🍁 25 [Hurt Again]

Aaron menatap tanah tak berata itu yang dipijaknya, di depannya ada Hendery yang memegang ponsel miliknya untuk menjadi penunjuk jalan. Di belakangnya ada Aiden yang melihat ke dalam lorong sempit.

"Nona muda pasti ketakutan saat dibawa ke sini," ucap Aiden saat memasuki lorong tersebut dan memegang dinding berlumut tersebut. Aaron dalam hati menyetujui perkataan sekretaris pribadi kekasihnya tersebut. Siapapun juga akan memikirkan yang tidak-tidak saat dibawa ke tempat segelap ini.

Semakin mereka berjalan, semakin gelap sekitar, Aiden memakai fitur flashlight dalam ponselnya dan menerangi jalan begitu juga dengan Hendery yang memakai ponselnya sendiri dan Aaron untuk menerangi perjalanan.

Aaron bisa membayangkan betapa ketakutannya wanita muda tersebut saat diseret ke sini.

"Titiknya di sekitar sini, Tuan."

Aaron berhenti, dia bisa melihat setitik terang di ujung depan sana, tetapi di kiri kanan mereka dipasang beberapa pintu yang berseberangan dengan jarak yang sama satu dengan yang lainnya.

"Saya tidak pernah tahu kalau dekat lokasi pembangunan ada lorong seperti ini." tutur Aiden yang langsung memegang knop pintu dan memutarnya. Dahinya mengerut dan memutar knop pintu tersebut beberapa kali. "Tidak bisa dibuka, Tuan."

"Panggil Fredd kemari. Aku perlu bicara dengannya sekarang. Dobrak pintu kalau kalian membutuhkannya."

Hendery segera menekan fitur telepon di ponselnya sambil melangkah keluar dari lorong tersebut berlawanan dengan tuannya dan sekretaris kekasih tuannya, "Halo, Fredd. Bisa ke sini? Tuan Aaron memanggilmu. Saya tidak ada di ruangan, aku akan ke sana, Anda cukup menunggu kehadiran saya. Baik, saya akan ke sana." Hendery sedikit berlari tanpa memikirkan kalau ada genangan air dipijakannya membuat ujung celananya menjadi kebasahan.

Sedangkan Aiden mendobrak pintu dengan samping tubuh ataupun menendang daun pintu dengan sepasang kakinya, satu per satu pintu dibuka oleh Aiden dan semuanya kosong. Hanya ruangan sempit tanpa ada barang apapun di dalam. Aaron langsung menendang pintu di depannya dan mengerang kesal saat melihat hal yang sama di dalam delapan pintu sebelumnya.

Berbeda dengan Aiden yang hanya menatap ruangan kosong seperti yang ia temui dari awal dengan tatapan tajam. Aku tidak akan melepaskan siapapun yang berani melukai Nona Muda Ellena, aku bersumpah, batin Aiden yang menggelemetukkan giginya, membuat rahang bawahnya mengeras.

"Semuanya sudah dibuka, Tuan, tidak ada jejak Nona Muda Ellena di semua tempat."

"Ellena, sebenarnya kamu dimana?" lirih Aaron sambil ujung lorong yang terlihat terang, hanya butuh perjalanan lima meter untuk ke sana. Tatapannya mengarah kepada tangan kanan sang kekasih lalu menghembuskan napasnya.

"Kita akan ke sana. Pastikan Hendery mengetahui posisi kita."

"Baik, Tuan."

"Apa kamu tahu tentang lorong di belakang gedung ini?" Hendery langsung melontarkan pertanyaan setelah mendapati Fredd berdiri di depan ruangan dengan segenggam ponsel di tangannya.

"Saya tahu. Lorong itu mengarah pada pemukiman warga di belakang gedung. Aku berniat mengatakannya kepada Tuan Aaron untuk menutup akses lorong tersebut tadi."

