🍁 28 [One More Fatal Mistake]

8 Oktober
08.50 a.m
Manhattan, New York

"Tuan, hari ini-"

"Kita ke sana, Hendery." Sela Aaron dengan cepat. Sang sekretaris yang duduk di sebelahnya segera menganggukan kepala dan memberikan perintah untuk menjalankan mobilnya.

Hendery melihat nanar sang tuan yang mengarah melihat ke luar langit yang mendung. Apa yang dialami oleh atasannya bukanlah hal yang mudah, lebih dari seminggu dan banyak hal yang datang menghantam Aaron, pasti membuat pewaris tunggal itu terkejut dan kelelahan.

Tidak jarang dia mendapati sang tuan memijat kedua pelipisnya saat bekerja dan memejamkan matanya di kursi kebanggaan saat bekerja. Apalagi semua kejadian itu dekat dengan peristiwa yang tidak akan bisa dia lepas seumur hidup.

Dia hanya bisa berusaha meringankan beban sang tuan dengan bertanya kepada asisten rumah tangga di kediaman Aaron sesering mungkin untuk memastikan kalau kekasih majikannya berada dalam kondisi baik-baik saja. Membelikan banyak persediaan makanan sehat dengan persetujuan Aaron yang akan disantap oleh Ellena.

Butuh satu jam untuk berada di sebuah rumah dekat dengan lembah, itu adalah aset yang ditinggalkan Mark padanya. Semua kekayaan Mark beralih nama menjadi Aaron sebulan sebelum kejadian tragis terjadi. Seolah pria paruh baya itu telah mengetahui takdirnya.

Aaron turun dari mobil dan langsung memasuki perkarangan rumah tersebut yang tidak sebesar mansion keluarga Johnson, sekitar pagar ditumbuhi oleh bermacam bunga dan jalan masuk diberi jalan bebatuan yang rata dengan sekitarnya berupa rerumputan. Di atas rumput itu dibangun sebuah ayunan.

"Kamu menyukai rumah ini, Alvin?"

Senyum sendu terukir di wajahnya saat menatap ayunan yang masih kokoh berdiri di sana. Hendery membuka pintu rumah dan menyalakan lampu sembari menunggu Aaron masuk ke dalam rumah minimalis tersebut. Rumah sederhana bertingkat dua, tidak terlalu sempit atapun luas.

"Ya, aku suka. Rumahnya bagus. Apa kamu akan tinggal di sini?"

Satu per satu kilasan masa lalu terlihat di matanya. Kepalanya mengarah ke depan pagar, bayangan dimana seorang anak kecil dengan pria berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu terlihat di matanya, anak kecil dengan pakaian kaus oblong warna hitam dengan character spider man di depan dan celana jeans berjingkrak kesenangan, sedangkan yang lebih tua hanya tersenyum bahagia dan mengelus surai sang anak kecil.

"Kita tinggal berdua di sini, Alvin. Dua minggu dalam sebulan kita akan tinggal di sini. Kamu suka?"

"Bagaimana dengan rumah besarmu di sana, Paman?"

Suara kekehan kecil yang dia rindukan sepuluh tahun terdengar dengan jelas. Rumah besar yang dimaksud sebagai mansion yang terletak di perumahan terelit di Manhattan.

"Rumah itu tetap milik kita. Alvin dan Paman bebas mau tinggal dimana saja."

"Kalau begitu, boleh aku meminta sesuatu?"

Pria yang disebut sebagai Paman tersenyum, "Alvin mau apa?"

"Alvin ingin bermain ayunan. Tetapi tidak ada di manapun. Apa Paman mau mengajakku bermain ayunan?"

"Apapun untukmu, Alvin. Kita akan buat ayunan di depan rumah. Kamu suka trampolin? Paman akan memasang sebuah trampolin di belakang."

"Di belakang juga ada? Aku suka trampolin. Tetapi, Mama tidak pernah membawaku ke sana."

Aaron tersenyum miris saat melihat anak kecil tersebut berkata lirih di kalimat akhirnya. Serpihan masa lalunya yang kelam. Lalu, anak kecil dan pria tersebut mengabur dan menghilang meninggalkan sebuah mobil hitam yang menjadi alat transportasinya di sana.

Aaron berlalu masuk ke dalam rumah sederhana tersebut, perabotan yang masih lengkap mengisi seluruh sudut rumah. Tanpa basa-basi, dia segera naik ke atas dan masuk ke sebuah kamar tepat di depan anak tangga.

"Ini, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan." sambut Hendery dan membungkuk, Hendery berganti pakaian dengan sebuah long sleeves turtle neck berwarna coklat gelap dan sepasang celana hitam dipasang tali pinggang dengan warna yang sama. Sang sekretaris keluar dari kamar pribadi Aaron, tak lupa menutup pintunya kembali.

