis itu masih berdiri diam di tempatnya. Untuk saat ini, keadaan tampak stabil. Wanita itu tak membawa senjata. Sepanjang pengetahuan Scarlet, seekor werewolf tak bisa bertransformasi selama masih ada cahaya matahari. Meski demikian, ia tak ingin bertindak gegabah.
“Oh, jangan khawatir. Saat ini, ia hanya tertidur lelap. Kami bukanlah pembohong, Scarlet. Tentu, jalannya pertemuan ini akan menentukan apakah kepala pria manis ini masih menempel pada badannya di akhir pertemuan.” Tangan wanita itu membelai-belai rambut ikal Sal.
“Tidak usah bertele-tele,” sahut Scarlet dingin. “Cepat katakan apa maumu.”
“Kau memang terburu-buru, ya? Benar-benar kau ini anak Eustace Dixon.” Wanita itu terkikik. Ugh, betapa Scarlet ingin langsung menamparnya! Memang suara wanita itu merdu. Penampilannya pun rapi, seperti orang dari kota besar. Namun, Scarlet tak dapat menyingkirkan rasa geli dan jijik yang tanpa permisi merayapi bulu kuduknya. Perempuan jelita itu tak ubahnya fasad belaka, untuk menyembunyikan makhluk bengis di baliknya.
“Kita belum berkenalan.” Wanita itu maju selangkah. “Namaku Watson, Riley Watson. Akulah yang mengirimimu surat. Aku mendengar banyak tentangmu, Scarlet. Tentang kau yang setengah werewolf, kau yang membunuh sahabat karibku, dan kau yang menyelidiki tentang persaudaraan kecil kami.”
“Aku tidak berminat berkenalan denganmu. Aku hanya kemari untuk menagih janji.” Mata Scarlet berkilat-kilat tegas. “Karena aku telah datang sendirian sesuai permintaanmu, sekarang lepaskan Dokter Fischer.”
“Tidak secepat itu, Scarlet. Pembicaraan kita belum selesai.” Riley beranjak, menyalakan lentera-lentera yang telah ia siapkan di beberapa bagian rumah. Sinar matahari makin memudar. Cahayanya kini bersemu merah di atas permukaan perabotan. Ekor mata Scarlet menangkap sosok-sosok berjubah bergerak di dapur dan kamar tidur. Satu muncul, lalu dua, tiga .... Setidaknya ada lebih dari enam orang di sekeliling rumah. Sudah diduganya wanita itu tidak mungkin datang sendirian. Sosok-sosok berjubah itu merapat di sekeliling Sal, mengambil alih penjagaan sementara Riley menghampiri Scarlet.
“Lord Whiteford mengutusku untuk memberimu penawaran,” ujar Riley, lalu menyilangkan tangan di depan dada.
“Oh ya? Penawaran macam apa yang bisa ia berikan?” Scarlet mengangkat alis dan memberinya pandangan skeptis.
“Kebebasan.” Riley tersenyum. “Dari segala-galanya. Diskriminasi, ketidakadilan, dan kesenjangan. Memang, bagi manusia, kami adalah teroris. Namun, bagi werewolf, kami adalah juru selamat, yang datang untuk membebaskan kaum kami.”
“Simpan bicaramu untuk lain kali. Kau tidak cocok berbicara seperti para bangsawan di hari-hari besar kenegaraan.” Scarlet mendengkus sinis. “Apa pun yang kautawarkan, jawabanku tetap tidak.”
“Ah! Kau benar-benar naif ternyata.” Riley tertawa kecil. “Kaupikir hidupmu akan lebih mudah setelah ini? Tidak, Scarlet. Itu tidak akan terjadi. Pada saat kau menjadi werewolf, saat itulah hubunganmu dengan manusia terputus. Kau takkan pernah kembali jadi satu dengan mereka. Lebih tepatnya, mereka yang tak menginginkan kita. Leluhur kita diburu, disiksa, dibunuh, semata karena memenuhi takdir yang telah digariskan Tuhan. Bila kau telah merasakannya kelak, tentu kau akan muak dengan semua itu.”
“Jangan bicara soal takdir padaku, Setan!” Scarlet menghantamkan kapak ke lantai kayu yang langsung pecah berkeping-keping. “Aku tahu apa yang kalian lakukan. Kalian membunuh tiap anggota yang tidak sejalan dengan kalian, dan berani menyebutnya ‘kebebasan’? Kebebasan macam apa yang kalian kejar? Bahkan anak kecil pun tahu betapa omong kosongnya itu!”
