🍁 32 [Meet Her]
"Dia tetap tidak mau bertemu?"
"Tidak, Tuan."
"Tidak apa-apa. Proyek masih dijalankan, dia harus ada di saat upacara pembuka gedung," kata Aaron lalu mengambil jas yang tergantung di tiang pakaian dan memakainya dengan sigap. "Hendery, pulang lah. Jangan takut, aku menurunkan banyak petugas terlatih ke tempatmu. Mereka berjaga di sekitar kalau kamu jeli."
"Baik, Tuan. Terima kasih, kalau begitu saya permisi," kata Hendery lalu keluar dari ruangan. Aaron tersenyum tipis, sudah jam tujuh malam. Selama seminggu pula, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor daripada di penthouse. Terkadang dia tidak pulang ke apartemen mewah itu melainkan pulang ke mansion atau menginap di hotel terdekat.
Selama itu pula, Hendery tidak pernah meninggalkan Aaron sendirian kalau bukan dia sendiri yang meminta seperti tadi. Lengannya masih terasa sakit karena selama seminggu juga dia menyakiti diri sendiri di manapun lebih leluasa.
Aaron berjalan ke air conditioner yang terpasang di atas jendela kaca gelap yang menampilkan suasana malam Manhattan dengan sempurna. Matanya jeli melihat sesuatu yang terpasang tak jauh dari sana dan mencabutnya.
"Bukan hanya ini saja, kan, sayang? Tapi, tak apa. Aku membiarkanmu melakukannya," kata Aaron sambil melihat kamera kecil di tangannya yang masih menyala dan membuangnya begitu saja ke tempat sampah.
Tangannya membuka pintu, menutupnya kembali lalu merogoh ponsel. Dia melihat sebuah titik merah yang menyala terang di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Manhattan dan mungkin untuk malam ini menyayangi diri sedikit saja terlihat tak masalah.
"Baiklah, dinner di sana terlihat tidak buruk."
Aaron melepas jas kantor dan meletakkannya di belakang mobil sebelum keluar dari kuda besi tersebut. Dia berjalan membelah jalanan area parkiran pusat perbelanjaan dan masuk ke area mall. Tugasnya sekarang hanya satu, mencari pemilik titik tersebut di sini.
Titik merah tersebut masih menyala di posisinya sekarang, artinya dia belum keluar dari gedung besar ini. Sembari mencari, dia menuju ke lantai empat untuk mendapatkan makan malam khas Middle-East di sini.
Lift yang dipakai berdenting bak mesin oven dan Aaron berniat keluar dari kotak yang menampung lima orang termasuk dirinya di dalam. Mata pria muda itu terkejut saat melihat pemilik titik merah tersebut, takdir begitu cepat mempertemukan mereka berdua.
"Aaron," panggil wanita tersebut ragu-ragu. Langkah kaki wanita tersebut dengan pelan ke belakang sembari berfokus dengan penampilan Aaron yang sederhana namun memiliki damage besar.
"Awas di belakangmu!" Aaron segera keluar dari lift dan menarik pinggang wanita tersebut untuk mendekat padanya. Sebelah tangan wanita tersebut mendarat mulus di bahu kanan Aaron sebagai penyangga kedekatan antara mereka. Kedua pasang mata berbeda iris itu saling ketemu.
"Kamu nyaris menabrak orang di belakangmu, Dorine."
Aaron berucap menyadarkan wanita berpakaian jumpsuit tersebut untuk memperbaiki posisi mereka. Dorine merapikan tatanan rambutnya dan menyelip anak rambut ke belakang telinga, kedua pipinya bersemu tipis di pipi putih yang memiliki freckless di area bawah mata, "Thank you."
Aaron membawa wanita tersebut menepi untuk tidak menghalangi akses pemakaian lift yang disediakan, "It's okay. Kamu sendirian, Dorine?"
"Ya. Untuk sekedar melepas penat setelah menghadiri enam rapat seorang diri dengan sekretaris Daddy," ucap Dorine yang mengeluh esah.
"Mau kutemani?" tanya Aaron disertai dengan senyuman lembut.
Dorine bertingkah aneh sejenak, "Tidak ... tidak perlu. Kamu pasti sibuk dengan urusanmu di sini."
"Tidak. Aku juga sedang beristirahat. Tadinya aku berencana makan di sana, sudah makan?"
"Belum. Tadi sekilas sempat makan bubble tea yang sedang naik daun itu." jawab Dorine dengan pelan. Aaron mengangguk paham.
"Mau makan malam bersama? Aku akan mentraktirmu, Dorine."
"Aku jadi tidak enak."
Aaron mengulum senyumnya, "Tidak apa-apa. Kita bukan jadi kolega sekarang, sekarang itu kita sedang menjadi teman. Anggap saja ini sebagai kedekatan kita berdua, Dorine."
"Teman?"