Lima belas kemudian, Aaron turun dengan gaya pakaian yang sama namun berwarna cream yang membuat berbeda hanyalah cardigan yang dipakai oleh anak angkat tersebut yang berwarna coklat gelap.

"Tuan, ini bunganya," kata Hendery dan memberikan sebuket bunga Gypsophila yang diterima baik oleh Aaron. Keduanya melangkah keluar dari pintu belakang, mata pewaris tunggal itu melihat trampolin yang masih utuh disekitar taman belakang.

Baik dia maupun Mark suka menanam berbagai macam bunga. Salah satu kegiatan yang dikenalkan oleh ayah angkat padanya untuk mengalihkan perhatiannya dulu setidaknya sampai napas terakhir Mark. Aaron tidak melakukan kegiatan itu lagi setelah itu. Namun, meski begitu  bunga anggrek adalah salah satu kesukaan mereka bersamaan dengan bunga putih yang dia bawa sekarang.

Aaron membuka pagar belakang dan berjalan menanjak ke sebuah bukit kecil terletak di belakang rumah tersebut dan berdiri di depan sebuah batu nisan dengan makam dibelakangnya. Hendery berjalan di belakang untuk memastikan tuannya tidak terluka dan berdiri di belakang setelah melihat batu nisan di puncak bukit.

Wajah mendung itu berusaha untuk tersenyum, dia meletakkan buket bunga di tangannya dan bersimpuh di depan makam tersebut. Sedangkan, Hendery setelah memastikan tuannya telah dalam posisi aman, dia kembali turun dan menunggu di trampolin.

"Mark, aku datang. Sesuai dengan apa yang kamu minta, bagaimana pakaianku hari ini? Kamu bahagia di sana sekarang atau kamu sudah mengalami reinkarnasi? Aku banyak berterima kasih padamu, entah apa yang akan terjadi padaku kalau kamu tidak menemuiku waktu itu. Semua yang terjadi saat itu aku masih mengingatnya dengan jelas," kata Aaron di depan makam tersebut. Sekali dalam setahun dia akan mengunjungi makam tersebut.

Semuanya adalah perintah terakhir dari Mark. Dia tidak mau Aaron terus-terusan berkunjung ke tempat peristirahatan terakhirnya dan menulis surat untuk Mark dari cara berpakaian dan jadwal kunjungan.

"Keadaan di sini tidak terlalu baik, Mark. apa kamu mengingat Ellena? Cucu Tuan Johnson, dia adalah pacarku sekarang. Tuan Johnson memintaku memanggilnya Grandpa. Kalau kamu sekarang ada di sini, kamu akan mendukungku, kan, Mark? Takdir itu lucu, semua mantan kekasihku meninggal dunia dan Ellena mau membantuku mencari pelakunya. Aku tidak bisa melepaskan wanita itu walaupun jika bersamaku, dia semakin terluka."

"Rumah ini, aku tidak menjualnya sama sekali. Banyak memori baik yang terjadi di sini. Aku bisa menjual aset yang lain tetapi rumah ini tidak akan kulepas begitu saja. Tapi, Mark, aku juga tidak bisa tinggal di sini sampai sekarang, aku tidak bisa menjalani perintahmu dengan sempurna. Ternyata terlalu banyak kenangan bahagia juga membuatku sesak napas setiap menginjak rumah ini. Papa ... aku harus bagaimana?"

Tumpah air mata Aaron di depan makam sang ayah angkat. Panggilan 'Papa' tidak semudah itu diucapkan oleh Aaron sejak bertemu dengan Mark, hanya beberapa kali. Namun hubungan keduanya tetap terjalin erat sebagaimana layaknya ayah menyayangi putranya. Semasa hidupnya, Mark sama sekali tidak mempermasalahkan Aaron yang memanggilnya dengan sebuah nama. Meski begitu, ketika Aaron memanggilnya 'Papa', keduanya sama-sama merasa perasaan yang berbeda dari biasanya dan Aaron merasa mempunyai seorang ayah.

"Aku merindukanmu, Papa. Aku merindukan semua kegiatan bersama, aku rindu bermain golf dengan Papa tiap minggunya, aku ingin menanam bunga lagi dengan Papa. Aku mau ke kantor denganmu dan liburan kemanapun yang Papa ingin pergi. Aku harus kemana untuk bersandar? Kepada siapa aku harus menumpahkan semua keluh kesahku?"

Aaron menangis dalam simpuhannya, dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Butuh waktu sepuluh menit bagi Aaron kembali berdiri dan mengambil tempat di sebelah makam, menyandarkan kepalanya di sisi makam yang terawat dengan baik itu dan memejamkan matanya.

Biarkan kali ini, Aaron tertidur dengan semestinya, sampai mentari kembali ke ufuk barat dan terbenam. Aaron akan kembali menjadi Aaron yang dikenal sekitarnya.

"Papa, Alvin sendirian ... temani Alvin di sini. Satu kali lagi ...."