“Mengembalikan tatanan alam, tentu saja!” Kini Riley tampak benar-benar menahan geram. “Dengar, Bocah, ada satu hukum yang telah ada sejak semula dunia dijadikan. Hukum itu berbunyi, siapa yang lemah akan dimakan oleh yang kuat. Bangsa werewolf telah dianugerahi dengan kecerdasan setara manusia, serta kekuatan yang jauh melebihi mereka. Lalu, mengapa kami mesti hidup bersembunyi di bawah penindasan mereka? Mengapa kami mesti dicaci semua insan, serta menyaksikan keluarga dan teman-teman kami dibunuh? Semua ini salah! Hanya dengan bersatu padu kami bisa merebut kembali kekuasaan yang semestinya jadi milik kami.”
Kekecewaan, dendam, dan kebencian. Scarlet dapat merasakan semuanya berpusar dalam setiap kata yang Riley ucapkan. Ia benci mengakuinya, tapi ia mulai merasa iba. Mungkin wanita itu juga adalah korban, satu dari sekian banyak werewolf kesepian yang menemukan kelegaan dalam komunitas bentukan Whiteford. Meski begitu, tetap ia tak dapat membenarkan tindakan Riley. Menyetujui tindakannya sama saja dengan menyetujui terjadinya perang saudara di Kerajaan Sonneval, dan Scarlet tidak ingin itu terjadi.
Setidaknya, Scarlet yakin bukan itu yang diinginkan ayahnya.
“Maaf, aku tidak berminat dengan pandangan politikmu. Berikan saja Dokter Fischer padaku, lalu carilah werewolf lain. Tentu kalian akan menemukan sosok yang lebih berguna daripada diriku yang cuma setengah werewolf.” Scarlet menggeleng. Sesekali ia mencuri pandang pada Sal, sekadar untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja. Sejauh ini masih aman, walau beberapa pasukan Riley mulai melempar tatapan bernafsu pada lelaki itu.
“Jadi itu jawabanmu? Sayang sekali, padahal kita bisa jadi rekan yang akrab. Silakan, ambil pria manis itu!” Riley mengedikkan kepala pada sosok-sosok berjubah yang menjaga Sal. Mereka melepaskan ikatan Sal dari kursi, lalu minggir serentak.
Tunggu, semudah ini?
Scarlet membeku. Tidak mungkin Riley begitu mudah menyerah. Pasti ada jebakan tersembunyi. Mendadak, ia menyadari bahwa matahari telah terbenam. Sinar bulan kini mulai menyusup masuk dari jendela dan lubang-lubang di atap, berbaur dengan sinar lentera. Siluet sosok-sosok itu membesar, menjelma makhluk yang sangat Scarlet kenal. Seketika gadis itu tahu saat yang diantisipasinya telah tiba. Para werewolf anak buah Riley telah mengepungnya. Wanita itu tersenyum menatap Scarlet, menampakkan gigi-gigi runcing di balik bibir merahnya.
Namun, Scarlet tahu ia siap.
“Mengapa diam saja? Ayo, pergilah!” goda Riley dengan nada mengejek. “Jika kalian bisa keluar hidup-hidup, tentu saja. Sepertinya aku lupa memberitahumu, Lord Whiteford tidak menerima penolakan.”
“Aku tahu.” Scarlet menyeringai. Sambil bersuit nyaring, gadis itu melompat ke bawah sinar bulan. Di depan mata Riley, seketika gadis itu berubah ke dalam wujud werewolf. Iris matanya kini menjelma merah menyala, penuh semangat bertarung. Pada saat bersamaan, para pemburu keluar dari semak-semak sekeliling rumah. Riley pun tak mau kalah. Tubuh langsing wanita itu meninggi dan membesar. Ketika transformasi itu selesai, tak ada lagi sisa-sisa kecantikan darinya. Yang tertinggal adalah sesosok werewolf kekar setinggi dua meter berselimut bulu kelabu lebat.
“Kaget, Riley? Secara teknis aku tidak berbohong. Aku memang datang ke sini seorang diri. Mereka hanya menunggu di luar.” Scarlet mengangkat kapaknya dalam posisi siap menyerang. “Sekarang, rasakan kekuatan pasukan pemburu Desa Chartain!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top