15. Penyelidikan Dua Kubu
“Hah, kau ingin menginvestigasi lebih jauh soal werewolf?”
Scarlet menghela napas panjang. Saat ia memutuskan untuk memberitahu Sean dan Sawyer sebelum ia pergi menemui Sal, sudah diduganya respons keduanya akan seperti ini. Bagaimana tidak, baru saja Sean dan Sawyer menginjakkan kaki di taman tempat pertemuan, Scarlet langsung berucap tanpa basa-basi. Ditambah lagi, selain para ilmuwan, jarang sekali ada orang yang menaruh perhatian lebih terhadap werewolf, kecuali bila berkaitan dengan teknik baru untuk membunuh makhluk-makhluk itu. Pagi ini adalah pertemuan pertama ketiga sahabat itu setelah Scarlet pulih. Perbedaannya terletak pada ekspresi wajah mereka. Kalau Sean merespons dengan dahi berkerut, Sawyer menanggapi dengan wajah sumringah.
“Apa boleh buat, aku harus berjaga-jaga agar tidak bertransformasi di luar keinginanku,” jelas Scarlet. “Aku tidak bisa diam saja dan menunggu diriku berubah menjadi monster, kan? Bagaimana kalau aku sampa benar-benar membunuh orang?”
“Benar, kau tidak punya pilihan lain,” sahut Sean sembari menatap Scarlet serius. “Meski begitu, kau yakin mau mempercayai Dokter Fischer? Jujur, dari mendengar ceritamu saja, aku mendapat kesan mencurigakan tentangnya. Coba dengar, buat apa ia menyembunyikan penelitiannya?”
“Entahlah, ia betul-betul tidak ingin orang banyak mengetahuinya. Apa boleh buat, Cuma Dokter Fischer satu-satunya kenalan kita yang punya informasi. Melihat kenyataan bahwa belum ada orang dari pihak militer yang menjemputku sampai hari ini, kurasa ia tidak berniat menyerahkanku pada otoritas kerajaan.” Scarlet mengangkat bahu. Sean dan Sawyer mengangguk mengiyakan. Sesaat ketiga sahabat itu termenung dengan dahi berkerut, kalau-kalau ada alternatif lain yang bisa mereka pikirkan.
“Kautahu, mungkin ada sisi positifnya. Akan sangat keren kalau kau bisa mengeluarkan dan mengendalikan wujud werewolf-mu kapan pun dibutuhkan!” Mendadak, Sawyer berseru antusias. “Ingat bagaimana kau bisa mengalahkan Anomali itu seorang diri dengan kemampuanmu? Nah, kalau kau bisa menggunakannya setiap kali ada Anomali muncul, pasti skuad pemburu Desa Chartain jadi skuad terhebat di seluruh kerajaan!”
“Jangan ngawur, ah!” Sambil tertawa kecil, Scarlet menyikut pemuda berambut merah itu. “Kalau sampai itu terjadi, bisa gonjang ganjing seluruh Kerajaan Sonneval! Selain itu, aku sudah berjanji pada Mama untuk memendam kemampuan itu.”
“Keputusanmu benar, Scarlet. Terlalu berisiko memamerkan kemampuan yang belum kaumengerti ke muka umum.” Sean memegang pundak kiri gadis itu. Di saat bersamaan, lelaki itu melemparkan tatapan mencemooh pada Sawyer. Aku tidak suka ide bodohmu, kurang lebih itu yang Sean isyaratkan. Yang ditatap langsung sadar diri, lalu menutup mulut.
“Jadi, apa kabar teman-teman di skuad pemburu?” Setelah tujuan utama kelar dibahas, Scarlet beralih ke topik yang lebih ringan. Gadis itu duduk di bangku taman. Tubuhnya condong ke depan, lengannya bersilang di atas paha. Setelah mendengarnya, Sean dan Sawyer terdiam. Kedua pemuda berpandangan sebentar, sebelum memutuskan untuk memberitahu gadis itu.
