16. Undangan Purnama
Begitu pasien terakhir keluar, Scarlet, Sean, dan Sawyer bergegas mendatangi pintu klinik. Belum lagi mereka sampai, pintu sudah terbuka, menampakkan Sal yang siap untuk pergi. Tentu saja pria itu terheran-heran melihat ketiga muda-mudi itu berdiri berjajar seperti kayu pagar. Apalagi sambil cengar-cengir bagai bocah hendak minta uang!
“Kau kembali, Scarlet? Ada masalah apa? Ada barang yang ketinggalan?” tanyanya. “Aku, eh, ada panggilan darurat. Kalau kau butuh berdiskusi, tunggu sampai aku kembali.”
“Aku sudah memutuskan, Dokter Fischer,” sahut Scarlet mantap. “Sebelumnya, kuharap kau tidak keberatan aku membawa dua sahabatku ini. Aku mendiskusikan tawaranmu dengan mereka. Setelah memikirkannya baik-baik, aku setuju untuk berpartisipasi dalam penelitianmu.”
“Oh, um, ya, tentu saja!” sahut Sal. Setengah antusias, setengah enggan begitu melihat keberadaan dua tamu tak diundang. Yah, Scarlet sudah terlanjur bercerita. Mau tidak mau, lelaki itu harus menerima tambahan dua personel dadakan. Lagipula, karena mereka berdua adalah pemburu, dan kenal dekat dengan Scarlet, barangkali bantuan mereka akan berguna, pikirnya menghibur diri.
“Kalau begitu, aku akan mengurus persiapannya. Kalian tetap jalani rutinitas seperti biasa. Akan kukabari kalau sudah siap,” jawab Sal sambil mempersiapkan kudanya. “Yah, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa!”
Sal segera menaiki kuda, lalu melesat menyusuri jalan utama. Scarlet mengangkat bahu. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu pria itu kembali. Gadis itu duduk di tangga teras rumah Sal. Sawyer menyusul di sampingnya. Cuma Sean yang masih setia melihat jalanan dengan dahi berkerut dan alis bertaut.
“Kalian tidak merasa ada yang aneh? Dokter Fischer tidak membawa tas dokternya.” Sal berbalik, lalu menggabungkan diri dengan kedua sahabatnya. “Ia tidak mungkin mendatangi panggilan darurat, itu pasti. Lagipula, jalan yang ia tempuh mengarah ke luar desa.”
“Barangkali mengunjungi rekannya sesama peneliti? Ia bolak-balik menggunakan kata ‘kami’ saat menjelaskan tujuan penelitiannya. Yah, memang orang itu benar-benar aneh.” Scarlet menggeleng pasrah. “Apa boleh buat, ia satu-satunya orang yang bisa kita mintai tolong.”
***
Hari-hari Scarlet berlalu seperti biasa. Hampir seperti biasa, sebenarnya. Scarlet disibukkan dengan rutinitas baru, membantu ibunya mengerjakan pesanan jahitan pakaian. Selebihnya, ia lebih banyak tinggal di rumah. Kalau dahulu gadis-gadis seusianya tak terlalu akrab dengannya, kini mereka betul-betul menghindarinya. Sean, Sawyer, dan Seneca juga punya kesibukan mereka sendiri. Hanya sekali-sekali mereka bertemu, itu pun seringkali hanya bertegur sapa.
Saat malam tiba dan para pemburu beraktivitas, baru Scarlet sadari betapa ia sangat merindukan kehidupan lamanya. Betapa ia ingin bergabung dalam barisan bersama teman-teman setimnya di bawah sinar lentera. Betapa ia ingin kembali beraksi mengarungi kegelapan bersama kapak dan pisau kesayangannya.
Memang benar kata pepatah, bahwa manusia baru dapat menghargai apa yang ia miliki ketika hal itu tak lagi ada dalam genggaman. Sayang, ia bahkan tak berani mengintip kegiatan para pemburu. Begitu matahari terbenam, langsung ia menutup seluruh jendela rumah dan pergi berdiam di kamarnya, takut kalau-kalau sinar bulan mengenai dirinya.
Lalu, bagaimana dengan Sal Fischer? Scarlet benar-benar tak mengerti jalan pikiran pria itu. Semenjak pertemuan terakhir mereka, beberapa kali Scarlet melihat tukang bangunan keluar masuk halaman belakang klinik. Terlalu jauh jarak antara rumah keluarga Dixon dan klinik untuk mendapatkan pemandangan yang jelas, tetapi menurut penglihatan gadis itu, Sal sedang membangun semacam lumbung. Mungkin juga kandang, bila ditinjau dari bentuk dindingnya. Ah, Scarlet tak dapat menebak rencananya.
Kira-kira sebulan kemudian, hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi-pagi benar, Scarlet menemukan sepucuk surat terselip di bawah pintu depan. Dari Sal, dikirim langsung tanpa perangko. Pria itu memintanya bermalam sehari untuk observasi. Scarlet cuma perlu membawa pakaian dan kebutuhan pribadi lainnya, sedang keperluan lain-lain disediakan oleh Sal.
“Permintaan macam apa ini? Pria itu mungkin memang kaya dan pandai, tapi, mengajakmu menginap seperti ini? Apa ia tidak pernah belajar sopan santun?” Tak henti-henti ibu Scarlet mengomel selagi anak gadisnya berkemas.
“Tenang, Ma, hanya semalam.” Scarlet tertawa kecil. “Aku senang Mama sekarang terdengar seperti ibu-ibu lainnya.”
