11. Pengadilan Nasib

Memang judul acara malam itu adalah pertemuan warga. Namun, hampir semua orang setuju bahwa itu hanyalah istilah penghalus bagi sidang in absentia penentu nasib Scarlet Dixon. Drew Baker dipanggil jadi saksi pertama. Dengan berapi-api dan agak berlebihan ia menceritakan kronologi patrolinya, mulai dari saat ia dan Scarlet menemukan seorang anak di dalam lemari, hingga ketika ia menemukan gadis itu dalam wujud setengah werewolf.

“Apakah Scarlet Dixon menyadari perubahan wujudnya?” Lord Rochester bertanya penuh selidik.

“Aku tidak tahu, Lord Rochester,” sahut Drew ragu-ragu. “Sudah tiga kali aku ikut patroli bersama Scarlet, tetapi aku belum pernah melihat Scarlet seperti itu sebelumnya. Maaf, Lord Rochester, aku tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.”

“Begitukah? Lalu, apakah Scarlet Dixon membahayakan salah satu dari kalian?” Pria ningrat itu kembali bertanya, kini sembari memilin-milin ujung kumisnya.

“Tidak.” Remaja itu menggeleng. Dalam hal ini ia berkara jujur. “Scarlet segera berubah kembali ke wujud manusia begitu melihat kami. Ia pingsan tidak lama kemudian, dan kami membawanya kembali ke Desa Chartain.”

Lord Rochester dan para pengurus desa yang lain mengangguk. Drew pun dipersilakan duduk. Berikutnya, Seneca dipanggil menghadap. Dengan tenang pria itu berdiri. Langkah-langkah sepatu bot hitamnya menggema di seantero bangunan batu tersebut. Tepat di depan Lord Rochester ia berdiri tegap.

“Seneca Willow, apakah kau yang merekrut Scarlet Dixon ke dalam skuad pemburu?” tanya Lord Rochester.

“Benar, Tuan,” jawab Seneca singkat.

“Bersediakah kau bersumpah bahwa kau tidak tahu menahu tentang kemampuan Scarlet Dixon?”

“Aku bersedia,” ucap Seneca tegas. “Selama hidup kami, belum pernah kami mendengar ataupun menemui fenomena seperti ini. Bahkan, aku yakin Scarlet pun tidak mengetahuinya.”

“Apakah kau sedang berusaha membela dirimu?” sahut Lord Rochester pedas. “Ataukah kau sedang berusaha melindungi gadis itu? Bagaimana bisa kau begitu yakin padanya?”

“Aku percaya fakta-fakta telah berbicara dengan sendirinya.” Untuk pertama kali, para pemburu melihat gejolak amarah dalam diri komandan yang biasanya sinis dan masa bodoh itu. “Agaknya semua orang di ruangan ini telah lupa kalau, dengan kemampuannya itu, Scarlet Dixon membunuh Anomali yang meneror Desa Whittington. Fakta bahwa ia melewatkan kesempatan untuk menghabisi kami di malam itu dengan jelas memperlihatkan letak loyalitasnya, yaitu kepada skuad pemburu.”

“Begitukah pendapatmu? Kurasa aku telah menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada kemampuan pertimbanganmu, Seneca Willow.” Sesaat raut wajah Lord Rochester tampak tersinggung, tetapi dengan cepat ia mengembalikan ekspresi dinginnya. “Atau sudahkah reputasimu yang hebat itu membuat kau lengah?”

“Bila kau mengganggap tindakanku sebagai suatu kelengahan, silakan saja. Namun, kau takkan bisa mengubah pendapatku. Aku sendiri yang melatih Scarlet sejak usianya belum genap lima belas tahun. Aku mengenalnya lebih baik daripada kau mengenalnya.” tandas Seneca. “Bila hanya itu yang hendak kaubicarakan denganku, maka tidak ada lagi yang perlu kusampaikan.”    

***

Sawyer menggertakkan gigi. Ia yakin Lord Rochester tahu bahwa perkataan Seneca benar. Ego pria ningrat itulah yang membuatnya enggan mengakui hal itu. Di sampingnya, Sean sudah ketar-ketir menyaksikan tingkah pemuda itu. Benar saja, belum sempat Lord Rochester berbicara lagi, Sawyer langsung berdiri dan menghentakkan kaki keras-keras.

“Seneca benar! Aku dan Sean sudah bersahabat dengan Scarlet sejak kecil. Kami tumbuh dewasa bersama. Selain seorang pemburu yang mumpuni, gadis itu juga adalah orang yang baik, suka menolong, setia kawan, dan jujur. Apa pun yang terjadi kemarin malam, aku percaya dia bukanlah monster!” Suara Sawyer mengguntur, memaksa seluruh warga untuk mengalihkan perhatian padanya.

