1. Permulaan

Sinar bulan purnama mengiringi seorang gadis kecil berjalan keluar dari sebuah pondok di tengah hutan. Tudung merah yang dikenakannya terjuntai lemas di bahu, menutupi gaun putih yang dipenuhi noda darah di sana-sini. Tertatih-tatih ia berjalan sembari menyeret sebuah kapak dengan kedua tangannya. Usianya tidak lebih dari dua belas tahun. Postur tubuhnya biasa saja, seperti umumnya anak-anak perempuan seusianya. Bahkan, kapak itu hampir setinggi pinggangnya. Sulit dipercaya bahwa, beberapa menit lalu, ia baru saja mengayunkan kapak itu untuk mempertahankan hidupnya.

“Itu! Itu Scarlet! Dia selamat!” Terdengar warga Desa Chartain berseru-seru.

Gadis itu menyipitkan mata. Tangan kanannya melepaskan pegangan, lalu terangkat menutupi wajah. Setelah beberapa jam lamanya ia terjebak dalam pondok gelap di belakangnya, cahaya lentera yang dibawa warga desa terasa menyilaukan mata. Perlahan, ia mengangkat kepala. Di tengah remang api lentera, wajahnya nyaris tidak dapat dikenali warga desa. Wajah kecil berpipi bundar itu coreng-moreng oleh noda darah, tanah, dan air mata. Di hadapan mereka gadis kecil itu berdiri, terengah-engah dan gemetar bagai seekor kelinci yang terpojok.

Namun, ia tahu ia aman sekarang.

Dengan tatapan kosong, gadis itu memandangi satu-persatu orang yang mengelilinginya. Begitu ia mendapati sosok-sosok familier di antara kerumunan itu, sebuah senyum tipis kelegaan muncul di bibirnya. Ketika akhirnya ia melihat ibunya, segera mulut gadis kecil itu terbuka tanpa suara. Ia terlalu lelah untuk berbicara. Kapak lepas dari genggaman tangan kirinya, lalu jatuh berdentam di samping kakinya. Hampir bersamaan, tubuh gadis itu terhuyung jatuh ke depan ketika kesadaran akhirnya meninggalkan dirinya.

“Scarlet!”

Sebelum tubuh gadis kecil itu menghantam tanah, seorang wanita berlari dan mendekapnya. Tanpa dikomando, kerumunan itu mendekat dengan khawatir, sembari tetap menyediakan cukup ruang bagi wanita tersebut dan putrinya. Seorang pria berusia setengah baya dengan sebuah tas kulit berjalan membelah kerumunan, lalu berlutut dan memeriksa gadis kecil itu.

“Dia akan baik-baik saja.” Dokter desa itu berujar. “Tidak ada cedera yang parah di tubuhnya. Setelah luka-lukanya diobati, biarkan dia beristirahat. Besok atau lusa dia akan pulih.”

“Oh, syukurlah!” Ibu Scarlet tidak dapat menahan air matanya. Ia dekap putrinya erat-erat, seakan gadis itu akan terbang bila dilepaskan. Dengan dibantu oleh beberapa orang warga, dibawanya Scarlet pulang.

Dua orang yang masih tinggal memandangi kepergian pasangan ibu dan anak itu sampai ke desa. Begitu pasangan ibu-anak itu memasuki gerbang dengan selamat, barulah keduanya mempersiapkan senjata masing-masing dan pergi memasuki pondok. Keduanya adalah laki-laki yang kekar, orang-orang andalan di Desa Chartain. Yang seorang mempersenjatai diri dengan parang dan garpu jerami, sedang yang satunya lagi bersenjatakan sabit.

Meski mereka adalah orang-orang yang terlatih, tetap saja mereka tidak dapat menyembunyikan kengerian akan pemandangan yang terbentang di depan mata mereka. Sinar lentera mereka menerangi dinding kayu pondok, menampakkan bekas-bekas cakaran dan cipratan darah. Meja kayu patah menjadi dua, sofa sudah tidak berwujud lagi. Serpihan kaca berserakan di lantai, berderak-derak pecah terinjak sepatu bot mereka.
Kekacauan paling parah terjadi di kamar tidur. Kasur hancur tercabik-cabik. Dipannya penuh goresan, kombinasi cakaran binatang buas dan kapak salah sasaran. Ceceran darah membentuk jejak di lantai, menuntun pandangan mereka beralih ke sesosok makhluk berbulu kelabu yang tergeletak tidak bernyawa di tengah bangunan tersebut.

“Makhluk jahanam ini mengenakan pakaian Nyonya Dixon!” Seorang di antara mereka berseru. “Lihat, itu gaun tidurnya, dan itu topinya. Ah, Elizabeth Dixon tua yang malang! Aku mengerti kalau rumah ini dibangun oleh mendiang suaminya, tapi apa untungnya wanita itu tinggal sendirian di tempat ini?”