08.30 p.m

Ellena mengerutkan dahinya, saat melihat notifikasi panggilan muncul dari atas layar ponselnya. Tertera nama 'Sekretaris Hendery' di sana dan Ellena sesegera mungkin mengangkatnya setelah kembali ke alam sadar.

"Selamat malam, Nona Muda. Maaf mengganggu waktu Anda."

Ucapan formal terdengar dari seberang telepon. Ellena segera membalas, "Selamat malam juga, Hendery. Ada apa? Apa ada masalah dengan kontruksinya?"

"Tidak ada, Nona Muda. Saya hanya ingin mengetahui kalau Tuan Aaron berada di penthouse atau tidak?"

"Dia sudah pulang satu jam yang lalu. Ada apa?"

Hendery terdiam sebentar, Ellena merasa kalau dia harus menunggu kelanjutannya, setelah puluhan detik berlalu, sang sekretaris kekasihnya berujar, "Begitu Nona Muda ....,"

Ellena hanya berdehem sebagai jawaban kalau dia masih mendengar.

"Tuan Aaron tidak mengangkat teleponnya, di sini terjadi hal genting, Nona Muda."

Ellena tersenyum tipis, "Aku akan memanggilnya, mungkin dia sedang mandi di kamarnya. Tunggu sebentar, akan aku telepon kembali."

"Baik, Nona Muda. Maaf telah mengganggu waktu Anda."

"Not a big problem. I'll hang out."

Ellena memutuskan panggilan tersebut dan bangkit dari tempat tidurnya, dia baru saja selesai makan malam sepuluh menit yang lalu. Ellena memang merasa aneh dengan sikap Aaron beberapa hari ini, pria muda tersebut tampak memiliki beban pikiran. Sebanyak apapun Ellena membujuknya untuk mengatakan bebannya, Aaron tak kunjung luluh.

Dia hanya tahu Aaron cukup terlambat masuk ke perusahaan pagi ini dan menurut Aiden, Aaron dan sekretarisnya tidak ada di tempat seharian saat dia akan membahas perkembangan kontruksi perhotelannya. Dia tidak sempat bertanya karena saat Aaron kembali, pria itu tampak kelelahan dan Ellena membiarkannya untuk beristirahat, menunda pertanyaannya yang bisa ditanyakan kapanpun.

Ellena mengetuk pintu kamar di seberang kamarnya, sepuluh menit berlalu dan belum ada tanda kalau pintu itu akan terbuka dari dalam. Setelah memastikan keputusannya, Ellena membuka pintu dan dengan perlahan dia membuka pintu dan mendorong kepalanya duluan untuk melihat sekitar.

"Tidak ada. Dimana dia? Kata Jessy, dia tidak keluar dari kamarnya daritadi." gerutu Ellena dengan pelan. Tetapi telinganya mendengar bunyi dari arah kamar mandi dan merasa aneh, pikirannya meliar dengan buruk.

Tidak mungkin, batin Ellena dan mengetuk pintu kamar mandi.

"Aaron, kamu di dalam?" panggilnya hati-hati.

"Aaron."

"Sayang ..., kamu di dalam sana, kan? Aku buka, ya?" tanya Ellena yang semakin cemas dengan keadaan di dalam karena Aaron tak kunjung menjawab. Dengan perlahan, dia menarik pintu kamar mandi dan membulatkan matanya terkejut dengan pemandangan di depan.

"Aaron, stop! Berhenti melakukan itu!"

Detik itu juga, yang dipanggil segera melepaskan alat tajam di tangannya dan beradu dengan keramik basah. Dengan mata sayu, Aaron berusaha melihat Ellena yang beradu tatap dengannya.

Dengan gerakan tertatih-tatih, Ellena berjalan menumpu pada dinding kamar mandi yang menghangat karena uap dari shower yang masih mengalir, sedangkan tangannya yang lain menahan jahitannya. Wanita itu bersimpuh perlahan di pinggir bath tub dan menggapai telapak tangan Aaron yang bersandar lemah di pinggiran.

Matanya berair membayangkan seberapa lama pria muda ini melakukan hal yang seperti sebelumnya. Sambil mengecup punggung tangan Aaron, dia terisak. Matanya melihat kondisi Aaron dengan linangan air mata.

"Kumohon, berhenti lakukan hal ini, sayang ...."

"Maaf, Ellena." lirih Aaron sambil berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dia lelah dan ingin istirahat. Pergelangan tangan sampai ke lengan atas tidak luput dari darah bekas sayatan, dua pasang tangan memiliki kondisi yang sama.

Aaron memejamkan matanya, beristirahat di dalam bath tub kering dengan Ellena yang masih menangis disampingnya.

Setelah ini, kumohon, katakan sejujurnya, batin Ellena dan mengecup lama punggung tangan pria tersebut.

To Be Continue

Annyeonghasimnikka, yeorobunnnn

How are you doin'?

Hehe, semoga kamu menjalani hari dengan baik, ya.

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top