20. Jejak Masa Lampau

Surat itu selesai sampai di situ. Betapa pun Scarlet membongkar lemari tersebut, betapa pun diperiksanya saku dan lipatan tiap pakaian, tidak ada surat yang lebih baru. Putus asa, gadis itu terduduk di lantai, bersandar pasrah pada dinding. Surat yang baru ia baca tergeletak di atas pangkuan.

“Scarlet! Tidak adakah surat lain setelahnya?” seru Sawyer. “Ayahmu ... dia seharusnya sudah meninggal waktu umurmu empat tahun, kan?”

“Tidak, tidak ada.” Scarlet menggeleng lemah. “Berita kematian Nenek cepat menyebar. Mungkin Papa telah mendengarnya, dan berhenti mengirimkan surat. Mungkin Papa sudah dibunuh oleh para tentara. Atau, mungkin pengejar-pengejarnya berhasil menangkapnya.”

“Aku tidak yakin pada kemungkinan ketiga,” sahut Sean serius. “Sampai saat ini, belum ada konflik besar antara manusia dan werewolf, kan? Maksudku, sampai pada skala yang mengancam ketenangan kerajaan. Aku ragu mereka akan menunggu selama itu jika telah mendapatkan informasi yang mereka cari.”

“Whiteford. Whiteford. Aku belum pernah mendengar nama itu.” Scarlet bergumam. Akhirnya, ia masukkan amplop itu, beserta beberapa surat ayahnya yang lain, ke dalam saku celana. Gadis itu mengembalikan sisanya, lalu berdiri.

“Mungkin Dokter Fischer tahu sesuatu,” ujarnya. Di luar dugaan kedua sahabatnya, tiba-tiba Scarlet berlari meninggalkan pondok. Tidak ia hiraukan seruan Sean dan Sawyer sementara kedua orang itu berusaha menyusulnya. Bahkan ia tak ingat lagi tujuan awal investigasi mereka. Hanya satu keinginannya, untuk bersua kembali dengan ayahnya.

***

Sal sedang menyiram tanaman di halaman depan klinik ketika Scarlet datang berlari-lari. Sambil terengah-engah gadis itu berpegangan pada pagar kayu klinik. Rambutnya menempel lemas pada dahi dan leher yang berhias keringat. Meski demikian, matanya berkilat-kilat penuh semangat.

“Dokter Fischer, aku perlu bicara padamu secara privat,” ujarnya sembari mengatur napas. “Cepat, masuklah ke rumah!”

“Baiklah, baiklah.” Tergopoh-gopoh Sal mengembalikan gembor kalengnya ke gudang taman, lalu bergegas membukakan pintu. Gadis itu menyerbu masuk, membanting pintu sampai tertutup, lalu menarik lengan baju pria itu sembari berjalan ke perpustakaan kecilnya.

“Hei, Scarlet! Tenanglah! Ada apa sebenarnya?” seru Sal saat Scarlet tahu-tahu menutup pintu perpustakaan. Terus terang, sorot mata gadis itu mulai membuatnya takut. Ada harapan besar di sana, bercampur luapan emosi yang sulit Sal jelaskan. Terlebih, postur gadis itu lebih tinggi darinya. Tanpa melepaskan kontak mata, dokter itu mundur selangkah.

“Tenang? Bagaimana aku bisa tenang kalau‒!” Scarlet tidak melanjutkan kalimatnya. Sadar akan kelakuannya, ia menghela napas panjang. Matanya terpejam, bahunya naik turun. Tangannya terangkat, mengelap keringat di dahi.

“Maafkan ketidaksopananku, Dokter Fischer,” ujarnya lirih. “Ada sesuatu yang perlu kutanyakan. Apakah kau pernah mengetahui tentang seseorang bernama Whiteford?”

“A ... apa?”

Seketika itu, air muka Sal berubah. Mulutnya menganga seperti kodok, rona hilang dari wajahnya. Lelaki itu mengusap-usap tengkuk, sementara matanya tak henti melirik ke pintu ruang rahasia. Scarlet yakin, pria itu tahu sesuatu. Sekarang, tinggal bagaimana caranya mengorek informasi itu keluar.

“Whiteford.” Scarlet membentangkan surat ayahnya di depan wajah Sal. “Papa menyebut-nyebut nama itu dalam suratnya. Kau tahu sesuatu, bukan?”

