13. Proyek Rahasia Sal Fischer

Beberapa hari kemudian.

Scarlet duduk diam di ruang praktik klinik sambil sesekali meluruskan pakaiannya. Bila semua berjalan sesuai perkiraan Sal, hari ini ia boleh kembali ke rumah. Gadis itu cukup senang dapat kembali mengenakan pakaian sehari-harinya, blus dan celana. Tas pinggangnya pun sudah kembali dikenakannya. Barangkali yang cukup ia sayangkan adalah nasib tudung merah dan sarung tangannya, yang sudah terlalu robek untuk diselamatkan. Dalam hati, gadis itu membuat rencana untuk menjahit yang baru segera setelah ia dapat membeli kain yang cocok.

“Kabar baik, Scarlet, kau bisa pulang hari ini,” ujar Sal. “Aku sudah memberitahu ibumu bahwa ia dapat menjemputmu nanti sore. Kurasa waktu sampai pukul setengah empat sore cukup untukmu berkemas?”

“Ya. Lebih dari cukup, malah. Barang-barangku tidak begitu banyak.” Scarlet mulai memikirkan barang-barangnya di lantai atas. Selain koper kecil berisi pakaian yang dikirimkan ibunya, hanya ada kapak kesayangannya. Ya, memang sangat sedikit.

“Sebelum kau pulang, ada beberapa hal yang perlu kau perhatikan. Pertama, kau harus rutin mengganti perbanmu setiap hari. Kedua, kau harus menggunakan obatmu dengan teratur.” Sal meletakkan dua botol obat berukuran sedang di atas meja praktiknya. Satu berisi krim berwarna putih, sedang satu lagi berisi tablet-tablet lonjong sepanjang kurang lebih satu sentimeter. Di atas selembar kertas Sal menulis arahan pemakaiannya, yang lalu ia tempelkan pada kedua botol itu.

“Nah, ini adalah obat luka, sedangkan yang ini obat untuk diminum. Kalau kau punya keluhan, segeralah kembali ke klinik. Yang paling penting, jangan sampai lukamu terinfeksi, mengerti?” ujar Sal serius.

“Terima kasih, Dokter Fischer. Sekarang, aku akan berkemas.” Scarlet mengangguk, lalu berdiri. tetapi, tepat ketika gadis itu akan membuka pintu, Sal buru-buru berdiri dan menyusulnya.

“Ah, tunggu sebentar! Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang mau kutunjukkan.” Sal berjalan melintasi ruangan praktik. Scarlet hanya bisa terheran-heran melihat dokter itu mulai mengeluarkan botol-botol obat satu-persatu, hingga menampakkan sebuah kotak logam kecil. Hati-hati Sal mengeluarkannya, lalu meletakkannya di atas meja kerja.

Scarlet mendekat. Rupa kotak itu seperti kaleng biskuit. Warnanya cokelat, dengan motif belah ketupat timbul beraksen emas. Bagian atasnya dihiasi gambar bunga-bunga daisy putih. Di dalamnya tersimpan serenteng kunci. Beberapa kusam dan mulai berkarat, beberapa masih mulus seperti hampir setiap hari dipakai.

“Ikut aku.” Sal mengantongi kunci tersebut di saku jasnya. Kemudian, ditatanya kotak itu beserta botol-botol obat kembali ke tempat semula. Scarlet menyadari kalau pria itu amat teliti memastikan segalanya tepat seperti sedia kala. Ketika Sal akhirnya meninggalkan ruangan, dikuncinya pintu yang menghubungkan ruangan klinik dengan bagian rumahnya.

Aneh, seolah-olah ia tidak ingin orang lain tahu apa yang akan ia lakukan, batin Scarlet.

Scarlet menyipitkan mata. Tangannya bergerak mengeluarkan sebilah pisau dari tas pinggangnya, lalu menyembunyikannya dalam lengan baju. Bukan apa-apa, hanya untuk jaga-jaga saja. Apa pun rahasianya, yang jelas Sal sangat buruk dalam bersikap biasa saja. Seperti maling dokter itu mengendap-endap di rumahnya sendiri, bolak-balik memastikan semua jendela tertutup tiap kali mereka melintasi suatu ruangan.