Sang pria mengangguk, dia menggenggam tangan wanita tersebut dan memasuki sebuah restoran yang berkhas middle-east tersebut tanpa ingin mendengar jawaban Dorine lebih lanjut. Mereka duduk di dekat jendela yang mengarah pada pemandangan Manhattan malam itu.
"Pesanlah apapun yang kamu mau, Dorine."
"One hummus and Manekeesh, please." sahut Dorine kepada seorang pelayan yang berdiri di antara mereka.
"Tabouleh and Umm ali." timpal Aaron dan menutup buku tersebut. Tatapannya bertemu dengan iris Dorine, "Bisa minum wine atau hanya juice?"
"Juice, please. Toleran alkoholku cukup buruk."
Aaron mengangguk mengerti, "Two orange juices."
"One hummus, Manekeesh, Tabouleh and Umm Ali. Two orange juices. Please wait for ten minutes." ulang sang pelayan dan mengambil dua buku menu lalu menyingkir dari sana untuk memproses pesanan kedua anak Adam Hawa tersebut.
"Kondisi Tuan Besar baik?" tanya Aaron memecah keheningan.
"Ya, begitu lah. Dua hari yang lalu dia kembali drop dan masuk ICU sampai sekarang. Mommy cukup pusing menjaganya, dia masih harus mengontrol perusahaan di sini. Belum lagi Kakak fokus dengan sekolahnya," kata Dorine dengan pelan. Tergurat sempurna kalau wanita tersebut sungguh pusing menjalani harinya.
"Aku mengelola restoran di mall ini juga. Kamu tahu Bun's Resto? Itu punyaku, aku dari sana untuk sekedar melihat dan berencana pulang untuk beristirahat sebelum mentari datang serta aku harus kembali sibuk."
Aaron mengangguk dan ikut berucap, "Aku paham dengan kondisimu. Seorang diri mengurus banyak kegiatan dalam satu hari. Apalagi kamu lebih sering di dapur mengolah bahan makanan dibanding bertemu dengan pria berjas formal atau wanita berpakaian rapi di meja rapat."
"Saat aku berada di high school, Daddy sering mengajakku bertemu dengan kolega dan menghadiri bermacam pesta yang digelar setidaknya ada tiga dalam seminggu. Tetapi setelah aku fokus dengan dunia kuliner, Daddy sudah tidak mengajakku lagi. Walaupun setiap pekan diisi dengan jadwal bermain golf dengannya selalu berakhir berbicara tentang bisnis."
"Ya, aku juga begitu. Kalau kamu sudah bisa mengontrol perusahaan dan semuanya di sini, kusarankan untuk mengunjungi Tuan Besar dan Nyonya, Dorine. Jangan sampai kamu menyesal sepertiku." Aaron berucap yang diinterupsi oleh pelayan yang datang dengan pesanan mereka.
"Ya, sesekali aku melakukan komunikasi lewat skype untuk sekarang ini dengan Mommy, kalau Daddy sedang sehat, dia juga ikut. Bicarain semuanya dari masa kecil, rutinitas, keluhan, sampai mengontrol perusahaan dengan Kakak juga."
"Bagus lah," kata Aaron sembari tersenyum. "Mari makan, Dorine."
"Thank you," ucap wanita tersebut tiba-tiba. Aaron terkesiap, tidak paham dengan kalimat tersebut. Dorine tersenyum begitu tulis di matanya.
"Terima kasih sudah mendengarku. Bebanku sedikit terangkat."
Aaaron ikut mengulas senyum, tidak disangkanya bisa bertemu dengan si pemilik titik merah dengan cepat seperti ini, "Senang bisa membantumu, Dorine. Ayo makan."
00.56 a.m
Manhattan, New York
"Harus berapa lama lagi kamu melakukannya?" tanya seorang pria tua yang bersandar lemah di headboard ranjang yang berukuran lebar itu. Seorang wanita berpakaian serba hitam dengan jaket kulit mengkilat dan topi berwarna sama yang menutupi rambutnya yang dibiarkan terurai begitu saja.
"Sabar, Tuan Besar. Permainan sebentar lagi akan dimulai. Dan, itu akan semakin menyenangkan."
Sang pria tua yang dipanggil Tuan Besar itu menggeleng perlahan, dia menciptakan seorang monster tanpa disadarinya selama hidupnya, tidak, dia menciptakan dua monster yang tunduk dengannya.
"Aku menunggu keberhasilanmu. Sudah hampir tiga puluh tahun."
"Tidak menyenangkan jika melakukannya dengan cepat. Tuan Besar bisa bersabar sedikit, sedikit lagi," kata wanita tersebut dan bangkit dari posisinya, merapikan penampilannya sejenak.
Karena sebentar lagi kejutannya akan datang.
To Be Continue
Hey, i'm coming
Keknya jadwal update jadi di jam segini, deh. Hehe, gak ada alasan khusus selain aku merasa dikejer dengan kehidupan realita.
See ya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top