14. Kenyataan Terpendam
Cahaya lampu minyak menerangi seorang wanita paruh baya dan anak gadisnya yang sedang menyantap makan malam di kediaman mereka. Selain mereka, tidak ada yang lain di rumah keluarga Dixon. Selama bertahun-tahun, ibu dan anak itu menjalani hidup berdua saja, saling mendukung melewati hari-hari. Pada malam ini pun kesunyian melingkupi selagi mereka makan dalam diam. Hanya bunyi jarum jam yang samar-samar menghiasi rumah sederhana itu.
Scarlet mengiris fillet ayam panggang di piringnya. Mata birunya menerawang. Terbayang kembali kata-kata yang Sal ucapkan setelah mereka keluar dari rubanah.
“Ada satu hal yang kami temukan mengenai fenomena yang menimpamu. Kemampuan werewolf adalah keturunan. Seharusnya perkawinan antara werewolf dan manusia biasa tidak dapat menghasilkan keturunan yang hidup hingga dewasa, tetapi terkadang ada perkecualian. Maaf aku harus mengatakan ini, tetapi aku yakin setidaknya salah satu orang tuamu memiliki darah werewolf.”
Perlahan, Scarlet menatap ibunya, Amelia Dixon. Dipandanginya wajah lembut nan tenang yang telah menemani hari-harinya selama ia bertumbuh dewasa. Dipandanginya tangan-tangan yang telah bertahun-tahun bekerja keras menjahit pakaian demi membesarkannya seorang diri. Ibunya begitu biasa dan bersahaja, seperti ibu-ibu lainnya di desa. Dilihat dari sisi mana pun, tak dapat ia membayangkan bahwa ibunya adalah seekor werewolf. Lalu, apakah dari ayahnya ia memperoleh kemampuan itu?
“Scarlet, kok tidak makan? Bahumu masih sakit, ya?” Suara lembut wanita itu membawa Scarlet kembali pada kenyataan.
“Tidak, Ma. Cuma sedikit capek.” Scarlet tersenyum. Ibunya balas tersenyum, lalu menyendokkan lebih banyak sayuran ke piring Scarlet.
“Ayo, makan yang banyak. Setelah itu, cepat tidur. Kelihatannya kau bertambah kurus. Kalau Dokter Fischer tidak memberimu makan dengan baik selama kau dirawat, beritahu Mama. Akan Mama marahi orang itu sampai ia tidak berani lagi menatap Mama!”
Scarlet tertawa kecil. Ia tahu kalimat terakhir ibunya cuma bercanda. Sepanjang ingatannya, tidak pernah gadis itu mendengar wanita itu meninggikan suara pada orang lain, termasuk pada Scarlet sendiri. Tidak ketika Scarlet kecil berkelahi dengan anak-anak lelaki dari desa sebelah. Tidak ketika Scarlet kecil ketahuan mencuri apel dari kebun tetangga. Setiap kali ia melakukan kesalahan, ibunya hanya menyuruhnya duduk dan merefleksikan tindakannya, hingga Scarlet sendiri sadar akan kesalahannya.
Hanya ada satu peraturan tak tertulis yang dipegang teguh pasangan ibu dan anak itu, yaitu untuk tidak pernah membicarakan memori paling menyakitkan bagi masing-masing dari mereka. Itu berarti, Scarlet tidak pernah membicarakan soal ayahnya. Sebagai gantinya, Amelia tidak pernah mengungkit-ungkit malam ketika Scarlet membunuh werewolf pertamanya.
Kapan peraturan itu mulai berjalan, Scarlet tidak ingat. Begitu juga dengan pemahaman bahwa ayahnya menghilang tanpa jejak. Scarlet memilih untuk mempercayai penjelasan ibu dan neneknya soal kepergian tiba-tiba tersebut, yaitu bahwa ayahnya telah meninggal saat ia masih terlalu kecil untuk mengerti arti kematian.
Hanya samar-samar gadis itu mengingat soal ayahnya. Bahkan wajah pria itu pun tidak lagi ia ingat. Cuma dekapan dan lagu-lagu pengantar tidur di malam-malam berbadai yang lekat dalam memorinya, bagaikan sebuah mimpi indah. Saat itu, mereka tidak tinggal di Desa Chartain. Mereka baru menempati rumah ini ketika usia Scarlet empat tahun, beberapa bulan setelah kepergian ayah gadis itu. Tidak pernah ada pemakaman yang terekam dalam memorinya. Pria itu seolah lenyap ditelan bumi.
“Kau sangat mirip papamu, Scarlet.” Kembali Scarlet dikejutkan oleh suara ibunya. Bukankah suatu kebetulan yang aneh bahwa mereka memikirkan orang yang sama secara bersamaan? Kini ganti wanita itu yang menatapnya dengan pandangan penuh sayang. Kepedihan tersirat dalam sepasang mata cokelatnya. Scarlet bisa melihat gurat-gurat kerutan di sekitar mata dan dahi Amelia, serta beberapa helai uban di antara rambut cokelatnya yang diikat ke belakang. Sementara Scarlet bekerja dan menjalani hari, wanita itu semakin menua, dan baru kali ini Scarlet sempat berhenti untuk memperhatikannya.
“Kau sangat mirip papamu.” Wanita itu mengulangi ucapannya. “Mata birumu, ketangguhanmu, sifatmu yang tidak mau merepotkan orang lain, semua sama persis dengan yang Mama lihat dalam diri papamu puluhan tahun lalu.”
