10. Pertemuan Warga
Desa Chartain, masa sekarang.
Matahari baru saja beranjak turun, tetapi gedung balai desa sudah dipenuhi orang. Di Desa Chartain, tidak ada rahasia yang bertahan lama. Entah siapa yang memulai, cerita tentang fenomena aneh di Desa Whittington sudah tersebar luas. Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, Scarlet Dixon mendadak jadi buah bibir seantero warga. Kini, warga desa ramai-ramai berkumpul dan mengoceh. Baik yang benar-benar peduli maupun yang hanya ikut-ikutan, semua penasaran menanti tindakan para pengurus desa dalam menentukan nasib Scarlet.
Seneca membenci pertemuan terbuka semacam ini. Baginya, rapat desa hanyalah ajang unjuk gigi buat orang-orang yang tidak pernah benar-benar berkontribusi pada urusan desa. Lihat saja mereka sekarang! Sebagian besar di antaranya menganggap Scarlet sebagai makhluk berbahaya yang harus dimusnahkan. Warga desa seolah lupa bahwa Scarlet lahir dan besar di antara mereka. Beberapa malah sudah jadi ahli werewolf dadakan. Seandainya Seneca memperoleh satu dolar untuk setiap fakta werewolf keliru yang ia dengar dari mulut mereka, ia yakin pastilah ia sudah mendapatkan setidaknya lima puluh dolar! Bukan jumlah yang sedikit bila mengingat fakta bahwa ia baru berada di situ selama lima menit.
Sebenarnya, bukan Scarlet yang paling dikhawatirkannya sekarang, melainkan nasib skuad pemburu secara keseluruhan. Bagaimanapun juga, di mata orang awam, masuknya werewolf ke dalam skuad pemburu adalah keteledoran fatal. Ditambah lagi, ada selentingan tak berdasar yang menyatakan bahwa para pemburu sebenarnya sudah tahu sejak dulu, tetapi sengaja merahasiakan jati diri Scarlet. Sebagai komandan, Seneca tahu betul bahwa posisinya terancam. Apa pun yang akan dikatakan dewan pengurus padanya, kemungkinan besar bukanlah sesuatu yang baik.
“Semua ini terlalu berlebihan!” Sebuah suara familier terdengar di samping Seneca. Ketika ia menoleh, didapatinya Sawyer berjalan menghampirinya. Ah, syukurlah, seseorang yang berpikiran serupa, batinnya. Namun, segera dahi lelaki itu berkerut melihat penampilan anak buahnya itu. Kalau Seneca masih menunjukkan sedikit respek dalam penampilannya yang rapi, Sawyer seolah terang-terangan menyatakan bahwa ia tidak peduli. Pakaiannya cuma kemeja lusuh bekas seharian dipakai bekerja, ditambah celana selutut yang sudah robek di bagian paha kiri.
“Oi, kau mau hadir dengan penampilan seperti sapi habis berkubang begitu? Mandi dulu, sana! Setidaknya, gantilah bajumu!” tegur Seneca.
“Tidak sudi, Komandan!” sahut Sawyer. “Huh, sialan si Drew itu. Belum lagi sampai ke markas, dia sudah koar-koar macam ibu-ibu saja! Akibatnya satu desa jadi pada heboh, kan?”
Ah, jadi Drew biang keroknya, pikir Seneca. Seharusnya ia sudah menduganya. Agak menyesal ia menyuruh anak itu turut serta dalam operasi di Desa Whittington. Mentalnya masih terlalu kekanak-kanakan, meski kemampuan bertarungnya sudah cukup memadai. Walau hatinya memihak Scarlet, sebagai seorang komandan, Seneca harus adil memperlakukan anak buahnya. Maka, ia diam saja sembari menunggu Sawyer selesai meluapkan emosi.
“Kau tidak bisa menyalahkan Drew.” Sean berjalan menghampiri Sawyer. Suaranya tenang tetapi tegas, senada dengan gerak-geriknya. “Ia pasti sangat ketakutan hingga tidak sempat memikirkan akibat kabar ini pada skuad pemburu.”
“Bukan begitu maksudku, Sean! Kau tidak lihat semua orang ini tidak sabar untuk menelan Scarlet bulat-bulat dengan segala omong kosong mereka? Ini soal Scarlet, sahabat kita!” sambar Sawyer sengit. “Atau, jangan bilang kau tidak peduli?”
“Tentu saja aku peduli. Makanya, kita jangan sampai ikut terbawa emosi. Aku hanya tidak mau membuat posisi Scarlet jadi lebih buruk.” Sean memalingkan muka. “Menurutku, sebaiknya kita perhatikan dulu bagaimana jalannya pertemuan ini. Kemudian, baru kita pikirkan apa yang perlu disampaikan ketika kita diberi giliran berbicara.”
“Kau tidak terdengar bersungguh-sungguh,” sahut Sawyer. Rahangnya menegang. Nyata sekali kalau ia bersusah payah menahan dirinya dari menimbulkan baku hantam di tengah keramaian. Oh, hebat, batin Seneca sarkastis. Ia hampir pasti akan kehilangan salah satu anak buahnya yang terbaik, ia mungkin akan kehilangan jabatan, dan kini dua anak buahnya yang lain akan memulai perkelahian di tengah seluruh warga desa. Apakah hari ini bisa jadi lebih buruk?
“Sudah, diam kalian! Ini tempat umum! Jangan membuatku tambah pusing kepala!” Seneca tidak dapat lagi tinggal diam. Dengan kepalan tangannya, diketuknya dahi kedua pemuda itu. Ringan saja, tetapi cukup untuk membuat mereka mengaduh.
