🍁 19 [H-1]
Suara ketukan pintu sebanyak tiga kali melonggarkan pelukan sepasang kekasih di dalam ruangan, Ellena memberi kode untuk duduk di sofa pada Aaron sementara dia membuka akses masuk ke ruangannya. Aiden -sang pelaku- masuk ke dalam dan melihat wanita duduk di kursi kebanggaannya sementara sang tamu memilih untuk mengangkat telepon.
"Nona Muda, Anda akan terbang ke Miami untuk mensurvei langsung pembangunannya."
Ellena mengangguk, "Besok?"
"Iya, Nona. Saya mendengar kabar dari Sekretaris Hendery kalau tiket penerbangan telah dipesan oleh Tuan Aaron, Nona Muda dan Tuan akan berangkat jam enam pagi."
Mata wanita tersebut mengarah pada sang kekasih tanpa bersuara selama sepuluh detik sebelum kembali fokus dengan sekretaris.
"Saya dan sekretaris Tuan Aaron akan menunggu Anda dan Tuan di bandara tiga puluh menit lebih cepat."
"Sepagi itu?" tanya Ellena terkejut dengan pernyataan Aiden,
Sang sekretaris tersenyum tipis, pria lebih tua sepuluh tahun itu mengenal tabiat majikannya luar dalam, latar belakangnya yang selalu berkeliaran di Mansion Johnson sejak kecil tidak bingung lagi dengan sikap Ellena yang sewaktu-waktu bisa berubah. "Saya harus mengurus penerbangan Anda di sana, Nona Muda." jawab Aiden dengan lugas.
Ellena mengangguk mengerti, tentu saja dia harus mengurus hal sederhana itu untuknya, "Hanya itu, Aiden?"
Yang ditanya langsung mengiyakan pertanyaan singkat retoris tersebut secara cuma-cuma.
"Kamu boleh kembali ke tempatmu. Pastikan tidak ada acara apapun sampai jam pulang saya nanti," ucap Ellena yang tidak mungkin tidak dipatuhi oleh Aiden. Sang sekretaris segera berlalu meninggalkan Nona Mudanya berdua dengan tamu yang tidak lagi asing di matanya.
Tepat saat itu juga, Aaron memutuskan panggilan dan kembali ke posisi semula.
"Kenapa sepagi itu berangkat ke Miami?" tanya Ellena yang berdiri untuk berjalan ke arah Aaron sedang menyimpan gawainya di saku jas.
Aaron hanya tersenyum sebagai balasan, Ellena menghembuskan napas. Sebenarnya kegiatan langsung ke lapangan ini tidak perlu dia yang melakukannya, dia bisa meminta salah satu pekerjanya untuk ke sana. Tapi Aaron tidak menyetujui hal tersebut.
"Bagaimana kalau saat aku ke sana, Gyan mendekatimu?"
Itu adalah salah satu kelimat penolakan Aaron dua hari yang lalu saat mereka membuka obrolan di penthouse tengah malam. Bentuk penolakan Aaron ada masuk akal bagi keselamatannya. Tidak ada jaminan kalau dia akan tetap hidup sampai Aaron kembali dari pekerjaannya. Selain itu, Ellena berusaha mencuri waktu di sana nanti untuk jalan-jalan.
Ellena tersenyum saat membayangkan tiga hari mereka di sana.
Aaron mengambil kertas berisi informasi rahasia tentang Clara, menyodorkannya pada Ellena sambil matanya mendesak untuk segera dijawab, "Darimana kamu mendapatkan informasi ini, love?"
Bak sebuah karma, Ellena hanya tersenyum cantik untuk menjawab pertanyaan dari sang terkasih.
07.45 p.m
Manhattan, New York
"Aaron, makan malam."
Aaron meletakkan bajunya di kasur dan berjalan menuju pintu kamar yang terbuka setengah karena Ellena berdiri di sana. "Ayo." ajak Aaron dan mengenggam tangannya pada Ellena. Sang wanita tersenyum tipis setelah matanya tertuju pada sesuatu yang menggantu di dinding.
Aaron mengambil tempat, makan malam yang sama seperti dua minggu yang lalu, steak with orange juice untuk Ellena dan wine untuk Aaron.
"Jam berapa kita pulang nanti?" tanya Ellena dengan tangan yang masih memegang peralatan makan.
"Mungkin jam empat sore?"
"Kenapa balik bertanya?"
Aaron menghentikan kegiatan makannya, "Hanya memastikan." Pria yang berganti pakaian menjadi piyama berwarna biru gelap polos dengan strip putih di ujung lengan dan beberapa tempat.
"Kalau jam empat sore, bisakah kita mampir di supermarket? Persediaan sudah habis, hanya tinggal mi instan dan beberapa bumbu dapur, untuk sarapan kita masih memiliki sereal."
"Kamu yakin tidak akan lelah? Tiga hari ke depan kita mungkin jarang untuk kembali ke hotel." tanya Aaron, Ellena bisa melihat raut wajah di depannya ini sangat cemas. Ellena menggeleng.
"Kalau begitu, tidak masalah." jawab Aaron singkat sekaligus sebagai penutup obrolan pendek mereka dan sepenuhnya fokus kepada makan malam di depan. Ellena tersenyum lebar dan ikut menyantap daging tersebut.