Di sebuah ruangan akhirnya Sal berhenti. Rupa tempat itu seperti gabungan antara perpustakaan mini dan ruang duduk. Buku-buku kedokteran dan farmasi tersusun rapi di rak-rak yang menempel pada dinding. Sebuah sofa panjang berlapis kulit sapi terpasang di bawah jendela, diapit sepasang laci kayu identik. Lantai ruangan itu dari kayu, berlapis karpet wol bermotif kawanan rusa. Sal menyingsingkan lengan jasnya lalu mulai menggulung karpet itu, menampakkan sebuah tingkap dengan lubang kunci.

“Hm, ini bukan ... ini juga bukan .... Nah! Ini dia kuncinya!” Sal berseru gembira. Segera, suara klik terdengar dari balik tingkap. Ia angkat tingkap tersebut, menampakkan tangga kayu yang menurun menembus kegelapan.

“Lewat sini. Hati-hati, gelap.” Sal melangkah turun. Hati-hati Scarlet melongok ke dalam. Segera ia disambut oleh hawa pengap yang menyeruak. Tangga kayu itu sempit dan curam, berderik-derik diinjak Sal. Tanpa suara, Scarlet menarik pisaunya keluar. Ditaruhnya tangan di balik punggung.

Tidak, bukan keberadaan ruang bawah tanah yang membuat Scarlet curiga, melainkan kenyataan bahwa Sal repot-repot menyembunyikannya. Pasalnya, mayoritas rumah di Desa Chartain memang memiliki rubanah. Umumnya terletak di ruang makan atau dapur, dan dipergunakan untuk gudang. Namun, Scarlet pernah mendengar ada orang-orang yang menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang patut dipertanyakan secara moral. Pertanyaannya sekarang, termasuk golongan manakah Sal ini? Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Setelah menarik napas panjang, turunlah gadis itu menembus kegelapan.

***

Map, kertas, dan buku catatan. Itulah tiga benda yang Scarlet lihat bertebaran di ruangan itu. Sal telah terlebih dahulu sampai dan menyalakan lentera. Memang remang cahayanya, tetapi cukup menerangi ruangan. Sebuah meja kayu besar terletak di tengah ruangan, dipenuhi kertas-kertas berserakan. Sebagian besar penuh bertuliskan tulisan cakar ayam Sal. Namun, dinding di balik meja itulah yang paling menyita perhatian Scarlet. Sebuah tirai merah menutupi seluruh bagian dinding tersebut, membuatnya bak layar pertunjukan yang tertutup.

Sal berjalan ke samping tirai itu, lalu menarik seutas tali hitam. Seketika itu juga, Scarlet terperangah. Tirai itu terbuka, menampakkan kolase menakjubkan dari berbagai jurnal, catatan, dan gambar yang ditempel hampir memenuhi seluruh dinding. Seluruhnya dihubungkan oleh seutas tali wol merah.

“Tada! Inilah penelitianku tentang werewolf," ujar Sal bangga. “Setiap kejadian dan setiap penemuan baru sepanjang dua puluh tahun terakhir ada di sini. Bagaimana menurutmu? Keren, kan?”

Perlahan, mata Scarlet menelusuri kertas-kertas yang tertempel di sana. Sebagian besar adalah berita-berita dari berbagai koran lokal, dihubungkan dengan penelitian-penelitian relevan. Di sana-sini bertebaran istilah-istilah ilmiah yang tidak dipahami gadis itu. Satu yang pasti, dedikasi Sal dalam menyusun semuanya patut diacungi jempol.

“Dokter Fischer, semua ini dikumpulkan dalam setahun?” Scarlet membelalak.

“Tentu tidak!” Sal tertawa terbahak-bahak. “Kebetulan, aku sempat bergabung dalam proyek penelitian werewolf di lembaga penelitian kerajaan sebelum aku mendapatkan pekerjaan tetap di sini. Sebagian besar informasi kukumpulkan selama masa itu. Banyak hal yang kami cari tahu. Mulai dari perilaku werewolf, pola serangan mereka, ciri-ciri, hingga jenis-jenis Anomali yang pernah ditemukan. Lihat, di sebelah sini baru kutambahkan catatan mengenai Anomali yang kaubunuh beberapa hari lalu itu. Anomali jenis itu cukup jarang! Wah, seandainya aku ada di sana saat itu, pasti akan kukumpulkan sampelnya.”

“Sepertinya kau benar-benar menyukai pekerjaanmu sebelumnya, Dokter Fischer. Lalu, mengapa kau pindah ke sini?” Mata bulat Scarlet menatap Sal lekat-lekat.