"Pemukiman? Kamu tidak pernah memberikan laporan kalau ada warga di sana," kata Hendery yang menyudutkan Fredd dengan mata elangnya. Walaupun dia bekerja belum lama dengan Aaron tetapi tuannya itu cukup mempercayakannya untuk mengurus perusahaan dengannya.

Fredd memasang wajah gelagapan, Hendery memicing pada tangan sang kepala pembangunan yang terlihat memutih mengenggam ponselnya.

"Ikut saya."

Dua kata Hendery lontarkan sebelum mengejar ketinggalannya dengan Fredd yang berdiri di sebelahnya, langkah keduanya terlihat gusar.

"Kamu pernah menelusuri pemukiman tersebut?" tanya Hendery setelah menenangkan dirinya untuk tidak membuat lebam di sudut pipi pria yang lebih tua darinya. Matanya terlihat berkobar dan siap menyantap siapapun yang menghadang jalan. "Nona Ellena tidak ada di ruangannya, aku berasumsi kalau ada kemungkinan dia dibawa ke lorong tersebut. Kamu mungkin bisa membantu kalau pernah berjalan-jalan di sana."

Fredd tersentak saat mendengar kabar, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti langkah di depan, "Saya pernah ke sana. Tidak banyak rumah di sana, semuanya berlantai satu dan terlihat kumuh, Saya mengira hanya ada delapan rumah dengan jarak satu sama lalin sekitar tiga meter."

"Kamu pernah melihat orang yang mencurigakan di sini. Kamu pasti tahu yang mana anggotamu dan mana yang bukan."

"Saya tahu, Tuan. Tapi, tidak ada yang mencurigakan selama ini."

Hendery kembali terdiam dan melangkah kakinya menyusuri lorong tersebut, "Apa kamu tahu kalau di sini ada ruangan kosong juga?"

"Saya tidak tahu tentang ruangan itu kosong, Tuan. Tetapi saya tahu kalau ada banyak pintu sepanjang lorong ini."

Hendery melihat ponselnya dan segera bergegas setelah membaca pesan tersebut. "Tuan dan Aiden sudah sampai di pemukiman tersebut. Berdoalah supaya Tuan tidak memecatmu," ujarnya dengan dingin dan berlari mendapati ujung lorong tersebut. Hendery melongo, memang benar hanya ada delapan rumah yang berada di sisi kiri dan kanan jalan khusus beroda dua ini.

Ketua lapangan tersebut tidak berbohong, jarak antar rumah cukup jauh dan terlihat sepi tak berpenghuni. Di beberapa sudut tumbuh tanaman liar. Aiden yang merasakan kedatangan seseorang segera menghampiri.

"Aku sudah memeriksa enam rumah, tersisa dua di sebelah sana. Tuan Aaron sedang berusaha mengcongkel kunci pagar."

"Tidak ada jejak Nona Muda selama ini?" tanya Hendery yang ikut ke arah yang diajak Aiden, terlihat Aaron sedang mencari cara untuk memasuki rumah di sebelah kiri. Aiden menggeleng sebagai jawaban, kondisi pria tersebut tidak kalah mengenaskan dari tuannya sendiri.

"Tuan, Fredd sudah ada di sini."

Ucapan Hendery membuat Aaron berhenti, dasi yang awalnya terpasang rapi menjadi lusuh dan berantakan, jas yang dipakai entah menghilang dimana saat dalam perjalanan ke sini, peluh membanjiri pelipis pria muda tersebut dan napasnya tersengal. Di tangannya ada sebuah alat cangkul. Aiden berpikir kalau mungkin didapati dari rumah lain.

"Kamu dan Aiden cari Ellena di rumah sana. Hendery akan membantuku di sini. Jika kalian menemukannya, salah satu dari kalian harus menemui kami, begitu juga dengan kami. Yang lainnya menjaga Ellena, cukup pastikan dia masih bernapas."

