22. Tamu di Tengah Malam
Malam tiba di Desa Chartain. Setelah pasien terakhir pulang, Sal mengunci pintu dan jendela klinik. Pria itu tersenyum puas. Hari itu, tidak ada kasus berat yang harus ia tangani. Hanya beberapa anak yang terserang flu, seorang pria tua yang sakit lutut, serta seorang wanita yang datang memeriksakan kandungan. Ditambah lagi, pembicaraannya dengan Scarlet mulai menunjukkan kemajuan.
Sembari bersenandung, Sal mulai menata rumah. Hal itu bukan pekerjaan sulit, bahkan sehabis hari-hari yang sibuk di klinik. Sebagai seorang bujangan yang tinggal sendirian, Sal tidak perlu khawatir akan adanya kotoran-kotoran dari aktivitas manusia lain di dalam rumahnya ketika ia sedang bekerja. Maka, malam itu ia memutuskan untuk membersihkan kotak tempat ia menyimpan stok obat, serta mengganti beberapa kain lap yang sudah kotor.
Saat ia baru saja selesai mengosongkan tempat sampah, terdengar ketukan di pintu depan. Mula-mula pelan, lalu makin lama makin kencang. Terdorong kewajiban sebagai dokter, Sal berlari-lari kecil ke pintu. Barangkali ada keadaan darurat, batinnya. Bukan hal aneh bila ada orang yang muncul di depan pintunya saat larut malam.
“Siapa?” tanya Sal. Lelaki itu mengintip melalui lubang bundar di pintu. Aneh, ia tak melihat seorang pun di beranda. Jalanan dan juga terlihat sunyi. Lelaki itu menggeleng. Mungkin aku salah dengar, batinnya. Sambil menguap, ia berjalan pergi, bermaksud hendak melanjutkan kegiatan.
“Tolong aku ....” Tiba-tiba terdengar suara bisikan lirih. Seketika, Sal berhenti melangkah. Ada yang ganjil dari suara itu. Selama tahun-tahun yang ia habiskan di Desa Chartain, belum pernah Sal mendengar suara yang begitu lembut, sekaligus begitu memilukan. Suara itu penuh keputusasaan, seolah keluar dari bibir seseorang yang sekarat.
“Ada apa?” sahut Sal ragu-ragu. Dalam situasi biasa, pria itu yakin dirinya pasti sudah berlari keluar sambil menenteng alat-alat pertolongan pertama, siap untuk melakukan tindakan darurat. Namun, sesuatu dalam hati kecilnya menahan Sal di tempatnya berdiri. Ia sendiri tak tahu apa sebabnya. Barangkali alam bawah sadar memang punya mekanisme sendiri untuk mendeteksi bahaya yang luput dari radar logika.
Tidak ada jawaban. Hanya suara napas yang samar-samar terdengar. Hati-hati, Sal menyibak tirai jendela klinik. Di sudut kanan bawah jendela, tampaklah sesosok manusia. Kepalanya menghadap ke samping, sehingga Sal tidak bisa melihat wajahnya. Sinar bulan menyinari rambut pirang keperakan yang menjuntai panjang sampai ke punggung. Sosok itu gemetar seiring tiap tarikan napasnya. Seketika, rasa takut dalam hati Sal lenyap berganti rasa iba. Bahkan, diam-diam ia menertawakan dirinya sendiri karena sempat merasa waswas.
“Tunggulah sebentar, aku akan keluar,” ucap Sal. Pria itu meraih kunci, lalu membuka pintu. Di samping pintu itu, seorang wanita muda bergaun putih duduk meringkuk. Kulitnya sepucat mayat, gaunnya kotor bernoda tanah. Waktu Sal meraih tangannya, lelaki itu terkejut. Astaga, betapa dingin tangannya! Cepat-cepat ia mengambil mantel dari belakang pintu, lalu menyelimutkannya ke bahu wanita itu.