“Iya, maaf!” Sawyer berseru sekenanya, lalu berlalu ke dalam ruang pertemuan sambil menggosok-gosok dahi. Sean menghela napas panjang. Pemuda itu menunggu sampai Sawyer hilang dari pandangan, kemudian ikut memasuki ruang pertemuan.
“Huh, dasar anak muda.” Seneca menghela napas panjang sembari geleng-geleng kepala. Walau usianya belum lagi menyentuh kepala tiga, harus ia akui bahwa terkadang menghadapi para remaja dan pemuda di skuad pemburu membuatnya merasa seperti bapak-bapak dengan sederetan anak angkat. Sementara itu, gedung balai desa makin ramai. Lelaki itu membetulkan posisi jaketnya, lalu berjalan masuk.
***
Di ruang pertemuan, kursi-kursi kayu telah diatur dalam barisan-barisan panjang menghadap meja dan kursi di bagian depan ruangan. Seneca, Sean, Sawyer, dan beberapa perwakilan lainnya dari skuad pemburu duduk di barisan paling depan. Ekor mata Seneca menangkap seorang lelaki kurus berambut keriting dan berkacamata berjalan tergesa-gesa membelah kerumunan. Beberapa kali lelaki itu meminta maaf ketika tas kulit hitam yang dibawanya menyenggol orang-orang. Setengah terbungkuk Sal Fischer berjalan hingga menemukan kursi yang kosong di barisan depan. Begitu ketemu, ia langsung menghempaskan tubuh sambil menghela napas lega. Ia jatuhkan tasnya ke lantai, menimbulkan suara berdebam pada lantai kayu tua yang malang itu.
“Dokter Fischer, bagaimana kondisi Scarlet?” Seneca langsung mencondongkan badan padanya.
“Hm? Oh, dia berada di tempatku. Tenang saja, kamarnya sudah kubuat senyaman mungkin. Awalnya Lord Rochester ingin menghadirkannya di pertemuan ini. Untunglah aku berhasil meyakinkannya untuk membiarkan Scarlet beristirahat.” Ada rasa bangga sekaligus lega tersirat dalam suaranya. “Gadis itu sudah cukup terpukul karena peristiwa ini. Aku tidak ingin tekanan dari orang-orang ini menghambat pemulihannya.”
Pembicaraan mereka terputus oleh datangnya para anggota dewan pengurus desa. Pintu terayun terbuka, lalu masuklah mereka beriringan. Satu persatu mengambil tempat duduk di balik meja, menatap para warga. Yang memimpin mereka adalah seorang pria setengah baya berambut cokelat tua dan berkumis tipis. Badannya tinggi besar. Wajahnya bundar, tetapi menampakkan aura keras. Setelannya halus, hasil jahitan penjahit ternama di kota. Sepatu kulitnya tampak baru disemir, mengkilap seperti cermin.
Pria itu tahu betul akan kekuasaan di tangannya, dan ia bertekad memastikan seluruh warga desa menyadarinya. Ialah Baron Edward Rochester, kepala Klan Rochester sekaligus pemimpin atas Desa Chartain. Seperti sebagian besar bangsawan di Kerajaan Sonneval pada umumnya, ia bukanlah pemimpin yang terlalu disukai. Meski begitu, dibandingkan berita yang didengar para warga Desa Chartain dari desa-desa lain, setidaknya kinerja lelaki itu masih cukup lumayan. Setidaknya, pria itu tidak pernah menaikkan pajak seenaknya sendiri, atau merampas tanah warga untuknya pribadi.
“Para warga Desa Chartain yang terhormat, terima kasih atas kesediaan kalian hadir pada pertemuan hari ini,” ujar Lord Rochester. Suara obrolan warga berangsur-angsur senyap. Setelah suasana cukup tenang, barulah ia membuka pertemuan.
“Seperti yang telah kita ketahui, hari ini kita berkumpul untuk membahas penerobosan keamanan serius yang terjadi pada satuan pengamanan kebanggaan kita, skuad pemburu. Sungguh sangat disayangkan bahwa seekor werewolf bisa sampai menyusup tepat di bawah hidung pemburu-pemburu yang ahli ini sampai bertahun-tahun lamanya. Terutama, bahkan ketika skuad tersebut dipimpin oleh seseorang yang konon merupakan salah satu pemburu terbaik di negeri ini.” Lord Rochester menatap lurus pada Seneca. Tentu saja yang ditatap balas menatap tajam.
Dasar pria ningrat menyebalkan, batin Seneca. Mentang-mentang tidak dianggarkan oleh pemerintah pusat, sulit betul orang itu mengeluarkan dana untuk membiayai aktivitas skuad pemburu. Setiap kali mereka berhasil, ia langsung muncul paling depan bagaikan sosok paling berjasa. Sekalinya ada masalah, eh, langsung cuci tangan! Tidakkah ia pernah berpikir bahwa para warga terpaksa harus mengumpulkan dana swadaya untuk membangun pagar, pos, hingga memperoleh senjata yang layak?
Agaknya Seneca harus menyimpan segala keluh kesahnya sampai lain waktu. Sebab, Lord Rochester segera melanjutkan agendanya. Senyum terulas pada wajahnya yang bak musang itu ketika ia mengucapkan perkataan yang telah ditunggu-tunggu para warga.
“Sekarang, mari kita mulai pertemuan untuk membahas nasib Scarlet Dixon.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top