“Ada restrukturisasi.” Muka Sal mendadak berubah muram. “Beberapa insiden terjadi, dan militer kini turun tangan dalam penelitian werewolf. Aku tidak menyukai sistem yang baru, jadi aku keluar. Tapi, bukan berarti aku menyerah, lho. Kelompok pemburu di Desa Chartain cukup terkenal, sehingga tidak kulewatkan kesempatan untuk bekerja di sini. Yah, konsekuensinya, sekarang aku harus bekerja swadaya. Oleh karena itu, er, aku butuh bantuanmu.”

Mendadak Sal kembali gugup. Ia berjalan mondar-mandir, jari-jarinya bolak-balik ditautkan dan dilepaskan kembali. Kecurigaan Scarlet, yang tadi sempat sirna, kini menyeruak kembali. Sekali lagi, baginya ekspresi Sal macam buku terbuka. Kali ini pun sepertinya ia dapat menebak arah pembicaraan ini.

“Jadi, salah satu halangan terbesar penelitian ini adalah keterbatasan sampel hidup. Jangankan Anomali, untuk mendapatkan werewolf biasa pun kami kesulitan. Nah, kau termasuk Anomali yang sangat langka. Oleh karena itu, eh, kalau kau tidak keberatan .... Maukah kau berpartisipasi menjadi subyek penelitianku?”

Tuh, kan! seru Scarlet dalam hati. Gadis itu langsung pasang muka kecut. Bisa ia bayangkan Sal dan para ilmuwan lain memandanginya dalam kandang bagaikan ia hewan eksotis dari negeri antah-berantah. Barangkali mereka akan menyuntikkan bahan-bahan kimia aneh dalam pembuluh darahnya. Lebih parah lagi, bagaimana bila mereka membedahnya dan mengeluarkan satu-persatu organ tubuhnya untuk diawetkan dalam toples-toples kaca? Scarlet melirik Sal tajam. Pegangannya pada gagang pisau mengerat. Kalau sampai Sal membawanya dengan paksa, Scarlet takkan segan melawan dengan kekerasan!

“Er, kalau kau keberatan, tidak apa-apa, kok. Kita bicarkan ini baik-baik, ya?” Sal buru-buru menambahkan. Keringat dingin mengalir di dahi pria itu. Setelah ia mendapati dirinya di atas angin, Scarlet bersedekap, lalu menatap lelaki berusia tiga puluhan tahun itu dengan tajam.

“Tergantung. Kalau kau ingin memotong-motongku seperti yang biasa para ilmuwan lakukan pada para mencit laboratorium, tentu aku menolak keras.”

“Astaga, bukan seperti itu!” Sal membelalak ngeri. “Tidak, bukan penelitian macam itu. Aku cuma butuh bantuanmu dalam memetakan perubahan-perubahan yang kaurasakan ketika sisi werewolf-mu muncul. Siapa tahu kita bisa menemukan penyebabnya, dan juga mengendalikan kapan sifat itu muncul. Kedengaran bagus, kan?”

“Jadi, sifatnya lebih ke arah investigasi? Baik, aku pikir-pikir dulu, Dokter Fischer,” jawab Scarlet diplomatis. “Namun, aku tidak keberatan membantumu sekali-sekali. Sebagai gantinya, tolong beritahu aku segala hal yang kauketahui tentang fenomena yang menimpaku.”

“Oh, terima kasih!” Sal berseru girang bak anak kecil diberi camilan. Kadang Scarlet sulit percaya bahwa pria di hadapannya itu benar-benar berusia kepala tiga dan lulusan universitas. Habisnya, pembawaannya masih macam remaja! Lihat aku, setelah euforia singkatnya, dokter itu kembali lagi jadi pria canggung berpostur sedikit bungkuk.

“Ah, jadi, kau boleh di sini kalau mau. Atau, kalau kau ingin berkemas, mari kita keluar. Aku sendiri sebenarnya harus kembali ke klinik, siapa tahu ada pasien datang.” Entah Sal menyadarinya atau tidak, ia bolak-balik melirik ke tangga. Scarlet menangkap maksud tersiratnya. Sambil melempar senyum, gadis itu melangkah ke tangga.

“Ya, itu ide yang bagus, Dokter Fischer. Sebaiknya aku berkemas sekarang, supaya tidak ada yang ketinggalan nanti. Mari, Dokter!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top