🍁 The Truth Untold #2 : The Worst Party In Manhattan

08 Oktober
Manhattan, New York
07.15 p.m

Mark memasuki sebuah ballroom megah dan berkualitas elegan setelah diarahkan seorang pelayan berpakaian monokrom.

Interior yang seperti pesta dalam bayangannya. Empat buah chandeliers terpasang menggantung dengan mewah di atas ruangan terbesar yang disediakan oleh pihak hotel. Mark tahu kalau hotel yang menggelar pesta adalah hotel bintang lima, pastilah pelayanannya tidak akan mengecewakan.

Di sudut kirinya didirikan beberapa meja yang disatukan untuk menghidangkan beragam jenis desserts dan minuman seperti wine atau juices, belasan orang berada di sana berkerumun sambal bicara dengan minuman di tangan mereka, atau yang memilih untuk focus menghabiskan hidangan sendirian.

Di sudut kanan, ada beberapa meja dengan kursi disediakan untuk duduk sambal menikmati musik yang dimainkan di atas panggung di depan. Mark yakin mereka yang duduk di sana memikirkan bagaimana mengembangkan bisnis lebih mengepakkan sayap lagi. Ada meja yang berisi dua pemuda yang lebih muda dari anaknya dan empat gadis yang tampak senang mengobrol dengan beragam hidangan di tengah mereka.

Mark mengulas senyum saat sekumpulan anak muda itu tertawa kecil, mengingatkannya pada Aaron yang berada berada di rumah dan mungkin sedang menikmati waktu memainkan ponsel di kamar dengan beragam buah-buahan yang dipotong oleh asisten rumah tangga.

Sudah delapan tahun hidup dengan Aaron, warna dalam kehidupannya terasa lebih banyak walaupun anak itu bukan tipe anak yang rewel, haus perhatian, atau banyak tingkah. Tetapi, saat melihat Aaron yang diam-diam tersenyum saat diajak memancing atau berkeliling kota, sudah lebih dari cukup.

Dia segera mengambil segelas wine dan berdiri di samping trouffle cake, menikmati alunan musik dengan lima pasangan yang turun ke lantai dansa yang telah disediakan di tengah ruangan tersebut. Semakin larut, semakin banyak yang datang.

Sudah setengah jam berlalu dan Johnson telah selesai berpidato.

"Tuan Mark."

Sapaan formal itu mengundang kesadarannya kembali. Mark tersenyum dan menyambut uluran tangan yang lebih bekeriput itu dengan senyum sopan, "Tuan Besar Johnson,"

"Senang melihat Anda datang, Tuan."

"Terima kasih sudah mengundang saya, Tuan Besar. Pesta sesuai dengan gaya Anda, sangat bagus."

Johnson tersenyum lebar, puas dengan pujian tersebut, "Mari, duduk lah bersama saya. Ada yang mau saya diskusikan."

Mark duduk di sebuah meja yang terletak di sudut kanan sambal meletakkan gelas wine yang tersisa setengah di atas meja. Sekretaris Johnson yang datang dengan tuan tersebut mengundurkan diri, membiarkan ruang di antara dua pria berbeda usia. Mark memang sengaja datang sendirian tanpa membawa sekretarisnya, perasaan mengganjal selalu menghantuinya sejak tadi pagi.

"Bagaimana dengan perusahaan Anda, Tuan Mark?"

"Berjalan lancar, Tuan Besar, seperti biasa."

Johnson mengangguk, memotong potongan chocolate cake yang disediakan lalu memakannya, "Saya akan berterus terang. Saya tertarik dengan perusahaan Anda dan ingin melakukan merger dengan Anda."

Mark membulatkan mata, "Saya sudah pernah memberi jawaban, Tuan Besar."

Johnson tersenyum kali ini terlihat lebih pemaksa, "Saya tahu. Tapi saya tidak bisa melewatkan perusahaanmu begitu saja, Tuan. Ada banyak keuntungan yang bisa Anda dapatkan, dokumen kontrak telah diberikan oleh sekretaris saya dan saya yakin Anda membacanya dengan seksama."

"Saya membacanya, Tuan Besar. Tapi saya tetap tidak bisa melakukannya. Tidak ada alasan bagi saya, Tuan. Kalau hanya itu yang ingin Tuan Besar katakan, saya pamit duluan. Saya tidak bisa berdiri di sini lebih lama," kata Mark dan meninggalkan meja sembari merapikan setelannya.

"Three." Johnson berucap pelan.

Suara tembakan terdengar dan menembus kaca gelas di meja hidangan sebelah kiri hingga memecahkan gelas yang penuh akan wine.

Mark segera merunduk dan berjalan ke belakang kursi yang paling dekat dengannya. Suara tembakan terus menerus terdengar bercampur baik dengan teriakan para tamu undangan yang datang, derap langkah yang tergesa-gesa dengan banyaknya beling kaca yang retak menambah kekacauan.

Mata yang berusaha melihat pelaku penembak tersebut berusaha menembus situasi kacau dan melihat seorang pria berpakaian serba hitam menembak di sudut lorong yang mengakses pada kamar mandi.