“Er .... Uh .... Ah, itu teman-temanmu, kan? Bagaimana kalau kauajak mereka masuk dahulu?” ujar Sal tiba-tiba sambil menunjuk ke jendela. Tampak Sean dan Sawyer mondar-mandir di depan klinik, ingin masuk tetapi sungkan. Tanpa membuka jendela, Scarlet melambai dari balik kaca, memberi isyarat dengan tangannya agar kedua pemuda itu menggabungkan diri. Barulah keduanya masuk, lalu langsung menuju ruangan yang kini telah terasa familiar. Begitu keduanya masuk, Sal segera menutup tirai jendela dan mengambil kunci rubanah.

“Tunggu di sini,” ujar pria itu cepat. Sekejap, Sal menghilang ke dalam ruang rahasia. Ia kembali dengan sebuah buku catatan berwarna biru tua dan setumpuk kertas. Sal meletakkan semua itu berjajar di meja tulis agar mereka dapat membacanya.

“Apakah kalian pernah memikirkan bagaimana para werewolf dapat bertahan hidup sampai hari ini, meski hampir tiap malam mereka diburu oleh militer Sonneval dan para pemburu?” tanya Sal membuka diskusi.

“Dengan berbaur di antara manusia?” Sean menduga. “Guru-guru di sekolah bilang mereka tinggal di kota-kota yang penduduknya banyak supaya tidak dicurigai, lalu keluar ke hutan pada malam hari untuk berburu.”

“Benar. Tidak hanya itu, sebagian besar dari mereka memiliki komunitas, sama seperti kita memiliki desa. Selain untuk bertahan hidup dan saling melindungi, para werewolf seringkali juga bekerja sama untuk berburu mangsa.” Sal mengacungkan telunjuknya ke arah sebuah artikel. “Untuk menjaga keamanan mereka, komunitas-komunitas tersebut menerapkan hierarki dan peraturan yang ketat. Bahkan, kau dapat menyamakan mereka dengan sebuah kultus.”

Sebuah ringkasan laporan investigasi bertanggal empat tahun lalu. Itulah yang Sal tunjukkan. Isinya mengenai sebuah komunitas werewolf yang berhasil dibongkar oleh militer kerajaan. Meski kebanyakan anggotanya melakukan bunuh diri massal, pihak kerajaan berhasil menangkap dan menginterogasi satu di antaranya.

“Bagi mereka, suara pemimpin komunitas itu sama dengan suara Tuhan,” terang Sal. “Bahkan, mungkin lebih. Mereka tidak menoleransi adanya perbedaan pendapat. Bila ada yang berani mempertanyakan kehendak pemimpin, tidak jarang ia akan langsung dieksekusi. Oleh karena itu, mereka sangat tertutup dan sukar dilacak.”

“Tidak ada nama Whiteford di sini,” potong Scarlet tegas, jemarinya mengetuk-ngetuk kertas di meja. “Bisakah kau menjelaskan hubungan antara semua berkas yang kautunjukkan ini?”

“Baiklah, baiklah, akan kutunjukkan. Inilah hubungannya.” Karena didesak terus, Sal akhirnya mengalah. Dari dalam buku, dokter itu menarik keluar sebuah sketsa dan membentangkannya di atas meja. Serentak ketiga pemuda mengerubunginya.

“Ini ... apa?” Scarlet tertegun. Tangannya terulur mengambil kertas itu. Lalu, ia memperhatikannya lebih seksama. Sekilas, gambar tersebut bagai diambil langsung dari sebuah ilustrasi novel horor. Tampak sesosok pria bertelanjang dada terikat dalam posisi terbalik pada sebuah pohon oleh tali tambang. Tidak perlu keahlian khusus untuk menyimpulkan bahwa tubuh yang tergantung lemas itu sudah mati. Sebuah simbol tergambar di dada kirinya. Sekilas, bentuknya seperti lingkaran dan panah bersilang.

Sketsa tersebut tidak cukup detil untuk menunjukkan bentuk jelasnya. Meski begitu, tak sulit bagi Scarlet untuk memahami bahwa simbol tersebut baru diukir langsung pada kulitnya, lengkap beserta darah segar yang masih mengalir. Entah apa lagi yang terjadi pada pria malang itu, tapi pastilah bukan sesuatu yang baik. Kalau bukan begitu halnya, apa lagi penjelasan atas ekspresi ketakutan yang amat sangat pada wajahnya?

“Kasus pembunuhan di Desa Albion tiga tahun lalu, tiga puluh kilometer dari tempat ini.” Sal menjelaskan. “Polisi tidak bisa menemukan identitas pria ini, dan meminta pertolongan lembaga penelitian. Kami melangsungkan tes darah, dan menemukan bahwa pria ini adalah werewolf. Saat itu, penyintas dari komunitas yang kusebutkan tadi masih berada dalam tahanan.”

