23. Tantangan Konfrontasi

Saat Scarlet terbangun esok harinya, sebuah kejutan kecil sudah tersedia di meja makan. Tepat di samping piringnya tergeletak sebuah kotak kecil dari karton hitam, lengkap dengan pita satin merah dan kartu ucapan bertuliskan namanya. Ibunya berdiri di depan tungku, sedang memasak semur daging domba.

“Ma, apa ini?” Sambil menunjuk, Scarlet mengangkat alis.

“Oh, seseorang meletakkannya di pintu depan. Mungkin dari temanmu,” sahut ibunya tanpa menoleh. Harum masakan menguar memenuhi rumah kecil itu. Pagi yang tenang, seperti pagi yang sudah-sudah. Scarlet pun tak curiga. Apalagi, bukan hanya kali ini teman-temannya pernah meninggalkan hadiah kejutan di depan pintu. Maka, diambilnya kotak itu. Bentuknya persegi panjang, isinya berkelotakan bila terguncang. Kartu ucapannya dari karton putih tanpa nama pengirim. Scarlet tidak mengenali gaya tulisannya, tetapi bisa jadi penulisnya adalah pegawai toko tempat kado itu dibeli. Hati-hati jari-jarinya melepaskan ikatan pita. Kemudian, ia buka kotak itu.

Seketika, rasa dingin merayapi tengkuk Scarlet. Sebuah kacamata berlensa bundar tergeletak di dalam kotak. Rangkanya sedikit bengkok, lensa kirinya retak. Percikan darah yang sudah mengering menempel pada gagang dan kedua lensanya.
Dokter Fischer!

Teror membanjiri benak Scarlet. Tidak mungkin ia salah mengenali pemilik kacamata itu. Di seantero Desa Chartain, cuma Sal Fischer yang memiliki model itu. Mendadak, masakan ibunya tak lagi membangkitkan selera. Ingin rasanya ia langsung lari mengecek klinik. Namun, ia masih menahan diri. Hati-hati, Scarlet memeriksa kotak itu. Di bawah kain hitam yang mengalasinya, sehelai kertas terlipat rapi. Ia buka lipatan kertas itu, lalu ia bawa ke dekat jendela. Isinya singkat saja, hanya dua patah kalimat padat dan jelas.

Sal Fischer ada pada kami. Jika kauinginkan jawaban, datanglah sendirian ke rumah Elizabeth Dixon pukul empat sore.

R.W

“Sialan!” Scarlet menghantam meja dengan tinju. Kontan, ibunya pun terkejut.

“Scarlet, ada apa?” Tergopoh-gopoh Amelia Dixon datang menghampirinya. Wanita itu lebih heran lagi ketika Scarlet bergegas berdiri, lalu mengambil jaket dan sepatunya.

“Maaf, Ma! Aku keluar sebentar!”
Dengan kotak itu dalam genggaman, gadis itu berlari melintasi jalan utama yang sepi. Di sana sini terlihat para pedagang bersiap-siap membuka toko. Klinik pun masih terlihat lengang dan gelap. Tiga orang berdiri kebingungan di pelatarannya. Seorang remaja lelaki yang menggendong seorang anak perempuan di punggungnya, serta seorang wanita paruh baya gemuk yang membawa alat-alat kebersihan.
Scarlet mengenali remaja itu sebagai David, yang ikut bersamanya di misi Desa Whittington. Remaja itu tinggal di Paradise Ranch bersama anak-anak yatim piatu lainnya. Anak perempuan itu kemungkinan adalah salah satu adik angkatnya. Wanita itu adalah Bibi Nora, yang biasanya membersihkan klinik dan rumah Sal seminggu sekali.

“Ah, pagi, Scarlet!” Agak canggung David menyapa. “Kau juga mencari Dokter Fischer? Agaknya ia belum bangun. Aku sudah mengetuk dari tadi, tetapi tidak ada jawaban!”

“Oh, hai,” balas Scarlet. “Ada apa? Apakah ia juga tidak menyahut bel?”
“Tidak.” David menggeleng. “May tidak sengaja menumpahkan air panas ke lengannya, jadi aku bergegas membawanya ke klinik. Ternyata, pintunya masih terkunci. Aku bertanya ke Bibi Nora, tapi ia juga tidak tahu. Yang jelas, kuda Dokter Fischer masih ada di kandangnya, jadi seharusnya ia ada di rumah. Heran, apa ia mendadak sakit parah semalam?”