Dengan gerakan mengendap, mendekat ke arah pelaku tersebut menggunakan kursi yang menjadi penghalang antara sang pembunuh dengan Mark berusaha mendekati sang pelaku tembakan, matanya menyipit saat seseorang yang dia kenal dengan benar berjalan dengan santai di tengah kericuhan dan menghilang di balik sang pelaku.

Suara tembakan terdengar lagi dan menumbangkan seseorang, Mark membulat matanya saat melihat sang korban.

Putra tunggal Johnson.

Dialah yang terbunuh. Mark masih mencerna kejadian dan sang pelaku terlihat menghentikan aksinya dan mendekati pria yang telah bercerai dengan istrinya hidup bergelimang harta bertiga dengan seorang anak perempuan dan ayahnya.

Mark menyikut sang pelaku yang lengah, menendang perutnya dan merebut pistol dari tangan sang pelaku. Segera Mark menodong mulut pistol ke sang pelaku. Tangannya bergetar tipis, seumur hidupnya, ini pertama kalinya dia memegang pistol yang sebelumnya hanya dia lihat di film action saat menonton bersama Aaron.

Dor!

Suara tembakan terdengar dari pistol Mark dan melumpuhkan kaki kanan sang pelaku, bersamaan dengan dirinya yang perlahan tumbang dengan darah mengalir dari bibirnya.

"A done."

Suara samar yang berada di belakangnya terdengar, sosok manusia yang berpakaian hitam muncul di sana dan pergi begitu saja setelah membopong temannya yang terluka di kaki.

Punggungnya terasa teriris dengan perlahan hingga dia mati rasa, darah yang merembes ke pakaiannya. Sebuah memori indah terlihat.

"Papa, ini rumah siapa?"

"Sungguh rumah kita? Alvin boleh bermain trampolin di belakang? Really? Thank you, Papa."

"We really go to London? Tomorrow? Aaron akan melihat Big Ben bersama Papa!"

"Fries and burgers when you come back."

Sorry, son. Your fries and burgers maybe never come to you tonight, Mark berusaha tetap menyadarkan dirinya. Sulit untuk melakukan sampai dia mendengar suara debuman kuat dari pintu masuk ruangan yang didobrak, memunculkan paramedis dengan tandu yang dibawa.

Thank you for coming in my life, Aaron. Your life is precious for me. Don't hurt yourself. One your never know from me is I love you, my son.

Goodbye, Alvin, my son.

Aaron berjalan lurus ke makam baru di belakang rumah. Sang ayah tidak bisa menahan rasa sakit dan memilih pergi untuk selamanya, tidak mempedulikan ruang tamu yang kedatangan tamu.

"Oops, sorry. I didn't know there's someone here."

Aaron mengusap matanya yang berkunang-kunang dan melihat seorang gadis berpakaian terusan putih bersih berlengan panjang sampai selutut, rambutnya dibiarkan tergerai setengah, setengahnya diikat dan diberi ikatan floris berwarna sama dengan bajunya.

"Who are you?"

Pertanyaan gadis tersebut membuat Aaron memilih untuk diam tak bersuara, dia memilih berbalik dan berucap, "Have a good sleep there, Papa. Thank you."

"Aku tidak tahu kalau Uncle Mark memiliki anak laki-laki, tidak pernah diperkenalkan."

Aaron membenarkan pernyataan tersebut, bukan dia tidak mau atau Mark tidak menawarkannya. Dia belakangan ini ikut rapat dengan anggota perusahaan internal saja, sejak dulu dia lebih sering berada di rumah atau kalaupun berada di kantor Mark, pasti lah dia lebih senang mendekam di ruang pribadi ayahnya daripada berkeliaran.

"May I ask you, where is the toilet?" tanya gadis tersebut lagi.

Aaron berjalan mendahului gadis tersebut dan masuk melewati pintu belakang dan menunjuk pintu yang tertutup di sebelah dapur.

"Ah! There is it. Thank you, what is your name?"

Mata pemuda itu melihat gadis tersebut dan berucap singkat, "Aaron."

"Alright, Aaron. Nice to meet you."

Pada awalnya, Aaron Theodorus tidak pernah tahu kalau Ellena lah yang diam-diam menemaninya ke belakang rumah melihat makam Mark.

Tidak pernah tahu, kalau Mark meninggal dalam kerakusan Johnson.

Banyak yang dimanipulasi demi menggapai harta yang dibawahi nafsu belaka. Aaron benar, Mark tidak akan pernah membunuh siapapun yang tidak melukainya. Karna pada akhirnya, pria berbaju hitam itu masih selamat dengan sepasang kakinya yang utuh.

Lebih mengerikannya lagi ... Aaron hidup berdampingan dengan Ellena selama sepuluh tahun dari sana. Tanpa mengetahui kalau kepunyaannya diincar oleh keluarga berbisa tersebut.

The Truth Untold #2 : The Worst Party In Manhattan

The END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top