“Tidak terlalu baik.” Sawyer duduk di sisi bangku yang berseberangan dengan Scarlet. “Kami tetap berlatih dan berpatroli seperti biasa, tetapi kondisinya berbeda. Semua orang jadi canggung dan sering salah paham. Pokoknya tidak seakrab dulu, deh!”
“Mulai ada perpecahan di antara anggota skuad pemburu,” sambung Sean. Lelaki itu menyandarkan punggung pada sebatang pohon. “Kau mungkin sudah dengar bagaimana Seneca membelamu di pertemuan warga. Nah, beberapa orang tidak setuju. Sampai saat ini, sudah ada lima orang yang memisahkan diri dan membentuk pasukan patroli sendiri, dan mungkin akan bertambah. Tak perlu risau, kami berdua tetap di pihak Seneca.”
“Memangnya siapa saja teman-teman kita yang bertahan?” sela Scarlet. Sean terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab.
“Biar kuingat-ingat dulu. Fran sudah berhenti, tetapi ia diam-diam mendukung Seneca. Drew jelas termasuk orang-orang yang keluar. David masih ragu-ragu. Untuk sementara ini, ia masih bertahan dalam tim kami. Meski Seneca terus menunjukkan sikap bahwa keputusannya diambil untuk mengutamakan kepentingan dan keselamatan bersama, tetapi, yah, tetap saja ia kehilangan respek beberapa orang.”
“Ah, ya, Seneca menjengukku waktu aku dirawat. Bagaimana kabarnya?” Kepala Scarlet mendongak, menatap Sean penuh tanya dan harap.
“Seneca menjengukmu?” Rupanya itu berita baru bagi Sean. “Aku tidak tahu kalau ia melakukannya. Oh, ngomong-ngomong, ia masih seperti orang yang biasa kita kenal. Tetap disiplin, tegas, dan kadang bermulut pedas. Hanya saja, tetap kelihatan kalau keluarnya beberapa anggota cukup menjadi beban pikirannya. Mungkin cuma perasaanku saja, tapi ia sekarang lebih penyendiri.”
“Memang. Kurasa ia tidak memberitahu siapa-siapa soal kunjungannya waktu itu.” Scarlet menunduk. Dengan ujung sepatunya, ia membuat pola lingkaran-lingkaran kecil di pasir. “Ia bilang padaku untuk tidak usah merasa bersalah, tapi tetap saja aku merasa harus membalas budi atas konsekuensi yang ia tanggung karenaku. Makanya, aku harus segera menemui Dokter Fischer dan menyelesaikan masalah ini.”
“Kalau begitu, ayo ke klink sekarang,” sahut Sean, tenang tetapi tegas. “Begitu klinik sepi, kita temui Dokter Fischer. Kalau memang informasi yang ia miliki sebanyak itu, seharusnya kita bisa menemukan sesuatu yang berguna.”
“Ide bagus.” Scarlet mengamini. Gadis itu berdiri. Ketiga sahabat itu beranjak menuju tujuan selanjutnya.
***
Puluhan kilometer dari tempat ketiga sahabat itu berada, sekelompok orang berkumpul mengelilingi sebuah meja oval panjang dari kayu. Jubah hitam bertudung menyelubungi tubuh dan kepala mereka. Meski masih siang, jendela-jendela ruangan tempat mereka berada tertutup rapat dan digerendel dengan rantai besi. Tirai-tirai beledu menyelubungi jendela, warnanya merah bagaikan darah. Satu-satunya penerangan bersumber dari lilin-lilin dalam kandil perak yang berbaris di atas meja berlapis kain merah tersebut. Pada tongkat-tongkat logam yang terpancang di dinding tergantung bendera-bendera merah. Semuanya bersulamkan hal yang sama, yaitu sebentuk simbol menyerupai lingkaran dan panah bersilang.
