18. Investigasi

Keesokan harinya, Sean menggabungkan diri di rumah Sal. Agak kesal ia waktu mengetahui kedua temannya tidak mengikutsertakannya dalam eksperimen semalam, tetapi kekesalannya segera sirna begitu Sal membawa mereka ke ruang penelitian rahasia. Terkagum-kagum ia memperhatikan deretan buku-buku tebal bersampul kulit yang berjajar rapi di rak dinding rubanah. Sama seperti Scarlet, ia pun takjub membayangkan banyaknya waktu yang dihabiskan Sal untuk menyusun semua data menurut topik penelitian dan tahun terbitnya. Sawyer, di sisi lain, langsung terpaku pada sketsa-sketsa dan gambar anatomi werewolf yang menempel di dinding berisi mind map penelitian.

“Kalau kau pergi ke pusat penelitian di Kota Ravenheart, kau bisa melihat spesimen aslinya." Kepala Sal menyembul dari balik punggung Sawyer. "Sayangnya, kurasa kalian tidak bisa masuk. Saat aku masih bekerja di sana, area itu hanya diperuntukkan bagi para ilmuwan dan mahasiswa yang mempelajari werewolf. Tidak mudah memperoleh surat izin masuknya.”

“Dokter Fischer!” Sawyer terperanjat. “Bagaimana bisa makhluk-makhluk itu diawetkan? Bukannya werewolf yang mati akan berubah menjadi abu begitu terkena sinar matahari?”

“Oho, kecepatan kuncinya! Sebelum matahari terbit, kau harus selesai membersihkan dan meletakkan spesimen dalam larutan formalin. Kau bisa membeli sedikit waktu dengan cara menyimpan spesimen dalam kotak kedap cahaya sebelum diawetkan, tapi kualitasnya takkan sebagus yang segar.” Berapi-api Sal menjawab. Sawyer sampai melongo dibuatnya. Benarkah ini orang yang sama dengan pria yang nyaris pingsan saking gugupnya ketika berbicara di pertemuan warga? Ternyata bisa juga ia berbicara lancar! Bagai seorang pemandu museum, Sal mulai menjelaskan satu-persatu gambar tersebut pada Sawyer dan Sean.

Sementara itu, Scarlet berjalan ke meja tulis. Tangannya membongkar tumpukan buku catatan di atas meja, matanya menelusuri tiap judulnya. Sal memang sudah mengatakan bahwa ia bebas membaca apa saja, asalkan tidak merusak ataupun membawa pulang. Ia bolak-balik beberapa buku, tetapi tidak ada yang menarik perhatian. Sebagian besar bahasanya terlalu ilmiah untuk dipahami Scarlet.

Mendadak, tatapannya menangkap sebuah buku catatan kecil. Catatan Penelitian, begitu judulnya. Sampulnya lusuh dan bernoda, kertasnya mulai menguning, beberapa lembar sudah mulai lepas. Namun, bukan sampul merah marunnya yang membuat buku itu mencolok, melainkan tulisan di sampulnya. Nyata benar kalau tulisan tegak bersambung yang tipis dan rapi itu tidak dihasilkan oleh tangan Sal. Iseng-iseng ia membuka buku itu pada halaman acak.

Hari ke-64. 13 April 1754.

Setelah tercapai perjanjian bahwa kami akan memperbolehkannya pulang bila ia bersikap kooperatif, Anomali 003 akhirnya bersedia membuka mulut. Rupanya memang ide bagus untuk bernegosiasi dengan subyek. Sesuai hipotesis kami, Anomali 003 mengakui bahwa para Anomali memang bertanggung jawab mengatur pergerakan pasukan werewolf pada serangan-serangan besar. Anomali seperti dirinya mampu mempertahankan kemampuan berpikir logis dalam wujud werewolf, memungkinkan mereka untuk mengatur strategi ....

“Ah, permisi, itu catatan pribadiku. Pasti tidak sengaja tertinggal kemarin.” Tiba-tiba Sal muncul di samping gadis itu. Entah sejak kapan, lelaki itu telah meninggalkan sisi Sean dan Sawyer. Sedikit kaget, Scarlet buru-buru menyerahkan buku itu padanya.

“Maaf, aku tidak tahu,” jawab gadis itu sopan. Jujur, baginya kemampuan berbohong Sal lebih buruk daripada anak balita. Ah, tapi rasanya tak ada gunanya ia mengutarakan hal itu di depan muka pria itu dan membuatnya malu. Sal menyelipkan buku itu dalam saku jas putihnya.

“Tidak apa-apa. Untuk saat ini, informasi di situ tidak penting. Jadi, uh, aku telah berpikir semalaman.” Pria itu mengusap-usap tengkuk. “Aku memikirkan apa saja yang mungkin membangkitkan kekuatanmu. Scarlet, sebelum insiden Desa Whittington, tidak pernah terjadi apa-apa meski kau keluar pada malam bulan purnama, bukan?”