Butuh lima belas menit bagi Aaron untuk makan dan lebih sepuluh menit bagi Ellena untuk melanjutkan kegiatannya membersihkan area dapur. Aaron kembali ke kamar setelah meletakkan alat makan di dalam dishwasher.
Aaron melipat baju yang sempat dibiarkan begitu saja di atas ranjang dan menempatkannya di atas jajaran pakaian dalam koper yang terbuka di samping, mengambil kemeja yang lain untuk kembali dimasukkan ke dalam koper. Tidak lupa celana dan jas ikut dimasukkan.
Tanpa berniat untuk menutup koper yang telah terisi sebagian, Aaron merebahkan badan di samping benda keras tersebut, netranya melihat langit-langit kamar yang putih bersih dengan sendu sebelum mengalihkan fokus kepada benda yang tergantung di dinding kamar.
Benda yang sama dengan yang dilihat oleh Ellena sebelumnya.
Menatap lekat-lekat sebuah lingkaran dengan spidol merah di sebuah titik, Aaron meneguk ludahnya saat pikirannya mulai terasa kacau. Kejadian yang diberikan spidol merah itu akan terulang kembali.
"Aaron,"
Pemilik nama yang baru saja dipanggil itu membuyarkan lamunannya dan menggulingkan badannya menjadi tengkurap untuk melihat sosok wanita tersebut.
"Sedang apa?" tanya Ellena yang dengan pelan berusaha masuk ke dalam ruangan pribadi sag pria.
"Packing for tomorrow. Have you done it?" tanya Aaron basa-basi. Ellena menggeleng untuk menjawab, tetapi dilihat dari piyama yang dikenakan sang wanita, Aaron bisa menyimpulkan kalau kekasihnya itu baru saja mandi dan menyempatkan diri untuk melihat kondisinya. Untuk kesekian kalinya, Aaron mengakui kalau hatinya menghangat saat memikirkan itu semua.
Ellena sedikit melirik isi koper Aaron dan memicingkan matanya, "Ini sungguh mirip dengan perjalanan bisnis." lirihnya saat melihat banyak setelan formal kantor di dalam koper tersebut.
"Memang itu yang kita lakukan selama tiga hari ke depan, love."
Yang lebih muda mendengus saat mendengar balasan dari yang lebih tua. Kaku sekali, batinnya lalu mengeluarkan satu setelan formal dari koper dan menggantungnya kembali ke dalam walk-in-closet. Aaron yang merasakan sebuah pergerakan di belakangnya langsung berdiri dari posisi tengkurap dan memberikan tatapan bingung saat Ellena kembali dengan sebuah setelan lebih kasual dari sebelumnya.
"Bawa ini juga. Siapa tahu kita bisa jalan-jalan di sana. Eventhough just five hours, will be a nice memory for us," ucap Ellena yang masih melipat pakaian Aaron tanpa melihat sang empu pemilik baju dan meletakkannya di koper lalu menutup resleting koper tersebut.
"Your package is done, Mister," kata Ellena dengan senyum lembut. Aaron mendekat. menarik tangan wanitanya dengan hati-hati sebelum membawanya ke dalam pelukan.
"Thank you." Aaron tulus mengucapkan kalimat sederhana tersebut dan mempererat rengkuhannya. Ellena terkekeh pelan dan tatapannya menangkap sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
"Love," panggil Ellena dengan posisi yang sama. Aaron hanya berdehem.
"Itu tanggal 8 Oktober ...," ucapan Ellena membuat Aaron menegang seketika, masih dalam kondisi bibir yang kelu dia menunggu kalimat tersebut selesai. "Ada apa dengan tanggal itu?" tanya Ellena yang melonggarkan pelukan mereka dan menatap Aaron yang menatapnya dengan penuh bimbang.
"Katakan padaku, ada apa dengan 8 Oktober, Aaron?"
Sementara itu, di lain sisi, sebuah ruangan sempit nan gelap, terasa pengap bagi siapapun yang masuk ke dalam ruangan berpintu tanpa jendela. Seorang pria menonton dari layar televisi yang menayangkan sejoli sedang berpelukan dengan koper tertutup di sekitar mereka.
"Itu tanggal 8 Oktober ... ada apa dengan tanggal itu?"
Pria tersebut menyeringai di balik masker hitamnya, matanya menatap penuh misteri ke layar tersebut, diambil dari sudut atas, posisi yang sangat mendukung rencananya.
"Katakan padaku, ada apa dengan 8 Oktober, Aaron?"
Terdengar lagi suara yang terkesan tenang dan pelan. Pria berpakaian serba hitam itu semakin menyeringai bahkan tertawa menggelegar mengisi keheningan ruangan. Kedua siku tangannya bertumpu pada alas meja dan menyatu satu sama lain, membuat gestur berdoa untuk menyangga dagunya sendiri.
Terlihat jelas sebuah tato dengan lambang infinity di sebelah kiri leher, puas dengan tertawa, dia berucap seolah berada di sana.
"Kejadian yang sangat menyenangkan untuk kalian, sweetie."
To Be Continue
Hey, hey, hey ... Yo!
How was your day going?
Kalau capek, istirahat saja. Jangan dipaksakan. Kamunya yang kasihan bukannya bagaimana. Nanti kamu cape, siapa yang bakalan ngerecokin?
Joking, mate.
See ya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top