🍁 29 [Another Aaron's Secret Past Life]
Delapan belas tahun yang lalu,
Manhattan, New York
Anak kecil yang diketahui bernama Alvin tersenyum lebar saat menemukan rumah kumuh di kolong jembatan masih berdiri tegak. Lebih dari tiga hari dia berkeliling untuk menemukan jalan pulang.
Kondisi rumah yang begitu tenang membuat Alvin menginjakkan kakinya ke ke dalam bangunan tak layak tersebut.
"Mama!" Alvin memekik kencang ketika melihat raga wanita yang melahirkannya tergeletak di depan pintu rumah dengan sekujur tubuh bersimbah darah. Tanpa berpikir panjang, anak kecil itu segera mendekati ibunya.
"Mama! Mama! Ma! Bangun!" Alvin berusaha mengguncang tubuh ibunya diiringi dengan isak tangis. Mata wanita yang menggelap karena kekurangan tidur dengan tubuh ringkih itu terpejam tenang.
"Mama!"
Alvin segera keluar dari rumah dan mencari bantuan secepat mungkin. Tubuhnya yang kucel karena debu menabrak tubuh yang berdiri di sisi jalan.
"Paman, tolong bantu Mama! Mama ... Mama tidak bernapas!" racau Alvin sambil menarik ujung kemeja yang dipakai oleh tubuh tersebut.
"Di mana Mamamu? Paman akan membawanya ke rumah sakit."
Alvin segera menggengggam tangan lebih besar darinya dan menuruni tangga yang ada, membawanya ke dalam rumah.
"Paman, tolong selamatkan, Mama."
Ellena menatap iba dengan berkaca-kaca saat mendengar penjelasan Aaron. Setelah tertidur empat jam, Aaron terbangun dan melihat Ellena dengan wajah sembab pasca menangis, tangannya terasa kebas telah dibalut dengan kain dan kasa, Aaron menduga wanita itu yang mengobatinya.
Aaron berusaha bangkit dan mendudukkan dirinya di tepi ranjang sambil membawa Ellena ke sebelahnya. Berselang lima menit, Aaron menceritakan semua masa lalunya dan begitulah wanita tersebut hampir menangis membayangkan masa kecil yang tidak bisa dikatakan bahagia seperti yang lainnya.
"Nak, dokter mengatakan Mamamu telah pergi ke tempat yang lebih indah."
Ucapan Paman asing tersebut membuat Alvin menahan isak tangisnya kembali, "Mama ... kemana, Paman?"
"Namamu siapa, Nak?"
"Alvin."
Paman tersebut tersenyum dan mensejajarkan tinggi badannya dengan tinggi anak laki-laki tersebut, kedua tangannya mendarat di bahu sempit sang anak, "Mamanya Alvin ke tempat yang lebih indah dari sini. Mamanya Alvin bahagia di sana."
"Kalau begitu, Mama bawa Alvin ke sana," ucap Alvin dengan tatapan berbinar polos menahan tangis.
"Tidak, Alvin. Mamanya Alvin ingin Alvin bahagia di sini." tutur pria di usia akhir tiga puluhan tahunnya.
Alvin menunduk perlahan, raut wajah yang menjadi sendu itu mengundang tatapan tanya dari pria yang lebih tua, "Tapi, Alvin tidak punya siapa-siapa di sini. Alvin tidak bahagia. Apa Paman tidak bisa membujuk Mama untuk membawa Alvin ke sana?"
"Alvin tidak punya Papa?"
"Papa tidak ada saat aku pulang, Paman."
Sang pria menatap malang anak kecil di usia sepuluh tahunnya tersebut, "Alvin, mau ikut dengan Paman sarapan? Paman belum makan. Alvin sudah makan?"
"Alvin tidak pernah sarapan. Kata Mama, Alvin tidak pantas untuk makan, Paman."
Pria tersebut menatap iba sang anak di depannya, mengambil ancang-ancang dan menggendong anak tersebut yang terasa lebih ringan dari anak seusianya. Matanya tersenyum saat melihat Alvin terkejut dengan sikapnya.
"Nama Paman, Mark. Alvin, anak baik. Jadi, Alvin boleh makan sebanyak yang Alvin mau," kata pria tersebut sambil mengusap rambut anak laki-laki tersebut.
"Alvin tidak akan dibawa kabur lewat pelabuhan, kan, Paman Mark? Alvin tidak tahu, ada dua cowok berpakaian masker hitam dan membawa Alvin ke pelabuhan, kata mereka Alvin akan dibawa ke tempat jauh dari Mama."
Tutur kata polos dan terkesan takut itu mengiris hati Mark, dengan cepat, dia kembali tersenyum untuk menenangkan anak laki-laki yang menurut Mark, dia akan menjadi anak yatim piatu setelah pemakaman ibunya.
