🍁 14 [Please Stay]

"Bagaimana caramu masuk?"

Ellena berdiri di ambang batas penghubung penthouse dengan kolam renang, kedua tangannya langsung disembunyikan di belakang untuk menahan getaran di organ tubuhnya tersebut menjadikan gawai dan gelas kosong sebagai korbannya. Matanya menyala menantang sosok tersebut.

Dia harus tetap tampak tegar walaupun rasanya jantung pindah ke daerah usus seketika.

"Tentu saja dengan lift. Aku tidak sehebat itu menembus kaca anti peluru," katanya dengan ramah. Ellena semakin berdegup kencang, seberapa banyak informasi yang dia dapatkan tentangnya dan Aaron?

"Gyan ...," lirih Ellena, kedua pasang mata itu saling menyelam lautan manik masing-masing. Ellena berjalan perlahan takut-takut ke samping, dia tidak bisa memikirkan kenapa pria di depannya ini terlihat sangat bernafsu untuk membunuhnya melalui tatapan yang tidak lepas darinya.

Sosok tersebut adalah Gyan.

"Ada apa? Kau mau kubantu? Baiklah, aku akan membantumu karena waktuku masih banyak. Cowok tak berguna itu katanya lembur, kan?" ucapnya dengan nada ramah, sangat berbeda dengan tatapan tajam bak seorang raja hutan melihat mangsanya. Dengan santai, Gyan berjalan ke arah Ellena yang berada di dapur.

Ellena melihat ke sekeliling dapur, entah kenapa rasanya telapak tangannya memilik lem erat untuk tidak melepaskan gelas kosong. Wanita langsung berteriak, "Jangan! Kau di sana saja! Jangan bergerak!"

Gyan mengangkat tangannya seolah mengisyaratkan padanya kalau dia akan berdiri di sana.

Tangan Ellena bergetar menahan takut, bayang-bayang dimana dia bertemu dengannya pertama kali menghantuinya.

"Kau takut, Ellena?" tanya Gyan dengan tatapan penuh makna, sudut bibir kanannya terangkat ke atas.

Oh, tidak! Jangan sampai ketahuan! pekik Ellena tertahan di dalam benaknya. Tanpa sadar kakinya perlahan mundur dengan getaran takut di sana.

Gyan semakin menyeringai, semakin Ellena mundur, dia semakin maju. Tangannya terjulur mengambil gelas kosong di atas pantry sambil berjalan perlahan, "Kau takut, Ellena. Apa kau memikirkan aku akan melakukan ini?"

Bunyi pecahan beli kaca terdengar bercampur dengan teriakan nyaring wanita di sana setelah pembunuh itu melempar gelas tepat di sebelah Ellena dan menabrak dinding dapur berkeramik.

Gyan tertawa menggelegar saat menyaksikan reaksi Ellena tepat dugaannya, kembali mengambil gelas kosong dan memecahkannya di samping wanita tersebut, "Kau lemah, Ellena. Kau sama saja dengan yang lain."

Sang pembunuh merogoh kantung celananya, mengeluarkan sesuatu yang semakin membuat Ellena berteriak histeris.

"Ssttt ... jangan berteriak seperti itu. Itu sangat mengangguku. Semakin kau berteriak, kesayanganku ini bisa saja menyapamu." Gyan mengelus pisau silet yang dibawanya, Ellena membawa tangannya bertumpu pada pinggiran dapur, menguatkan dirinya yang nyaris merosot ke lantai.

Wanita itu menahan pekikkannya, seluruh tubuhnya bergetar ketakutan, tidak ada jalan keluar aman dari Gyan selain bertaruh nyawa dengan kesayangan psikopat gila satu itu.

"Apa yang membuatmu membunuh mereka?! Kau mengincar Aaron, kan? Bunuh saja dia!" teriak Ellena yang kehilangan nyaris seluruh akal sehatnya.

Ellena tidak mengerti dengan psikopat di depannya ini, apa semua orang gila sepertinya selalu tertawa seram seperti itu? Apa itu salah satu cara supaya korban mereka takut dan menurut dengannya walaupun ingin memberontak? Tapi dari salah satu film psikopat yang pernah ditontonnya dua tahun lalu kurang lebih juga seperti ini.

"Lalu dia mati begitu saja? Hahaha." balas Gyan, Ellena bersumpah suasana penthouse terlihat mencekam karena keberadaan pria di depannya ini. Bagaimana cara mengusir pembunuh ini? "Tidak akan seru kalau begitu. Dia perlu merasakan apa yang kurasakan, sayang. Cara yang paling sempurna adalah melihat Aaron kehilangan orang yang disayanginya seperti ini."

"Akh!" pekik Ellena yang kebobolan. Gyan secepat itu menggoreskan luka di lengan kirinya. Sebelah tangan kanannya menutup sayatan tersebut. Gyan tertawa mengerikan, Ellena semakin kacau.