Di ujung meja, duduklah pemimpin perkumpulan itu. Sulaman benang emas pada jubahnya jadi tanda wibawa pertama, diperkuat dengan sikap hormat orang-orang lain di meja itu padanya. Di balik jubah itu terlihat kemeja dan jas hitam berpotongan bagus, hasil jahitan penjahit profesional. Tangan kanannya mencengkeram sebuah tongkat kayu dengan kepala perak berbentuk tengkorak gagak. Dari separuh wajahnya yang diterangi cahaya lilin, tampak bahwa pria itu sedang murka.
“Riley dan Alder, kemarilah,” ujar sosok itu dengan suara bariton yang tajam dan dingin. Takut-takut dua orang berdiri, lalu beringsut ke hadapannya. Alder Evans adalah lelaki berwajah tirus dan berambut cokelat ikal dengan hidung bengkok seperti paruh burung. Kontras dengannya, Riley Watson adalah seorang wanita berambut pirang keperakan dengan mata biru jernih dan kulit yang sangat putih seperti orang Skandinavia. Begitu sampai, keduanya segera berlutut dengan gemetar di samping kursi.
“Ampuni kami, Lord Whiteford. Kami ceroboh dengan membiarkan para pemburu Desa Whittington lolos dan memanggil bantuan dari Desa Chartain.” Si wanita bersujud hingga mukanya menyentuh lantai. “Lain kali, kami akan memperbaiki strategi.”
“Bukan itu masalah yang mendesak!” Terrence Whiteford menggebrak meja. “Mengapa korban di pihak kita banyak sekali? Apalagi Devin juga gugur! Tidak tahukah kalian bahwa Devin adalah salah satu Anomali paling berharga yang kita punya?”
“Semuanya di luar dugaan!” Alder menyahut, suaranya meninggi penuh kepanikan. “Siapa yang menyangka warga desa-desa yang bahkan tidak mendapatkan perlindungan militer dapat memiliki kemampuan bertarung nyaris setara dengan para prajurit profesional? Komandan perempuan itu betul-betul tangguh! Ditambah lagi, komandan dari Desa Chartain kemudian datang membawa serta pasukannya.”
“Diam! Jangan meninggikan suara di hadapanku. Dasar tidak tahu malu!” sentak Lord Whiteford berang. Pria itu berdiri. Dalam sekejap kakinya melayang, menendang Alder hingga terlempar dan jatuh terjengkang. Merasa belum cukup, ia menginjak dada pria yang nyaris kaku ketakutan itu dengan kaki kanannya.
“Lord Whiteford, mohon berikan kami kesempatan!” Riley cepat-cepat berlari dan memeluk kaki kiri Sang Pemimpin. “Sebelum mayatnya hancur terkena sinar mentari pagi, aku sempat membaca sisa-sisa ingatan di otak Devin lewat telepati. Aku melihat sosok Anomali wanita yang membunuhnya. Anomali itu masih sangat muda. Baru saja beranjak dewasa, kurasa. Ia membantu para pemburu di Desa Chartain. Bahkan kuduga ia bukan sembarang Anomali, melainkan keturunan dari Klan Blackwell!”
Begitu nama tersebut keluar dari bibir Riley, ruang pertemuan langsung berubah riuh. Semua yang hadir berebutan menyerukan tanggapan. Sebagian besar langsung menyanggah dugaan Riley dengan berbagai macam alasan. Sebagian lagi langsung mengepalkan tangan dengan geram, dan meminta agar Riley membocorkan alamat tempat tinggal Anomali misterius itu.
“Diam, semua! Biar aku yang menilai kebenaran informasi ini. Meski demikian, kekurangajaranmu sudah kelewatan, Alder Evans. Kau tahu bahwa aku benci orang yang suka mencari-cari alasan.” Sekali lagi Lord Whiteford bertitah. Dalam sekejap, tangan kanannya beralih rupa menjadi cakar werewolf. Lord Whiteford menyambar Alder pada lehernya, lalu melemparkan sosok itu ke tembok bagaikan seorang anak yang membuang boneka kain.
