🍁 34 [The End of Us]

Seorang wanita melenguh pelan sembari mengerjapkan matanya beberapa kali karena cahaya memaksa masuk untuk ke dalam retinanya. Tangannya berusaha bergerak untuk mengucek mata namun tidak akan pernah bisa.

"Sudah sadar? Cepat juga, kamu yang paling cepat bangun diantara yang lain."

Suara lembut sekaligus menyeramkan membuat wanita tersebut tersadar dan melihat sekitarnya dengan mimic terkejut. Ruangan yang berukuran kecil hanya tiga empat meter dikali empat meter terasa mencekam dengan sebuah bohlam gantung watt yang tidak lebih dari 10 memancarkan cahaya kekuningan.

Apalagi ruangan tersebut terasa kosong karena tidak banyak fasilitas di sana dan dia tidak bisa melihat siapa pemilik suara tersebut karena hanya warna hitam yang dia lihat.

"Dorine Halsey Miles." Suara tersebut terdengar dan memanggil namanya. Dia semakin ketakutan saat terbesit sebuah ingatan dimana dia berada di kamar pribadinya terakhir kali untuk beristirahat dari kejamnya dunia.

Langkah alas kaki terdengar, Dorine bisa mengetahui kalau itu adalah jenis alas kaki high heels. Pemilik suara berdiri di depannya.

"Untuk dilihat dari dekat kamu cantik dan terlihat lugu." Sambungnya lagi. Pupil Dorine terasa mengecil saat melihat seringai kejam terulas di wajah pemilik suara tersebut.

"Tipe Aaron kali ini berbeda dengan sebelumnya. Kamu pasti tahu kehidupan romantis Aaron Theodorus kalau melihat siaran televisi. Iya, kan, chef?"

Dorine ingin berontak namun untuk menggerakkan tangan saja dia tidak mampu. Tangannya terasa dibius lemah untuk tidak sanggup bergerak. Dia tentu tahu karena selalu melihat siaran. Merasa sia-sia, tatapannya mengarah pada pemilik suara tersebut, "Siapa kamu?"

Pemilik suara tersebut menyeringai, "Kamu tahu siapa aku kalau kamu melihat televisi, cantik."

"Akh!"

"Iya, kan, manis? Bukankah kamu menyukai Aaron? Maka ini resiko yang kamu terima." Timpalnya dengan senyum mengerikan, puas dengan karyanya di pipi kiri Dorine, warna merah darah membekas di pisau silet di tangan kanannya.

"Sakit, Dorine?"

Dorine meringis, matanya berkaca-kaca membendung tangisan, "El ... Ellena."

"Hi, terkejut melihatku?" tanya suara yang dia dengar sedari tadi. "Sayangnya, kurang cantik. Sebentar, ya, aku akan membantumu."

"Akh!" pekik Dorine tertahan.

Ellena tertawa mengerikan setelah berhasil menambah maha karyanya di tempat yang sama namun terletak di atas. Pisau siletnya kembali melayang ke lengan kiri wanita yang berkecimpung di dunia kuliner, lima kali sayatan dilayangkan setelah itu.

"Kau psikopat, brengsek."

Ellena mengusap pisau silet di pipi kiri Dorine yang terluka, menimbulkan ringisan kesakitan oleh pemilik wajah tersebut.

"Kita akan bermain sembari menunggu pangeran kuda putihmu datang, Dorine."

"No!"

Aaron bergerak gelisah, matanya secara konstan melirik layer ponsel yang masih menyala terang menunjukkan satu titik merah yang masih jauh dengan posisinya. Titik merah yang berada di dalam kawasan sepi dan membawanya pada masa lalunya yang kelam.

Tentu, dia masih ingat seluk beluk teritori tersebut. Sepasang netra gelapnya terus melihat ke samping menembus kaca gelap pada satu sisi. Bentangan lautan di matanya terlihat sama dengan delapan belas tahun silam, tidak banyak yang berubah selain kawasan ini semakin ditanami banyak pepohonan.

"Lurus terus dan belok kiri saat ada pertigaan di depan," kata Aaron dengan cepat. Sang supir yang membawanya itu mengangguk sesekali melihat layar di depannya yang mengawal mereka untuk sampai pada tujuan.