"Tidak. Paman Mark tidak akan membawa Alvin ke pelabuhan. Kita hanya akan sarapan dan Alvin boleh makan semua yang Alvin mau," ucap Mark seceria mungkin dan membawa Alvin yang masih dalam gendongannya ke kantin rumah sakit untuk sarapan sesekali bermain dengan anak tersebut.
Aaron memutar kepalanya dan tersenyum tipis dengan wajah yang terlihat nyaris baik-baik saja. "Kurasa aku saat kecil tidak takut dengan Mark. Karena, dia memang baik dari sejak aku bertemu dengannya," ucap Aaron sambil melihat jam di dekat meja nakas yang menunjukkan tanggal hari ini. "Entah apa yang akan kulalui kalau aku tidak bertemu dengannya. Aku merasa bersalah karena bersyukur atas kematian Mamaku membawaku ketemu dengan Mark." sambungnya lagi dan tertawa kecil.
"Jadi, kamu tidak pernah ketemu lagi dengan papa kandungmu?" tanya Ellena yang hanya diberi senyuman oleh Aaron.
Aaron menatap angkasa dari jendela kaca yang masih terbuka, langit malam dengan heningnya jalan raya di depan membuat Aaron terbawa suasana.
"Ceritanya masih panjang untuk menemukan fakta kalau keduanya telah tiada," ucapnya pelan tetapi masih terdengar oleh Ellena.
"Setelah itu, aku tinggal dengan Mark selama dua tahun."
Enam belas tahun kemudian,
Manhattan, New York
"Alvin! Jangan lakukan itu!" Mark langsung menarik pisau cutter berukuran kecil dari tangan anak berusia sepuluh tahun. Anak itu menangis pilu menduga kalau pria di depannya ini akan memarahinya dan tidak akan memberikannya makan seperti kedua orang tuanya.
"Aku pantas mendapatkannya, Mark. Kembalikan pisaunya, Mama dan Papa meninggal karena aku. Seharusnya aku tidak pernah dilahirkan, mereka pasti akan bahagia," kata Alvin disela-sela tangisannya. Hati pria tersebut diremas kuat dan semakin kuat saat melihat Alvin semakin menangis.
"Aku anak pembawa sial. Aku saja yang meninggal!" pekik Alvin dan beralih mencubit kulit di tangannya kuat-kuat dan lama hingga menimbulkan bercak merah beberapa kali.
Pupil mata Mark bergerak gelisah dengan sigap dia menarik kedua tangan Alvin dan mendudukkannya di tepi ranjang luas untuk ukuran anak yang tidak lebih dari lima belas tahun. Dengan kasih sayang, dia mengusap air mata yang telah dia anggap sebagai anaknya sendiri dan memberikan pelukan terhangat yang dia punya.
"Alvin bukan pembawa sial. Papa dan Mamanya Alvin pergi karena merindukan satu sama lain, bukan karena Alvin," ucap Mark sehalus mungkin untuk memberikan penjelasan. Tangannya terjulur untuk memberikan tepukan pada punggung anak tersebut.
Mark merasa kasihan dengan anak di depannya, tidak ada akta kelahiran anak tersebut sehingga dia tidak bersekolah seperti anak pada umumnya. Setelah membawa Alvin sarapan di rumah sakit dua tahun yang lalu, Mark membawa Alvin ke psikolog untuk memastikan kalau kondisi psikis anak kecil itu baik-baik saja.
Dari perkataan psikolog, Alvin mengalami trauma ringan atas penculikan terhadap dirinya dan dia mengingat jelas setiap memori menakutkan tersebut, dia hidup di tengah keluarga yang berantakan. Mark menelusuri rumah tak terawat itu dan bisa membayangkan Alvin memilih keluar dari pintu yang dia buat sendiri untuk kabur dari rumah sementara. Tetapi, anehnya dia tidak pernah membenci kedua orang tuanya. Alvin mengetahui sendiri kalau ayah kandungnya terbunuh oleh mafia karena terlilit akan hutang, itulah sayatan luka pertamanya di usia kedua belas tahun.
Untuk sementara, Mark memberikan pendidikan dari guru privat yang dia kenal kepada Alvin, mengajarinya banyak hal dari jam tujuh sampai jam tiga sore persis layaknya sekolah pada umumnya. Selama dua tahun itu juga, Alvin tumbuh dengan figur ayah yang dia dambakan, Mark mengajaknya bermain, menemaninya makan teratur, jogging setiap jam empat pagi. Anak tersebut tahu kalau pria itu tidak menikah, tidak punya keturunan, dan tidak punya saudara sama sekali.
"Alvin ... ingin seorang Papa?"
Pertanyaan tersebut keluar dari bibir Mark, Alvin menangis sesegukan. Alvin menganggukkan kepalanya dua kali.
