🍁 33 [Spy]
"Dia masih di mall, Nona Muda. Dia bersama dengan anak bungsu Tuan Willy yang pernah bekerja sama dengan kita saat acara menyambut pembukaan cabang di London, Nona."
"Tampaknya mereka tampak akrab sampai sudah satu jam berlalu mereka tetap bersama."
"Tuan mengantarnya pulang, Nona Muda. Saya akan mengikutinya."
"Tidak perlu. Sampai sana saja, biarkan dia bermain, Aiden. Lemburnya sudah aku transfer ke rekening. Kalau sekretaris tetap memaksa bertemu denganku, kirim ketua divisi pemasaran yang menemui mereka."
"Baik, Nona Muda. Terima kasih."
Ellena memutuskan panggilan tersebut diikuti dengan ketawa menyeramkan di belakang meja kebanggaannya. Matanya melihat ruangan yang gelap dua jam yang lalu masih sama seperti itu menandakan kalau pemilik ruangan telah pergi. Ah! Bukan, kameranya dibuang dengan kondisi hidup sehingga seperti itu.
Tangannya meraih gawai yang tergelatak di atas meja kerjanya, sudah mengarah ke angka delapan dan langit Manhattan semakin menggelap tetapi tidak menyurutkan niat untuk bersemayam di dalam ruangan pribadinya serta jalan raya di depan yang masih ramai. Ingatan di luar kepala menekan dial '1' yang tersambung pada nomor orang berharganya.
"Hello."
"Grandpa, are you free now?"
Alunan ketawa terdengar di telinganya sejenak dan kembali menjawab, "Of course. Kamu satu-satunya yang Grandpa punya, apapun untukmu."
Ellena tersenyum puas, dia segera mematikan layar monitor dan fokus dengan konversasinya dengan sang kakek, "Kalau begitu aku yang menjalankan misi utama Grandpa."
Suasana menjadi hening untuk sepuluh detik ke depan sesuai dengan dugaan sang cucu tunggal. Ellena tidak berniat untuk pulang dengan segera walaupun dia bisa menemui Johnson di mansion, lebih senang bercakap seperti ini.
"Why? Grandpa kira kamu tidak pernah mau melakukannya langsung."
Suara kekehan mengalun dari bibir tipis merah nyala Ellena, "Grandpa tahu apa yang aku lakukan selama ini. Aku bernafsu untuk mendapatkannya, akan sangat memuaskan bagiku jika meraihnya langsung di tanganku."
"Aku akan menemuinya kurang dari seminggu, Grandpa. Tidak ada waktu untuk menurunkan anak buah. Aku akan langsung mendapatkannya." sambung wanita tersebut lagi, dia tahu sang kakek tidak akan membalas perkataannya tetapi telinga pria tua tersebut selalu mendengarkan.
"Grandpa tahu anak bungsu Willy Miles?"
Ellena yakin kalau Johnson tengah tersentak di sana. Informasi berharganya.
"Jangan bilang kalau ...."
Ellena tersenyum miring, sang kakek masih bisa menjalankan pemikirannya, kebanggaan baginya saat Johnson bisa menangkap sinyalnya.
"Ya. Dia dengannya sekarang. Bukankah itu hal yang bagus?"
25 Oktober
Manhattan, New York
"Terima kasih untuk hari ini, Aaron."
Seorang pria yang keluar dari gate one beriringan dengan wanita muda berwajah imut, "Terima kasih kembali, Dorine. Merasa lebih baik?"
"Heum. Sangat baik." jawab Dorine dengan lengkungan ke atas bibirnya sehingga membuat sepasang netra teduh itu menyipit lugu. "Film yang kamu rekomendasikan sangat menyenangkan untuk ditonton, sepertinya aku akan menonton ulang. Terima kasih sudah menemaniku menonton."
"Aku hanya membaca artikel internet. Untung saja film masih ditayangkan di bioskop. Tidak ada jadwal penting, Dorine?"
Dorine berhenti di depan pintu masuk bioskop, membuat Aaron juga terikut berhenti di samping dan menatapnya dengan lekat.
"Tiga puluh menit lagi. Asisten pribadi Daddy akan menjemputku mungkin lima menit lagi," kata wanita tersebut. "Sebenarnya bukan jadwal perusahaan Daddy, aku harus memantau restoranku dan ikut terjun memasak. Kamu mau ke restoranku?" tanya Dorine, Aaron yakin sekali kalau tatapan wanita muda itu terlihat berbinar harap sekaligus terasa polos.
Berbanding terbalik dengan Ellena yang melihatnya dengan tatapan teduh sekaligus terasa lembut.
"Lain kali aku akan ke sana. Aku harus kembali ke perusahaan, ada yang mau diurus."
"Okay."
"Aku akan menemanimu menunggu jemputan, Dorine. Setelah itu aku akan kembali."
Dorine mengibaskan tangannya menolak, "Tidak apa-apa. Aku bisa menunggu sendirian. Kamu pergi lah ke perusahaan, mereka lebih membutuhkanku."
"Tidak boleh begitu. Aku mengajakmu keluar, maka tidak boleh meninggalkanmu sendirian."