“Tentu saja! Kau kan anak perempuan Mama satu satunya! Ini, jangan sampai ketinggalan.” Wanita itu menyorongkan tas pinggang dan kapak pada Scarlet. “Ingat, kalau sampai lelaki itu melakukan hal-hal aneh padamu, pastikan kau memberinya pelajaran!”
“Ah, Mama, tidak usah! Nanti aku kelihatan seperti perampok!” sahut Scarlet. Bisa panik Sal kalau melihat Scarlet datang dengan senjata lengkap! Meski begitu, tetap ia pasang tas pinggangnya pada sabuk. Ia tentu tidak dapat membawa-bawa kapak tanpa kelihatan aneh sekarang, tetapi ia masih bisa membawa pisau dalam tas pinggangnya tanpa terlihat dari luar.
“Nah, bagus. Seorang perempuan harus selalu waspada.” Ibu Scarlet mengembalikan kapak itu ke meja di kamar Scarlet. Setelah memastikan semua lengkap, Scarlet pun berangkat.
“Baiklah, aku pergi dulu! Jangan tidur terlalu malam, Ma!” Scarlet melambaikan tangan.
***
Begitu kakinya menginjak pelataran rumah, ia langsung beradu pandang dengan Seneca dan Sawyer. Keduanya sedang melintas dari arah hutan, masing-masing membawa dua ekor kelinci besar. Hebat, batin Scarlet, benar-benar lupa bahwa kedua orang itu pergi berburu hari ini. Kini pastilah ia berutang penjelasan pada keduanya.
“Scarlet, mau ke mana?” Seneca mengangkat alis. Pandangannya bolak-balik antara koper dan wajah kaget gadis itu. Sial, ia kelihatan kesal, pikir Scarlet sambil berusaha menghindari kontak mata. Apa boleh buat, tak ada jalan untuk lari.
“Eh, anu, Dokter Fischer ....” Scarlet tergagap. “Aku, eh, ada perlu dengannya ....”
“Aku sudah tahu kalau kau dan kawan-kawanmu menemuinya. Apalagi yang diinginkan pria sinting itu darimu? Jangan bilang kalau ia menyuruhmu bermalam!” potong Seneca cepat. Scarlet berani sumpah kalau ia melihat mata pria itu berapi-api. Sawyer pun kelihatan marah. Sial, kalau dibiarkan, bisa-bisa keduanya mengeroyok klinik Sal!
“Hanya untuk keperluan penelitian! Karena malam ini bulan purnama, Dokter Fischer bilang bahwa ia ingin melakukan suatu uji coba,” balas gadis itu cepat.
“Ugh, dan malam ini aku tidak dapat meninggalkan patroli.” Seneca mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Sejurus kemudian, ia melirik pemuda di sampingnya.
“Hei, Sawyer, cepat kautemani Scarlet! Bawa serta crossbow-mu. Ya, aku serius, Sawyer. Tinggalkan kelincinya, nanti akan kuantar ke rumahmu. Jangan melongo begitu. Aku tidak bisa mempercayai pria kacamata itu,” perintah Seneca.
“Baik, Seneca.” Sawyer mengangguk, lalu melirik Scarlet. Jangan coba-coba menyuruhku pergi, begitu kira-kira arti lirikannya. Maka, gadis itu pun tidak memprotes.
Waktu Scarlet pamit pada Seneca, Sawyer mengekorinya seperti anak bebek. Bersama-sama mereka berjalan kaki ke rumah Sal. Di sana-sini, terdengar bisik-bisik para warga yang lewat. Anak-anak berhenti bermain, lalu lari ke dalam rumah. Satu-dua orang menyapa kedua pemuda itu ragu-ragu, kemudian mempercepat langkah mereka. Scarlet tertunduk lesu. Ia kenal semua orang itu. Ia tak suka mereka memandangnya dengan ketakutan, tetapi ia tidak bisa menyalahkan mereka.
“Oi, sebenarnya apa yang hendak dilakukan Dokter Fischer? Aku yakin kau pasti memperhatikan bangunan jelek di belakang rumahnya itu.” Sawyer mencoba mengalihkan perhatian Scarlet.
“Entahlah.Kau ingat, bukan? Setelah ia pulang dari perjalanannya tempo hari, Dokter Fischer cuma menyuruh kita untuk bersabar sementara ia mempersiapkan segala sesuatu.” Scarlet mulai menendang-nendang kerikil di jalanan desa yang cuma terbuat dari tanah. “Sejujurnya, aku bahkan mulai ragu apakah ini adalah ide yang terbaik. Malam ini bulan purnama, kan? Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang salah? Itu berarti kau, uh, mungkin harus menembakku demi keselamatan warga. Biar bagaimanapun juga, aku takut, Sawyer.”
“Tenang saja, Scarlet! Tidak perlu berpikiran yang aneh-aneh. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja!” Sawyer menepuk pundak Scarlet. “Tuh, lihat, sepertinya Dokter Fischer sudah menunggu di depan rumah. Pria itu memang tampak seperti pecundang, tetapi ia tidak bodoh. Pasti ia sudah mengantisipasi segala kemungkinan.”
“Kuharap kau benar, Sawyer.” Scarlet mengangguk. Memang, Sal sudah celingukan di depan pintu rumahnya sambil bolak-balik mengecek jam saku. Pria itu melambai penuh semangat begitu melihat kemunculan Scarlet. Gadis itu menarik napas panjang, lalu balas melambai. Sekarang, sudah terlambat untuk berbalik. Dengan bergantung pada harapan akan kembalunya keadaan seperti dahulu, Scarlet memutuskan untuk terus melangkah maju.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top