“Justru persahabatan kalian telah membutakan matamu, bocah tolol!” tegur Lord Rochester berang. “Kau tidak lagi menggunakan akal sehatmu. Tentu kau sudah tahu bahwa para werewolf memiliki insting alamiah untuk membunuh dan memangsa manusia. Selama ini, belum pernah kudengar adanya seekor werewolf yang mampu mengendalikan insting tersebut. Secara umum, kami selaku dewan pengurus desa berpendapat bahwa Scarlet Dixon adalah suatu bahaya laten bagi desa ini. Besok, insiden ini akan dikabarkan pada pihak militer. Biar tentara kerajaan yang mengamankan Scarlet sesuai undang-undang yang berlaku.”

“Perlu berapa kali kami mengulang kesaksian kami? Hanya karena kau belum pernah mendengarnya, bukan berarti hal itu tidak mungkin!” Sawyer nyaris menyerbu ke depan. Seketika itu kesunyian pecah. Susah payah Sean dan para pemburu lain menahan Sawyer, lalu memaksanya duduk kembali. Pemuda itu duduk dengan tangan masih terkepal. Ia ada di situ untuk Scarlet, dan apa pun yang terjadi, ia telah berjanji dalam hati untuk mengikuti jalannya rapat sampai selesai. Sementara itu, perdebatan terdengar di sana-sini. Sebagian mulai mendukung Scarlet, sisanya masih kukuh dalam pendirian awal mereka.

“Kami mohon kesediaan warga untuk diam! Kita masih dalam suasana rapat. Siapa yang ingin berdebat secara pribadi, dipersilakan melanjutkan di luar ruangan,” tegur Lord Rochester lantang. Namun, para warga tak kunjung tenang. Malahan, beberapa anggota dewan pengurus ikut berdebat. Apa boleh buat, Lord Rochester tidak punya pilihan selain menunggu keadaan tenang kembali.

***

Sal Fischer menelan ludah. Keributan penuh kemarahan selalu menjadi kelemahannya. Ia merasa gugup, kecil, dan tak berdaya, bagai seekor kelinci dalam jerat. Lebih dari itu, ia kasihan pada gadis yang jadi subjek utama pertemuan itu. Seandainya Scarlet menanggapi semua kabar mengejutkan itu dengan menangis meraung-raung, atau marah dan menghancurkan barang-barang, mungkin Sal tidak akan jadi begitu iba. Justru karena gadis itu menerima segalanya dengan diam dan tabah, maka ia bersimpati padanya. Sal tak ingin gadis itu diusir dari tanah kelahirannya gara-gara stigma buruk masyarakat.

“Pe ... permisi!” Sal mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Seketika itu juga, suasana menjadi senyap. Semua mulut berhenti berucap, semua mata tertuju padanya. Oh, astaga, ini yang terburuk, pikirnya. Semenjak sidang skripsinya di sekolah kedokteran, belum pernah Sal begitu ingin kabur dan menghilang. Tapi, semua sudah telanjur. Satu-satunya yang bisa dilakukan Sal adalah maju.

“Um, bolehkah aku bicara?” Pria itu berdiri. "Aku .... Aku sudah mengumpulkan beberapa data berkenaan dengan fenomena ini. Tolong izinkan aku memaparkannya sebentar.”

“Kau memiliki sesuatu, Dokter Fischer?” Lord Rochester mengangkat alis. “Baiklah. Seneca, kau boleh duduk. Dokter Fischer, silakan maju dan berbicara.”

“Terima kasih.” Sal mengangguk. Tenang, kau bisa melakukan ini, batinnya. Diambilnya beberapa lembar kertas, lalu ia beranjak maju. Perlahan, ditatapnya warga yang menanti-nanti. Sekali lagi Sal menenangkan diri. Ia menarik napas panjang, lalu mulai berbicara.

“Selamat malam, semuanya,” ujar Sal canggung. “Aku yakin kalian mengenalku sebagai dokter di desa ini. Sebelum aku bekerja di sini, aku adalah peneliti werewolf di lembaga penelitian kerajaan. Sudah bertahun-tahun kami mempelajari seluk-beluk werewolf di seluruh dunia, termasuk fenomena-fenomena yang tidak biasa. Sekarang, di tanganku ada beberapa catatan. Tidak ada waktu untuk menjelaskan secara detail, tetapi, secara garis besar, peristiwa ini bukanlah kejadian pertama sepanjang sejarah.”

Bagai petir, ucapan Sal menyambar setiap orang yang hadir. Seketika, keriuhan kembali. Sekali lagi Lord Rochester harus menenangkan mereka. Kembali Sal menarik napas panjang. Rencananya bukanlah yang terbaik, tetapi hanya itulah yang dapat ia pikirkan untuk menyelamatkan Scarlet. Setidaknya, ia harus mencegah dewan pengurus desa menyerahkan Scarlet pada militer Sonneval sampai ada bukti kuat bahwa gadis itu memang berbahaya.