Semakin dalam mereka memasuki kawasan pepohonan tersebut, semakin banyak memori masa lalunya terus diingat oleh Aaron bagaikan kaset rusak yang tidak akan pernah berhenti.

Aaron memejamkan matanya sembari mencubit punggung tangan dengan kuat, ratusan ucapan permintaan maaf diteruskan kepada langit malam jam sebelas, berharap kalau yang di sana akan mendengar penyesalannya.

Tinggal satu menit lagi dia akan sampai pada tujuan, titik merah itu terasa semakin dekat seiring dia melihat pepohonan yang menjadi arena untuk melarikan dirinya belasan tahun lalu. Dia segera menelepon orang yang selalu berada di sampingnya.

"Lakukan perintahku sekarang. Usahakan datang dalam waktu lima belas menit dan berhenti di lokasi yang kukirim. Masuk saat mendengar suara tembakan."

"Baik, Tuan."

Hubungan komunikasi tersebut terputus setelah mendengar jawaban yang dia inginkan.

Mobil besi itu berhenti di hamparan pasir yang luas. "Kita sudah sampai, Tuan," kata sang supir setelah memastikan lokasinya.

Kita akan mengakhirinya sekarang, sayang, batin Aaron sambal melihat titik merah semakin menyala menandakan kalau mereka hampir sampai.

"Baik. Kamu di sini sebagai tanda kepada Hendery kalau sudah sampai," ucap Aaron sebelum membuka pintu mobil dan melihat sekitar dengan flashlight bantuan ponsel. Terdengar deru ombak dan pentofelnya menginjak pasir, melihat sekitar yang ditumbuhi oleh pohon kelapa berjarak sama satu sama lainnya.

Aaron memicing saat melihat sebuah bangunan bertingkat satu yang dibangun di tepi pesisir. Dengan ragu dia membuka pintu bangunan tersebut dan masuk ke dalam, tubuhnya tersentak ke belakang saat cahaya dari dalam otomatis menyala.

Dia mengirimkan pesan kepada Hendery dan kembali menyisir bangunan tersebut. Bangunan yang dirancang mirip dengan sebuah rumah itu membuat Aaron kebingungan, karena ada empat pintu di sana. Tetapi, matanya memicing ke pintu pertama di sebelah kiri dan menghampirinya.

Matanya membulat saat bagian dinding bisa didorong dan semakin terkejut saat lantai keramik di sampingnya langsung membuat akses masuk ke bawah dengan anak tangga. Aaron jongkok dan mengarahkan ponsel ke bawah.

Begitu gelap.

Gelap yang membuatnya yakin kalau Dorine berada di bawah sana ... bersama Ellena.

"Ellena!"

"Lihat, Dorine! Pangeranmu datang."

Di luar dugaan Aaron yang mendobrak pintu dengan kuat yang merupakan satu-satunya pintu di bawah tanah, dia melihat Ellena yang tersenyum senang akan kehadirannya dengan seorang wanita yang masih terikat di atas kursi.

"Tidak mau melihatnya, Dorine?"

Wanita di kursi itu menggeleng perlahan, Aaron bisa mendengar rintihan dari bibir wanita yang dipanggil Dorine.

"Ellena!"

"Hebat juga bisa menemukanku. Apa karena wanita ini?"

"Ellena, sudah cukup!" bentak Aaron yang meledakkan emosinya selama dua minggu ini. Ellena awalnya terdiam namun kemudian mengubah ekspresi dengan senyum kesenangan. Dia dengan mudahnya memutar posisi Dorine menjadi menghadap pria tersebut.

Ellena tersenyum puas saat melihat Aaron terkejut, "Kamu mau lihat permainan kita? Sungguh, ini menyenangkan." Suara wanita yang terlihat berbeda dengan wanita yang dikenal Aaron selama sepuluh tahun itu mengeluarkan pisau silet dan tanpa aba-aba menyayat pipi kanan Dorine yang masih bersih akan luka.

"Ellena! Kamu gila! Hentikan itu sekarang!" teriak Aaron menggelegar dan langsung merebut pisau silet yang telah melukai Dorine.