"Alvin mau kalau Mark jadi Papanya Alvin?" tanya Mark lagi dengan penuh hati-hati.
"Mark tidak takut? Aku pembawa sial." lirih Alvin yang menunduk, kedua kakinya yang menggantung bergerak ke depan dan belakang perlahan.
Mark tersenyum, "Tidak. Mark tidak takut, Mark percaya kalau Alvin bukan anak pembawa sial. Alvin akan ke sekolah, punya banyak teman. Mark akan berusaha sebaik mungkin untuk menjemput Alvin dari sekolah dan membeli es krim atau pudding serta chocolate cake saat perjalanan pulang. Tapi itu semua Mark tidak bisa lakukan, kalau Mark bukan Papanya Alvin."
"Alvin mau mengganti nama. Bolehkah?"
Mark tersenyum, menimbulkan gurat samar di sekitar matanya karena pertambahan usia, menata ulang helai rambut anak di depannya, "Tentu saja. Alvin hanya perlu memilih dan itu akan menjadi namamu."
"Papa Mark ...." ucap Alvin malu-malu. Dua belas tahun semasa hidupnya, untuk pertama kali dia memanggil seorang pria dengan sebutan seperti yang dia inginkan.
"Iya, Alvin. Papa di sini."
Alvin memeluk leher Mark dan menangis bahagia. Mark terkekeh pelan walaupun dia juga mengurai air mata, dia menggendong anak yang akan memasuki jenjang remajanya. Tubuh anak itu terlihat lebih sehat daripada dua tahun dia lihat pertama kali.
"Aku tidak perlu mama, cukup Papa Mark. Aku sudah bahagia."
"Jadi, Alvin itu ... kamu?" tanya Ellena yang berfokus dengan satu rentetan kalimat yang diceritakan Aaron. Terbiasa tidur di jam sepuluh membuat Ellena cukup mengantuk namun memaksa untuk tetap sadar karena sang kekasih memerlukan kehadirannya.
Aaron mengangguk dengan senyum bahagia di wajahnya kala mengingat peristiwa tersebut, "Aku mengganti namaku menjadi Aaron setelah itu. Mark menunjukkan banyak hal padaku, aku punya identitas sah dengan pilihanku sendiri, aku ke sekolah seperti anak lainnya dan aku bisa bertemu dengannya saat itu."
Ellena hanya mengulas senyuman.
"Tetapi, aku semakin gencar melukai diri, tidak jarang aku membenturkan kepala ke dinding, atau mencubit seluruh tangan dan kaki, menampar pipiku kuat-kuat sampai luka dan pernah berdarah. Mark membawaku ke psikiater bersamaan dengan itu aku sering mengunjungi psikolog."
"Mark masih sering memanggilku Alvin setahun ke depan, setelah mengetahui cara untuk mengatasinya, Mark membawaku ke rumah minimalis yang bagus saat itu. Mark menjadi sering menemaniku, memastikan kalau aku selalu dalam kondisi baik-baik saja. Dia selalu kewalahan menanganiku saat aku bernafsu untuk self-harm. Pekerjaan kantornya sering dilakukan setelah aku tidur."
"Dia sering mengantuk tapi dia tidak pernah mengeluh. Dia menyayangiku seperti anak kandung, dia mengajakku berkeliling Eropa satu minggu penuh dan pernah mengajakku ke Hawaii selama empat hari tiga malam. Dia tidak pernah melakukan hiking, tetapi dia mengajakku hiking and camping di beberapa waktu. Semuanya hanya untuk memastikan kalau aku selalu senang dan tidak berpikir melukai diri sendiri."
"Mark juga mengajariku untuk mencintai diri sendiri sehingga dalam lima tahun, aku berusia delapan belas tahun, aku jarang melakukan self-harm," kata Aaron panjang lebar, matanya terlihat menjelajah waktu, mengumpulkan setiap sudut kenangan manis yang dia lalui dengan ayah angkatnya.
Kemudian, matanya meredup setelah sampai pada satu sudut kenangan yang lebih kejam dari apapun.
"8 Oktober sepuluh tahun yang lalu ... tanggal kematian Mark."
To Be Continue
Hey, hey, hey ... yo!
Gimana dengan masa lalunya? Sudah mulai ada titik terang kenapa ada Alvin di sana? Sudah ada kepikir untuk kenapa Alvin suka self-harm?
Tapi, tbh, jangan sesekali self-harm, sayang. Kamu boleh merasa diri enggak becus untuk sesaat. Like, yeah, who don? I'm alson feel that way.
But, the most important things you should know is how you manage yourself to get out from that feeling. And you should be proud if you don touch things like that.
Ceritanya tinggal sedikit lagi. Enggak banyak-banyak kok, kurang dari 15 chapter dalam sebulan ini.
Ini juga bakalan jd bulan terakhir aku update book ini sebelum fokus ke revisinya.
See ya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top