Scarlet mencoba membuka pintu klinik. Benar, masih terkunci. Tidak menyerah, ia putar kenop pintu rumah. Tak terkunci. Pintu terayun membuka, menampakkan ruang tamu yang lengang. Di ruangan itu, tidak ada tanda-tanda kejahatan. Tatanannya masih sama dengan yang dilihat Scarlet pada kunjungan sebelumnya.

“Permisi! Dokter Fischer, apa kau di dalam?” Gadis itu melongok. Tidak ada jawaban. Sial, perasaannya jadi makin tidak enak. Ia menelan ludah. Tanpa sadar, gadis itu mempererat genggaman pada kotak. Untungnya, David, May, dan Bibi Nora tidak mempertanyakan keberdaan kotak itu. Untuk saat ini, Scarlet merasa lebih baik mereka tidak tahu-menahu.

“Ayo kita periksa. Mungkin terjadi sesuatu padanya semalam.” Scarlet menarik napas panjang, berusaha terdengar setenang mungkin. David dan Bibi Nora setuju. Dipimpin oleh Scarlet, mereka bertiga memasuki rumah.

***

Sal benar-benar bagai lenyap ditelan bumi. Sepatu kulit hitamnya masih tersimpan rapi di rak. Demikian pula mantel dan topinya, yang masih tergantung di belakang pintu. Scarlet menemukan bahwa pintu tembusan antara rumah dan klinik tidak dikunci. Ia manfaatkan hal itu untuk mengambil perban dan obat luka bakar dari kotak P3K.

“Ini, obati dulu adikmu. Nanti tinggalkan saja catatan di meja kerjanya. Tidak usah sungkan, Dokter Fischer pasti mengerti.” Scarlet menyerahkan benda-benda itu pada David, yang menerimanya sambil terheran-heran. Belum sempat remaja itu berkata-kata, gadis itu sudah pergi mengecek ruangan-ruangan lain.

Di perpustakaan, pemandangannya sangat kontras. Rak buku kosong, buku-bukunya berserakan di lantai. Laci-laci meja tulis terlepas. Dudukan dan sandaran sofa telah dirobek, isinya dihamburkan keluar. Namun, masih tak ada tanda-tanda keberadaan Sal. Refleks, Scarlet mengecek tingkap ruang rahasia. Untungnya, tingkap itu kelihatannya tidak diutak-atik. Memang, meski karpet disingkirkan, sepintas sulit melihat lubang kunci yang letaknya tersamar oleh warna lantai yang gelap. Meski begitu, dugaan Scarlet tetap menguat. Entah bagaimana, pastilah para werewolf mengetahui penyelidikan yang Sal lakukan. Pertanyaannya, sampai seberapa jauh mereka tahu? Apakah inisial R.W itu milik Whiteford sendiri, ataukah ada sosok lain yang patut Scarlet waspadai?

“Ya ampun, berantakan sekali! Ini pasti perampokan! Akan kupanggil polisi!” Bibi Nora berseru di belakang Scarlet.

“Jangan, Bibi Nora!” tukas Scarlet cepat. Wah, kalau polisi sampai terlibat, bakal makin runyam masalahnya! Sayangnya, Bibi Nora masih belum sependapat. Wanita tua itu memandangi Scarlet penuh keheranan. Gadis itu berdeham, lalu mengulangi perkataannya dengan intonasi yang lebih tenang.

“Um, jangan sekarang. Aku dan David akan mengurusnya. Jadi, Bibi tenang saja dan kembali ke rumah, oke?”
Masih setengah enggan dan bingung, wanita itu mengangguk. Segera setelahnya, Scarlet berlari lagi. Kali ini, kamar Sal jadi tujuan. Begitu ia membuka pintu, seketika itu dugaan terburuknya jadi kenyataan. Kamar itu amburadul. Bekas-bekas perlawanan jelas terlihat, walaupun jelas pula siapa yang jadi pemenangnya. Barangkali satu-satunya hiburan adalah kenyataan bahwa tidak ada bekas darah selain sedikit noda di karpet. Setidaknya, hal itu menguatkan keyakinan Scarlet bahwa Sal masih hidup.