Dorine menghembuskan napasnya perlahan, merasa kalau dia kembali menjawab juga tidak akan menang melawan pria di depannya ini. Karena jauh di lubuk hatinya, dia juga menginginkan Aaron untuk di sini. Dorine hanya mengangguk saat Aaron mengajaknya di depan pintu mall menunggu jemputan.
"Daddy tidak percaya siapapun mengontrol perusahaannya," kata Dorine sambil melihat ke langit penuh awan yang menutupi sinar mentari jam dua siang itu. "Tidak dengan asisten pribadinya itu. Mommy tahu kalau Daddy akan kembali marah dan jatuh sakit kalau sementara asisten pribadinya yang mengontrol perusahaan."
"Tapi, Mommy tidak bisa meminta Kakak melakukannya karena dia terobsesi dengan ruang operasi dan ingin sekali menjadi dual license. Terpaksa aku mengorbankan diriku sendiri demi kesehatan Daddy."
Aaron membawa tubuh Dorine ke pelukannya, "Aku hanya ingin membuatmu tenang. Aku selalu ada kalau kamu membutuhkan seseorang."
Perlahan dengan ragu, Dorine mengangkat tangannya dan meremas kaus berkerah yang dipakai Aaron bagian punggungnya, menyamankan kepalanya bersandar di bahu pria tersebut sembari memejamkan mata.
"Kamu sudah berusaha dengan baik, Dorine. Tidak semua orang bisa melakukannya sepertimu, mengolah dua perusahaan berbeda bidang sekaligus tidak semudah orang bayangkan. Kamu hebat. Tuan Besar Willy akan bangga denganmu."
Dorine hanya berdengung pelan dan melepas pelukan nyaman baginya, merapikan tampilan rambutnya sejenak, "Thank you. Sebenarnya masih ada adik laki-lakiku, dia masih sekolah. Mommy tidak mau dia membagi konsentrasi dengan perusahaan saat ini berusia lima belas."
"Memang sedikit pusing untuk sepuluh hari pertama. Sudah lama tidak memantau perkembangan bisnis Daddy membuatku harus fokus sepenuhnya dengan bisnis tersebut, untuk itu juga restoranku dikelola oleh wakilku sepenuhnya. Tetapi untuk sekarang, aku sudah bisa membagi 24 jam yang kupunya untuk dua bisnis tersebut."
Aaron mengusap pucuk rambut wanita itu yang sengaja diurai hari ini, "You did well."
Untuk pertama kalinya, dia merasakan perasaan ingin melindungi seseorang, selama ini Ellena terlihat mandiri, membutuhkan kehadiran pria tersebut setelah terluka oleh Gyan. Mantan kekasihnya itu tidak pernah mengeluh dengan padatnya jadwal di perusahaan. Membuatnya merasa hambar di beberapa waktu kebersamaan mereka.
"Boleh aku meminta nomor ponselmu?" tanya Aaron yang segera diangguki oleh Dorine. Dia memang sudah punya nomor tersebut, namun akan terlihat tidak sopan jika mengabari pesan begitu saja.
Setelah bertukar nomor, Dorine mengulas senyum tipis, "Aku duluan. Mobilnya sudah sampai. Thank you for today. Have a good day."
Lalu wanita muda berkarakter polos itu segera menemui kuda besi yang terparkir di depan. Aaron tersenyum selama melihat kendaraan itu menghilang di putaran. Dia kembali ke parkiran dengan senyum misterius.
Dia tidak bisa melacak keberadaan Ellena, entah kenapa terlihat sulit untuk menemukan posisi teman baiknya itu. Tetapi dia tahu satu hal. Ellena tidak akan melepaskan dirinya setelah kejadian malam itu.
"Sudah puas mengikutiku, Aaron?"
Tepat di jam satu tengah malam, dia menemukan Ellena berkeliaran di jalan sepi dengan pakaian serba hitam. Tentu setelah mengawasi wanita muda itu dari perusahaan sampai waktu itu.
"Katakan sejujurnya, Ellena. Ini semua ... bukan kamu, kan?"
Dia tidak bisa lagi menahan pertanyaan yang mencekik lehernya selama beberapa hari itu. Sehingga memutuskan untuk lagi memuntahkannya saat bertemu langsung dengannya. Walaupun dia hanya melihat bagian punggung wanita itu sampai akhir.
"Kamu akan tahu nanti, Aaron. Pergi lah, daerah di sini terlalu banyak ditanami ranjau, kalau kamu ingin mengikutiku, silakan saja kalau sudah tidak menyayangi nyawamu."
"Bagaimana kamu tahu?"
Bukannya menjawab, Ellena melemparkan benda ke salah satu bagian jalan dan langsung meledak dalam sepersekian sekon. Memang tidak akan membahayakan nyawanya jika dalam sekali ledakan, tetapi memikirkan kalau dia akan terpental yang memungkinkan dirinya di sana. Tentu lah, dia tidak akan selamat.
"Pulang dan tidur. Harimu masih terlalu berharga untuk disia-siakan."
Kalimat tersebut diucapkan Ellena sebelum menjauh darinya tanpa berbicara apapun lagi. Kalimat terakhir dari wanita itu.
Yang juga merupakan pertemuan terakhir mereka.
To Be Continue
Dua chapter lagi menuju ending!
Ditunggu, ya ^^
See ya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top