“Kau bisa berdiri? Mari kubantu.” Sal melingkarkan lengan wanita itu ke bahunya. Agak kesulitan ia memapah wanita itu masuk karena tubuh wanita itu yang lemas, tetapi ia berhasil. Segera ia baringkan tamunya di ranjang klinik.
Sembari memeriksa, diam-diam Sal mengamati wanita asing itu. Sal belum pernah melihatnya di desa. Tubuhnya langsing, kulitnya putih dan halus. Dokter itu heran mendapati bekas-bekas luka lama di balik di balik pakaian wanita itu, tetapi ia tidak bertanya. Selain hal itu, ia tidak menemukan cedera apa pun. Dugaan Sal, wanita itu hanya kelelahan dan kedinginan.
“Dari mana kau berasal, Nona? Aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini,” tanya Sal. “Apa yang kaulakukan malam-malam begini? Kau tentu tahu di luar sana berbahaya, kan?”
“Aku sedang dalam perjalanan.” Suara wanita itu mengalun. “Ada seseorang yang harus kutemui. Sayang, kudaku celaka, dan aku terpaksa meninggalkannya. Saat aku hampir menyerah berjalan, aku menemukan cahaya di tengah hutan. Aku bersyukur ternyata yang kutemukan adalah sebuah desa.”
“Sendirian berpetualang melintasi hutan? Wah, kau sangat pemberani, Nona.” Sal menatap mata biru wanita itu dengna raut bersungguh-sungguh. “Kau beruntung perbatasan desa ini dijaga ketat oleh para pemburu. Di tempat lain, pasti para werewolf akan duluan mendapatkanmu.”
“A ... apakah kau sudah mengunci pintu, Dokter?” Mendadak mata wanita itu melebar penuh kekhawatiran. “Aku tidak ... maksudku, kalau mereka masuk ke sini .... Ah, tetapi katamu itu tidak mungkin, bukan? Kurasa aku hanya ketakutan, tetapi kurasa aku melihat sesuatu melintas di jendela ....”
“Ssh, tenanglah. Itu Cuma kelelawar. Berbaringlah dulu, Nona, dan pakai selimutnya. Akan kusiapkan minuman panas, serta air mandi yang hangat. Kau butuh istirahat yang cukup, dan kujamin kau pasti aman di sini.” Sal menepuk-nepuk tangan wanita itu. Perlahan, raut wajah wanita itu kembali tenang. Ia meringkuk di atas ranjang berukuran single itu, lalu menarik selimut di ujung ranjang hingga menutupi tubuhnya sampai ke bahu. Setelah menyalakan lampu dan berjanji akan segera kembali, Sal pergi ke dapur.
Saat itu, rumah remang-remang. Sal telah memadamkan sebagian besar lampu, kecuali lampu minyak di ruang makan. Sungguh wanita yang malang, batin Sal sembari menjerang air. Ia tiak sanggup membayangkan masalah apa yang menyebabkan seorang wanita muda sampai harus bepergian sendirian. Wanita itu mungkin tidak tahu betapa beruntung dirinya karena berhasil menemukan sebuah desa meski hari sudah gelap, apalagi bila mengingat fakta bahwa tak ada seorang pun yang mengantarnya. Hanya, hati kecil Sal masih yakin ada yang janggal. Ada sesuatu yang tidak wajar tentang kehadiran wanita itu, tetapi ia tidak tahu apa tepatnya.
“Aneh juga, biasanya para pemburu selalu sigap membantu orang asing yang tersesat,” gumam Sal sembari menurunkan wadah berisi daun teh dari lemari dapur. Mendadak, ia kembali merasa waswas. Baru Sal teringat bahwa gerbang-gerbang pembatas desa ditutup dan dijaga setiap malam. Seandainya wanita itu benar-benar baru datang dari luar, pastilah para pemburu yang berjaga akan melihat dan menolongnya. Lalu, bila penjaga-penjaga itu tidak melihatnya, lantas kapan wanita itu tiba? Mengapa tidak ada berita tentang kehadiran pendatang baru di desa?