Scarlet menggigit ujung bibirnya. Tangannya meremas kotak itu hingga bergemerisik. Dalam hati, ia merutuki diri sendiri. Mengapa masalah tak henti-hentinya datang karena dirinya? Sungguh, ia tak tahu harus bagaimana. Gadis itu berbalik, lari meninggalkan rumah. Ia yakin tak bisa lebih lama lagi mencegah Bibi Nora lapor polisi tanpa membuat dirinya terdengar mencurigakan. Maka, segera pergi mungkin adalah keputusan terbaik. Ia berjalan terus hingga memasuki toko kelontong di seberang jalan, menuju orang pertama yang muncul dalam pikirannya.

***

“Apa katamu?”

Ketika Scarlet datang dengan napas memburu, Sean sedang berjaga di konter toko milik orang tuanya itu. Begitu ia mendengar cerita Scarlet, segera pemuda itu melepas celemek dan berlari keluar dari konter. Diajaknya gadis itu keluar toko, lalu menjauh ke bagian sepi di bawah pohon.

“Komplotan Whiteford menculik Dokter Fischer. Ini surat ancaman mereka.” Scarlet menyodorkan kertas itu. Sean mencermatinya. Sejurus kemudian, pemuda itu menggeleng.

“Jangan ke sana,” ujar Sean tegas. “Setidaknya, jangan lakukan sendirian. Kita harus memberitahu Sawyer, Seneca, dan para pemburu yang masih di pihakmu. Ini pasti jebakan.”

“Kau tidak lihat apa yang sanggup dilakukan Whiteford dan komplotannya? Kalau mereka tahu aku tak sendirian, pasti Dokter Fischer akan dibunuh!” bantah Scarlet.

“Aku tetap tidak setuju.” Sean menggeleng, mantap. “Memangnya kau lupa kalau malam ini adalah malam gerhana bulan? Tidak, semua ini terlalu mencurigakan. Pergi ke sana tanpa persiapan sama saja dengan bunuh diri.”

“Lalu, apa kau punya solusi lain?” Suara Scarlet meninggi. “Aku tidak bisa meninggalkan Dokter Fischer begitu saja. Tidak setelah segala bantuannya padaku. Lagipula, ia satu-satunya harapanku untuk meneliti soal werewolf dan keluarga ayahku!”

“Dengar, Scarlet!” Sean mulai putus asa. “Masihkah kau tidak mengerti? Dokter Fischer hanya umpan! Aku mungkin tidak tahu detailnya, tapi jelas sekali kalau Whiteford menginginkanmu. Tanpa mempedulikan apakah kau datang sendiri atau bersama, ia pasti akan tetap membunuh Dokter Fischer.”

“Jadi, kau menyarankanku untuk membiarkan ia tewas?” potong Scarlet sengit. “Kau menyuruhku menyelamatkan diri dan membiarkan orang tak bersalah mati? Sean Hawkins, apa kau sudah gila?”

“Suka atau tidak, itulah kenyataan!” bentak Sean, cukup keras hingga orang-orang menoleh. Sedetik kemudian, ia menyesal. Ia sadari ekspresi sahabatnya telah menjelma sedingin es. Ia telah melukai hati Scarlet, dan ia tahu itu.

“Kau tidak bisa diharapkan,” tandas Scarlet, merebut kembali surat itu dari tangan Sean. “Dari sini, aku akan bertindak sendiri.”

“Tidak, dengar dulu. Tunggu!” Tanpa mempedulikan berpasang-pasang mata yang menyaksikan, Sean berlari dan menangkap lengan Scarlet, menahannya supaya tidak pergi. Lekas-lekas ia tarik gadis yang meronta-ronta itu kembali ke tepi jalan. Lalu, pemuda itu menambahkan dengan suara rendah.

“Dengar baik-baik, Scarlet. Masih ada waktu sampai sore ini, kan? Mari beritahu yang lain, lalu susun rencana. Kau tak bisa mengalahkan mereka sendirian, dan kita tak bisa mengadakan penyerbuan, tetapi mungkin kita bisa membuat rencana untuk mengelabui mereka.”

Agak lama Scarlet terdiam. Akhirnya gadis itu mengangguk, meski dengan berat hati.

“Baiklah, aku setuju. Namun, bila hingga pukul tiga sore belum ada rencana, akan kulakukan dengan caraku sendiri.”

“Bagus.” Sean menoleh pada adiknya di dalam toko, memberi isyarat tangan bahwa ia akan pergi sebentar. “Sekarang, mari kita cari Sawyer, Seneca, dan yang lain. Mari kita tunjukkan bahwa pemburu-pemburu Desa Chartain bukan kelompok yang bisa diremehkan.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top