“Para wanita tua biasanya memang begitu,” sahut yang lain. “Mujur sekali Scarlet bisa lolos dari werewolf ini. Biasanya mereka suka sekali anak kecil, apalagi anak-anak perempuan.”

“Kau tahu, anak itu sungguh hebat.” Pria pertama menyorotkan cahaya lenteranya menerangi luka-luka di tubuh werewolf tersebut. “Bahkan orang dewasa pun belum tentu punya keberanian melawan makhluk ini, tetapi anak itu bukan hanya melawan, tetapi juga membunuhnya! Bayangkan apa yang dapat ia lakukan ketika ia dewasa nanti.”

“Benar, aku tak sabar melihat wajahnya dalam pasukan pemburu.” Sekonyong-konyong, sebuah suara di kegelapan menyahut. Para pria itu menoleh ke jendela, tempat sesosok pemuda jangkung baru saja melompat masuk. Gerak geriknya yang gesit dan tanpa suara, serta ekspresinya yang tampak selalu tidak peduli, sekilas tampak mirip dengan seekor rubah. Rambut, iris mata, dan pakaiannya serba hitam. Di punggungnya tergantung sebuah senapan, sedang di sabuknya terselip sebilah pisau berburu.

“Seneca! Apa perlu kau selalu muncul tiba-tiba begitu? Beruntung aku tidak langsung melempar parang padamu!” Pria yang disahutinya mengomel. Mendengar hal itu, Seneca hanya mengangkat bahu dengan tatapan masa bodoh. Dengan langkah ringan dan gesit, pemuda itu berjalan melintasi ruangan dan berjongkok di samping mayat werewolf itu.

“Menarik. Entah bagaimana caranya, anak itu berhasil melukai arteri leher werewolf ini. Kalau ini ternyata cuma keberuntungan pemula, aku akan sangat kecewa!” Seneca berujar. “Ed, kudengar anak itu adalah putri pemilik toko pakaian. Namanya Scarlet Dixon, bukan?”

“Ya.” Pria yang dipanggil Ed itu menyahut dengan nada mengejek. “Mengapa, kau mau merekrutnya?”

“Tentu saja! Masakan aku menyia-nyiakan bakat sebesar itu?” Ada nada tersinggung dalam jawaban Seneca. “Baru-baru ini, para pemburu dari Chartain mengadakan kerja sama dengan satuan pemburu dari desa-desa lain. Memang masih enam tahun lagi hingga gerhana bulan berikutnya datang, tetapi tidak ada salahnya bersiap mulai sekarang. Baik aku maupun kau tentu tidak ingin kehancuran sepuluh tahun lalu terulang kembali, bukan? Kalau tidak salah, kau kehilangan anak sulungmu saat itu terjadi. Kau mau hal itu terulang lagi pada anak bungsumu?”

“Dasar kurang ajar!” Ed melayangkan tinjunya. Dengan satu lompatan gesit, Seneca berkelit. Sebelum Ed sempat melakukan serangan lagi, ditangkapnya lengan pria itu. Dalam sekejap, Ed sudah terbaring di lantai dengan kedua lengan dipiting kuat-kuat oleh Seneca.

“Seneca, hentikan!” Pria satunya berseru. Pemuda itu melirik tajam, lalu melepaskan Ed. Ia bersandar pada tembok, tepat di sebelah sebuah bekas cakaran besar, kedua tangannya tersilang di depan dada. Sambil berdiri Ed mendengkus, lalu pergi ke arah berlawanan.

“Tenang saja, Charles, aku hanya memberinya sedikit pelajaran. Kamu tahu aku tidak suka ideku ditentang,” ujar Seneca pada pria tersebut. “Aku mengambil siapa pun yang kuanggap pantas untuk bergabung. Siapa peduli kalau ia perempuan? Enam tahun lagi ia pasti sudah cukup dewasa.” Seneca memeriksa bagian belakang pondok. Begitu ia yakin tidak ada werewolf lain berkeliaran, ia kembali mendapati kedua orang lain itu.

“Yah, karena semua sudah aman, aku akan pergi sekarang.” Dengan kedua tangan di saku, pemuda itu melangkah ke hutan yang bermandi sinar bulan. Memang sudah menjadi tujuan hidupnya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin calon pemburu berbakat. Meski masih berusia dua puluh tahun, nama Seneca Willow sudah terkenal sebagai salah satu pemburu werewolf paling sukses. Bukan hanya di Desa Chartain, tetapi juga di seantero Kerajaan Sonneval. Seiring makin jelasnya sinar lentera dari desa, seulas senyum muncul di wajahnya.

“Scarlet Dixon, eh? Aku akan menunggumu.”

lt

Selamat datang di bab pertama versi revisi! Tidak terlalu banyak perubahan di sini selain pembetulan plot hole mini dan perbaikan tata bahasa. Nantikan bab-bab selanjutnya, ya!

✧◝(⁰▿⁰)◜✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top