“Ada apa, Ma?” Scarlet memiringkan kepala. “Mengapa tiba-tiba Mama bicara seperti itu?”
Mendadak Scarlet menyadari bahwa mata wanita itu berkaca-kaca. Sontak, gadis itu bingung dan panik dibuatnya. Ia hendak berdiri dan menghampiri, tetapi Amelia menyuruhnya tetap duduk dengan gerakan tangan.
“Seharusnya Mama memberitahumu tentang papamu sejak dulu. Mama sama sekali tidak menyangka bahwa kau mewarisi bakat terpendamnya, mengingat bakat itu telah begitu lama dorman dalam garis keluarganya.”
“Maksud Mama ....” Scarlet tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
“Papamu adalah seekor werewolf. Begitu pula dengan nenekmu. Ia sendiri yang memberitahu Mama ketika kami hendak menikah.” Setitik air mata menetes dari sudut mata kiri wanita itu.
“Namun, bagaimana mungkin? Bukankah Papa dan Nenek tetap berwujud manusia meski bulan bersinar terang?” Scarlet menyahut. Biar dipikir dari sisi mana pun, berita ini lagi-lagi bertentangan dengan setiap asas biologi werewolf yang pernah dipelajarinya. Agaknya, semua hukum alam yang pernah Scarlet pelajari mendadak dibengkokkan selama seminggu terakhir, meninggalkannya dengan setumpuk pertanyaan tak terjawab.
“Mereka berbeda. Ada segelintir werewolf di luar sana yang telah menguasai ilmu untuk mengendalikan kekuatan mereka. Nenek dan papamu termasuk salah satunya. Oleh karena itu, mereka dapat hidup berdampingan dengan manusia secara aman. Setidaknya, begitulah yang Mama sangka, sampai kau nyaris dibunuh oleh nenekmu sendiri.”
Jadi, Papa dan Nenek adalah Anomali, batin Scarlet. Itu sebabnya mereka dapat lolos dari pemantauan ketat para pemburu dan militer Kerajaan Sonneval. Lantas, mengapa orang tuanya tetap melangsungkan pernikahan? Apakah ayahnya telah menipu ibunya? Atau, lebih parah lagi, apakah lelaki itu telah memaksa ibunya?
Agaknya Amelia menangkap perubahan ekspresi wajah putrinya. Wanita itu mencondongkan badan ke depan. Lalu, digenggamnya kedua tangan anak gadisnya. Lembut, tetapi erat dan mantap.
“Scarlet, kuharap kau tidak membenci papamu setelah ini. Sebelum kami menikah, ia telah menceritakan segala-galanya. Mamalah yang ngotot ingin pernikahan dilanjutkan. Saat itu, Mama masih muda dan bodoh. Keluarga papamu benar-benar terlihat layaknya orang kebanyakan, hingga Mama percaya bahwa naluri werewolf mereka telah hilang sama sekali.” Suara wanita itu penuh nada permohonan. “Kau tidak perlu memaafkan Mama bila kau tidak ingin, Scarlet. Karena keegosian Mama, kau jadi mewarisi darah werewolf itu. Karena Mama pula, kau terpaksa membunuh nenekmu sendiri. Bagaimanapun, ini semua salah Mama.”
Ah, bagaimana bisa Scarlet marah? Betapa pun mulutnya ingin memberondongkan kekecewaan pada ibunya, hatinya tak kuasa melakukan hal itu. Di bawah kedipan lampu yang hampir habis minyaknya, wanita itu menunduk dan terisak. Masihkah Scarlet perlu menambah lukanya ketika penyesalan-penyesalannya sendiri telah menghancurkannya? Tidak, Scarlet bukan orang yang sekejam itu. Alih-alih marah, gadis itu mendekat. Lalu, ia mendekap Amelia dari belakang, seperti yang sering ia lakukan pada masa kecilnya.
“Semua sudah terjadi, Ma.” Scarlet mendengar suaranya sendiri bergetar. Sejuta kata tersangkut di ujung lidahnya, tinggal tak terucap. Tidak, Scarlet tidak menangis. Lebih tepatnya, ia tak berani menangis. Hendak ia tunjukkan pada ibunya bahwa ia benar-benar legawa. Bagaimanapun, nasi sudah menjadi bubur. Tidaklah mungkin untuk mengubah apa yang telah terjadi.
“Belajarlah mengendalikan kemampuanmu,” ujar ibunya lirih. “Kemudian, sembunyikan itu. Jangan pernah lagi kau memakainya dalam keadaan apa pun. Lupakan segalanya, lalu mulailah hidup yang baru. Itulah satu-satunya caramu bertahan hidup sekarang.”
Scarlet mengangguk. Ibunya benar. Agar bisa sepenuhnya lepas dari bahaya, ia harus membuktikan pada warga desa bahwa ia tidak akan pernah menyakiti mereka. Oleh karena itu, ia butuh informasi lebih banyak. Gadis itu membulatkan tekad. Besok, pertama-tama ia harus mencari tahu siapa saja teman-temannya yang masih di pihaknya. Kemudian, ia akan menemui Sal lagi untuk mengorek informasi. Siapa tahu, ada titik terang dalam arsip dokter desa itu.
Siapa tahu, mungkin ada cara untuk menyingkirkan kemampuan itu selamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top