"Baik, Tuan." Ketiga pria berbeda usia tersebut langsung mengikuti arahan Aaron. Aiden dan Fredd segera masuk ke halaman depan rumah.

"Kamu cari di belakang rumah, aku akan masuk. Ini, ambillah, jika ada yang mendekatimu, ini cukup berguna," kata Aiden sambil memberikan sebuah alat berukuran kecil. Fredd mengangguk dan bergegas ke belakang, dalam sekali melihat, dia tahu itu adalah alat penyetrum dengan daya kecil namun cukup untuk melepaskan dirimu dari mara bahaya.

Sedangkan Aaron dan Aiden segera masuk ke dalam rumah satunya dan melihat sekitar.

"Tuan, aku akan ke belakang."

Aaron berdehem memberi izin, ruang tamu yang terasa berdebu. Sepertinya tempat ini sudah lama tidak dihuni, di beberapa sudut, Aaron bisa melihat sarang laba-laba. Pintu rumah yang terbuka lebar dan beberap ventilasi membantu penglihatan pewaris tunggal perusahaan konstruksi.

Aaron membuka pintu kamar di bawah tangga, matanya membulat lebar saat mendapatkan yang ingin dia lihat.

"Ellena!"

Enam menit yang lalu
Miami, Florida

"Kau tidak boleh tidur, sweetie. Kamu harus melihat pahlawanmu itu datang."

"Apa maumu, Gyan?"

Ellena bertanya di sela-sela ambang kesadarannya. Gyan tertawa menyeramkan, dia tahu kalau wanita di depannya ini mencoba menghalau rasa takutnya.

Itu terlihat menyenangkan di matanya.

"Cukup serahkan Aaron padaku."

Ellena mengeraskan rahangnya, merasa kesal dia tidak bisa berbuat apapun sekarang karena seluruh alat geraknya terikat. "Tidak akan. Aaron tidak bersalah terhadapmu sekecilpun. Kenapa kamu terus menganggu hidupnya?" Ellena meracau di tempat, diletakkan di tengah dengan Gyan yang berdiri di depannya.

"Kalau begitu, kau saja, sweetie."

Sedetik kemudian, sebuah pisau sayat menyayat pipi kiri Ellena, wanita itu memekik tertahan.

"Kau ... kau bermasalah dengan mantannya, bukan dia yang harus kau adili." Pupil Ellena bergetar ketakutan, tampilannya berantakan. "Kau sudah membunuh semua mantannya yang merupakan musuhmu, apa lagi yang kau mau, psikopat sinting." sambung Ellena, menguatkan diri di saat ketakutan mengerayangi itu adalah hal tersulit yang pernah Ellena lakukan.

"Memang benar mantannya adalah tujuanku. Namun, dia cukup cocok jadi sasaranku."

Gila, pikir Ellena beberapa kali. Ellena membulatkan matanya, matanya melihat ke bawah, pisau sayat di tangan Gyan menembus kulit bagian perutnya. Matanya yang kabur melihat Gyan, samar tapi dia tahu kalau psikopat itu tersenyum kemenangan.

"Kau harus kuat jika ingin hidup. Aku akan pergi dahulu. Jangan merindukanku, sweetie."

Gyan menarik pisau sayatnya, membuka lemari yang ada di dekat mereka dan menutupnya kembali setelah masuk ke dalam sana. Lemari yang menembus salah satu ruangan di lorong tersebut. Ellena berusaha tetap sadar walaupun sulit, darahnya mengucur tanpa henti.

"Ellena!"

Pekikkan dari sang kekasih adalah suara terakhir yang dia dengar.

To Be Continue

Hey, hey, hey!

Bagaimana harimu?

All is gonna be fine, yeah. Don't give up. Like Our Binnie say, don't give up. Whatever gonna happens will be happen whether you give up or not.

Ellena sudah luka ini, mau dibuat lebih parah atau bagaimana?

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top