Gyan menyeringai, "Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Aku perlu imbalan lagi," kata pria tersebut yang seperti anak kecil meminta dibelikan sebuah es krim. Tanpa aba-aba, Gyan kembali menoreskan luka di pipi kiri Ellena.

"Sakit ...." lirih Ellena, sayatan itu tidak terlalu dalam, tapi tetap saja perih.

"Masih kurang. Lebih baik kau ribut seperti tadi, aku semakin puas untuk bermain denganmu. Aku kebosanan menunggu bedebah satu itu."

Sinting, batin Ellena yang tetap meringis, matanya tidak bisa melihat jelas karena, dibendung oleh air mata yang siap jatuh kapanpun.

Aaron ... bagaimana reaksinya jika dia melihat Ellena seperti ini nanti?

Dengan cepat, Gyan kembali melayangkan mata pisau ke pergelangan kaki Ellena sebelah kiri. Wanita itu menahan pekik, pikirannya terus mensugesti untuk selalu diam untuk tidak memancing kegilaan lebih dari psikopat ini.

"Kenapa tidak teriak? Membosankan," kata Gyan kembali membalikkan badannya, berjalan pelan menimbulkan suara derap langkah dari pentofel yang dipakai, selain suara napas tersengal Ellena.

Mata wanita itu melihat Gyan yang berdiri di ambang pintu pembatas kolam renang, tangannya meremas gelas bekas minumnya erat. Tangannya gemetaran, mau tidak mau dia harus melakukannya. Matanya melihat ke sudut ruangan lalu mengangguk pelan dengan napas yang masih berantakan.

"Aaron, come back home now!"

Teriakan Ellena terdengar bersamaan dengan dentingan gelas yang pecah di sebelah ambang pintu Gyan berdiri. Ponsel disembunyikan di belakang tubuhnya walaupun dia rasa itu tidak berguna, pria di sana memiliki seribu cara untuk mengancurkannya. Saat dia merasa Gyan lengah terhadapnya, dia segera menelepon kekasih diam-diam.

Semuanya harus diselesaikan di sini sekarang juga. Aku akan menahan psikopat gila ini sementara Aaron datang ke sini, batin Ellena yang berusaha menyakinkan diri kalau dia bisa melalui ini walaupun nyawa taruhannya.

"Tanganmu gemetaran sekarang? Jauh sekali kau melemparnya. Kau berniat untuk membuatku tak sadar diri atau hanya menggertak?" Gyan melangkah kakinya kembali ke area dapur dengan mengintimidasi.

Ellena tidak sempat meneguk ludahnya, gadis itu langsung kabur dari area dapur. Sesuai dugaannya, Gyan terus mengejarnya walaupun psikopat itu tidak berlari sepertinya. Gyan menghancurkan barang yang ada di sana. Ellena berbalik saat berada di ruang tamu, pria itu menjatuhkan televisi.

Ellena memekik, yakin sekali kalau televisi berharga mahal itu sudah hancur. Single sofa yang disediakan ditendang dengan kuat menimbulkan debuman kacau di penthouse malam itu. Ellena tidak bisa lagi menghitung berapa kali dia merasa jantungnya nyaris copot di tempat.

Gyan terus mengejarnya dengan pisau silet di tangan, sebelah tangannya mengacau sekitar, buku-buku yang berjajar rapi di sudut ruang baca berjatuhan bersamaan dengan lemari. Sudah cukup bermainnya, sweetie. Waktunya sudah sampai. Bak kilat, Gyan mengejar wanita tersebut dan menarik pergelangan tangan kasar, teriakan pinta dilepas oleh Ellena bagai lantunan lagu merdu di telinganya.

"Kau bermain denganku, ya? Sayangnya tidak menarik. Sudah cukup bermain permainanmu, sekarang permainanku." desis Gyan dengan senyum miring khas psikopat drama yang sering ditayangkan.

"Ah! To ... tolong. Uhuk ...." Ellena mengenggam lengan pria pembunuh itu dengan kedua tangannya. Napasnya tercekat, pandangannya tidak jelas. Ponsel di tangannya langsung terjatuh dan terbanting keras, sepertinya dia harus membeli yang baru setelah ini. Itupun kalau dia masih bisa bernapas.

"Sebentar lagi. Bagaimana rasanya tidak menginjak tanah, sweetie?"

Ellena tidak berbicara, tangannya memukul tak berdaya lengan Gyan. Dengan mudah, Gyan mencengkram leher Ellena dan menabrakkannya ke dinding, matanya menatap penuh kemenangan dan menikmati penderitaan wanita tersebut.

Aaron ... kumohon, kembali, Ellena berbisik dalam hati, pandangannya mulai mengabur bahkan nyaris menggelap. Sepertinya, dia akan segera menjemput ajalnya sendiri di tangan psikopat sinting ini.

I'm so sorry, Aaron.

To Be Continue

Hello, good night!

How r u?

Sorry for late. I'll go now. So many things to do. You, too, you may not being too tired, kay?

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top