“Aku telah mengumpulkan informasi dari Scarlet sendiri dan para saksi mata. Dari situ, aku menyimpulkan bahwa Scarlet tidak sepenuhnya bertransformasi menjadi werewolf. Hal itu mungkin terjadi bila ia memiliki darah werewolf dalam garis silsilahnya. Karena sudah beberapa keturunan berlalu, sifat werewolf itu terlalu lemah untuk bermanifestasi dalam kehidupannya sehari-hari, dan hanya muncul ketika ada pemicu yang tepat. Meski sangat jarang, hal ini pernah tercatat terjadi tiga kali dalam lima puluh tahun terakhir.” Sal berusaha menjaga suaranya tetap stabil. “Masih banyak yang belum diketahui tentang fenomena ini. Oleh karena itu, dengan sepenuh hati, aku meminta tolong pada kalian untuk membiarkan Scarlet tinggal sementara aku mempelajari kondisinya.”

Dapat dilihatnya Lord Rochester mengerutkan dahi. Mata hitam pria itu seolah menatap menembus kepalanya, langsung membaca isi otaknya. Sal merasa kakinya mulai gemetaran. Uh, semoga semua ini cepat selesai! batin pria itu. Seandainya Lord Rochester masih menolak juga, Sal tak tahu harus berkata apa.

“Dokter Fischer, menurut penilaian profesionalmu, dapatkah kau menjamin bahwa Scarlet Dixon tidak akan membahayakan Desa Chartain?” Lord Rochester bertanya penuh selidik.

“Ya, aku yakin,” ujar Sal mantap. Ia tahu, bila setitik pun keraguan terdengar darinya, maka akan hancurlah segala rencananya. “Wawancaraku menunjukkan bahwa Scarlet Dixon tetap memiliki kontrol atas dirinya ketika transformasi itu berlangsung. Kesaksian para pemburu barusan memperkuat dugaanku bahwa gadis itu tidak memiliki tingkat agresivitas terhadap manusia dalam level yang membahayakan. Kumohon kau dapat mempertimbangkan permintaanku ini, Lord Rochester.”

Para pengurus desa berpandang-pandangan. Sejurus kemudian, Sal dipersilakan duduk sementara mereka berdiri dan menyingkir untuk berdiskusi. Bagai terlepas dari perangkap, dokter itu cepat-cepat kembali ke tempat duduknya. Sementara itu, warga harap-harap cemas. Tak ada lagi yang berdebat. Mereka hening, menantikan keputusan resmi para pengurus.
Malam bertambah larut. Ketika para pengurus kembali, rasanya seakan seabad telah berlalu. Lord Rochester melangkah tegap ke depan, siap memberikan pengumuman. Pengurus desa yang lain berdiri sebelah-menyebelah di sisinya.

“Kami telah mengambil keputusan,” ucapnya. “Dengan mempertimbangkan kesaksian para pemburu serta permintaan Dokter Fischer, kami memutuskan bahwa Scarlet Dixon boleh tetap tinggal di Desa Chartain dengan beberapa persyaratan. Pertama, sampai terbukti bahwa Scarlet bisa mengendalikan kemampuannya, ia tidak boleh keluar dari rumah setelah matahari terbenam. Kedua, apabila hasil pemantauan menunjukkan bahwa Scarlet merupakan bahaya bagi warga, maka ia akan diserahkan pada pihak militer Kerajaan Sonneval. Ketiga, dalam kondisi darurat di mana penangkapan tidak memungkinkan, para pemburu diizinkan untuk membunuh Scarlet di tempat.”

Sal terbelalak. Tidak disangka, Lord Rochester memenuhi permintaannya! Segera ia membalas dengan banyak ucapan terima kasih. Sementara itu, para pemburu belum dapat menghela napas lega. Sebab, Lord Rochester segera mengalihkan perhatian pada mereka.

“Sekarang, mari kita bahas keputusan yang kedua. Kami setuju bahwa masuknya Scarlet Dixon dalam skuad pemburu adalah suatu pelanggaran keamanan yang serius. Namun, dengan mempertimbangkan informasi Dokter Fischer, kami sepakat bahwa tidak ada unsur kesengajaan dalam hal tersebut. Dengan demikian, maka kami memutuskan untuk tidak menjatuhkan sanksi apa pun. Meski begitu, keberadaannya dalam skuad pemburu tidak bisa diterima.” Kini seolah Lord Rochester berbicara hanya kepada Seneca. “Oleh karena itu, kami meminta Scarlet Dixon dibebastugaskan dari posisinya sebagai pemburu, mulai hari ini hingga waktu yang tidak ditentukan.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top