“Ya. Bukan hanya bulan purnama biasa. Bahkan aku tidak pernah merasakan perubahan pada badanku di malam supermoon, bulan purnama besar yang kekuatan supernaturalnya hanya setingkat di bawah gerhana bulan,” jawab Scarlet. “Apa menurutmu gerhana bulan penyebabnya?”

“Tidak, tidak, kurasa bukan itu. Kalau cuma gerhana bulan yang cukup kuat untuk membangkitkan kekuatanmu, maka seharusnya kau tidak mengalami transformasi penuh saat percobaan kemarin. Lalu, mungkinkah rasa sakit penyebabnya?” Sal mulai menulis di buku catatan.

“Hm, kurasa tidak. Coba kuingat-ingat dulu.” Scarlet berpikir. Sejurus kemudian, seulas senyum muncul di wajahnya.

“Ya, pasti bukan itu. Pada patroli pertamaku sebagai pemburu, aku terjatuh ketika berusaha mengejar seekor werewolf di tepi sungai. Pergelangan kakiku retak karenanya. Aku tidak mampu berjalan, jadi aku hanya duduk menahan sakit sembari berusaha meminta tolong pada pemburu lainnya. Pada akhirnya, Seneca harus menggendongku kembali ke desa.” Gadis itu tertawa kecil, mengingat kejadian yang kini lucu sekaligus memalukan baginya. “Ah, malam itu adalah malam bulan purnama. Berjam-jam aku terjebak di antara bebatuan di tepi sungai, kesakitan dan kedinginan, tapi tidak sedikit pun ada perubahan pada diriku.”

“Ah, begitu.” Sal terdengar kecewa. Ia coret kalimat yang baru ia tulis. Pada saat bersamaan, ekor matanya menangkap kembalinya Sean dan Sawyer. Segera harapannya tumbuh lagi. Mungkin, kedua pemuda ini bisa memberikan masukan yang tak terpikirkan oleh otaknya.

“Hei, Dokter Fischer, koleksimu memang hebat!” sapa Sawyer. "Kau asyik berbincang dengan Scarlet, rupanya?”

“Yah, bisa dibilang begitu.” Sal berujar lesu, lalu menghela napas panjang. “Ada hal menarik yang ingin kalian tunjukkan? Aku baru saja menyaksikan hipotesisku dihancurkan tepat di depan mataku, jadi akan sangat membantu jika kalian punya masukan.”

“Er, belum. Belum ada yang penting, sih. Kalau kau bagaimana?” Sawyer menggaruk-garuk kepala, lalu melirik sahabatnya. Sean langsung siap siaga, lalu mempersiapkan temuannya.

“Aku menemukan beberapa hal mengenai transformasi werewolf,” balas Sean sembari menunjukkan kertas-kertas dalam genggamannya. “Betulkan aku kalau aku salah, tetapi apakah paragraf ini menyatakan bahwa proses transformasi dan kekuatan seekor werewolf diduga kuat dipengaruhi oleh tingkat emosinya?”

“Ah, ya, rangsangan adrenalin! Aduh, bagaimana aku bisa lupa? Sini, coba kulihat.” Sal membalik-balik jurnal itu dengan semangat. “Ya, benar katamu. Kurasa ini bisa jadi patokan. Scarlet, apa yang kaurasakan di malam itu?”

“Kurasa aku sudah menceritakannya bolak-balik, Dokter Fischer. Saat itu aku mendadak merasakan kekuatanku bertambah, lalu gerakanku menjadi lebih cepat ....” Scarlet mengusap dagu. Pandangannya menerawang, berusaha mengingat-ingat ceritanya yang dulu.

“Tidak! Tidak! Kalau itu aku sudah dengar,” potong Sal sembari mengibas-ngibaskan tangan. “Tidak, Scarlet. Yang ingin aku ketahui adalah perasaanmu sebelum peristiwa itu terjadi. Apakah kau merasa takut? Marah? Sedih?”

Scarlet bersedekap. Pandangannya menerawang. Perlahan, gadis itu mengingat-ingat kembali malam pertarungannya. Ia bayangkan pemandangan bangunan tua itu, serta bagaimana Anomali itu muncul di hadapannya.

Makhluk itu mengolok-oloknya ... mempermainkannya ... menggodanya ....

Marah. Sangat marah. Itulah yang ia rasakan malam itu. Kemarahan yang membuncah pada Anomali itu, ditambah kemarahan pada diri sendiri karena gagal menyelamatkan si bocah perempuan. Lalu, ketakutan mencengkeramnya ketika makhluk itu dengan mudah berhasil melumpuhkannya. Ia nyaris lumpuh dan pasrah ketika ia menyadari bahwa kemampuannya tidak cukup untuk menghadapi Anomali itu sendirian. Tapi, itu bukanlah rasa takut biasa. Emosi itu adalah puncak, kombinasi dari keputusasaan, penyesalan, dan keinginan kuat untuk hidup. Ya, Scarlet ingat sekarang. Hanya ada satu peristiwa lain yang mampu menanamkan emosi serupa dalam benaknya. Apa yang ia rasakan malam itu sama persis dengan perasaannya enam tahun lalu, ketika ia menghadapi werewolf jelmaan neneknya.