Alder menghantam dinding, merosot ke lantai, dan terbaring tak bergerak. Bercak darah memanjang terlihat di dinding. Dua orang penjaga datang dan menyeret pria itu ke luar. Entah Alder hidup atau mati, penjaga-penjaga itu akan membakar tubuh pria itu dalam insinerator sampai tak bersisa, sebagai tanda bahwa pria itu kini sudah dibuang.
Sementara itu, Riley kini duduk bersimpuh dengan kepala menunduk. Ekor matanya bolak-balik mencuri pandang pada noda darah yang tertinggal sepanjang lantai sementara tubuh Alder diseret. Sekujur tubuhnya gemetar. Wanita itu tak berani mengangkat pandang ketika Lord Whiteford mengamati wajahnya lekat-lekat. Bagaimana bila ia jadi yang berikutnya? Tidak sanggup ia membayangkan ia terkurung sementara api menjilat kulitnya, perlahan-lahan menghancurkannya sementara ia tak bisa berbuat apa-apa.
“Klan Blackwell, katamu? Klan yang mengkhianati jati dirinya dan mengubah marganya demi bisa hidup berdampingan dengan manusia? Kuharap kau membawa informasi yang benar, Riley.” Jemari Lord Whiteford menelusuri pipi dan tulang rahang Riley. Ia mengangkat dagu Riley dan memaksa wanita itu menatap matanya. Seketika, pupil mata wanita yang dipanggil Riley itu melebar. Tubuh wanita itu gemetar hebat, keringat dingin turun membasahi dahi. Teror membanjiri benaknya ketika Lord Whiteford menarik paksa ingatan Devin keluar dari relung memorinya.
Bagaikan menonton film, potongan-potongan kejadian pada malam penyerangan Desa Whittington muncul di benak Lord Whiteford. Memang tidak terlalu runtut karena bukan ingatan wanita itu sendiri yang ia baca, tetapi cukup memberi gambaran samar tentang pertarungan di reruntuhan. Lelaki itu mengepalkan tangan, geram atas perilaku tidak kompeten para werewolf kepercayaannya.
“Bulu cokelat kehitaman, tubuh ramping, gerakan lincah, eh? Ya, memang mirip betul dengan ciri-ciri werewolf dari Klan Blackwell. Menarik sekali bagaimana cara ia bertransformasi di tengah pertarungan. Rupanya ini ingatan terakhir Devin yang berhasil kauekstrak.” Lord Whiteford menggumam.
Setelah ia merasa cukup melihat-lihat, diputuskannya hubungan telepati paksa itu. Riley buru-buru memalingkan pandangan. Wajahnya yang putih itu kini bagaikan kertas, telapak tangan dan kakinya basah dan dingin oleh keringat. Terhuyung-huyung wanita itu mencondongkan badan menjauh dari Lord Whiteford, lalu muntah mengotori lantai batu ruangan itu. Lord Whiteford tidak mempedulikannya. Pria itu kembali ke tempat duduknya, menghadap anak-anak buahnya yang lain. Para peserta lain pun tak beranjak. Mereka segan melakukan sesuatu di luar perintah pria itu.
“Apa kalian ingin kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu?” tanya pria itu. Masih sambil berlutut di depan sang pemimpin, Riley cepat-cepat mengangguk. Matanya berkilat-kilat penuh permohonan.
“Baiklah, ini kesempatan terakhir. Aku ingin kau menyelidiki keberadaan gadis itu diam-diam. Hanya, jangan apa-apakan dia. Aku menginginkannya hidup-hidup. Begitu tiba saat yang tepat, akan kukatakan apa yang harus kalian lakukan selanjutnya.”
P.S: jujur, menurutku pribadi, ini part paling disturbing yang kutulis--- (;ŏ﹏ŏ)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top