“Simbol ini berarti sesuatu, bukan?” tanya Sean. “Mungkinkah tanda identifikasi komunitas?”

“Ya,” sahut Sal serius. “Kami menunjukkan sketsa ini pada tahanan itu. Begitu ia melihatnya, tiba-tiba ia diserang oleh kepanikan yang hebat. 'Dia akan datang! Dia akan datang!' itu yang diucapkannya berulang kali. Penasaran, rekanku menanyakan siapa 'dia' itu. Saat itulah ia mendadak berpaling ke arahku, lalu menarik kerah bajuku.”

“Lalu?” potong Sawyer. Sal berhenti sejenak. Refleks, tangan kanannya bergerak melonggarkan kerah kemeja.

“Ia menarik mukaku hingga jarak antara muka kami hanya tinggal beberapa senti. Ah, aku takkan bisa melupakan tatapannya. Matanya terbelalak dengan cara yang sangat ganjil, seakan tiap jengkal kewarasan yang ia punya menguap begitu saja. Aku sangat takut hingga tak dapat bergerak. Sesaat, kukira ia akan menggigit wajahku. Namun, itu tidak ia lakukan. Malahan, ia berbicara padaku! ‘Lord Whiteford. Ia akan datang menghukumku’, ujarnya berulang-ulang. Ah, takkan bisa kulupakan suara serak itu. Kemudian, pria itu mendorongku ke belakang sekuat tenaga sambil tertawa histeris hingga mengeluarkan air mata.” Sal bergidik. Nyata benar bahwa kejadian itu sangat membekas dalam memorinya.

“Pelan-pelan saja, Dokter Fischer.” Scarlet berucap lembut. Terkadang ada saat ketika ia ingin menendang pria itu agar bersikap lebih berani, tetapi bukan sekarang. Hal yang diceritakan dokter itu pastilah akan mengguncang sebagian besar orang yang mengalaminya, tidak peduli lelaki atau perempuan.

“Keesokan harinya, tahanan itu sudah tewas.” Sal menundukkan kepala. “Kejadian itu membuat para peneliti dalam masalah besar. Sipir mengatakan bahwa ia menghantamkan kepalanya sendiri ke dinding penjara semalam suntuk. Selain itu, ia juga mencakar-cakar dinding dan lantai hingga kuku-kukunya lepas dan berdarah. Baik kami maupun pihak militer berusaha mencari tahu siapa Lord Whiteford itu, tetapi kami gagal menemukan hasil. Adalah suatu kejutan besar bahwa hari ini kau menyebut-nyebut nama itu, apalagi sampai mengatakan bahwa ia memiliki hubungan dengan ayahmu. Menurut dugaanku, ia adalah salah seorang tokoh yang berpengaruh besar di kalangan komunitas werewolf.”

“Tahukah kau di mana aku bisa menemukan orang bernama Whiteford itu?” sahut Scarlet, langsung pada inti kemauannya.

“Tidak, aku tidak tahu. Kalaupun aku tahu, aku tidak akan memberitahumu.” Sal menggeleng lemah. “Lupakan saja. Terlalu berbahaya untuk mengejarnya. Saksi mata yang kami interogasi itu menyatakan bahwa komunitas-komunitas itu bisa beranggotakan ratusan werewolf.”

“Tapi‒!” Scarlet hendak membantah, tetapi Sean menahannya.

“Dokter Fischer benar.” Pemuda itu berujar tegas. “Kalau benar sosok itu sangat disegani oleh para werewolf, tentu bodoh kalau kita mengejarnya begitu saja, kan? Kemungkinan besar, kita akan mati sebelum sempat berhadapan dengannya. Lagipula, bukan ini yang diinginkan ayahmu. Ia ingin kau hidup normal, ingat?”

“Aku akan mengumpulkan lebih banyak informasi. Akan kuhubungi sahabat-sahabatku di pusat penelitian,” tambah Sal. “Pasti ada cara lain bagimu untuk mempelajari cara mengendalikan transformasimu. Pokoknya, jangan coba-coba mencari ayahmu atau si Whiteford itu. Aku tak mau kau mati konyol, Scarlet.”

Scarlet terdiam. Tangannya terkepal. Ia benci mengakuinya, tetapi Sal dan Sean benar. Selain kekurangan informasi, mereka juga kalah jumlah dan kemampuan. Sepertinya, untuk sementara waktu, memang ia harus fokus pada dirinya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top