“Dokter Fischer, aku ingat sekarang. Ya, ya, aku ingat perasaan itu. Dokter Fischer, aku benar-benar tidak ingin mati!” Suara Scarlet bergetar. Matanya nanar, seolah jiwa gadis itu tidak berada jauh dari tubuhnya. Napas gadis itu mulai memburu. Kontan, ketiga pria di sekitarnya khawatir.

“Hei, Scarlet, tenanglah!” Sawyer berlari mendekat, lalu menggenggam tangan Scarlet. “Dokter Fischer, lakukan sesuatu!”

“Scarlet, cukup!” Sal mengguncang-guncang bahu gadis itu keras-keras. Seakan terkena sengatan listrik, tubuh gadis itu tersentak. Binar kesadaran kembali muncul di mata birunya. Agak terhuyung gadis itu berpegangan pada sandaran kursi terdekat, lalu merosot duduk di kursi kayu tersebut.

“A ... apa yang terjadi?” Gadis itu melihat ke sekeliling dengan bingung.
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.” Sal berlari dan mengambilkan segelas air baginya. “Maaf, kau tidak perlu melakukannya lagi. Aku sudah mengerti.”

“Maaf, untuk sesaat, semua itu tampak begitu nyata ....” Scarlet menggelengkan kepala. Saat ia mengangkat gelas, terlihat bahwa tangannya dibasahi keringat. Gadis itu menarik napas panjang beberapa kali. Ia usap keringat di dahi dengan lengan jaket.

“Kurasa aku tahu apa yang membangkitkan kemampuanmu.” Sal berucap sembari menulis. “Sawyer, apakah ada perbedaan antara transformasi Scarlet kemarin malam dengan malam insiden Desa Whittington?”

“Ya,” jawab Sawyer yakin. “Maaf sebelumnya, Scarlet, tapi pada insiden Desa Whittington kau terlihat jauh lebih menakutkan daripada wujudmu kemarin. Bagaimana, ya, cara bilangnya? Pokoknya, kemarin kau terlihat lebih ‘manusia’. Kekuatan, cara gerakmu, semua masih normal. Sangat beda dengan malam insiden itu.”

“Baik, aku mengerti sekarang.” Sal mengetukkan pensil. “Selain sinar rembulan, keinginan kuat Scarlet untuk hiduplah yang mempengaruhinya. Entah kau sadar atau tidak, kau sendirilah yang membangunkan kekuatanmu dalam insiden itu. Ini sungguh menarik. Sepanjang perkiraanku, belum pernah ada yang membahas ini sebelumnya.”

“Menurutmu, mungkinkah itu dibatalkan?” sela Sean. “Jangan terlalu semangat, Dokter Fischer. Kau harus ingat bahwa tujuan utama kami adalah menyembuhkan Scarlet.”

“Dibatalkan, tidak. Dikendalikan, bisa. Caranya? Kita harus cari tahu. Seandainya ada catatan sejarah, atau rekam medis ....” Sal bersedekap, dahinya berkerut.

“Ada satu tempat kita bisa menemukan petunjuk,” ujar Scarlet lirih. Tangannya menggenggam gelas kosong erat-erat. Tidak pernah lagi ia menginjakkan kaki di tempat itu sejak usianya dua belas tahun. Hingga sekarang, ia masih tak yakin apakah itu ide yang baik untuk pergi ke sana. Namun, ia enggan menyia-nyiakan setiap cercah cahaya yang ada, betapa pun redupnya. Gadis itu mengangkat kepala, memberikan senyum meyakinkan pada ketiga pria yang menunggu jawabannya.

“Semalam, aku mengetahui bahwa ayah dan nenekku adalah werewolf.” Scarlet berucap lembut, memandangi ekspresi ketiganya yang perlahan berubah.

“Lalu, apa yang kaurencanakan?” tanya Sean. Scarlet terdiam, lalu menggeleng.

“Ah, bukan apa-apa. Mungkin ini ide buruk.”

“Scarlet, aku sudah mengenalmu sejak kecil. Kau pasti sedang memikirkan sesuatu. Kelihatan di sorot matamu.” Sean menarik kursi lain, lalu duduk di hadapan gadis itu. Sawyer menggabungkan diri, lalu mengangguk sebagai tanda dukungan.

“Yah, aku tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu dari kalian, kan?” Scarlet tersenyum sembari melipat tangan di atas pangkuan. “Inilah rencanaku. Bila kita pergi ke rumah lama nenekku, mungkin kita bisa menemukan cara mereka menyembunyikan kemampuan werewolf mereka.”

Catatan penulis:
bikin teori ilmiah ala-ala buat keperluan worldbuilding itu menyenangkan

(ノ◕ヮ◕)ノ*.✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top