Aaron menyeret Ellena untuk menjauh dari wanita tak bersalah itu dan menatapnya dengan lekat, "Urusanmu denganku, Ellena. Apa yang kamu inginkan sampai tega membunuh semua wanita tak bersalah?"

"Kamu."

Aaron mematung, cengkramannya pada wanita tersebut mengendur membuat Ellena segera menepis jeratan itu.

"Aku mau kamu dan perusahaanmu."

"Karena itu, kamu membunuh mereka semua? Dan Dorine hampir dibunuh kalau aku tidak menyelematkannya?!" bentak pria tersebut yang tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita tersebut.

Ellena tertawa begitu bengis dan kejam, "Ya. Semuanya terasa bagus jika melakukannya, Aaron."

"Kamu psikopat."

Ellena menjauh dari Aaron dan melanjutkan ketawanya, "Ya. Kalau kamu tidak bodoh, kamu sudah tahu sejak lama. Mereka semua aku yang membunuhnya. Mereka hama pengganggu, aku tidak bisa mendekatimu karena mereka selalu membenciku yang menjadi temanmu. Bukankah lebih baik hama disingkirkan?"

"Kau gila, Ellena! Semuanya bisa dibicarakan baik-baik! Kau membuatku menjadi tersangka! Aku akan membunuhmu!" Aaron menatap Ellena dengan mata memerah. Tangannya merogoh kantung celananya dan mengeluarkan pistol yang mengarah langsung pada wanita tersebut.

Dorine menangis keras tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun, mentalnya terguncang saat melihat sesuatu yang hanya bisa dia lihat di balik layar selama hidupnya. Kepala wanita itu menggeleng pelan dan mengurai air mata deras, luka di pipi semakin sakit karena cairan asin itu.

"Aku sudah mengucapkan kebenarannya. Aku membawamu menemukan pelakunya, bukankah kamu harus berterima kasih?"

"Per setan dengan terima kasih." bisik Aaron yang menarik pelatuknya tepat di jantung wanita tersebut.

Suara tembakan terdengar, disertai dengan Ellena yang langsung terjatuh dengan luka tembak di dadanya. Dorine menangis histeris, tidak percaya dengan apa yang terjadi.

Aaron melepaskan genggamannya pada pistol membiarkannya menabrak lantai beraspal itu, kakinya melemas dan bersimpuh di tanah. Air matanya perlahan menetes mengalir di sepasang pipinya membentuk lautan di sana.

"Argh!" teriak Aaron dan menangis sirat penyesalan di sana. Tubuhnya limbung dan terduduk dengan kaki yang dilipat. Kepalanya terbenam di antara lipatan lengan dan kakinya, bahunya bergetar hebat menangis.

Lima belas menit kemudian, berbagai derap langkah tak beraturan memasuki ruangan sempit tersebut.

"Tuan!" Hendery langsung melihat kondisi tuannya yang jauh dari kata baik-baik saja. Hendery memberi sinyal kepada pihak kepolisian untuk membereskan semuanya dan meninggalkan mereka berdua di sini sampai kondisi Aaron menjadi lebih baik.

Thank you for giving me a ton of love and breaking me into pieces. I still love you for the rest of my life, batin Aaron saat melihat jasad Ellena dibawa oleh pihak kepolisian kembali naik ke permukaan.

Andai waktu bisa terulang kembali,
Saat musim panas datang menghangat samudra,
Saat musim semi menghampiri dengan senyum cerah,
Aku tidak akan berbalik memunggungimu.

Daun gugur dengan rela saat musim gugur,
Dingin di musim salju memeluk,
Aku tidak akan melepaskanmu lagi,
Belahan nyawaku,
Tidak akan lengkap jika kamu menghilang.

Tetapi, semuanya hanya semu,
Aku membiarkanmu pergi,
Jauh dariku hingga tidak tahu arah pulang padamu,
Selamanya.

Maaf ...,
Terima kasih ...,
Aku mencintaimu, cahayaku.

To Be Continue

Heyyyy!

Coba tebak apa yang akan kulakukan hari Jumat?

Yup, bener!

Epilogue is coming!

Ditunggu, ya, cantik, ganteng, baik.

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top