Samar-samar, suara gemerisik terdengar dari perpustakaan. Sal menoleh. Terlalu gelap untuk melihat keseluruhan rumah. Dari sudut penglihatannya, lelaki itu melihat bayangan putih berkelebat.
“Nona, kalau boleh tahu, kapan dan dari mana kau datang?” tanya Sal, bersuara agak keras untuk meredam ketakutannya sendiri. “Kami, uh, tidak biasa menerima tamu di desa. Menurut peraturan, aku, uh, harus melaporkan identitasmu pada Lord Rochester, kepala desa ini.”
Lagi-lagi tidak ada yang menjawab. Mendadak, lelaki itu bergidik. Setiap inci tubuhnya seolah-olah sedang memperingatkannya bahwa ada bahaya yang sedang mendekat. Tidak, ini bukan apa-apa. Jangan berpikir buruk, batin Sal sembari melanjutkan membuat teh. Susah payah ia memfokuskan diri pada kegiatan itu, karena hanya itulah satu-satunya hal yang mencegahnya panik sekarang. Sampai pada suatu titik, ia tak bisa lagi berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja. Hati-hati ia berbalik, lalu berjalan mendekati perpustakaan. Setidaknya, ia harus memastikan sendiri bahwa tidak ada bahaya yang mengancam.
“Jangan bergerak kalau kau masih ingin hidup, Dokter.” Tiba-tiba, terdengar bisikan wanita itu di telinga Sal. Tenang dan lembut seperti sebuah senandung, tetapi penuh ancaman. Seketika, pria itu membeku di tempatnya berdiri. Jantungnya berpacu begitu melihat buku-buku yang berserakan di lantai. Seseorang‒tidak, sesuatu‒telah membongkar perpustakaannya, dan sosok itu sekarang berdiri di belakangnya. Lelaki itu dapat merasakan hembusan napas yang hangat membelai tengkuknya.
“Kau ... bukan manusia, kan?” ucap Sal takut-takut. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, sungguh. Wanita yang baru saja ia tolong kini berdiri hanya beberapa senti di depan wajahnya, menyeringai lebar dari ujung ke ujung pipi.
“Maaf, dokter, kau harus ikut dengan kami,” ucap wanita itu. Tangannya terulur mencekal pergelangan tangan Sal. Mendadak, lelaki itu sadar dari ketakutannya. Refleks, ia menyentakkan tangan kuat-kuat, lalu berlari ke arah kamarnya. Sal ingat, senjata yang dulu selalu ia bawa dalam tas untuk perlindungan diri ketika ia masih bekerja di pusat penelitian werewolf, sekarang tersimpan di kolong ranjang.
Bodoh! Bagaiman bisa aku tidak mengenali seekor Anomali? Aku sudah bolak-balik mempelajari mereka! rutuk Sal dalam hati. Debam langkah di belakangnya makin lama makin dekat, sedang kakinya enggan menambah kecepatan. Untungnya, pintu kamar sudah terlihat. Dalam suatu usaha putus asa, pria itu melontarkan tubuh ke depan sekencang mungkin, lalu jatuh tersungkur ke lantai karpet kamar tidur.
“Ugh!” erang Sal begitu tubuhnya beradu lantai. Dahinya terantuk tiang ranjang, kacamatanya terlempar entah ke mana. Ia tak punya waktu untuk menyadari bahwa dahinya terluka, dan bahwa darah mengalir menuruni pelipisnya. Tanpa sempat berdiri, cepat-cepat lelaki itu beringsut menutup pintu kamar. Namun, belum sempat ia meraih kunci, pintu kamar tidur menjeblak terbuka, membuat pria itu kaget setengah mati.
“Tidak .... Jangan sakiti aku ....” Tergagap-gagap pria itu memohon. Sosok werewolf besar berbulu kelabu berdiri memblokir pintu kamar. Makhluk itu makin mendekat, sementara Sal hanya bisa menatap dengan mata terbelalak. Hanya satu hal yang terlintas di pikiran dokter itu saat ini.
Oh tidak, aku akan mati malam ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top